“Kamu nanya, Mas?”“Iya, apa salahnya?”“Perlukah aku buatkan nota catatan untuk semua pengeluaran rumah ini?”_______Beragam alasan selalu dilayangkan Devi saat aku mencoba bertanya, apa uang bulanan yang kuberikan sudah habis? Dan habis untuk apa? Itu pertanyaan normal, bukan?”Cetak! Sebuah buku nota kecil digeletakkandi atas meja makan, dengan kasar oleh Devi. Aku yang sedang menikmati kopi buatannya seketika membeku. “Itu semua pengeluaran kita sebulan ini! Silahkan dicek!” ucapnya kemudian berlalu pergi begitu saja. Biasanya, wanita yang masih sah menjadi istriku itu selalu menemani aku makan. Tapi, akhir-akhir ini ia seringkali sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang ia kerjakan. Akhirnya, aku hanya bisa menghela nafas kasar dan makan malam seorang diri. Ditemani nyamuk dan suara denting sendok. Hingga beberapa saat berlalu, malam yang dingin membangunkan sesuatu yang terlihat. Membuatku bangkit dan mencari keberadaan istriku tersebut. “Dev,” panggilku lirih, sebab Devi ru
“Apa?” tanya Devi, istriku. Kemudian ia kembali melanjutkan, “Apa Mas lupa, berapa jatah bulanan yang Mas kasih?”“Nggak, kok. Mas inget,” ucapku berkilah. Namun sejurus kemudian langsung ditimpali oleh Devi, “Inget? Yakin?”“Yakin, kok. Lagian Mas cuma nanya, uang yang kemarin dikemanain? Itu aja kok,” ucapku sambil menatap Devi yang kini berwajah datar. Entahlah, aku mulai merasa tak mengenali istriku sendiri. Dengan tangan menggaruk kepala yang tak gatal. Aku pun mulai memikirkan, apa ada yang salah dengan pertanyaanku. Tapi, aku rasa tak ada. Ini hanya karena Devi yang terlalu lebay saja. Benar sekali apa yang pernah ibu katakan. Jika Devi akan berubah wujud saat mendengar kata uang. Devi menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaanku. “Uang kemarin habis untuk membeli keperluan rumah tangga, Mas.”“Tapi ini bahkan masih kurang seminggu dari tanggal aku gajian, Devi,” sahutku yang tak mau percaya begitu saja dengan jawaban istriku. “Kamu ‘kan tau. Dapur kita ada dua,
“Apa benar kata Ibu?” Setidaknya itu hal pertama yang ada dalam pikiranku. Dengkuran halus Devi terdengar berat, seolah banyak sekali beban yang ia tanggung. Padahal dia hanya di rumah, mengurus rumah dan juga dua anak kami. Lalu, apa susahnya? “Padahal malam ini harusnya dia punya satu tugas terakhir,” keluhku yang merasakan pening di kepala dan juga rasa tak nyaman pada salah satu bagian tubuhku. Terpaksa kubaringkan tubuh, membelakangi Devi yang masih tertidur pulas. Meski badan pun merasakan lelah berkerja seharian, tapi tetap tak bisa terlelap meski berulang kali kucoba memejamkan mata. Srek! Kusibak selimut yang menutupi tubuh Devi hingga sampai sebatas lehernya. Dengan sedikit tenaga, aku tarik tubuh istriku agar merubah posisinya menjadi terlentang. “Apa sih, Mas?” Tak kusangka, Devi masih merespon meski hanya sebuah lenguhan dan suara lirih. “Bangun, Sayang. Kamu masih punya tugas lagi lho!” ucapku tepat di samping telinga Devi. Tak ada jawaban dari istriku, namun a
“Ini sudah kedua kalinya Mas menyamakan aku dengan seorang ja-lang. Lalu, apa Mas pikir aku akan diam saja?” Sorot mata Devi benar-benar tajam namun terlihat sedikit berkaca. Hal itu cukup membuatku berpikir, apa yang salah dari ucapanku. Sementara aku memang benar-benar hanya melanjutkan apa yang pernah kudengar. “Apa kau pikir, kau sudah menjadi suami sehebat itu. Sampai berani merendahkan aku yang masih berstatus istrimu ini?” Devi kembali berucap, namun kali ini nada suaranya penuh penekanan. “Aku ‘kan sudah bilang. Aku hanya menyampaikan, tanpa bermaksud merendahkan kamu, ngerti gak sih?!” ujarku mulai frustasi.Akhir-akhir ini, Devi kerap kali menolak untuk melakukan hubungan suami istri. Dengan alasan capek dan lain sebagainya. Kini semua alasan itu membuatku muak dan jengah. Aku masih laki-laki normal dan sehat. Aku tak bisa memendam hasrat selama itu. “Begitukah? Lalu bagimu, statement yang kau berika
“Apa Ayah akan memarahi dan memukul Ibu lagi?” Roni bertanya kepada Yogi, ayahnya. Anak usia 7 tahun tersebut tentu masih belum lupa akan apa yang terjadi pada sang ibu beberapa saat lalu. “Ayah mukul Ibu?” tanya Rayyan, anak sulung Yogi dan Devi, yang kini sudah bangkit dari duduknya. Matanya menatap lurus pada sang ayah, bergantian pada sang ibu. Setelah merasa tak mendapat jawaban apa-apa, akhirnya Rayyan menatap pada sang adik yang kini masih duduk di sampingnya. “Jawab Kakak, Dek. Ayah mukul Ibu?” Rayyan kembali mengulangi pertanyaannya pada sang adik. Berharap bocah kecil itu menjawabnya. Roni menoleh pada sang kakak, manik matanya berkaca dan tampak bergetar ketakutan. Melihat hal tersebut, tangan Rayyan pun terulur dan mengelus pundak sang adik, “Dek, kamu gapapa?” Bukan menjawab, Roni justru memeluk tubuh Rayyan dengan erat. “Kak, tolongin Ibu. Roni gak mau Ayah mukul Ibu lagi.” Devi tak bisa berka
“A-apa maksud kamu, Nak?”Yogi merasa kesulitan untuk menjawab apa yang diucapkan oleh Rayyan. Lidahnya seolah kelu, bahkan suaranya tercekat di tenggorokan. Anak sulungnya itu berhasil membuat laki-laki 38 tahun tersebut mati kutu, karena tertampar dengan kenyataan yang baru saja diungkap oleh Rayyan. Sebagai seorang kepala keluarga, Yogi seharusnya bisa menjaga keutuhan keluarga. Tetapi kenyataannya, ia tidak dapat melakukannya. Dan dirinya pulalah yang menjadi sumber masalah dari semua ini.“Maafkan Ayah, Nak. Ayah mungkin memang sering bertindak bodoh dan menyakitimu. Ayah janji akan memperbaiki semuanya.” Matanya beralih menatap sang istri yang masih tampak diam, kemudian ia melanjutkan. “Benarkan, Dev?”Merasa tak ada respon berarti, kini Yogi berjalan mendekat ke arah kedua anaknya. “Ayah janji. Ayah akan berubah dan tak akan mengulanginya lagi, Nak. Ayah janji. Dan Ayah sangat berterima kasih dengan sika
“Bye Ibu mertuaku sayang ....” Ibu dari Rayyan dan Roni tersebut kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya. Sama sekali tak memperdulikan panggilan dari sang suami, ibu mertua dan kakak iparnya. “Heh! Dasar mantu kurang ajar!” pekik Jubaedah yang tak suka dipermainkan oleh sang menantu. Kakinya dihentak-hentakkan keras pada lantai putih resto tersebut, persis seperti anak kecil yang tengah tantrum karena dilarang membeli mainan. “Liat itu! Apa seperti itu istri yang kamu bela?!” sinis Yessi pada sang adik. Matanya masih menatap tak suka pada Devi dan kedua anaknya yang kini sudah berada di luar resto. “Pokoknya Ibu gak mau tau! Kamu harus kasih paham sama istri bengal mu itu! Agar bisa lebih menghargai Ibu sebagai mertuanya!” Kini giliran Jubaedah yang merengek pada Yogi, anak laki-lakinya. Yogi menjambak rambutnya, pria itu tampak frustasi sekali dengan situasinya kini. “Sudahlah, Bu. Malu dilihat orang,” desis
“Lho kalian mau kemana?” tanya Yogi kemudian, saat melihat sang istri dan dua anaknya bersiap untuk pergi. Ditambah dengan dua koper yang dibawa oleh mereka, membuat mata Yogi terbelalak dan semakin merasa terkejut. “Hentikan mereka, Yogi!” Suara pekikkan Jubaedah kembali terdengar. Sontak kepala Yogi menoleh ke arah sang ibu yang kini tengah menunjuk ke arah istri dan kedua anaknya dengan telunjuk teracung sempurna. Alisnya bertaut menandakan ada pertanyaan yang tersirat dalam benak laki-laki itu. Sedetik kemudian Yogi menoleh ke arah anak dan istrinya yang masih berdiri bersisian. “Kalian mau kemana?” tanyanya. Roni terlihat mengeratkan gandengan tangannya pada tangan Devi. Sebab bayangan kejadian siang tadi masih berputar dalam ingatannya. Membuat bocah kecil itu merasa takut dengan ayahnya sendiri. “Aku mau bawa anak-anak, Mas,” jawab Devi singkat. Sejenak ia melirik ke arah Roni. Genggaman t