“Lho, ternyata si Yogi gi-la?”“Oalah… pantesan gak pernah keliatan, ternyata oh ternyata ….”Bisik-bisik tetangga Yogi tentu terdengar sampai ke telinga Yessi. Memang jarak antara mereka hanya dua meter saja. Hingga ucapan tetangga Yogi itu masih bisa memungkinkan putri sulung Jubaedah tersebut mendengar semua yang dikatakan. Sebab, mereka sebenarnya bukan berbisik, melainkan hanya sedikit menurunkan nada suara. “Diam kalian! Siapa yang kalian sebut gi-la, hah?!” bentak Yessi diiringi tatapan tajam dan mematikan. Mereka sontak menyunggingkan senyum remeh pada wanita berpakaian se-xy tersebut. Namun, hal yang sama tak ditampilkan oleh Rani, menantu simbok pemilik warung di ujung jalan. “Halah! Gak usah coba mengelak deh, Yess! Kita denger kok apa yang dikatakan Ibu tua itu. Kalo Yogi itu gi-la!” bela salah satu dari mereka yang memang tak merasa bersalah. Terlebih, sosok tersebut tampak sedikit menekan nada bicaranya, kala menyebutkan kata ‘gi-la’ itu. “Pppffttt ….”Bukan menangga
“Baiklah, nanti Ibu kirimkan. Kalian baik-baik disana, ya ….”“Permisi, Mbak. Apa saya bisa … lho Mbak? Kamu-”Devi menoleh, kala mendengar sebuah suara yang berasal dari sisi kanannya. Dengan telepon genggam yang masih menempel di telinga. Ibu dua anak itu memutar badan, menghadap pada sosok wanita berhijab di sampingnya. Namun saat menoleh, sosok tersebut sepertinya mengenal Devi, akan tetapi …“Kamu ….”Devi memutar otak. Mencoba mengingat sesuatu. Sebab, sosok wanita cantik dengan hijab hitam itu tampak familiar baginya. Hingga suara dari sosok di hadapannya kembali terdengar. “Mbak Devi, kan?”Dengan alis bertaut, Devi menganggukkan kepalanya perlahan. Tangan kanannya yang masih memegang sebungkus roti, kemudian terulur, meletakkan roti tersebut pada tempatnya. Sedangkan tangan kiri yang masih memegang ponsel, dengan sigap memasukan ponsel itu di saku celananya. Devi tampak ragu, terlihat jelas dari sorot matanya yang tampak teduh dengan raut wajah penuh tanda tanya. Namun, den
“Aku bawa kabar terpanas dan teraktual buat kamu!”“Ck! Udah kaya host acara gosip aja nih Bu Bos!” seloroh Devi diiringi suara cekikikan. Hal itu sukses membuat wanita yang dipanggil ‘Bu Bos’ tersebut merungut dengan bibir yang dimajukan seperti bebek. “Ish! Kamu itu bener-bener! Sendirinya juga bos. Tapi ngatain orang lain!”Devi hanya tersenyum geli kala mendengar rutukan yang keluar dari bibir berpoles lipstik berwarna nude tersebut. “Ini adalah definisi bos yang bekerja pada bosnya. Ha ha ha ….”Tawa renyah mantan istri Yogi itu mampu membius siapapun yang mendengar. Termasuk Rani yang kini masih duduk anteng sambil memperhatikan interaksi dua wanita cantik di hadapannya. “Halah! Kamunya aja, udah jadi bos tapi masih gak mau resign,” ucap wanita berambut panjang pendek yang ternyata adalah Siska, sahabat karib Devi sejak zaman kuliah.Devi melayangkan senyum manis, kala mendengar cibiran yang dilayangkan sang sahabat. Dengan enteng, wanita berambut panjang itu pun kembali menim
“Jangan asal ngomong kamu, Sis! Pamali!” “Pamali udah ma-ti adanya bumali! Noh yang rumahnya di gang sebelah!” sarkas Siska, menjawab ucapan sang sahabat. Degh! Jantung Devi terasa berhenti seketika. Kalimat yang dilontarkan oleh sahabatnya, Siska. Terngiang jelas di telinga. Mencoba menampik dan tak percaya akan hal itu, tapi ia sendiri tahu persis. Jika Siska tak mungkin asal bicara. ‘Mungkin yang gi-la kamu, bukan Yogi. Apa maksudnya?’ batin Devi bertanya-tanya. “Tanyakan pada dia! Bukankah Rani ini satu RT sama keluarga mantan suamimu. Dia pasti tau sesuatu.” Kini Siska menoleh ke arah wanita berhijab yang masih diam tak bersuara. ‘Benar juga, bukankah-’ Devi tak banyak bicara, sebab batin dan pikirannya sibuk sendiri. Namun, gerakan kepalanya mengikuti ke arah dimana fokus Siska masih tertuju. “Ran?” Hanya satu kata itulah yang bisa Devi ucapkan. Sedangkan yang menjadi pusat perhatian dua sahabat tersebut, kini perlahan mendongak kemudian menatap manik mat
“Apa salahku?”“Hah? Kocak bener punya sohib begini. Astaga,” keluh Siska yang tak habis dengan sahabatnya itu. Bertahun-tahun mengenal Devi, seharusnya ia sudah tak heran bukan dengan tabiat wanita di hadapannya itu. Tapi entah mengapa, wanita bermata sipit tersebut masih saja merasa gemas. Melihat Devi dengan pemikiran bo-dohnya itu. “Kamu lupa dengan kalimat ‘jangan balas kejahatan dengan kejahatan’ iya?” Suara Devi kembali terdengar. Menjawab ucapan yang baru saja dilontarkan oleh Siska. “Bukan aku lupa atau gak inget. Tapi lebih tepatnya, aku gak mau pakai kalimat itu sebagai tolak ukur kehidupanku. Gi-la aja, orang yang udah jelas jelas dzalim sama kita sampai puluhan purnama. Terus mau ditolong gitu aja hanya berlandaskan kalimat munafik begitu! Gak ye!” tolak Siska mentah-mentah. Siska adalah tipe wanita berprinsip, sama seperti Devi. Hanya saja, Devi masih menggunakan hatinya. Sedangkan Siska lebih menggunakan logikanya. “Kamu sendiri inget gak sama kalimat ‘jika hukum s
“Terserah apa maumu! Urusin aja noh keluarga toxic yang bikin kamu cinta ma-ti sampai tergila gila!”“Sis … Siska. Tunggu!”Devi mempercepat langkah, mengejar Siska yang pergi dan keluar dari tokonya membawa sejuta rasa kesal pada dirinya. Brak! Pintu mobil Siska tertutup keras, tepat sebelum pemiliknya sempat masuk ke dalam mobil bercat putih tersebut. “Apa lagi sih, Deviii?”Siska yang memang masih merasa kesal semakin merasa gemas akan polah tingkah sang sahabat. Bagaimana tidak, sudahlah bebal dan sulit diberi nasehat. Tapi kini, wanita itu justru menghalangi jalannya, kala ingin pergi membawa rasa kesal yang membuncah dalam hati. “Aku ‘kan udah bilang tunggu. Denger gak sih?!” sungut Devi dengan nafas terengah. Akibat dari gerak cepatnya demi bisa mengejar sang sahabat. “Aku tuh mau tanya sesuatu sama kamu.”“Ck! Nanya apa lagi sih?! Buruan! 10 detik dari sekarang!” ucap Siska jengah. Ia sudah benar-benar merasa lelah menghadapi Devi yang selalu memakai hati. Meski berulang ka
“Dimana sih, kata Siska disini. Bener ‘kan ini tempatnya?”Seorang wanita cantik tampak menggerakkan tubuhnya, berputar ke segala arah. Tak hanya itu, kepala wanita itu pun terlihat celingak celinguk ke kanan dan kiri. Memindai segala tempat dan sisi yang bisa dijangkau oleh netranya. Namun, hingga lebih dari satu jam berlalu. Wanita itu masih juga belum menemukan apa yang ia cari. Terik matahari kian membakar tubuhnya. Membuat bulir keringat mulai mengalir dan membasahi wajah serta bajunya. “Awas aja si Siska. Kalo sampe ketauan dia lagi ngerjain aku!” rutuk Devi yang mulai kesal dan kelelahan. “Liat aja, apa yang bakal aku lakuin ke si sipit itu!”Akhirnya, ibu dua anak tersebut memilih untuk beristirahat sejenak. Kemudian mengayunkan kaki, menyambangi sebuah warung kopi yang berjejer di pinggir jalan. Meski ada lima buah warung kopi sekaligus, tapi mereka sama sekali tak menjadikan itu sebagai sebuah beban. Sebab mereka yakin jika rezeki sudah tertakar dan tak akan tertukar. “Iy
“Ada hak apa kau mengatakan hal itu?”“Atas dasar apa kau melayangkan tuduhan menjijikan seperti itu?”“Taukah kau, siapa yang kau sebut wanita licik itu?”Deretan kalimat menohok dilontarkan oleh sosok yang kini berdiri tepat di belakang tubuh Yessi. Tanpa mengenal rasa takut, Yessi segera berbalik. Ia bukanlah wanita yang mudah diintimidasi. Dengan pongah dan tatapan mata meremehkan, Yessi menyisir sosok wanita bermata sipit itu, dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Siapa kau? Dan apa hubunganmu dengannya?”“Aku tak mengenalmu. Jadi ada baiknya bagimu, untuk tak usah ikut campur urusanku dengan wanita itu,” desis Yessi dengan nada ancaman. ‘Melihat dari penampilannya, sepertinya dia bukanlah orang sembarang,’ batin Yessi yang masih terus memperhatikan sosok di hadapannya. Tak kalah dengan Yessi, wanita bermata sipit yang tak lain adalah Siska, sahabat Devi, kini menatap tajam pada mantan kakak ipar sahabatnya. Ia memang tak mengenal persis siapa Yessi, namun ia bisa menebak sifa