Dengan masih berdiri tegak, jari telunjukku mengacung dengan tegas ke arah kakak iparku, Mbak Yessi, yang berdiri di sisi kananku.
“Kamu lihat itu, Mas!” ucapku dengan nada datar pada suamiku yang terdiam di tengah pertengkaran kami. “Coba bandingkan, cara berpakaian mana yang lebih cocok disebut wanita murahan. Aku atau Kakakmu?”Wajah Mbak Yessi berubah merah padam, matanya mendelik tajam menatapku. Rambut panjangnya tergerai di bahu, pakaian serba mini yang dikenakannya justru menegaskan pernyataanku. Dia bukan mau ke kondangan ataupun manggung, tapi melihat cara berpakaiannya sungguh membuatku muak.“Apa kau sedang menghina aku, begitu?” tanyanya dengan nada emosi yang terasa memanas.Aku tersenyum sinis, menatap kakak iparku dengan pandangan yang tajam.“Jika mau marah, itu berarti Mbak Yessi mengakui bahwa benar cara berpakaiannya lebih cocok disebut murahan. Aku hanya mencari sebuah perbandingan,” jawabku dAku merasakan suara degup jantung ini berdetak lebih kencang saat melihat Mas Yogi dengan kasar memukul Arya yang baru saja datang. Padahal, pria itu hanya mengantarkan ponselku yang tertinggal. Ini murni kesalahanku sendiri karena teledor dan tanpa sengaja menjatuhkankan ponsel di dalam mobil Arya.“Apa yang kau lakukan di sini, hah?!” bentak Mas Yogi. “Berani-beraninya menampakkan diri setelah berani pergi bersama istri orang!”“Aku hanya…”“Karena kau sudah berani muncul di hadapanku! Sekarang katakan, sudah berapa lama kalian menjalin hubungan, hah?!”Keningku mulai berkeringat sebab merasa takut, aku takut akan apa yang terjadi sekarang. Terlebih, mataku menangkap raut wajah Mas Yogi yang begitu memerah. Astaga, masalah apalagi ini. “Sudahlah, Mas. Jangan bertindak kasar dan anarkis seperti ini, malu!” ucapku sambil mencoba menarik tangan Mas Yogi yang masih mencengkram erat kerah baju Arya. “Katakan padaku Devi, dibayar berapa kau olehnya dan dapat apa kau darinya?” tanya Mas
“Kurang apa anakku padamu, Devi? Sungguh, aku tak pernah menyangka, akan mendapat menantu sepertimu!” Sebuah kalimat kembali dilontarkan oleh ibu mertua tak lama setelah Arya meninggalkan tempat ini. “Terserah! Aku tak peduli dengan penilaian manusia seperti kalian!” Kulangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Namun, saat baru saja sampai di ruang tamu. Sreett! Brak! Kurasakan perih dan berdenyut di bagian pelipisku. Hingga hal itu sukses membuatku didera rasa pusing dan berkunang. Perlahan aku bangkit meski dengan tangan yang terus mencoba merambat, memegang apapun yang bisa membuatku berdiri sempurna. “Darah …,” lirihku, saat dengan sengaja kuusap bagian yang sakit itu dengan ibu jari. Rasanya perih, namun tak seperih rasa yang ada dalam hati ini. “Apa seperti ini kelakuanmu setiap hari, hah?” Sebuah pertanyaan atau lebih tepatnya bentakan kembali terdengar, membuat telingaku berdenging dan semakin terasa pusing. “Menjadi ja-lang demi untuk memenuhi kepentinganmu s
“Aku,” jawabku tegas. “Aku ingin bercerai denganmu, Mas. Sudahi semua ini, baik aku ataupun anakku udah gak bisa lagi tinggal bersamamu.” Mas Yogi terdiam sejenak, seperti mencerna kata-kataku. Dia tampak terkejut dan sedikit kebingungan, laki-laki itu kemudian tampak memejamkan matanya sejenak. Namun, setelah membuka matanya, dia kembali menatapku dengan tatapan yang tajam. “Gak! Kamu gak bisa cerai dariku,” katanya. “Kita sudah menikah selama sebelas tahun dan ada anak-anak diantara kita. Kamu gak bisa meninggalkan tanggung jawabmu begitu saja.” Aku menggigit bibirku, merahasiakan rasa takut yang melonjak dalam dadaku. Aku takut dengan apa yang bisa dia lakukan kepadaku dan anak-anak kami. Namun, aku juga tak mau menyerah dan terus tinggal bersamanya dalam kekerasan dan ketidakbahagiaan. “Siapa bilang aku akan lepas tanggung jawab?” tanyaku kemudian. Rasa sakit yang
(POV Yogi, suami Devi) “Jangan!” “Hah? Tapi kenapa?” “Jangan kasih istrimu itu terlalu banyak, atau kau akan menyesal nanti!” ______ Ucapan dari ibu terus terngiang di telingaku. Aku sudah menikah dengan Devi selama 11 tahun. Bukan aku tak tahu, jika ibu dan Devi tak pernah akur. Justru Devilah yang selalu mengeluhkan hal ini kepadaku. “Aku capek, Mas. Masa sehari harus masak sampe tiga kali,” keluhnya saat itu. Aku yang baru saja pulang kerja seketika merasa jenuh dengan segala keluhan Devi. Tapi, aku tak pernah bisa berkata kasar pada wanita yang saat itu tengah mengandung buah hati kedua kami. Demi menjaga perasaannya, aku tak terlalu menanggapi semua kkeluhan tersebut dan hanya menjawab sekenanya. Hingga sampailah saat anak keduaku berumur tiga tahun. Ibu dan istriku masih belum bisa berdamai. Bahkan pengeluaran keluarga kami semakin besar. Gajiku yang awalnya hanya 4,5 juta bisa untuk dua rumah. Kini bahkan hanya cukup untuk Devi dan kedua anakku saja. “Kan Ib
“Kamu nanya, Mas?”“Iya, apa salahnya?”“Perlukah aku buatkan nota catatan untuk semua pengeluaran rumah ini?”_______Beragam alasan selalu dilayangkan Devi saat aku mencoba bertanya, apa uang bulanan yang kuberikan sudah habis? Dan habis untuk apa? Itu pertanyaan normal, bukan?”Cetak! Sebuah buku nota kecil digeletakkandi atas meja makan, dengan kasar oleh Devi. Aku yang sedang menikmati kopi buatannya seketika membeku. “Itu semua pengeluaran kita sebulan ini! Silahkan dicek!” ucapnya kemudian berlalu pergi begitu saja. Biasanya, wanita yang masih sah menjadi istriku itu selalu menemani aku makan. Tapi, akhir-akhir ini ia seringkali sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang ia kerjakan. Akhirnya, aku hanya bisa menghela nafas kasar dan makan malam seorang diri. Ditemani nyamuk dan suara denting sendok. Hingga beberapa saat berlalu, malam yang dingin membangunkan sesuatu yang terlihat. Membuatku bangkit dan mencari keberadaan istriku tersebut. “Dev,” panggilku lirih, sebab Devi ru
“Apa?” tanya Devi, istriku. Kemudian ia kembali melanjutkan, “Apa Mas lupa, berapa jatah bulanan yang Mas kasih?”“Nggak, kok. Mas inget,” ucapku berkilah. Namun sejurus kemudian langsung ditimpali oleh Devi, “Inget? Yakin?”“Yakin, kok. Lagian Mas cuma nanya, uang yang kemarin dikemanain? Itu aja kok,” ucapku sambil menatap Devi yang kini berwajah datar. Entahlah, aku mulai merasa tak mengenali istriku sendiri. Dengan tangan menggaruk kepala yang tak gatal. Aku pun mulai memikirkan, apa ada yang salah dengan pertanyaanku. Tapi, aku rasa tak ada. Ini hanya karena Devi yang terlalu lebay saja. Benar sekali apa yang pernah ibu katakan. Jika Devi akan berubah wujud saat mendengar kata uang. Devi menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaanku. “Uang kemarin habis untuk membeli keperluan rumah tangga, Mas.”“Tapi ini bahkan masih kurang seminggu dari tanggal aku gajian, Devi,” sahutku yang tak mau percaya begitu saja dengan jawaban istriku. “Kamu ‘kan tau. Dapur kita ada dua,
“Apa benar kata Ibu?” Setidaknya itu hal pertama yang ada dalam pikiranku. Dengkuran halus Devi terdengar berat, seolah banyak sekali beban yang ia tanggung. Padahal dia hanya di rumah, mengurus rumah dan juga dua anak kami. Lalu, apa susahnya? “Padahal malam ini harusnya dia punya satu tugas terakhir,” keluhku yang merasakan pening di kepala dan juga rasa tak nyaman pada salah satu bagian tubuhku. Terpaksa kubaringkan tubuh, membelakangi Devi yang masih tertidur pulas. Meski badan pun merasakan lelah berkerja seharian, tapi tetap tak bisa terlelap meski berulang kali kucoba memejamkan mata. Srek! Kusibak selimut yang menutupi tubuh Devi hingga sampai sebatas lehernya. Dengan sedikit tenaga, aku tarik tubuh istriku agar merubah posisinya menjadi terlentang. “Apa sih, Mas?” Tak kusangka, Devi masih merespon meski hanya sebuah lenguhan dan suara lirih. “Bangun, Sayang. Kamu masih punya tugas lagi lho!” ucapku tepat di samping telinga Devi. Tak ada jawaban dari istriku, namun a
“Ini sudah kedua kalinya Mas menyamakan aku dengan seorang ja-lang. Lalu, apa Mas pikir aku akan diam saja?” Sorot mata Devi benar-benar tajam namun terlihat sedikit berkaca. Hal itu cukup membuatku berpikir, apa yang salah dari ucapanku. Sementara aku memang benar-benar hanya melanjutkan apa yang pernah kudengar. “Apa kau pikir, kau sudah menjadi suami sehebat itu. Sampai berani merendahkan aku yang masih berstatus istrimu ini?” Devi kembali berucap, namun kali ini nada suaranya penuh penekanan. “Aku ‘kan sudah bilang. Aku hanya menyampaikan, tanpa bermaksud merendahkan kamu, ngerti gak sih?!” ujarku mulai frustasi.Akhir-akhir ini, Devi kerap kali menolak untuk melakukan hubungan suami istri. Dengan alasan capek dan lain sebagainya. Kini semua alasan itu membuatku muak dan jengah. Aku masih laki-laki normal dan sehat. Aku tak bisa memendam hasrat selama itu. “Begitukah? Lalu bagimu, statement yang kau berika
“Li-lisa?”Handoko tergagap, tubuhnya kaku. Berita yang baru saja dikatakan oleh Devi membuat dirinya tak bisa berfikir jernih. Hingga beberapa saat kemudian… “Kapan, Devi? Dan.. darimana kamu tau kabar itu?” ucap Handoko lagi. “Mas Handoko… beneran gak tau kabar terakhir Lisa?”Suara Devi lirih namun tegas, menusuk di antara deru langkah mereka di koridor rumah sakit.“Aku bahkan tak tau apa-apa, Devi.”Jawaban Handoko terdengar datar, hampir tak terdengar, namun ia menatap Devi dengan tatapan tajam. “Aku memang meninggalkan dia tadi pagi, tapi.. Saat itu dia masih…”“Soal itu…”Devi berhenti sejenak, menarik napas, seolah-olah menunggu kata-katanya diserap penuh oleh Handoko. “Dia baru saja ditemukan tidak bernyawa, sekitar satu jam lalu.”Handoko membeku. Sorot matanya berubah, seolah kata-kata Devi baru saja menghantamnya dengan kenyataan yang selama ini ia hindari. “Kamu serius?”Devi mengangguk pelan. “Aku
“Kapan kejadiannya?” tanya Devi dengan nada khawatir. “Baru tadi sore, Mbak. Kemungkinan kami akan mengurusnya besok…” ucap seseorang dari seberang sana. Devi menganggukkan kepala, meski lawan bicaranya tak akan melihat apa yang ia lakukan. Sebuah ponsel masih menempel di telinga kanan Devi. Mantan istri dari Yogi tersebut tampak serius mendengarkan apa yang diucapkan oleh sosok nan jauh disana. “Kami bingung harus mengabari siapa dan kemana. Jadi, aku memutuskan mengabari Mbak Devi. Meski aku tau, mereka nggak ada sangkut pautnya dengan Mbak…”“Ya sudah tak apa,” ucap Devi, merespon lawan bicaranya. Namun, manik mata wanita itu tampak melirik sekilas ke arah mantan kakak iparnya. “Aku tak bisa menjanjikan apapun, tapi aku akan mengusahakannya. Aku tau apa yang bisa kulakukan.”“Makasih ya, sudah mengabariku,” imbuh Devi yang kemudian langsung dijawab oleh sosok di seberang sana. Berikutnya, wanita berambut panjang itu segera
“A-apa? Siapa tadi namanya?”Devi tergagap, dan langsung menoleh ke arah Handoko. Ia tak ingin percaya dengan apa yang ia dengar. Akan tetapi.. “Dok, tolong katakan sekali lagi. Apakah tadi Anda mengatakan jika pasien di kamar ujung itu bernama Yessi?”Dokter tersebut menoleh seketika, wajahnya menunjukkan keengganan yang samar sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Benar. Beliau memang Yessi.”Devi nyaris limbung, sementara Handoko tak bisa mengalihkan pandangan dari dokter itu.“Kami ingin bertemu dokter yang merawatnya, apakah bisa?” kata Handoko, suaranya nyaris berbisik namun berisi kepastian yang tidak terbantahkan.Dokter tersebut menatap keduanya, lalu menghela nafas pendek. “Baiklah, saya akan mengatur agar kalian bisa berbicara dengannya. Semoga saja jadwal tidak terlalu padat.”“Tapi, apa kalian mengenal pasien itu?” Baru saja selesai mengatupkan mulutnya. Pria berjas putih tersebut kembali bersuara. Dan langsung dibalas anggukan kepala oleh Devi dan Handoko. Kemudian, Devi
“Semoga Rossi baik-baik saja…”Gumaman Handoko terdengar lirih.Devi dan Handoko masih terdiam, duduk di bangku panjang ruang tunggu rumah sakit dengan pikiran berkecamuk. Mereka belum mendapat kabar dari dokter tentang kondisi Rossi, dan ketegangan di antara mereka semakin terasa. Suara bising dari pasien yang melintas, serta langkah-langkah terburu-buru para perawat yang sibuk, membuat suasana menjadi semakin menegangkan. Devi menatap lurus ke lantai, sementara Handoko memegang tangan Aurora dengan erat, berusaha mencari ketenangan.Seketika, sebuah suara dari ujung lorong menarik, lagi-lagi berhasil perhatian mereka. Suara erangan seorang wanita, kembali sangat jelas meski teredam dari balik pintu. Devi dan Handoko saling berpandangan, ekspresi bingung terlukis di wajah mereka.“Mas Handoko dengar suara itu?” bisik Devi, suaranya hampir tenggelam di antara suara lain di sekitarnya.Handoko mengangguk pelan. “Iya. Suaranya sangat k
Devi merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tetesan keringat dingin mengalir di pelipisnya saat melihat Siska mendekat dengan wajah yang tak kalah tegang. Rossi, yang berada di ujung jembatan, tampak semakin tersudut, seperti seekor binatang yang siap menerkam siapa pun yang mendekat. Nafas Devi semakin berat, tetapi dia tetap berusaha menjaga suaranya tetap tenang, penuh tekad meski di dalam hatinya, dia dipenuhi kekhawatiran yang mendalam.“Siska, aku tak tahu lagi harus gimana,” ucap Devi dengan suara bergetar, berusaha keras untuk tidak memicu kepanikan di dalam dirinya. “Rossi makin sulit dikendalikan.”Siska mengangguk cepat, pandangannya tajam, meski jelas ada ketakutan di balik matanya. Dia lalu berjongkok beberapa meter dari tempat Rossi berdiri. Gerakannya sangat hati-hati, seperti sedang mendekati kaca yang siap pecah kapan saja.“Rossi, dengerin Tante. Kita semua di sini buat kamu,” kata Siska pelan, berusaha menenangkan. “Kami n
Rossi berlari secepat mungkin, kakinya menjejak tanah keras di halaman yang sempit. Ia tidak tahu ke mana harus pergi, tapi yang jelas gadis itu benar-benar tidak ingin berada di sana. Pikirannya kacau, marah, kecewa, dan benci semuanya melebur, kemudian berbaur menjadi satu.“Rossi!” teriak Handoko sekali lagi, kali ini dengan nada putus asa. Pria itu mencoba mengejar, tapi sosok bocah mungil yang masih ada dalam gendongan, membuatnya tak bisa bergerak lebih cepat. Sementara disisi lain, Devi dan Siska segera melangkah keluar rumah. Wajah dua wanita cantik itu penuh kecemasan.“Biar aku yang kejar,” ujar Devi cepat, melepaskan diri dari genggaman Siska yang hendak menahannya.“Devi, tunggu!” Siska memanggil sang sahabat, tapi Devi sudah berlari mengikuti Rossi, keponakannya. “Aku tak boleh membiarkan gadis itu sampai kenapa-napa,” ucap Devi bergumam. Kakinya masih terus terayun, diiringi suara deru nafasnya yang kian memberat. Sepatu heels 5cm yang ia kenakan, semakin membuat wani
“Bu-”Devi terus berusaha menenangkan mantan ibu mertuanya. Bersama dengan Siska ia terus melakukan negosiasi, namun nyatanya itu sama sekali tak berhasil. Hingga tak lama setelah itu, suasana semakin tegang, dan Handoko yang dari tadi hanya diam akhirnya angkat suara. “Bu Jubaedah, saya hanya ingin bertemu dengan Rossi. Sebagai ayahnya, saya punya hak untuk tahu di mana dia berada.”Jubaedah mendengus marah, matanya menyipit saat menatap mantan menantunya. “Ayahnya? Setelah semua yang kau lakukan, kau masih berani menyebut dirimu ‘ayah’? Kau baru datang sekarang, tapi di mana kau selama ini ketika anakmu butuh dukungan?”Handoko terdiam, tak bisa membalas. Rasa bersalah menyelimuti dirinya.Devi, yang melihat keadaan semakin memanas, melangkah maju. “Bu, tolong. Ini bukan tentang siapa yang salah atau benar. Rossi kabur, dan Ibu tentu tahu jika dia sedang tidak dalam kondisi baik. Kalau dia memang ada di sini, biarkan kami menemuinya. Kami h
“Kabur? Siapa yang kabur, Dev?” Pertanyaan pertama meluncur dari mulut Handoko. Devi tak menjawab, namun gerakan tubuhnya mengisyaratkan, jika wanita itu akan beranjak dari tempatnya kini. “Mas Handoko, setelah ini mau kemana?” Setelah meraih tasnya, Devi menoleh pada mantan kakak iparnya dan bertanya arah serta tujuan pria itu. Namun, gelengan kepala dari Handoko menjawab pertanyaan Devi dengan segera. Hingga detik berikutnya, wanita berambut panjang itu kembali bersuara, “Kalau begitu, akan lebih baik jika Mas Handoko pergi bersama kami.”Usai mengatakan hal tersebut, Devi mengayunkan kakinya menuju ke arah pintu keluar cafe tersebut. Tak hanya itu, dua orang lainnya tampak berjalan mengekor di belakang mantan istri dari Yogi itu. “Kok bisa dia kabur, sih?” tanya Devi yang kini sudah duduk di kursi belakang sebuah mobil. Sementara di sisi kanannya ada seorang wanita cantik yang amat dikenal oleh Devi. Sambil mengangkat kedua bahunya, wanita itu pun menjawab, “Mana aku tau Dev
“Aku tak pernah ingin menjauhkanmu dari ibumu. Tapi-”“Arrghh …,” pekik seseorang yang tanpa sengaja bertabrakan dengan sosok laki-laki yang kini tengah menggendong seorang balita. “Maaf, maaf. Maaf karna saya kurang memperhatikan jalan,” ucap sosok tersebut sambil menundukkan kepalanya berkali-kali. “Devi?”Mendengar suara sosok yang ia tabrak, sontak membuat wanita yang ternyata adalah Devi itu menegakkan kepalanya. “Mas Handoko?” jawabnya. “Beneran Devi tho? Aku pikir salah orang, soalnya suara kamu familiar banget, tapi-”“Tapi apa, Mas?” tanya Devi saat Handoko, mantan kakak iparnya, tampak menggantungkan kalimatnya. Handoko yang masih membawa Aurora yang tampak terlelap dalam gendongannya itu, segera memindai mantan adik iparnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kamu, agak beda dari terakhir kali aku liat,” jawab Handoko sedikit memelankan nada suaranyaDevi tersenyum, tentu wanita itu mengerti apa maksud dari ucapan mantan kakak iparnya tersebut. “Disini panas, Mas. K