“Ini Sekar kekasihku.”
Dari sekian banyak wanita yang bisa menjadi pacar suaminya kenapa harus wanita ini. tidak cukupkah luka yang wanita ini torehkan pada keluarganya dulu? Alisya tak mungkin salah mengenali orang, meski penampilannya sudah dipoles sana sini sedemikian rupa, tapi senyum dan wajah lembut penuh tipu muslihat itu tak akan pernah dia lupakan. Dan sepertinya Sekar menyadari siapa dirinya tapi seperti yang sudah Alisya kenal bertahun-tahun yang lalu, Sekar adalah orang sangat pandai menjaga raut wajahnya, dan itu yang membuatnya berbahaya. Alisya tahu ini sudah sangat terlambat, tapi bertemu dengan wanita ini membuatnya bukan hanya merasakan rasa sakit tapi juga amarah. “Halo Alisya.” Alisya masih menggenggam tangannya kuat berusaha menguasai dirinya saat wanita itu berjalan mendekatinya dan mengulurkan tangan dengan senyum terkembang. “Halo, kamu pasti sudah tahu siapa aku, meskipun itu tak menyurutkan langkahmu untuk memilki suamiku.” Alisya sendiri terkejut dia mampu berbicara seperti itu, tapi tentu saja dia tidak akan menarik ucapannya, dia hanya mengatakan fakta tidak ada yang salah bukan. “Bukankah cinta memang membutuhkan pengorbanan, dan aku siap berkorban untuk cintaku yang begitu besar untuk Pandu.” Cinta? Dia memang tidak memiliki itu, tapi haruskah dia menyerah dengan semua ini, dia adalah istri Pandu yang sah dimata hukum dan agama, tidak ada yang bisa menyangkal hal itu. Alisya tersenyum miris, apalagi saat Pandu dengan senyumnya menyambut uluran tangan itu, tidakkah mereka sedikit saja memiliki rasa malu? “Aku akan menikahi Sekar,” Pandu mengatakannya dengan tenang, dia bahkan tak perduli dengan perasaan Alisya. Alisya menatap Pandu dengan tatapan tak percaya, benarkah dia masih Pandu laki-laki baik hati dan bertanggung jawab yang membuatnya kagum, kenapa sekarang seolah sosok yang dikenalnya dulu telah mati. Dia tidak ingin menangis dihadapan mereka, Alisya tak ingin memperlihatkan kesedihannya. Alisya menarik napas panjang sebelum mengangguk lalu segera memutar kursi rodanya. “Al, tunggu.” Alisya mendengar panggilan itu tapi dia sama sekali tidak ingin menoleh dia tak akan sanggup menatap pertunjukan kemesraan dua orang itu. Dia sadar dia hanya wanita yang tak diinginkan kehadirannya, Pandu harus bertanggung jawab karena menyebabkan kakinya lumpuh. Dan pernikahan mereka terjadi karena desakan orang lain, meski Alisya akui kalau dia sudah lama menyimpan rasa untuk laki-laki itu saat masih bekerja di perusahaan yang sama. Semula Alisya ingin kembali ke kamarnya, tempat paling nyaman di rumah ini yang membuatnya terhindar dari pandangan meremehkan ataupun kasihan semua orang, tapi dia sedang tidak ingin ke sana, dia terus mengarahkan kursi rodanya ke halaman belakang yang sepi. Para pelayan rumah ini masih sibuk mempersiapkan hidangan untuk nanti malam. Ulang tahunnya. Akan tetapi sekarang Alisya tak yakin lagi mungkin ini memang momen yang disiapkan Pandu untuk menyambut kekasihnya. Alisya menengadahkan kepalanya, dia tak tahu kepada siapa lagi dia harus berkeluh kesah, dia merasa sendiri sekarang tanpa ada seorang pun yang bisa menolong. Ketulusan dan pengorbanannya ternyata berbuah pengkhianatan. Tanpa sadar air mata mengalir ke pipinya, tapi suara langkah di belakangnya membuat Alisya menelan kembali tangisnya. Dia tidak ingin terlihat lemah, meski dia tahu keadaannya memang menyedihkan. “Kenapa datang kemari bukan ke kamar?” Alisya tak perlu menoleh karena dia hapal betul suara siapa itu. tapi dia juga tidak memiliki keinginan untuk menjawab pertanyaan basa basi itu. Alisya mendongak tak ingin terlihat lemah, dia menatap mata Pandu dengan berani “Kenapa mas membawanya kemari?” tanyanya. “Ini rumahku.” Ada nada tegas dalam suaranya yang membuat Alisya langsung tersentak kaget. Benar ini memang rumah Pandu, dia sama sekali tidak berhak ada di sini andai peristiwa itu tak terjadi. “Aku tahu, karena itu aku pergi,” jawab Alisya dengan pahit. Pandu menatap Alisya dengan kesal. “Apa kamu tidak pernah diajari sopan santun, sikapmu membuat Sekar merasa tak diharapkan.” Alisya hanya bisa tersenyum getir mendengar ucapan Pandu. Itu hinaan luar biasa kejam untuk wanita yang sedang berusaha mempertahankan pernikahannya. Kalimat itu seperti anak panah yang langsung menusuk jantungnya, begitu sakit dan membuatnya sekarat. Selama ini Alisya tahu kalau Pandu memang tidak mencintainya tapi dia sama sekali tidak menyangka laki-laki itu akan menghadirkan wanita lain dalam pernikahan mereka. “Sejak kapan mas berhubungan dengannya?” tanyanya dengan suara tercekat. Pandu mengangkat alisnya. “Apa itu penting?” tanyanya tak peduli. Alisya mengangguk. “Setidaknya jika aku tahu lebih awal pernikahan ini tak perlu terjadi.” Alisya tahu dia dulu memang terlalu naif, menerima begitu saja saat Pandu menikahinya sebagai bentuk tanggung jawab karena kecelakaan itu. Rasa cinta yang diam-diam dia punya untuk Pandu membuatnya tak berpikir panjang. Sosok yang begitu dia kagumi dan selalu menghiasi mimpi-mimpinya. “Kamu tidak lupa bukan kalau ibumu membutuhkan biaya yang sangat besar.” Alisya langsung melengos. Itu ancaman yang tidak bisa Alisya abaikan. Ibunya adalah satu-satunya orang yang dia miliki sekarang ini, dan dia tidak akan sanggup jika sesuatu yang buruk terjadi padanya. “Aku tak akan lupa, tapi aku tidak bisa memaksa orang bersamaku jika dia tidak mau,” kata Alisya, dia menghela napas panjang lalu meneruskan meski dengan hati luar biasa sakit.“Jika ini tentang kakiku yang lumpuh, aku bisa mengatasinya, mas tidak perlu merasa bersalah.” “Bukankah ini memang yang kamu inginkan,” Kata Pandu dengan senyum meremehkan. “Kamu pernah bilang mencintaiku atau ini hanya soal uang?” Salah satu alasannya menikah dengan Pandu memang uang bukan, dia bahkan merasa tak mampu lagi membiayai pengobatan ibunya. Meski cinta tulusnya untuk Pandu tentu saja bukan sebuah kebohongan. “Jika yang aku inginkan adalah uang apa mas akan melepasku?” tanya Alisya dengan tegar, kehadiran wanita lain membuatnya mati rasa, dia hanya ingin melepaskan semuanya untuk kesehatan mentalnya tapi dia juga butuh uang untuk pengobatan ibunya. Alisya bahkan tidak peduli jika setelah ini Pandu berpikir dulu dia sengaja menghadang mobil laki-laki itu dan menyebabkan kecelakaan. Seperti tuduhan Pandu selama ini. “Tidak kusangka kamu selicik ini.” Alisya mengangguk, dia sudah menduga tapi sekarang tak peduli lagi. Kesembuhan ibunya adalah yang utama. “Mas hanya perlu memberiku uang untuk pengobatan ibuku dan aku akan pergi dari sini.” Pandu langsung melotot dia terlihat sangat tidak suka dengan ucapan Alisya. “Kamu akan tetap menjadi istriku suka atau tidak.” Alisya menatap Pandu dengan kaget, ini sangat tidak masuk akal. “Aku akan menambah uang bulanan untukmu, dan juga memindahkan ibumu ke rumah sakit yang lebih baik asal kamu tidak berbuat macam-macam.” Alisya langsung menatap Pandu dengan seksama, itu memang penawaran yang sangat menarik, tapi dia sudah belajar banyak hal untuk tidak langsung mempercayai madu yang ditawarkan Pandu. “Ah ternyata kalian di sini.” Keduanya langsung menoleh. Pandu langsung tersenyum pada Sekar dan berniat mendekati wanita itu tapi Sekar langsung berjalan ke arah Alisya dan memeluknya. “Aku baru tahu kalau hari ini hari ulang tahunmu, Al. Selamat ulang tahun ya.” Alisya duduk kaku di kursi rodanya, dia tidak membalas pelukan Sekar, hatinya terlalu sakit tapi yang membuat Alisya marah adalah bisikan wanita itu. “Ternyata kamu sama saja dengan ibumu hanya orang buangan.” Kali ini Alisya tak sanggup lagi menahan emosinya, tangannya langsung mendorong tubuh Sekar dan menampar pipi wanita itu dengan keras. “Alisya!”“Beraninya kamu menyakiti kekasihku.” Pandu menatap Alisya dengan dingin.Laki-laki itu langsung meraih Sekar dalam pelukannya dan memeriksa pipi dan juga semua bagian tubuh dengan sangat khawatir, membuat Alisya hanya bisa menggigit bibirnya getir. Ada rasa takut dalam hatinya karena tak pernah melihat Pandu semarah itu.Alisya memang dibesarkan dengan kesederhanaan oleh kedua orang tuanya bahkan setelah ayahnya meninggal mereka bisa dikatakan kekurangan tapi tak pernah ada perlakukan kasar dan bentakan meski mereka mendidknya dengan sangat keras tapi saat dia menikah kata-kata kasar penuh hinaan itu sudah menjadi makanannya sehari-hari. Bukan hanya dari Pandu suaminya tapi juga dari keluarga laki-laki itu bahkan para pelayan yang bekerja di rumah ini. Biasanya Alisya hanya diam saja dan hanya menunduk kemudian pergi dari sana, menganggap itu adalah bagian dari resiko. Akan tetapi kali ini dia tak bisa terima Sekar telah menghina ibunya. Dia tidak pernah memiliki hutang budi pada
Wajah pucat dan mata sembab.Itulah yang dilihat Alisya dari sosok dalam pantulan cermin. Dia ingin tetap di dalam kamar dan tidak usah menghadiri pesta itu, tapi dia tidak bisa mengabaikan ancaman Pandu. Alisya tak menyangka bahwa banyak orang yang hadir untuk menghadiri pesta ulang tahunnya, tapi dia bahkan tak tahu siapa saja yang diundang. Dia memang pemeran utama dalam pesta ini tapi dia merasa seperti tamu yang tak diundang, begitu menyedihkan.Tentu saja ini pesta untuk Sekar, wanita yang dicintai Pandu.Alisya mengedarkan pandangannya tak terlihat Pandu atau keluarganya dimanapun. Bahkan Sekar juga tak ada diantara tamu yang tak semua Alisya kenal. “Aku tidak tahu apa yang membuatmu betah duduk di kursi menyedihkan itu?” Alisya yang semula sibuk mengedarkan pandangan mencari keberadaan Pandu langsung menoleh dan menemukan laki-laki yang menatap sinis padanya. Pramudya Setiaji, sahabat Alisya, mereka sudah mengenal sejak SMA, ayah Pram adalah salah satu rekan bisnis ayah
Alisya bukan batu dia manusia yang memiliki perasaan. Dia juga seorang istri yang sama sekali tidak diharapkan dan diperlakukan begitu kejam. “Aku akan memberikan perawatan terbaik untuk ibumu setelah kamu melakukan ini.” Alisya menelan kembali tangisnya. Ibunya... benar wanita yang sangat dia sayangi itu saat ini sedang berjuang melawan penyakit yang menggerogotinya. Alisya tak akan sanggup bila harus kehilangan wanita itu. Ayahnya sudah berpulang terlebih dahulu dengan cara yang tak sanggup lagi dia ingat, dan sekarang ibunya adalah satu-satunya hal berharga yang dia miliki di dunia ini. Selama ini orang tuanya sudah membesarkannya dengan sangat baik meski dalam keterbatasan. Jika nyawa itunya bisa dipertahannya dengan rasa sakit hatinya... Alisya ikhlas menerimannya. “Aku mengerti terima kasih, mas. Aku sangat berharap ibuku akan segera sembuh.” Alisya tersenyum meski hatinya sangat pedih, sejenak dia menatap wajah rupawan Pandu yang sangat dia kagumi, untuk terakhir kalinya
“Biar aku bantu.” Alisya langsung mendongak, saat melihat siapa yang bicara dia tak bisa lagi menyembunyikan air matanya. Di saat semua orang sedang memperhatikan Sekar dan Pandu di sana, diam-diam Alisya menyingkir. Perannya sudah selesai dan waktunya dia turun panggung. Akan tetapi panggung ini tentu saja tidak didesain untuknya, wanita cacat yang harus menggunakan kursi roda, sebuah bukti nyata lagi bahwa semua ini memang bukan untuknya. Dan Alisya tentu saja kesulitan untuk turun sendiri.“Aku tahu kamu memang bodoh tapi tidak aku sangka kamu sebodoh ini,” komentar laki-laki itu lagi.Mulut Alisya langsung terkunci, itu kenyataan yang memang tak bisa dia sangkal. Senyum getir menghiasi bibirnya.Meski terlihat luar biasa kesal tapi perlahan laki-laki itu membantu Alisya menurunkan kursi rodanya dari atas panggung dengan hati-hati. Saat telah ada di bawah panggung Alisya menoleh sejenak pada Pandu dan Sekar yang masih tamp
“Fokuslah pada tujuanmu dan lupakan perasaanmu.” Kalimat Pram sebelum laki-laki itu pamit pulang masih menggema di kepala Alisya dan makin membuatnya tak bisa memejamkan mata meski tubuhnya lelah luar biasa. Pesta sudah berakhir satu jam yang lalu, aktifitas membersihkan sisa pesta juga sudah mulai berkurang berisiknya. Alisya memang langsung kembali ke kamar setelah berbicara dengan Pram, pesta yang diadakan di halaman depan membuatnya leluasa untuk kembali ke kamar lewat pintu belakang. Alisya bahkan tak memiliki keinginan sedikit pun untuk beramah tamah dengan orang tua Pandu, dia bahkan tidak peduli jika dikatakan tidak sopan. Sejak kembali yang dia lakukan hanya mengurung diri dalam kamar dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri apa dia mampu untuk menjalani hari ke depan sebagai istri pertama yang sama sekali tak dianggap oleh suaminya? Wanita itu masih sibuk menatap rimbun pohon di balik jendela kamarnya saat pintu kamarnya terbuka dan kemudian menutup lagi dengan keras.
Para pelayan langsung menyingkir ke belakang begitu Pandu menggebrak meja makan dengan keras. Alisya sempat melihat nomer asing yang menghubunginya, dia menghafalnya dengan baik itu nomer ponsel Pram. “Apa karena laki-laki ini kamu meminta cerai dariku?” tanya Pandu dengan suara mendesis. Alisya tahu Pandu marah padanya tapi tidak pernah menyangka laki-laki itu akan mengatakan hal konyol seperti itu. Bukankah Pandu yang berselingkuh dan menghamili kekasihnya kenapa sekarang dia yang jadi tersangka. Sungguh Alisya tak habis pikir dengan cara kerja otak laki-laki yang masih saja bertahta di hatinya meski sudah banyak menimbulkan luka. Alisya menatap wajah Pandu dengan seksama, laki-laki ini tidak pernah bersikap baik padanya semenjak mereka menikah tapi kenapa dia masih saja mencintainya. “Dia hanya temanku,” jawab Alisya, tangannya meremas satu sama lain berusaha mengurangi rasa sakit yang ada dalam hatinya, baik karena tuduhan Pandu dan juga saat mengingat Sekar. Pandu menatap A
Kenapa laki-laki ini harus mendatanginya ke kamar? Bu Titin tahu itu artinya tak butuh waktu lama Pandu juga akan tahu.Alisya tahu dia tidak melakukan kesalahan apapun, tapi Pandu dan orang-orang yang tidak menyukainya di rumah ini pasti membuatnya seperti melakukan kejahatan besar. Masalah Pram tadi pagi saja membuatnya kehilangan ponselnya, dia tidak tahu apa yang akan dilakukan laki-laki itu jika tahu hal ini. “Oh bu Titin,” kata laki-laki yang dipanggil Lan dengan sopan dan tenang, tidak ada kekhawatiran sama sekali di wajahnya. Apa laki-laki ini benar-benar tidak mengerti apa yang akan terjadi nanti, terutama untuk Alisya? Bu Titin tidak menggubris laki-laki itu tapi dia menatap Alisya dengan pandangan mengejek. “Anda ternyata sudah berani memasukkan laki-laki lain ke kamar anda Nyonya.” “Apa maksud bu Titin adalah saya?” tanya laki-laki itu lagi ada riak di wajahnya saat mendengar perkataan bu Titin. Alisya
“Ayo pikir! Ayo... apa akalku sekarang!” Alisya memukul-mukulkan tangannya pelan pada kursi rodanya. Dia terbiasa mandiri dan sejak kehilangan sang ayah, ibunya yang dulunya hanya ibu rumah tangga harus mengambil alih peran sang ayah untuk mencari nafkah setelahnya. Dan Alisya tak tega ketika harus merengek pada sang ibu yang selalu kelihatan lelah sepulang kerja. Otaknya yang cerdas sangat membantu sekali dalam pendidikannya, dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang sarjana dan berhasil lulus dengan presikat sangat memuaskan. Itulah yang mengantarkannya mendapatkan undangan kerja dariperusahaan milik keluarga Pandu. Perusahaan multinasional yang bergerak dibidang makanan ringan. Dengan otak cerdasnya Alisya berhasil medapatkan jabatan yang lumayan mentereng di bagian keuangan, bagian yang paling basah pada sebuahperusahaan. Gaji yang diterima Alisya juga cukup besar untuk membiayai kehidupannya dan sang ibu, apalagi mereka bukan pribadi yang gemar berf
Laras terbangun di pagi hari dengan semangat yang baru. Pagi ini memang mendung, tapi tak membuat suasana hatinya muram seperti sebelumnya. Berita yang dia dengar malam tadi tanpa sengaja membuatnya optimis pelaku pembunuhan ayah mertuanya akan segera tertangkap. Bukan ayahnya tentu saja, Laras sangat yakin akan hal itu. Polisi yang tadi malam datang ke rumah ini mengatakan kalau tidak ada pembelian racun oleh ayah Laras, dan Pram meminta penyelidikan ulang kenapa ayahnya bisa minum racun itu. Setidaknya ada harapan, ayahnya akan terbebas dari tuduhan itu. Dia ingin berterima kasih secara layak pada Pram dengan cara memasakkan makanan kesukaan laki-laki itu, dia bahkan melupakan fakta kalau ibu tiri Pram sangat rajin membuatkan sarapan untuk Pram dan rasanya tentu saja jauh lebih enak dari pada buatannya. “Clara belum bangun?” tanya Laras pada salah satu pembantu yang biasa membantu Clara membuat sarapan. “Belum, nyonya.” Laras tahu di belakangnya para pembantu rumah ini juga
“Kamu yakin akan membiarkannya? Kamu tahu ucapannya itu cukup masuk akal. Dan yang lebih penting dia tidak bersalah.” Pram masih mondar-mandir di ruang kerjanya, ini hari terakhir dia akan ada di sini, setelah ini dia akan memimpin kantor pusat perusahaan keluarganya. Menggantikan sang ayah. Sedangkan Aris sang asisten sekaligus sahabatnya, hanya duduk diam menatap laki-laki itu datar.Pram pikir dia masih akan lama menggantikan sang ayah. Meski terkenal playboy dan suka kawin cerai sang ayah adalah pembisnis yang sangat handal, dia merasa belum banyak belajar dari sang ayah. Kesedihan ini, bukan hanya karena sang ayah yang membagikan semua pengetahuannya padanya, tapi karena beberapa bulan terakhir ini mereka terlibat perang dingin dan itu semua karena wanita. Pram tidak habis pikir kenapa dia bisa setolol itu, biasanya dia yang mengendalikan para gadis yang mengejarnya, dia merasa sudah sangat tahu bagaimana cara mengatasi mereka, tapi lagi-lagi dia salah. Clara adalah anomali
"Apa menurutmu itu tidak aneh?"Alisya menatap Laras dengan seksama, dia memang sengaja datang berkunjung ke kediaman Pram selain untuk memberi dukungan dan bela sungkawa pada sahabatnya itu juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pertemuan terakhir Alisya dengan pasangan itu, dia merasa sangat optimis hubungan keduanya akan semakin membaik meski dulu dia tidak yakin kalau keduanya saling mencintai seperti yang mereka katakan. Akan tetapi dengan peristiwa ini hubungan kedua sahabatnya itu berada di ujung tanduk, sebagai sahabat Alisya tentu ingin kalau hubungan keduanya akan bahagia. "Memang sih ada yang aneh menurutku," gumam Alisya. "Tapi yang terpenting sekaraang kita harus bisa memecaahkan kenapa ayah Pram minum racun di rumah ayahmu, apa kamu sudah bertemu dengan ayahmu? apa dia mengatakan ada orang lain di sana atau-" "Atau apa?" tanya Laras karena Alisya langsung terdiam dan berpikir keras. "Atau sebenarnya racun itu digunakan oleh seseorang untuk membunuh ayahmu, ta
"Ini tidak adil! Pasti ada yang salah!" Laras membeku ditempatnya saat melihat Clara yang biasanya anggun dan sombong kini memakinya dengan kalimat yang bahkan tidak pernah dia bayangkan keluar dari mulut wanita berpendidikan, bukan hanya dirinya bahkan wanita itu berusaha menyerang pengacara berwajah masam yang tadi membacakan surat wasiat mertuanya. Sungguh dia sama sekali tak menyangka kalau sang mertua akan melakukan ini semua. Semua hartanya memang jatuh ke tangan Pram sebagai ahli waris utama keluarga ini memang, tapi sebagai istri sah ayah Pram, mungkin Clara berharap dia juga mendapat warisan juga meski tak sebanyak Pram, tapi ternyata dia sama sekali tidak mendapatkan apapun selain diperbolehkan tinggal di rumah ini seperti biasa dan mendapat uang saku bulanan sebesar lima puluh juta sebulan. Bagi Laras mungkin jumlah itu lebih dari cukup bahkan dia bisa menabung uang itu untuk membeli rumah di pinggir kota dan memulai usaha, tapi Clara yang biasa hidup hedon tentu uang
“Apa memang mereka sengaja melakukannya?” Menunggu momen yang tepat untuk memperlihatkan kalau mereka adalah pasangan yang serasi di depannya. Laras tahu kalau selamanya Pram dan Clara tak mungkin bisa bersatu, tapi zaman sekarang apapun bisa dilakukan demi sebuah tujuan yang ingin dicapai. Bahkan menggoda anak tirinya sendiri. Clara jelas menyadari kehadiran Laras, dia bahkan dengan tidak tahu malunya menempelkan bagian depan tubuhnya pada lengan Pram. Rasa cemburu berubah menjadi jijik, jika memang mereka saling menginginkan dia akan dengan senang hati mengundurkan diri, rasa cintanya pada Pram belum terlalu dalam jadi dia tidak akan butuh usaha keras untuk melupakan laki-laki itu. Dia tidak sudi dijadikan tameng untuk dua orang ini berbuat sesukanya. Laras berjalan tenang menuju dapur mengambil peralatan makan untuk dirinya sendiri, dan mulai makan dalam diam seolah dua mahluk di depannya itu tidak ada di sana
“Untuk apa kamu nekad datang kemari.” Dingin dan menusuk, itulah kata pertama yang didengar dari mulut sang suami setelah seharian ini jiwa dan raganya lelah dihajar kenyataan. Acara pengajian sang mertua baru saja usai dan para kerabat yang datang sudah meninggalkan rumah ini, ada memang beberapa yang tetap tinggal tapi tentu saja sudah masuk kamar yang telah disediakan. Laras bahkan tak tahu sebanyak apa kamar di rumah ini, tapi tentu saja itu sama sekali tidak penting untuknya karena Clara sudah mengatur semuanya, sangat detail dan mewah seperti pesta yang biasa Laras hadiri di rumah ini dulu, seolah kali ini juga acara biasa seperti yang biasa ada.Beberapa kerabat yang dulu dia tahu mencibir Clara karena lebih memilih ayah Pram dari pada Pram yang tunangannya sendiri, kini seolah berdiri terdepan untuk menguatkan wanita itu, bahkan dia melihat Pram memeluk Clara untuk menenangkannya. Laras tahu seharusnya dia tidak merasa marah atau sakit hati, mungkin saja Pram tak tega meli
“Pembunuh! Ini semua pasti rencanamu! Kalian orang rendahan! Pergi!” Laras terkejut saat tiba-tiba tubuhnya di dorong dengan keras, untung saja Aris yang ada di belakangnya sigap menahan tubuhnya. Clara berdiri di depan pagar dengan mata menatapnya penuh kebencian, sepertinya dia baru saja sampai rumah ini. Ambulance baru saja pergi kemungkinan wanita itu menyusul di belakang dengan mobil pribadi. Meski Laras tak melihat suaminya. “Sudah kubilang bukan, datang ke rumah ini bukan keputusan bijak,” bisik laki-laki itu tapi Laras menggeleng dan melepaskan tangan Aris dia bahunya. Dia menarik napas panjang, dia tidak bersalah. Dia tidak sudi diperlakukan seperti pesakitan dan meski ini masih perlu dibuktikan tapi Laras sangat yakin kalau ayahnya sama sekali tidak bersalah. Laras menatap istri ayah mertuanya itu ditarik paksa oleh beberapa orang yang mungkin kerabatnya. Berita kematian sang mertua itu dia terima sejam yang lalu tepatnya Aris yang mengatakan padanya saat dia masih ad
Inikah arti perasaan tak enak yang menghantuinya sejak kemarin. “Aku ikut, kamu akan ke sana bukan,” kata Laras. Bagaimanapun dia merasa akhir-akhir ini ayah mertuanya bukan lagi sosok menakutkan, laki-laki itu bersikap lembut dan hangat seperti kebanyakan seorang ayah yang hanya bisa dia dengar ceritanya dari teman-temannya. Laras bahkan berpikir mungkin saja di masa depan dia akan bisa memperbaiki hubungan dengan ayah mertuanya dan mereka bisa menjalin hubungan seperti ayah dan anak yang baik. Selain tukang kawin dan tidak bisa setia pada satu wanita, menurut Laras tidak ada yang salah dengan ayah mertuanya. Dia masih memperhatikan Pram dengan baik meski hanya dengan membayar orang untuk mengurus semua kebutuhan putranya. Hubungan Pram dan sang ayah secara pribadi memang memburuk karena Pram yang kesal dengan tingkah ayahnya, tapi saat keduanya berbicara tentang bisnis, bisa dibilang kalau Pram begitu kagum pada ayahnya.
“Anda yakin dengan isi surat ini?” tanya sang pengacara untuk kesekian kalinya. “Apa ada alasan aku tidak yakin dengan semua ini?” tanya laki-laki paruh baya yang masih tampan itu. “Maaf, maksud saya di sini tidak ada warisan untuk istri anda, bukankah seharusnya dia berhak juga atas harta anda.” “Dia hanya wanita yang baru saja aku nikahi, dan sama sekali tidak ada andil dalam mendapatkan hartaku.” Sang pengacara terdiam, tahu bahwa dia telah salah bicara. “Maaf, saya hanya mengingatkan karena di sini-“ “Aku memberi bagian untuk menantuku.” Sang pengacara mengangguk dengan wajah penasaran. “Itu memang haknya.” “Baiklah, saya mengeti.” “Tolong pastikan anda menjalankan surat wasiat saya, saya percaya anda memang pengacara yang dapat saya andalkan bahkan setelah kematian saya nanti.” Sang pengacara mengangguk dengan wajah tak terbaca lalu meminta diri lebih dulu dengan sopan. Senyum tenang lalu tersungging di bibir laki-laki itu. “Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk melindu