Kenapa laki-laki ini harus mendatanginya ke kamar?
Bu Titin tahu itu artinya tak butuh waktu lama Pandu juga akan tahu.Alisya tahu dia tidak melakukan kesalahan apapun, tapi Pandu dan orang-orang yang tidak menyukainya di rumah ini pasti membuatnya seperti melakukan kejahatan besar.Masalah Pram tadi pagi saja membuatnya kehilangan ponselnya, dia tidak tahu apa yang akan dilakukan laki-laki itu jika tahu hal ini.“Oh bu Titin,” kata laki-laki yang dipanggil Lan dengan sopan dan tenang, tidak ada kekhawatiran sama sekali di wajahnya. Apa laki-laki ini benar-benar tidak mengerti apa yang akan terjadi nanti, terutama untuk Alisya?Bu Titin tidak menggubris laki-laki itu tapi dia menatap Alisya dengan pandangan mengejek. “Anda ternyata sudah berani memasukkan laki-laki lain ke kamar anda Nyonya.”“Apa maksud bu Titin adalah saya?” tanya laki-laki itu lagi ada riak di wajahnya saat mendengar perkataan bu Titin.Alisya“Ayo pikir! Ayo... apa akalku sekarang!” Alisya memukul-mukulkan tangannya pelan pada kursi rodanya. Dia terbiasa mandiri dan sejak kehilangan sang ayah, ibunya yang dulunya hanya ibu rumah tangga harus mengambil alih peran sang ayah untuk mencari nafkah setelahnya. Dan Alisya tak tega ketika harus merengek pada sang ibu yang selalu kelihatan lelah sepulang kerja. Otaknya yang cerdas sangat membantu sekali dalam pendidikannya, dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang sarjana dan berhasil lulus dengan presikat sangat memuaskan. Itulah yang mengantarkannya mendapatkan undangan kerja dariperusahaan milik keluarga Pandu. Perusahaan multinasional yang bergerak dibidang makanan ringan. Dengan otak cerdasnya Alisya berhasil medapatkan jabatan yang lumayan mentereng di bagian keuangan, bagian yang paling basah pada sebuahperusahaan. Gaji yang diterima Alisya juga cukup besar untuk membiayai kehidupannya dan sang ibu, apalagi mereka bukan pribadi yang gemar berf
Rencananya Alisya akan berbelanja terpisah dengan juru masak keluarga Pandu. Dia sudah menghubungi Pram untuk meminta seseorang mencarikan bahan makanan yang dibutuhkan, sedangkan Alisya akan diam-diam pergi dengan mobil yang disiapkan Pram. Terdengar mudah memang rencana itu, tapi Alisya yang sejak kecil tidak biasa berbohong langsung berkeringat dingin, tapi tentu saja dia tidak akan menyerah dengan mudah. “Jangan kencang-kencang membawa mobilnya! Dasar anak muda!” omel si bibi pada anak pak Maman yang mengantar mereka. Berbeda dengan pak Maman yang merupakan pengemudi yang tenang, anak laki-lakinya mungkin dulu bercita-cita menjadi pembalap tak kesampaian, dia mengemudi seperti kesetananan menyalip ke sana kemari. Mobil yang mereka gunakan memang jenis mobil mahal yang biasanya dipakai mengantar Alisya sehingga guncangan tak begitu terasa tapi untuk wanita paruh paya di sampingnya sangat berpengaruh. Mukanya terlihat san
Siapa? Dari sekian banyak orang yang tak menyukainya di rumah itu, Alisya tidak tahu siapa yang melakukan hal sekonyol itu? Akan tetapi hal yang lebih mengusik pikirannya adalah kenapa? Jika dia sembuh tentu saja Alisya akan dengan senang hati pergi dari sana dan Pandu yang menikahinya karena kakinya umpuh tak akan punya alasan lagi untuk menahannya. Dokter itu dokter yang cukup punya nama, dia pasti punya alasan kuat mempertaruhkan reputasinya seperti itu. Baik ayah mertua, ibu mertua ataupun suaminya memang punya uang dan pengaruh yang besar di mata masyarakat. Apa mereka bertiga pelakunya?“Sampai kapan kamu akan melamun di sana?” tanya Pram yang masih menunggu Alisya kembali ke bumi lagi. “Pram sudah selesai?” tanya Alisya menutupi keterkejutannya. Laki-laki itu hanya menatap malas pada Alisya. “Ayo kembali ke mobil.” Pram kembali mengemudi dengan kecepatan tinggii, tapi kali ini Alisya tidak ingin protes lagi seluruh energinya tersedot habis untuk berpikir, kenyataan ini
“Tuan dan Nyonya besar akan makan malam di sini, tuan muda meminta nyonya menyiapkannya.”Alisya mengernyit. Papa dan mama mertunya jarang sekali datang ke rumah ini, kalau datang pasti ada hal penting atau acara seperti waktu itu. Alisya bukan keberatan orang tua Pandu datang berkunjung, dia sama sekali tidak punya hak untuk itu. yang membuatnya tidak nyaman adalah karena mereka terutama mama Pandu yang selalu saja menghinanya membuat Alisya tak nyaman dan memilih menjauh. Alisya hanya mengangguk untuk menanggapi dan melanjutkan pekerjaannya. Pandu dan mamanya meski tak menyukai kehadirannya sebagai istri dan menantu di rumah ini tapi mereka sangat menyukai masakan Alisya dan menginginkan selalu memasak untuk mereka saat makan di rumah ini. Sedikit hal yang mampu memberikan kepercayaan diri pada Alisya, hanya sedikit karena mereka berdua menganggap itu balas jasa yang pantas untuknya. “Ada yang bisa saya bantu nyonya?” Alisya menger
“Bagaimana dengan rasa masakan kedua yang kita coba tadi Nyonya?” “Aku lebih suka masakan yang pertama.” “Saya rasa juga begitu, jadi kita gunakan yang pertama atau kita cari lagi?” Alisya berpikir sejenak, seharusnya catering yang pertama sudah cukup untuk pesta itu, tapi saat dia berbicara tadi dengan pemilik, mereka tidak mampu menyediakan semua menu hanya beberapa saja. sedangkan catering yang kedua bisa menyediakan semuanya tapi rasanya tidak terlalu enak. “Saya rasa kita datangi saja catering satu lagi baru memutuskan,” jawab Alisya. “Baik Nyonya.” Alisya memang akhirnya mengurus semua persiapan suaminya dan Sekar, meski dengan hati yang berdarah-darah. Apalagi Sekar yang terlihat selalu ingin membuatnya cemburu dengan menempel erat pada Pandu dan laki-laki itu sama sekali tak keberatan dengan semua itu, membuat Alisya makin kesakitan. Akan tetapi ini satu-satunya cara untuk bisa menyelamatkan ibunya, anggap saja dia sedang bekerja dan Pandu bukan orang yang dia cintai.
“Ibu!” Air mata Alisya tumpah melihat sosok di atas ranjang itu, hanya Tuhan yang tahu bagaimana dia berusaha keras untuk membuat sosok itu tetap bisa bernapas, memperlihatkan senyum teduhnya juga memberikan elusan ajaibnya di kepala Alisya. Wajah Alisya mendongak dengan air mata yang berderai membasahi pipinya. Seolah dia sedang menanyakan pada Tuhan yang maha tinggi kenapa memberikan takdir seperti ini padanya. Saat ini dia sama sekali tidak menginginkan hal yang lain kecuali ibunya, bahkan tidak juga cinta Pandu yang lama dia perjuangkan. Dia sibuk mengejar cintanya hingga lupa pada ibunya yang begitu tulus mencintainya. Ibunya tak sadarkan diri lagi.Tubuhnya yang kurus tinggal tulang membuat Alisya bahkan tak berani merengkuhnya. Berbagai peralatan penompang kehidupan ibunya terpasang membuatnya ngilu. Ibunya pasti kesakitan. Dan Alisya tak sanggup melihat ibunya seperti ini. “Apa tidak ada harapan lagi untuk ibu saya dok?” tanya Alisya pada dokter tua yang ramah itu. “T
“Kamu sudah merasa jadi nyonya besar rupanya.” Alisya yang baru saja turun dari mobil hanya mendongak menatap suaminya yang menatapnya dengan wajah merah padam. “Maaf, kamu tahu prioritasku adalah ibu,” kata Alisya tanpa menatap pada Pandu yang seperti siap untuk menelannya. “Sudahlah, Sayang sebaiknya kita segera pergi sekarang. Alisya sangat menyayangi ibunya karena itu melakukan hal ini,” kata Sekar yang langsung bergelayut di lengan Pandu. Alisya hanya menatap wanita yang pernah menjadi teman masa kecilnya itu dengan datar, dia tahu seberapa munafik Sekar. “Kamu benar, kita sudah terlambat.” Pandu menatap Sekar dengan senyum di bibirnya dan tentu saja itu tak lepas dari pengawasan Alisya. Hatinya sakit tentu saja, istri mana yang mau diperlakukan seperti ini oleh suaminya tapi dalam hati Alisya selalu mensugesti dirinya kalau dia hanya bekerja di sini untuk ibunya tanpa melibatkan perasaan. Dan terbukti cara itu bisa me
“Jaman sekarang yang penting uang, tak perduli suami mau punya istri berapapun.” Wanita sebaya Alisya itu mengatakannya dengan senyum lebar. Alisya mengenalnya dia salah satu sepupu Pandu meski jarang bertemu tapi pernah satu kali wanita ini datang ke rumah yang dia tempati. “Idih kalau aku sih ogah,” timpal wanita yang lain. “Itukan kamu yang bisa cari uang sendiri,” kata wanita yang pertama. “Makanya jadi wanita harus pintar cari uang seperti kita.” Alisya pura-pura tuli dengan sindiran itu, dia lebih memilih memusatkan perhatiannya pada beberapa orang yang membantunya untuk menata makanan yang akan disajikan oleh para tamu. Alisya benar-benar sibuk. Ibu mertuanya memang awalnya membantu dan mencemooh ini dan itu tentang pilihan Alisya, tapi setelahnya sibuk dengan kegiatannya sendiri dan membiarkan Alisya mengatur semua persiapan pernikahan Pandu dan Sekar. Untuk pernikahan super mewah dalam gedung, mereka bahkan tidak menggunakan eo. Semua pekerjaan di bawah tanggung jawab
"Mas pulang saja, di sini pasi tidak nyaman," kata Alisya yang melihat Pandu masih duduk dengan tablet di tanganya, laki-laki itu memang tak banyak bicara setelah bulek Par meninggalkan mereka tadi. Pandu meletakkan tabletnya dan mendekati Alisya, dia lalu mengambil botol air mineral dan memberikannya pada Alisya. "Aku tidak ingin minum," kata wanita itu dengan nada protes. "Kata dokter kamu harus banyak minum kalau mau cepat sembuh." "Susah kalau bolak balik ke kamar mandi," bantah wanita itu. "Aku akan menggendongmu ke kamar mandi tenang saja," Alisya menghela napas lalu menerima air itu dan meminumnya sedikit. "Aku serius, mas. Aku tidak masalh di sini sendiri ada suster yang bisa aku panggil kalau butuh bantuan, lagi pula aku takut Bisma nangis dan kasihan papa dan mama." Pandu malah menarik kursi di samping ranjang Alisya dan duduk di sana. "Kenapa kamu hobi sekali mengusirku, ini bukan di rumahmu tidak akan ada tetangga yang usil, lagi pula seperti kata bulek aku akan be
Pandu sudah mendengar kasus itu tapi tentu saja dia sama sekali tidak bisa membantu sama sekali. Kekhawatiran menguasai hatinya sejak mendengar kasus itu, meski sekretarisnya bilang semuanya bisa teratasi dengan baik tapi tetap saja dia sangat khawatir pada ibu dari anaknya itu. Entah apa yang dilakukan Alisya, sehingga wanita itu terus saja bercokol dalam benak Pandu, sehari saja tak bertemu membuat lagi-lagi itu dilanda kegelisahan. Apa ini normal? Ayahnya bahkan mengatakan dia seperti ABG yang sedang jatuh cinta. Mungkin memang benar, saat ini dia bisa merasakan jantungnya berdebar saat berhadapan dengan Alisya bahkan ikut tersenyum saat wanita itu tersenyum. Dengan menenggelamkan diri pada pekerjaan sedikit mengalihkan pikiran Pandu dari keinginan untuk menemui Alisya juga putranya. “Pak ada telepon dari ibu Sasti, apa bapak mau menerimanya?” Suara sang sekretaris terdengar dari interkom di depannya
“Apa aku bisa mempercayai ucapanmu sekarang?” tanya Sasti dengan penuh intimidasi. Alisya yang ada di ruangan yang sama langsung membeku mendengar ledakan kemarahan Sasti, dia tahu Sasti wanita yang dingin dan bertangan besi, tapi tidak pernah melihat wanita itu semarah sekarang ini. “Aku awalnya juga tidak percaya tapi semakin aku menyangkalnya semakin banyak bukti yang menunjukkan keterlibatan beliau,” kata Fahri dengan frustasi. Sasti terduduk di kursinya dia sama sekali tak menyangka hal ini akan terjadi. “Kenapa?” tanyanya dengan kekecewaan yang tidak dia tutup-tutupi. “Karena beliau merasa dialah yang pantas ada di posisi puncak.” “Lalu kenapa dia tidak mengambilnya, merebutnya dan bersaing sehat jika dia merasa punya kemampuan.” Fahri hanya menunduk diam tak sanggup menjawab cercaan Sasti karena dia sendiri memang tidak tahu alasannya. “Bagaimana dengan kamu sendiri? Apa kamu juga berpikir hal yang sama?” tanya Sasti tajam. Fahri langsung mengangkat wajahnya dan menatap
“Ma...ma,” rengek Bisma minta digendong saat Alisya sudah rapi. Rencana mengajukan cuti hari ini batal sudah saat telepon dari Dara membuatnya mau tak mau harus datang ke kantor. “Sayang, Bisma sama mbak Rani dan nenek dulu ya, Nak,” kata Alisya sambil memeluk anaknya yang gembul itu. Bahkan untuk menggendong Bisma pun Alisya tak punya tenaga, kepalanya begitu pusing dan wajahnya pucat, efek dari tidak tidur semalam. Tapi mau tak mau dia harus tetap ke kantor, tidak mungkin dia lepas tangan begitu saja karena sejak awal dia yang bertanggung jawab untuk hal itu. “Kamu yakin mau pergi ke kantor, Lis. Dengan wajah seperti itu, apa tidak bisa ijin saja,” tanya bulek dia terlihat sangat khawatir pada Alisya. “Ada sedikit masalah di kantor, saya harus ke sana.” “Oalah, Lis, memangnya tak ada orang lain yang bisa gantikan?” “Ini masalah tanggung jawab saya bulek jadi tak bisa diwakilkan,” kata Alisya berusaha m
Alisya menatap tak percaya setelah membaca dokumen yang diberikan Pandu padanya, dia sampai butuh membaca beberapa kali untuk meyakinkan dirinya. “Mas sudah memverifikasi laporan ini?” tanya Alisya pada Pandu. Setelah mereka piknik di alun-alun kota, Pram harus pulang terlebih dahulu karena ada panggilan dari ayahnya, dia hanya bilang pada Alisya kalau nanti malam akan menghubungi lagi, dan itu dikatakan tanpa sepengetahuan Pandu, artinya akan ada hal serius yang ingin dibicarakan laki-laki itu. “Aku tidak akan memberikan padamu kalau belum membuktikannya sendiri.” “Kenapa mas mencari tahu tentang hal ini? apa karena kerja sama dengan galeri mas waktu itu?” tanya Alisya yang masih belum percaya kalau Pandu memiliki minat pada barang-barang seni. Selama mereka hidup bersama hal itu tidak terlihat sama sekali, rumah tempat mereka tinggal dulu Alisyalah yang menatanya dan laki-laki itu sama sekali tidak protes. “Salah satunya.”
Tak mudah jalan bersama dua orang laki-laki dewasa yang siap saling tonjok satu sama lain setiap saat. “Ayo Al, sudah mulai panas,” kata Pandu sedikit kesal melihat interaksi Alisya dan Pram. Suasana alun-alun kota memang mulai ramai, banyak orang yang berdatangan dan menikmati kebersamaan dengan keluarga mereka, para pedagang kaki lima di pinggir alun-alun juga tak mau ketinggalan. Secara umum suasananya memang menyenangkan tapi tentu saja tidak untuk Pandu yang lebih memilih berhenti dan menunggu Alisya. “Kamu bawa tikar?” tanya Pram pada Alisya saat mereka memutuskan untuk memilih satu sudut yang lapang untuk duduk. “Ada dalam tas.” Pram membuka tas bekal yang dibawa Alisya dan mendapati tikar kecil di dalamnya. Duduk di atas tikar yang barusan dia gelar lalu tanpa permisi membuka tas bekal Alisya dan mencomot satu roti isi yang ada di sana. “Astaga Pram kamu bahkan tidak cuci tangan,” omel Alisya ya
Bisma menangis kencang tapi Alisya malah tersenyum geli. “Tunggu ya, mama siapin Asip buat kamu dulu, anak mama yang ganteng tenang dulu ya,” kata Alisya kalem. Seperti mengerti ucapan sang mama, bayi mungil itu menatap Alisya yang membawa asi beku untuk dipanaskan sambil sesekali sesegukan. Lucu sekali. Setelah suhunya dirasa cukup, Alisya memberikannya pada Bisma dan anak itu menerimanya dengan tak sabar.“Makasih ya, nak sudah menyelamatkan mama dari papamu tadi malam,” kata Alisya sambil mengelus rambut Bisma yang begitu lembut. Secara keseluruhan wajah anaknya memang mengcopi wajah Pandu, bisa dibilang Bisma hanya numpang tumbuh di rahimnya saja. Tentu saja hal itu membuat Pandu ataupun keluarganya yang dulu sempat meragukan anak yang dia kandung tidak perlu melakukan test DNA. Ini hari libur untuk Alisya dan dia berencana mengajak Bisma untuk jalan-jalan bukan jalan yang jauh sih hanya ke alun-alun kota, tapi
Nyamuk jaman sekarang memang nekad, tidak bisa melihat daging mulus sedikit saja langsung digigit. Bahkan tidak jarang mereka juga memilih bagian-bagian yang sengaja disembunyikan. Padahal ini di teras rumah, bukan di kebun atau bahkan di jalanan. “Pakai ini.” ini agak menggelikan tahu, untuk dua orang yang sudah bercerai karena salah satu melakukan pengkhianatan dan merasa cinta mati pada wanita lain. Alisya jadi teringat dengan film yang dia tonton bersama Laras, film manis yang menurutnya yang telah mengalami pahitnya percintaan tentu saja tidak akan percaya hal itu akan ada di dunia nyata, begitu juga dengan Laras yang mengalami hal yang sama. Tapi...Astaga ini hanya jas... jangan baper Lis. “Terima kasih, mas. Tapi aku bisa masuk dan mengambil jaket dari dalam, aku malas kalau nanti harus mencuci bajumu,” kata Alisya dengan nada bercanda. “Padahal aku kangen kamu mengurusi baju yang aku p
Kalau mereka pikir Alisya akan memakai pakaian terbaiknya mereka salah. Alisya lebih memilih repot mengurus Bisma setelah dia pulang kerja, lalu membantu Bulek Par menyediakan piring dan peralatan makan lainnya. “Lis, di sini ada Rani lho, dia sudah pegang Bisma dari tadi kalau untuk menyelesaikan ini saja bulek bisa sendiri,” kata Bulek Par. Maksudnya sih ingin mengusir Alisya secara halus, untuk segera mandi dan berdandan. Sejak pulang kerja tadi wanita itu hanya mencuci tangan lalu berwudhu dan menyelesaikannya kewajibannya seperti biasa, tapi belum mandi dan ganti baju. Blus warna merah maron dengan celana potongan lurus warna krem yang sekarang dia gunakan memang tidak ada yang salah bagi Alisya, tapi di mata Bulek Par itu sangat salah. Apalagi wanita paruh baya itu masih beranggapan kalau keluarga mantan suami Alisya datang untuk meminta rujuk. Wanita itu tentu tahu penyebab perpisahan Alisya dan mantan suaminya, tapi di juga tidak buta kalau laki-laki itu masih mencintai