“Aku,” jawabku tegas. “Aku ingin bercerai denganmu, Mas. Sudahi semua ini, baik aku ataupun anakku udah gak bisa lagi tinggal bersamamu.” Mas Yogi terdiam sejenak, seperti mencerna kata-kataku. Dia tampak terkejut dan sedikit kebingungan, laki-laki itu kemudian tampak memejamkan matanya sejenak. Namun, setelah membuka matanya, dia kembali menatapku dengan tatapan yang tajam. “Gak! Kamu gak bisa cerai dariku,” katanya. “Kita sudah menikah selama sebelas tahun dan ada anak-anak diantara kita. Kamu gak bisa meninggalkan tanggung jawabmu begitu saja.” Aku menggigit bibirku, merahasiakan rasa takut yang melonjak dalam dadaku. Aku takut dengan apa yang bisa dia lakukan kepadaku dan anak-anak kami. Namun, aku juga tak mau menyerah dan terus tinggal bersamanya dalam kekerasan dan ketidakbahagiaan. “Siapa bilang aku akan lepas tanggung jawab?” tanyaku kemudian. Rasa sakit yang
(POV Yogi, suami Devi) “Jangan!” “Hah? Tapi kenapa?” “Jangan kasih istrimu itu terlalu banyak, atau kau akan menyesal nanti!” ______ Ucapan dari ibu terus terngiang di telingaku. Aku sudah menikah dengan Devi selama 11 tahun. Bukan aku tak tahu, jika ibu dan Devi tak pernah akur. Justru Devilah yang selalu mengeluhkan hal ini kepadaku. “Aku capek, Mas. Masa sehari harus masak sampe tiga kali,” keluhnya saat itu. Aku yang baru saja pulang kerja seketika merasa jenuh dengan segala keluhan Devi. Tapi, aku tak pernah bisa berkata kasar pada wanita yang saat itu tengah mengandung buah hati kedua kami. Demi menjaga perasaannya, aku tak terlalu menanggapi semua kkeluhan tersebut dan hanya menjawab sekenanya. Hingga sampailah saat anak keduaku berumur tiga tahun. Ibu dan istriku masih belum bisa berdamai. Bahkan pengeluaran keluarga kami semakin besar. Gajiku yang awalnya hanya 4,5 juta bisa untuk dua rumah. Kini bahkan hanya cukup untuk Devi dan kedua anakku saja. “Kan Ib
“Kamu nanya, Mas?”“Iya, apa salahnya?”“Perlukah aku buatkan nota catatan untuk semua pengeluaran rumah ini?”_______Beragam alasan selalu dilayangkan Devi saat aku mencoba bertanya, apa uang bulanan yang kuberikan sudah habis? Dan habis untuk apa? Itu pertanyaan normal, bukan?”Cetak! Sebuah buku nota kecil digeletakkandi atas meja makan, dengan kasar oleh Devi. Aku yang sedang menikmati kopi buatannya seketika membeku. “Itu semua pengeluaran kita sebulan ini! Silahkan dicek!” ucapnya kemudian berlalu pergi begitu saja. Biasanya, wanita yang masih sah menjadi istriku itu selalu menemani aku makan. Tapi, akhir-akhir ini ia seringkali sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang ia kerjakan. Akhirnya, aku hanya bisa menghela nafas kasar dan makan malam seorang diri. Ditemani nyamuk dan suara denting sendok. Hingga beberapa saat berlalu, malam yang dingin membangunkan sesuatu yang terlihat. Membuatku bangkit dan mencari keberadaan istriku tersebut. “Dev,” panggilku lirih, sebab Devi ru
“Apa?” tanya Devi, istriku. Kemudian ia kembali melanjutkan, “Apa Mas lupa, berapa jatah bulanan yang Mas kasih?”“Nggak, kok. Mas inget,” ucapku berkilah. Namun sejurus kemudian langsung ditimpali oleh Devi, “Inget? Yakin?”“Yakin, kok. Lagian Mas cuma nanya, uang yang kemarin dikemanain? Itu aja kok,” ucapku sambil menatap Devi yang kini berwajah datar. Entahlah, aku mulai merasa tak mengenali istriku sendiri. Dengan tangan menggaruk kepala yang tak gatal. Aku pun mulai memikirkan, apa ada yang salah dengan pertanyaanku. Tapi, aku rasa tak ada. Ini hanya karena Devi yang terlalu lebay saja. Benar sekali apa yang pernah ibu katakan. Jika Devi akan berubah wujud saat mendengar kata uang. Devi menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaanku. “Uang kemarin habis untuk membeli keperluan rumah tangga, Mas.”“Tapi ini bahkan masih kurang seminggu dari tanggal aku gajian, Devi,” sahutku yang tak mau percaya begitu saja dengan jawaban istriku. “Kamu ‘kan tau. Dapur kita ada dua,
“Apa benar kata Ibu?” Setidaknya itu hal pertama yang ada dalam pikiranku. Dengkuran halus Devi terdengar berat, seolah banyak sekali beban yang ia tanggung. Padahal dia hanya di rumah, mengurus rumah dan juga dua anak kami. Lalu, apa susahnya? “Padahal malam ini harusnya dia punya satu tugas terakhir,” keluhku yang merasakan pening di kepala dan juga rasa tak nyaman pada salah satu bagian tubuhku. Terpaksa kubaringkan tubuh, membelakangi Devi yang masih tertidur pulas. Meski badan pun merasakan lelah berkerja seharian, tapi tetap tak bisa terlelap meski berulang kali kucoba memejamkan mata. Srek! Kusibak selimut yang menutupi tubuh Devi hingga sampai sebatas lehernya. Dengan sedikit tenaga, aku tarik tubuh istriku agar merubah posisinya menjadi terlentang. “Apa sih, Mas?” Tak kusangka, Devi masih merespon meski hanya sebuah lenguhan dan suara lirih. “Bangun, Sayang. Kamu masih punya tugas lagi lho!” ucapku tepat di samping telinga Devi. Tak ada jawaban dari istriku, namun a
“Ini sudah kedua kalinya Mas menyamakan aku dengan seorang ja-lang. Lalu, apa Mas pikir aku akan diam saja?” Sorot mata Devi benar-benar tajam namun terlihat sedikit berkaca. Hal itu cukup membuatku berpikir, apa yang salah dari ucapanku. Sementara aku memang benar-benar hanya melanjutkan apa yang pernah kudengar. “Apa kau pikir, kau sudah menjadi suami sehebat itu. Sampai berani merendahkan aku yang masih berstatus istrimu ini?” Devi kembali berucap, namun kali ini nada suaranya penuh penekanan. “Aku ‘kan sudah bilang. Aku hanya menyampaikan, tanpa bermaksud merendahkan kamu, ngerti gak sih?!” ujarku mulai frustasi.Akhir-akhir ini, Devi kerap kali menolak untuk melakukan hubungan suami istri. Dengan alasan capek dan lain sebagainya. Kini semua alasan itu membuatku muak dan jengah. Aku masih laki-laki normal dan sehat. Aku tak bisa memendam hasrat selama itu. “Begitukah? Lalu bagimu, statement yang kau berika
“Apa Ayah akan memarahi dan memukul Ibu lagi?” Roni bertanya kepada Yogi, ayahnya. Anak usia 7 tahun tersebut tentu masih belum lupa akan apa yang terjadi pada sang ibu beberapa saat lalu. “Ayah mukul Ibu?” tanya Rayyan, anak sulung Yogi dan Devi, yang kini sudah bangkit dari duduknya. Matanya menatap lurus pada sang ayah, bergantian pada sang ibu. Setelah merasa tak mendapat jawaban apa-apa, akhirnya Rayyan menatap pada sang adik yang kini masih duduk di sampingnya. “Jawab Kakak, Dek. Ayah mukul Ibu?” Rayyan kembali mengulangi pertanyaannya pada sang adik. Berharap bocah kecil itu menjawabnya. Roni menoleh pada sang kakak, manik matanya berkaca dan tampak bergetar ketakutan. Melihat hal tersebut, tangan Rayyan pun terulur dan mengelus pundak sang adik, “Dek, kamu gapapa?” Bukan menjawab, Roni justru memeluk tubuh Rayyan dengan erat. “Kak, tolongin Ibu. Roni gak mau Ayah mukul Ibu lagi.” Devi tak bisa berka
“A-apa maksud kamu, Nak?”Yogi merasa kesulitan untuk menjawab apa yang diucapkan oleh Rayyan. Lidahnya seolah kelu, bahkan suaranya tercekat di tenggorokan. Anak sulungnya itu berhasil membuat laki-laki 38 tahun tersebut mati kutu, karena tertampar dengan kenyataan yang baru saja diungkap oleh Rayyan. Sebagai seorang kepala keluarga, Yogi seharusnya bisa menjaga keutuhan keluarga. Tetapi kenyataannya, ia tidak dapat melakukannya. Dan dirinya pulalah yang menjadi sumber masalah dari semua ini.“Maafkan Ayah, Nak. Ayah mungkin memang sering bertindak bodoh dan menyakitimu. Ayah janji akan memperbaiki semuanya.” Matanya beralih menatap sang istri yang masih tampak diam, kemudian ia melanjutkan. “Benarkan, Dev?”Merasa tak ada respon berarti, kini Yogi berjalan mendekat ke arah kedua anaknya. “Ayah janji. Ayah akan berubah dan tak akan mengulanginya lagi, Nak. Ayah janji. Dan Ayah sangat berterima kasih dengan sika