“Ini sudah kedua kalinya Mas menyamakan aku dengan seorang ja-lang. Lalu, apa Mas pikir aku akan diam saja?”
Sorot mata Devi benar-benar tajam namun terlihat sedikit berkaca. Hal itu cukup membuatku berpikir, apa yang salah dari ucapanku. Sementara aku memang benar-benar hanya melanjutkan apa yang pernah kudengar.“Apa kau pikir, kau sudah menjadi suami sehebat itu. Sampai berani merendahkan aku yang masih berstatus istrimu ini?” Devi kembali berucap, namun kali ini nada suaranya penuh penekanan.“Aku ‘kan sudah bilang. Aku hanya menyampaikan, tanpa bermaksud merendahkan kamu, ngerti gak sih?!” ujarku mulai frustasi.Akhir-akhir ini, Devi kerap kali menolak untuk melakukan hubungan suami istri. Dengan alasan capek dan lain sebagainya. Kini semua alasan itu membuatku muak dan jengah. Aku masih laki-laki normal dan sehat. Aku tak bisa memendam hasrat selama itu.“Begitukah? Lalu bagimu, statement yang kau berika“Apa Ayah akan memarahi dan memukul Ibu lagi?” Roni bertanya kepada Yogi, ayahnya. Anak usia 7 tahun tersebut tentu masih belum lupa akan apa yang terjadi pada sang ibu beberapa saat lalu. “Ayah mukul Ibu?” tanya Rayyan, anak sulung Yogi dan Devi, yang kini sudah bangkit dari duduknya. Matanya menatap lurus pada sang ayah, bergantian pada sang ibu. Setelah merasa tak mendapat jawaban apa-apa, akhirnya Rayyan menatap pada sang adik yang kini masih duduk di sampingnya. “Jawab Kakak, Dek. Ayah mukul Ibu?” Rayyan kembali mengulangi pertanyaannya pada sang adik. Berharap bocah kecil itu menjawabnya. Roni menoleh pada sang kakak, manik matanya berkaca dan tampak bergetar ketakutan. Melihat hal tersebut, tangan Rayyan pun terulur dan mengelus pundak sang adik, “Dek, kamu gapapa?” Bukan menjawab, Roni justru memeluk tubuh Rayyan dengan erat. “Kak, tolongin Ibu. Roni gak mau Ayah mukul Ibu lagi.” Devi tak bisa berka
“A-apa maksud kamu, Nak?”Yogi merasa kesulitan untuk menjawab apa yang diucapkan oleh Rayyan. Lidahnya seolah kelu, bahkan suaranya tercekat di tenggorokan. Anak sulungnya itu berhasil membuat laki-laki 38 tahun tersebut mati kutu, karena tertampar dengan kenyataan yang baru saja diungkap oleh Rayyan. Sebagai seorang kepala keluarga, Yogi seharusnya bisa menjaga keutuhan keluarga. Tetapi kenyataannya, ia tidak dapat melakukannya. Dan dirinya pulalah yang menjadi sumber masalah dari semua ini.“Maafkan Ayah, Nak. Ayah mungkin memang sering bertindak bodoh dan menyakitimu. Ayah janji akan memperbaiki semuanya.” Matanya beralih menatap sang istri yang masih tampak diam, kemudian ia melanjutkan. “Benarkan, Dev?”Merasa tak ada respon berarti, kini Yogi berjalan mendekat ke arah kedua anaknya. “Ayah janji. Ayah akan berubah dan tak akan mengulanginya lagi, Nak. Ayah janji. Dan Ayah sangat berterima kasih dengan sika
“Bye Ibu mertuaku sayang ....” Ibu dari Rayyan dan Roni tersebut kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya. Sama sekali tak memperdulikan panggilan dari sang suami, ibu mertua dan kakak iparnya. “Heh! Dasar mantu kurang ajar!” pekik Jubaedah yang tak suka dipermainkan oleh sang menantu. Kakinya dihentak-hentakkan keras pada lantai putih resto tersebut, persis seperti anak kecil yang tengah tantrum karena dilarang membeli mainan. “Liat itu! Apa seperti itu istri yang kamu bela?!” sinis Yessi pada sang adik. Matanya masih menatap tak suka pada Devi dan kedua anaknya yang kini sudah berada di luar resto. “Pokoknya Ibu gak mau tau! Kamu harus kasih paham sama istri bengal mu itu! Agar bisa lebih menghargai Ibu sebagai mertuanya!” Kini giliran Jubaedah yang merengek pada Yogi, anak laki-lakinya. Yogi menjambak rambutnya, pria itu tampak frustasi sekali dengan situasinya kini. “Sudahlah, Bu. Malu dilihat orang,” desis
“Lho kalian mau kemana?” tanya Yogi kemudian, saat melihat sang istri dan dua anaknya bersiap untuk pergi. Ditambah dengan dua koper yang dibawa oleh mereka, membuat mata Yogi terbelalak dan semakin merasa terkejut. “Hentikan mereka, Yogi!” Suara pekikkan Jubaedah kembali terdengar. Sontak kepala Yogi menoleh ke arah sang ibu yang kini tengah menunjuk ke arah istri dan kedua anaknya dengan telunjuk teracung sempurna. Alisnya bertaut menandakan ada pertanyaan yang tersirat dalam benak laki-laki itu. Sedetik kemudian Yogi menoleh ke arah anak dan istrinya yang masih berdiri bersisian. “Kalian mau kemana?” tanyanya. Roni terlihat mengeratkan gandengan tangannya pada tangan Devi. Sebab bayangan kejadian siang tadi masih berputar dalam ingatannya. Membuat bocah kecil itu merasa takut dengan ayahnya sendiri. “Aku mau bawa anak-anak, Mas,” jawab Devi singkat. Sejenak ia melirik ke arah Roni. Genggaman t
“Benarkah? Asiikk ….” Gadis itu berteriak girang, bahkan ia sampai melompat-lompat saking senangnya. “Liburan … Liburan, yes!” Mendengar kata liburan, mata Rossi sudah pasti langsung berbinar sempurna. Dengan cepat, gadis itu segera memeluk erat Yogi yang kini berdiri di hadapannya. “Makasih ya, Om. Rossi sayang Om Yogi!” Yogi tak menjawab namun dirinya hanya memberikan seuntai senyum sembari membalas pelukan dari keponakannya tersebut. Sedetik kemudian, gadis cilik itu segera mengurai pelukan dan mendongak, kemudian ia kembali bersuara, “Aku pulang ke rumah dulu ya, Om. Mau ngabarin Ibu biar siap-siap. Tungguin kami ya ….” Tak butuh waktu lama, gadis berambut panjang tersebut segera lari ke luar dan menuju ke rumahnya yang juga rumah Jubaedah. “Apa maksudmu mengatakan kalo kita mau pergi liburan, Dev?” tanya Yogi yang kini kembali menatap sang istri yang masih tersenyum simpul. “Ingatkah kau, Mas. Kapan kali terakhir kamu pe
“Nggak usah banyak drama kamu Devi!” tunjuk Jubaedah sengit pada menantunya itu. “Dan kamu juga, Yogi. Jangan terlalu bodoh karna cinta!” “Kalo dia mau pergi ya biarkan pergi! Jangan malah kamu halang-halangi. Kayak gak laku aja kamu, Gi!” “Kamu itu masih muda! Masih bisa cari istri yang lebih dari dia!” Repetan Jubaedah kembali terlontar, terdengar jelas jika wanita tua itu sengaja menjatuhkan Devi lebih jauh lagi. Namun ternyata …. Menantunya itu sama sekali tak peduli. Bahkan dengan santai Devi memutar mata malas dan mengabaikan ucapan sinis ibu mertuanya. Ia masih terfokus pada Yogi. Pria itu kini hanya diam, entah apa yang dipikirkan olehnya. Hingga suaranya kembali terdengar, “Apa tak ada pilihan lain, Dev?” “Aku rela, jika harus kau diamkan selama seminggu atau sebulan sekalipun. Tapi tidak dengan bercerai,” imbuhnya kemudian. “Tapi sayangnya, aku tetap memilih bercerai, Mas
“Udah biarin aja sih, Gi! Toh bapaknya sendiri yang mau bawa pulang si Devi. Jadi kamu gak perlu repot-repot anterin dia ke rumahnya!” Belum sempat Yogi melayangkan protes, sang ibu sudah lebih dulu menyela dan berhasil membuat Benyamin semakin murka. “Kalian benar-benar keluarga aneh! Teraneh dari yang pernah saya temui!” dengus Benyamin tak suka. “Jika seorang ibu membela anaknya itu dirasa lumrah. Tapi seorang suami yang tak bisa membela istrinya di depan orang tuanya, itu dikatakan pengecut! Banci!” tekan Benyamin tegas. “Heh!” tunjuk Jubaedah pada laki-laki yang masih menjadi besannya tersebut. “Jangan asal ngomong, ya! Pake ngatain anak orang segala!” “Lalu, sebutan apa untuk pria 38 tahun yang klemar klemer dan masih bersembunyi di ketek ibunya?” Benyamin menatap sinis pada Yogi yang masih membeku. “Lebih baik kau ganti pakaianmu itu dengan daster!” “Saya cukup salut dengan anda, Ibu Jubaedah!” Kini
“Tuhan, tolong jangan buat aku lemah. Setidaknya jangan sekarang,” lirih Devi. Kemudian ia tampak memejamkan matanya sejenak, bukan dirinya tak lagi mencintai Yogi. Tapi, cinta saja tak cukup. “Setelah ini, kita hanya orang asing yang terpaksa masih terikat karena anak.” Grep! Tiba-tiba Yogi memeluk Devi erat. Pria yang selama ini terlihat tegar dan tak pernah mengeluhkan apapun padanya, mendadak terlihat menjadi sosok yang berbeda. Devi tampak sedikit meronta, mencoba melepaskan pelukan dari laki-laki yang masih sah menjadi suaminya itu. Namun, gerakannya terhenti, kala suara parau Yogi terdengar. “Sebentar saja ….” “Ijinkan aku, sebentar saja, memeluk duniaku yang tak lama lagi akan menjadi asing.” Yogi tak memperdulikan gerakan tubuh Devi yang terlihat menolak. “Tolong lepaskan, Mas.” Devi mencoba menahan suaranya, agar tak terdengar parau. Sakit! Tentu sangat m
“Jadi, Tante Yessi sakit apa?”Roni, bocah delapan tahun itu, akhirnya tak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya. Sejak tadi, ia mendengar percakapan yang tak sepenuhnya ia pahami, namun bocah polos tersebut menangkap ada sesuatu yang besar sedang dibahas oleh orang-orang dewasa di ruangan itu.“Ibu... Tante Yessi sakit?” Roni mengulang pertanyaannya, kali ini menatap ibunya, Devi, dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.Devi menelan ludah, rasanya kering, seperti ada duri menyangkut di tenggorokannya. Sejujurnya, ia sendiri belum melihat Yessi sejak terakhir kali mereka menemukan wanita itu dalam kondisi memprihatinkan di rumah sakit. Sejak itu, ia lebih memilih menjaga jarak, takut jika keterlibatan emosionalnya kembali menguak luka lama.“Roni, mau nggak nengokin ibuku?” Suara Rossi memotong keheningan, membuat semua perhatian tertuju padanya. Wajah gadis itu terlihat lebih segar, meski tubuhnya masih kurus, membawa sisa-sisa dari beban b
"Kenapa kamu takut? Nenek nggak gigit, kok!"Selorohan Jubaedah terdengar canggung di telinga kedua anak Devi. Kata-kata yang seharusnya ringan justru menciptakan suasana yang makin tegang. Ruang tamu kafe yang mereka tempati mendadak sunyi, seolah udara terasa lebih berat.Rayyan meringis, melirik adiknya, Roni, yang mulai beringsut mundur, ekspresi wajahnya menyiratkan rasa cemas yang berusaha ia sembunyikan. Yogi, yang duduk di samping Jubaedah, ikut merasa kikuk. Tatapannya bergantian tertuju pada Jubaedah dan kedua anak laki-lakinya, mencoba mencari celah untuk mencairkan suasana.“Roni, santai aja, Ayah sama Nenek nggak jahat, kok,” Yogi mencoba tersenyum, berusaha meyakinkan.Roni hanya mengerjap, tetap diam, ekspresinya sulit diterjemahkan. Bayang-bayang masa lalu seakan menekan hatinya, menahan mulutnya untuk sekedar menyapa. Dibenaknya masih terlintas kenangan pahit—perkataan kasar, tatapan dingin, dan perlakuan tidak adil yang pernah di
“Tapi, Bu…” Roni mengeluh pelan, wajahnya tampak enggan. Kedua matanya menghindari tatapan ibunya, Devi, yang baru saja menyampaikan pesan dari ayah mereka. Devi mendesah panjang, memandang kedua putranya yang masih duduk di hadapannya dengan ekspresi serba salah. Beberapa hari yang lalu, mantan suaminya, Yogi, meminta waktu untuk bertemu dengan anak-anak mereka, yakni Roni dan Rayyan. Namun, ia tahu bahwa membujuk anak-anak, khususnya Roni, bukanlah perkara mudah. “Nak, bagaimanapun juga, dia tetap ayah kandung kalian,” ucap Devi berusaha lembut, meski nada suaranya mulai terasa putus asa. Ada perasaan bersalah yang selalu muncul setiap kali dia mengangkat topik ini. Hatinya teriris melihat bagaimana Roni, putra bungsunya, menunjukkan ekspresi menolak yang begitu kuat. Rayyan, putra sulungnya yang kini berusia sebelas tahun, menghela nafas panjang dan mengangguk pelan. Dia mengerti perasaan ibunya dan tampak lebih tenang darip
"Entah kenapa aku malah curiga sama keluarga mantan suamimu itu, Dev..."Suara Siska yang tegas memecah keheningan di ruangan toko bakery yang baru saja dibuka. Devi, yang sejak tadi terlihat melamun, tersentak mendengar kalimat itu. Ia menarik nafas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya yang seolah melayang-layang entah ke mana. Sudah beberapa hari sejak pertemuannya dengan Yogi, mantan suaminya, namun kata-katanya masih terngiang di kepala. Seperti duri yang tertinggal di luka lama, pertemuan itu membuka kembali ingatan tentang masa lalu yang tak ingin ia ingat.Devi menatap jalanan dari balik kaca toko bakery-nya, memandang kosong pada lalu lalang orang yang tak dikenalnya. Ia tampak letih, seolah banyak beban yang ia pendam sendiri. Pembukaan cabang baru toko roti miliknya dan tanggung jawab mengurus dua anak seorang diri. Hari ini adalah hari besar bagi Devi, namun bayangan masalah keluarga mantan suaminya seolah membayangi setiap langkahnya.
Suasana yang masih tenang di toko roti milik Devi seketika berubah menjadi penuh kecanggungan. Ruangan itu terasa lebih sesak meskipun hanya ada beberapa pengunjung yang tampak sibuk memilih kue di sudut ruangan. Devi sedang membantu Siska, sahabatnya, menyusun kue ke dalam etalase. Seolah Siska adalah pemilik toko tersebut, padahal justru sebaliknya. Mereka berbagi percakapan ringan tentang jenis kue yang baru tiba pagi itu.“Aku lebih baik membicarakan roti yang wangi ini, daripada membicarakan orang-orang yang masih ada hubungannya dengan keluarga mantan suamimu itu,” ucap Siska ditengah perbincangan. Namun, ketenangan itu mendadak pudar ketika pintu toko bakery berderit pelan, diikuti oleh langkah kaki seseorang yang masuk ke dalam. Devi berhenti bergerak, menatap sosok yang tidak asing itu. Berdiri di depan pintu dengan ekspresi ragu namun mantap, dia adalah Yogi, mantan suaminya. Untuk sesaat, Devi tertegun, seperti sedang berusaha memastikan apakah dirinya
“Bu Lilis, tolong, saya butuh penjelasan!” Devi menatap Lilis dengan pandangan memohon, sementara jemarinya tetap menggenggam lengan wanita itu erat.Lilis mengalihkan pandangan, wajahnya tampak resah. “Aku… aku sudah katakan, bukan. Kukatakan sekali lagi, Lisa meninggal karena overdosis!”“Jika hanya karena alasan kematian Lisa. Itu bukan alasan cukup untuk lari seperti pecundang, Bu!” Devi membalas, nada suaranya mulai meninggi. “Kalau memang Ibu tidak bersalah, kenapa harus takut? Apa ada hal lain yang Ibu sembunyikan?”“Devi, tolong jangan paksa aku…” Lilis mencoba menarik diri, tapi tangan Devi lebih kuat.“Tidak, Bu Lilis! Ibu tidak boleh lari dari semua ini. Lisa meninggal dengan kondisi yang… aneh. Semua orang membicarakan dia, dan jangan sampai mereka justru menuduh Ibu kalau Ibu lari seperti ini. Jika Ibu benar-benar peduli pada mendiang Lisa, jelaskan semuanya!” Devi menatap tajam, mencoba menahan rasa frustasi.Lilis
Devi tertegun, matanya membulat tak percaya ketika mendengar penuturan wanita paruh baya yang bertugas memandikan jenazah Lisa.“A-apa? Kenapa bisa sampai separah itu?” tanyanya dengan suara bergetar, mencoba mencerna kenyataan tragis yang disampaikan kepadanya.Wanita paruh baya di depannya, yang mengenakan kerudung lusuh, hanya bisa menggeleng pelan. “Saya juga kurang paham, Mbak Devi. Tapi, saat kami memandikan almarhumah… ya, memang kondisinya sudah begitu.” Suaranya bergetar, seakan-akan kata-kata itu membuatnya ngeri mengingat kembali apa yang ia lihat.Devi menutup mulutnya dengan tangan gemetar, seolah-olah ingin menahan rasa mual yang tiba-tiba menghantam dadanya. Matanya berair, dan ia mencoba membayangkan kondisi Lisa di akhir hidupnya. Bagaimana mungkin mantan adik madunya mengalami akhir yang begitu menyedihkan?“Sa-saya… saya tak bisa berkata-kata…” ucapnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.Di sisi Devi, Bu RT yang ikut mendengar penuturan tersebut terlihat terkejut.
“Li-lisa?”Handoko tergagap, tubuhnya kaku. Berita yang baru saja dikatakan oleh Devi membuat dirinya tak bisa berfikir jernih. Hingga beberapa saat kemudian… “Kapan, Devi? Dan.. darimana kamu tau kabar itu?” ucap Handoko lagi. “Mas Handoko… beneran gak tau kabar terakhir Lisa?”Suara Devi lirih namun tegas, menusuk di antara deru langkah mereka di koridor rumah sakit.“Aku bahkan tak tau apa-apa, Devi.”Jawaban Handoko terdengar datar, hampir tak terdengar, namun ia menatap Devi dengan tatapan tajam. “Aku memang meninggalkan dia tadi pagi, tapi.. Saat itu dia masih…”“Soal itu…”Devi berhenti sejenak, menarik napas, seolah-olah menunggu kata-katanya diserap penuh oleh Handoko. “Dia baru saja ditemukan tidak bernyawa, sekitar satu jam lalu.”Handoko membeku. Sorot matanya berubah, seolah kata-kata Devi baru saja menghantamnya dengan kenyataan yang selama ini ia hindari. “Kamu serius?”Devi mengangguk pelan. “Aku
“Kapan kejadiannya?” tanya Devi dengan nada khawatir. “Baru tadi sore, Mbak. Kemungkinan kami akan mengurusnya besok…” ucap seseorang dari seberang sana. Devi menganggukkan kepala, meski lawan bicaranya tak akan melihat apa yang ia lakukan. Sebuah ponsel masih menempel di telinga kanan Devi. Mantan istri dari Yogi tersebut tampak serius mendengarkan apa yang diucapkan oleh sosok nan jauh disana. “Kami bingung harus mengabari siapa dan kemana. Jadi, aku memutuskan mengabari Mbak Devi. Meski aku tau, mereka nggak ada sangkut pautnya dengan Mbak…”“Ya sudah tak apa,” ucap Devi, merespon lawan bicaranya. Namun, manik mata wanita itu tampak melirik sekilas ke arah mantan kakak iparnya. “Aku tak bisa menjanjikan apapun, tapi aku akan mengusahakannya. Aku tau apa yang bisa kulakukan.”“Makasih ya, sudah mengabariku,” imbuh Devi yang kemudian langsung dijawab oleh sosok di seberang sana. Berikutnya, wanita berambut panjang itu segera