Alisya menatap bahan-bahan yang telah dia siapkan untuk membuat sarapan bagi suaminya. Kemarin dia pulang agak malam, tapi dia sama sekali tidak mendapati mobil Pandu di garasi. Perasaan iri memenuhi hatinya, dulu setelah menikah jangankan bulan madu bahkan Pandu tak sudi untuk sekedar menatapnya. Alisya menggelengkan kepalanya, dia tidak ingin perasaan sentimentil ini menguasainya lagi, dia tahu Pandu tidak mencintainya dan dia tidak akan menyakiti dirinya sendiri dengan berharap pada sesuatu yang kosong. Dia pernah sangat berusaha dan hasilnya hanya kesakitan yang dia dapatkan. Alisya tak ingin lagi berharap yang membuatnya nanti merasakan sakit yang teramat sangat. Saat ini yang dia inginkan hanyalah kesembuhan ibunya dan mereka bisa memulai hidup berdua dengan bahagia. Alisya tidak butuh cinta yang hanya menyakitinya saja. "Nyonya mau masak apa?" Alisya menoleh dan tersenyum pada bibi yang sudah berdiri di depannya. "Mungkin hanya akan membuat roti isi saja," kat
“Dua minggu lagi Sekar juga akan tinggal di sini,” kata Pandu tenang. Alisya menatap suaminya dengan terbelalak. Dia sangat menyadari kalau ini memang rumah yang dibangun Pandu untuk istrinya, dan seperti yang laki-laki itu bilang Sekar istrinya juga, tapi bukan berarti mereka bisa hidup dalam satu atap. Membayangkan ada seseorang lagi dengan watak yanglicik dan culas di rumah ini dengan status yang sama dengannya membuat Alisya tak tahu penderitaan macam apa lagi yang akan dia jalani. “Baiklah aku mengerti, aku bisa tinggal ditempat lain,” kata Alisya berusaha bersikap tenang. “Rumah ini tidak kekurangan kamar meski penghuninya bertambah lima orang lagi,” kata Pandu tak habis pikir. Rumah ini memang tidak seluas rumah utama yang ditempati orang tua Pandu, tapi luar tanah yang mencapai satu hektar lebih lebih dari cukup untuk menampung keluarga kecil itu juga orang-orang yang bekerja di sana, apalagi pegawai yang menetap hanya beberapa orang sisanya merupakan bantuan dari rumah u
Alisya menatap terbebalak saat baru saja tiba di ruangan itu. Dia tak pernah menyangka akan melihat hal ini lagi. Sejak tadi pagi wajah Alisya sudah terlihat mendung, penyebabnya tentu saja suaminya yang sedang melakukan bulan madu dengan istri barunya.Alisya tentu tahu rencana ini dan berusaha untuk menata hatinya, tapi hal itu langsung ambyar saat dia mendapat kiriman kebersaaman keduanya saat bulan madu dari nomor tak dikenal. Alisya tidak tahu nomer siapa itu, tapi siapapun itu telah berhasil menghancurkan pertahanan yang coba dia bangun, dan kedatangan ke sini seperti biasa ingin mencari ketenangan. Tempat satu-satunya orang yang begitu sangat mencintainya dan juga dia cintai. Meski tak bisa menanggapinya. Akan tetapi Tuhan sepertinya sedang bermurah hati padanya, setelah kesakitan yang dia alami melihat ibunya sudah bisa membuka mata dan duduk meski dengan wajah pucat membuatnya sangat senang. “Kenapa tak a
“Mas Alan bisa jalan-jalan sekitar sini, mungkin saya akan lama. Nanti saya hubungi jika sudah selesai,” kata Alisya begitu mereka sudah sampai di mall yang dimaksud. Seperti biasa Alan membantu wanita itu untuk menaiki kursi rodanya lagi. “Apa tidak sebaiknya saya menemani nyonya ke dalam? Mungkin nyonya perlu bantuan saya membawa barang,” kata laki-laki. Pertanyaan yang wajar memang, tapi hal itu tentu saja akan berpotensi menggagalkan rencananya.“Saya bisa sendiri,” kata Alisya dengan yakin. Alan terdiam dan menatap wanita di depannya dengan sedikt ragu. Sebuah pertanyaan melintas di otaknya dan dia tak tahan untuk tidak bertanya langsung. “Apa mas Pandu memintamu mengawasiku?” tanya Alisya. Alan langsung membelalak mendengar pertanyaan Alisya itu. “Bukankah itu tugas saya memang nyonya.” “Jadi benar selama ini kamu mengawasiku. Tunggu apa nomer baru yang-” “Nyonya salah paham,” potong Alan
Ini sudah dua minggu sejak kepergian Pandu waktu itu. Apa mereka akan kembali hari ini atau menambah waktu lagi? Alisya lebih sering menghabiskan waktunya dengan mengurung diri dalam kamar. Jika dulu dia melakukannya untuk menghindari hinaan dan juga pandangan sinis orang-orang di rumah ini, sekarang Alisya melakukannya untuk melatih kakinya. Iya dia memang nekad melakukannya seperti yang dikhawatirkan Pram waktu itu, tapi dia tak punya cara lain, dia tidak punya siapapun untuk dimintai bantuan di sini. Kadang Alisya melatih otot kakinya dengan berdiri dan duduk dari tempat tidurnya atau sofa empuk yang ada di sini. Sampai sekarang kamarnya memang masih ada di lantai bawah, lift yang dibangun Pandu belum juga selesai sampai sekarang, dan itu menambah tekad Alisya untuk sembuh. Dia ingin segera sembuh, paling tidak kakinya bisa digunakan lagi untuk menompang tubuhnya, sebelum bisa digunakan untuk menompang hidupnya lagi. “Ayo... sedikit... lagi.” Alisya berdiri dari tempat tidu
“Kamu tidak berencana untuk pergi bukan.” Alisya yang masih dengan susah payah menggeret koper besarnya langsung terdiam. Dia bingung akan menjawab apa. Dia tidak ingin dikatakan pengadu, tapi tidak mengatakan fakta benarnya jelas akan merugikan dirinya sendiri. “Ehm... hanya pindah kamar saja,” jawab Alisya beruisaha tenang. “Kenapa kamua harus pindah kamar?” tanya laki-laki itu lagi. “Ehm... saya... hanya ingin dekat dengan dapur.” “Dan untuk apa kamu ingin kamar yang dekat dengan dapur?” Alisya merasa sedang dintrogasi, dia melirik pada ibu mertua juga para pelayan yang masih sibuk entah apa di sana, melihat semua ini tanpa berani menyela. “Katakan, Nak. Apa yang terjadi?”Alisya memaksakan senyumnya, laki-laki paruh baya yang menjadi ayah mertuanya ini sudah berdiri di depannya dan menatapnya dengan menuntut. “Kamar itu akan ditempati mas Pandu dan istrinya,” jawab Alisya
“Bukankah kamu punya penhouse, kenapa mengajak Sekar tinggal di sini?” “Kamu mengadu pada papa?” Pandu menatap tajam Alisya yang masih menunduk, sungguh dia tidak mempermasalahkan semua ini. dia hanya ingn cepat sembuh dan bisa bekerja lagi, menompang hidupnya dan sang ibu. Tidak dengan menggantungkan hidup pada seseorang yang sama sekali tidak menginginkannya. “Bukan Alisya tapi Papa, apa kamu tidak tahu dia menempati kamar pembantu. Atau memang kamu menjadikannya pembantumu dan istri barumu?” “Bukan begitu. apa yang kamu lakukan, Al? apa yang dimaksud papa dengan kamar pembantu bukankah aku sudah meminta kamu pindah ke lantai atas.” “Maaf, mas aku tidak –“ “Kamu sengaja membuat kami bertengkar rupanya. Lihat, pa wanita yang papa bela ini malah membuat anak kita seperti orang jahat.” “Memang kenyataannya begitu kan,” kata sang ayah dengan tenang. Lalu menatap putranya dengan seksama. “Apa kamu lupa kalau Alisya
“Aku akan mengantarmu kontrol ke dokter besok,” kata Pandu yang tiba-tiba saja masuk ke kamar Alisya. “Mas Pandu apa yang mas lakukan!” Alisya yang sedang mengganti bajunya langsung menarik selimut di sampingnya untuk menutupi tubuh bagian atasnya, sungguh dia tidak rela tubuhnya dilihat oleh Pandu meski laki-laki itu adalah suaminya yang sah. Pandu mengangkat alisnya tak peduli melihat kepanikan Alisya. “Kamu berlebihan,” komentarnya datar.“Maaf, seharusnya mas bilang kalau mau masuk,” kata Alisya tak rela. “Kenapa aku harus melakukannya, ini juga kamarku bukan.” Alisya memejamkan matanya sejenak, berusaha meredakan emosinya. Dua hari setelah kedatangan Pandu, entah dengan cara apa lift untuknya akhirnya selesai dengan baik dan mau tak mau Alisya harus pindah ke lantai dua, sebenarnya ada tiga kamar di sini tapi Pandu kukuh menginginkan Alisya untuk menempati kamar miliknya. Dan yang membuat Alisya tidak nyaman adalah laki-laki itu yang bisa masuk seenaknya ke kamar ini, bahka