“Tuan dan Nyonya besar akan makan malam di sini, tuan muda meminta nyonya menyiapkannya.”
Alisya mengernyit. Papa dan mama mertunya jarang sekali datang ke rumah ini, kalau datang pasti ada hal penting atau acara seperti waktu itu.Alisya bukan keberatan orang tua Pandu datang berkunjung, dia sama sekali tidak punya hak untuk itu. yang membuatnya tidak nyaman adalah karena mereka terutama mama Pandu yang selalu saja menghinanya membuat Alisya tak nyaman dan memilih menjauh.Alisya hanya mengangguk untuk menanggapi dan melanjutkan pekerjaannya. Pandu dan mamanya meski tak menyukai kehadirannya sebagai istri dan menantu di rumah ini tapi mereka sangat menyukai masakan Alisya dan menginginkan selalu memasak untuk mereka saat makan di rumah ini.Sedikit hal yang mampu memberikan kepercayaan diri pada Alisya, hanya sedikit karena mereka berdua menganggap itu balas jasa yang pantas untuknya.“Ada yang bisa saya bantu nyonya?” Alisya menger“Bagaimana dengan rasa masakan kedua yang kita coba tadi Nyonya?” “Aku lebih suka masakan yang pertama.” “Saya rasa juga begitu, jadi kita gunakan yang pertama atau kita cari lagi?” Alisya berpikir sejenak, seharusnya catering yang pertama sudah cukup untuk pesta itu, tapi saat dia berbicara tadi dengan pemilik, mereka tidak mampu menyediakan semua menu hanya beberapa saja. sedangkan catering yang kedua bisa menyediakan semuanya tapi rasanya tidak terlalu enak. “Saya rasa kita datangi saja catering satu lagi baru memutuskan,” jawab Alisya. “Baik Nyonya.” Alisya memang akhirnya mengurus semua persiapan suaminya dan Sekar, meski dengan hati yang berdarah-darah. Apalagi Sekar yang terlihat selalu ingin membuatnya cemburu dengan menempel erat pada Pandu dan laki-laki itu sama sekali tak keberatan dengan semua itu, membuat Alisya makin kesakitan. Akan tetapi ini satu-satunya cara untuk bisa menyelamatkan ibunya, anggap saja dia sedang bekerja dan Pandu bukan orang yang dia cintai.
“Ibu!” Air mata Alisya tumpah melihat sosok di atas ranjang itu, hanya Tuhan yang tahu bagaimana dia berusaha keras untuk membuat sosok itu tetap bisa bernapas, memperlihatkan senyum teduhnya juga memberikan elusan ajaibnya di kepala Alisya. Wajah Alisya mendongak dengan air mata yang berderai membasahi pipinya. Seolah dia sedang menanyakan pada Tuhan yang maha tinggi kenapa memberikan takdir seperti ini padanya. Saat ini dia sama sekali tidak menginginkan hal yang lain kecuali ibunya, bahkan tidak juga cinta Pandu yang lama dia perjuangkan. Dia sibuk mengejar cintanya hingga lupa pada ibunya yang begitu tulus mencintainya. Ibunya tak sadarkan diri lagi.Tubuhnya yang kurus tinggal tulang membuat Alisya bahkan tak berani merengkuhnya. Berbagai peralatan penompang kehidupan ibunya terpasang membuatnya ngilu. Ibunya pasti kesakitan. Dan Alisya tak sanggup melihat ibunya seperti ini. “Apa tidak ada harapan lagi untuk ibu saya dok?” tanya Alisya pada dokter tua yang ramah itu. “T
“Kamu sudah merasa jadi nyonya besar rupanya.” Alisya yang baru saja turun dari mobil hanya mendongak menatap suaminya yang menatapnya dengan wajah merah padam. “Maaf, kamu tahu prioritasku adalah ibu,” kata Alisya tanpa menatap pada Pandu yang seperti siap untuk menelannya. “Sudahlah, Sayang sebaiknya kita segera pergi sekarang. Alisya sangat menyayangi ibunya karena itu melakukan hal ini,” kata Sekar yang langsung bergelayut di lengan Pandu. Alisya hanya menatap wanita yang pernah menjadi teman masa kecilnya itu dengan datar, dia tahu seberapa munafik Sekar. “Kamu benar, kita sudah terlambat.” Pandu menatap Sekar dengan senyum di bibirnya dan tentu saja itu tak lepas dari pengawasan Alisya. Hatinya sakit tentu saja, istri mana yang mau diperlakukan seperti ini oleh suaminya tapi dalam hati Alisya selalu mensugesti dirinya kalau dia hanya bekerja di sini untuk ibunya tanpa melibatkan perasaan. Dan terbukti cara itu bisa me
“Jaman sekarang yang penting uang, tak perduli suami mau punya istri berapapun.” Wanita sebaya Alisya itu mengatakannya dengan senyum lebar. Alisya mengenalnya dia salah satu sepupu Pandu meski jarang bertemu tapi pernah satu kali wanita ini datang ke rumah yang dia tempati. “Idih kalau aku sih ogah,” timpal wanita yang lain. “Itukan kamu yang bisa cari uang sendiri,” kata wanita yang pertama. “Makanya jadi wanita harus pintar cari uang seperti kita.” Alisya pura-pura tuli dengan sindiran itu, dia lebih memilih memusatkan perhatiannya pada beberapa orang yang membantunya untuk menata makanan yang akan disajikan oleh para tamu. Alisya benar-benar sibuk. Ibu mertuanya memang awalnya membantu dan mencemooh ini dan itu tentang pilihan Alisya, tapi setelahnya sibuk dengan kegiatannya sendiri dan membiarkan Alisya mengatur semua persiapan pernikahan Pandu dan Sekar. Untuk pernikahan super mewah dalam gedung, mereka bahkan tidak menggunakan eo. Semua pekerjaan di bawah tanggung jawab
“Pergi!” teriak Alisya keras. “Ayolah manis kita bersenang-senang sebentar, aku jamin kamu pasti akan puas,” kata laki-laki itu kemudian terkekeh seperti orang gila. Tubuh Alisya langsung begetar karena emosi yang ditahannya saat melihat tatapan lancang laki-laki paruh baya ini pada tubuhnya, dia memutar otak. Tak ada yang mendengar teriakannya tadi atau mungkin mereka sama sekali tak peduli dengannya, entahlah. Jadi sekarang dia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri. “Di sini banyak orang mereka pasti akan memukuli paman kalau tahu melakukan pelecehan padaku,” kata Alisya berusaha tenang meski otaknya sibuk bekerja mencari akal untuk bisa lolos. Kekehan mencemooh keluar dari mulut laki-laki itu. “Siapa yang akan mendengar teriakanmu. Suamimu sibuk dengan keponakanmu yang cantik itu dan aku tahu kamu kesepian karena dia tak peduli lagi padamu.” Laki-laki ini benar-benar bajingan. Alisya belum bisa memikirkan cara apa yan
"Rapikanpenampilanmu dan pulang," kata Pandu tak terbantahkan, tak sabar melihat Alisya yang masih saja diam, dia segera mendorong kursi roda wanita itu menuju kamar mandi. "Bagimanapun hubungan kita, kamu saat ini masih menyandang namaku." Alisya tak menjawab dia hanya tersenyum masam. Tentu saja ini tentang reputasi keluarga suaminya yang terhormat, tapi dia tetap berterima kasih pada Pandu yang telah menyelamatkannya hari ini, jadi dia tidak akan membantah. Alisya menatap wanita yang sedang balik menatapnya dari dalam cermin, make up yang tadi pagi dikerjakan oleh profesional memang tidak luntur, tapi wajahnya yang pucat masih terlihat jelas, apalagi tatanan rambutnya yang sudah berantakan tak karuan. Air mata langsung menggenang di matanya begitu dia menutup pintu kamar mandi. Aisya takut... sungguh takut, tidak ada ibunya yang bisa membelanya seperti dulu dan menguatkannya, memastikan semuanya baik-baik saja. Cukup lama Alisya berada di dalam kamar mandi sampai ketukan terdeng
Alisya menatap bahan-bahan yang telah dia siapkan untuk membuat sarapan bagi suaminya. Kemarin dia pulang agak malam, tapi dia sama sekali tidak mendapati mobil Pandu di garasi. Perasaan iri memenuhi hatinya, dulu setelah menikah jangankan bulan madu bahkan Pandu tak sudi untuk sekedar menatapnya. Alisya menggelengkan kepalanya, dia tidak ingin perasaan sentimentil ini menguasainya lagi, dia tahu Pandu tidak mencintainya dan dia tidak akan menyakiti dirinya sendiri dengan berharap pada sesuatu yang kosong. Dia pernah sangat berusaha dan hasilnya hanya kesakitan yang dia dapatkan. Alisya tak ingin lagi berharap yang membuatnya nanti merasakan sakit yang teramat sangat. Saat ini yang dia inginkan hanyalah kesembuhan ibunya dan mereka bisa memulai hidup berdua dengan bahagia. Alisya tidak butuh cinta yang hanya menyakitinya saja. "Nyonya mau masak apa?" Alisya menoleh dan tersenyum pada bibi yang sudah berdiri di depannya. "Mungkin hanya akan membuat roti isi saja," kat
“Dua minggu lagi Sekar juga akan tinggal di sini,” kata Pandu tenang. Alisya menatap suaminya dengan terbelalak. Dia sangat menyadari kalau ini memang rumah yang dibangun Pandu untuk istrinya, dan seperti yang laki-laki itu bilang Sekar istrinya juga, tapi bukan berarti mereka bisa hidup dalam satu atap. Membayangkan ada seseorang lagi dengan watak yanglicik dan culas di rumah ini dengan status yang sama dengannya membuat Alisya tak tahu penderitaan macam apa lagi yang akan dia jalani. “Baiklah aku mengerti, aku bisa tinggal ditempat lain,” kata Alisya berusaha bersikap tenang. “Rumah ini tidak kekurangan kamar meski penghuninya bertambah lima orang lagi,” kata Pandu tak habis pikir. Rumah ini memang tidak seluas rumah utama yang ditempati orang tua Pandu, tapi luar tanah yang mencapai satu hektar lebih lebih dari cukup untuk menampung keluarga kecil itu juga orang-orang yang bekerja di sana, apalagi pegawai yang menetap hanya beberapa orang sisanya merupakan bantuan dari rumah u