Alisya menatap terbebalak saat baru saja tiba di ruangan itu. Dia tak pernah menyangka akan melihat hal ini lagi. Sejak tadi pagi wajah Alisya sudah terlihat mendung, penyebabnya tentu saja suaminya yang sedang melakukan bulan madu dengan istri barunya.Alisya tentu tahu rencana ini dan berusaha untuk menata hatinya, tapi hal itu langsung ambyar saat dia mendapat kiriman kebersaaman keduanya saat bulan madu dari nomor tak dikenal. Alisya tidak tahu nomer siapa itu, tapi siapapun itu telah berhasil menghancurkan pertahanan yang coba dia bangun, dan kedatangan ke sini seperti biasa ingin mencari ketenangan. Tempat satu-satunya orang yang begitu sangat mencintainya dan juga dia cintai. Meski tak bisa menanggapinya. Akan tetapi Tuhan sepertinya sedang bermurah hati padanya, setelah kesakitan yang dia alami melihat ibunya sudah bisa membuka mata dan duduk meski dengan wajah pucat membuatnya sangat senang. “Kenapa tak a
“Mas Alan bisa jalan-jalan sekitar sini, mungkin saya akan lama. Nanti saya hubungi jika sudah selesai,” kata Alisya begitu mereka sudah sampai di mall yang dimaksud. Seperti biasa Alan membantu wanita itu untuk menaiki kursi rodanya lagi. “Apa tidak sebaiknya saya menemani nyonya ke dalam? Mungkin nyonya perlu bantuan saya membawa barang,” kata laki-laki. Pertanyaan yang wajar memang, tapi hal itu tentu saja akan berpotensi menggagalkan rencananya.“Saya bisa sendiri,” kata Alisya dengan yakin. Alan terdiam dan menatap wanita di depannya dengan sedikt ragu. Sebuah pertanyaan melintas di otaknya dan dia tak tahan untuk tidak bertanya langsung. “Apa mas Pandu memintamu mengawasiku?” tanya Alisya. Alan langsung membelalak mendengar pertanyaan Alisya itu. “Bukankah itu tugas saya memang nyonya.” “Jadi benar selama ini kamu mengawasiku. Tunggu apa nomer baru yang-” “Nyonya salah paham,” potong Alan
Ini sudah dua minggu sejak kepergian Pandu waktu itu. Apa mereka akan kembali hari ini atau menambah waktu lagi? Alisya lebih sering menghabiskan waktunya dengan mengurung diri dalam kamar. Jika dulu dia melakukannya untuk menghindari hinaan dan juga pandangan sinis orang-orang di rumah ini, sekarang Alisya melakukannya untuk melatih kakinya. Iya dia memang nekad melakukannya seperti yang dikhawatirkan Pram waktu itu, tapi dia tak punya cara lain, dia tidak punya siapapun untuk dimintai bantuan di sini. Kadang Alisya melatih otot kakinya dengan berdiri dan duduk dari tempat tidurnya atau sofa empuk yang ada di sini. Sampai sekarang kamarnya memang masih ada di lantai bawah, lift yang dibangun Pandu belum juga selesai sampai sekarang, dan itu menambah tekad Alisya untuk sembuh. Dia ingin segera sembuh, paling tidak kakinya bisa digunakan lagi untuk menompang tubuhnya, sebelum bisa digunakan untuk menompang hidupnya lagi. “Ayo... sedikit... lagi.” Alisya berdiri dari tempat tidu
“Kamu tidak berencana untuk pergi bukan.” Alisya yang masih dengan susah payah menggeret koper besarnya langsung terdiam. Dia bingung akan menjawab apa. Dia tidak ingin dikatakan pengadu, tapi tidak mengatakan fakta benarnya jelas akan merugikan dirinya sendiri. “Ehm... hanya pindah kamar saja,” jawab Alisya beruisaha tenang. “Kenapa kamua harus pindah kamar?” tanya laki-laki itu lagi. “Ehm... saya... hanya ingin dekat dengan dapur.” “Dan untuk apa kamu ingin kamar yang dekat dengan dapur?” Alisya merasa sedang dintrogasi, dia melirik pada ibu mertua juga para pelayan yang masih sibuk entah apa di sana, melihat semua ini tanpa berani menyela. “Katakan, Nak. Apa yang terjadi?”Alisya memaksakan senyumnya, laki-laki paruh baya yang menjadi ayah mertuanya ini sudah berdiri di depannya dan menatapnya dengan menuntut. “Kamar itu akan ditempati mas Pandu dan istrinya,” jawab Alisya
“Bukankah kamu punya penhouse, kenapa mengajak Sekar tinggal di sini?” “Kamu mengadu pada papa?” Pandu menatap tajam Alisya yang masih menunduk, sungguh dia tidak mempermasalahkan semua ini. dia hanya ingn cepat sembuh dan bisa bekerja lagi, menompang hidupnya dan sang ibu. Tidak dengan menggantungkan hidup pada seseorang yang sama sekali tidak menginginkannya. “Bukan Alisya tapi Papa, apa kamu tidak tahu dia menempati kamar pembantu. Atau memang kamu menjadikannya pembantumu dan istri barumu?” “Bukan begitu. apa yang kamu lakukan, Al? apa yang dimaksud papa dengan kamar pembantu bukankah aku sudah meminta kamu pindah ke lantai atas.” “Maaf, mas aku tidak –“ “Kamu sengaja membuat kami bertengkar rupanya. Lihat, pa wanita yang papa bela ini malah membuat anak kita seperti orang jahat.” “Memang kenyataannya begitu kan,” kata sang ayah dengan tenang. Lalu menatap putranya dengan seksama. “Apa kamu lupa kalau Alisya
“Aku akan mengantarmu kontrol ke dokter besok,” kata Pandu yang tiba-tiba saja masuk ke kamar Alisya. “Mas Pandu apa yang mas lakukan!” Alisya yang sedang mengganti bajunya langsung menarik selimut di sampingnya untuk menutupi tubuh bagian atasnya, sungguh dia tidak rela tubuhnya dilihat oleh Pandu meski laki-laki itu adalah suaminya yang sah. Pandu mengangkat alisnya tak peduli melihat kepanikan Alisya. “Kamu berlebihan,” komentarnya datar.“Maaf, seharusnya mas bilang kalau mau masuk,” kata Alisya tak rela. “Kenapa aku harus melakukannya, ini juga kamarku bukan.” Alisya memejamkan matanya sejenak, berusaha meredakan emosinya. Dua hari setelah kedatangan Pandu, entah dengan cara apa lift untuknya akhirnya selesai dengan baik dan mau tak mau Alisya harus pindah ke lantai dua, sebenarnya ada tiga kamar di sini tapi Pandu kukuh menginginkan Alisya untuk menempati kamar miliknya. Dan yang membuat Alisya tidak nyaman adalah laki-laki itu yang bisa masuk seenaknya ke kamar ini, bahka
“Aku tidak masalah jika harus berangkat sendiri, mas pasti sibuk,” kata Alisya untuk kesekian kalinya. Dia kira setelah drama Sekar yang merajuk, Pandu akan membatalkan niatnya untuk mengantarnya ke dokter ternyata laki-laki itu kembali muncul di ruang makan dan mengatakan tetap akan mengantar Alisya nanti dan tak mempedulikan keberatan Sekar. “Bukankah aku sudah bilang akan mengantarmu dan tidak membatalkannya,” tegas Pandu. “Tapi sekar-““Sebenarnya aku curiga kamu yang tidak mau aku antar. Katakan ada apa? apa kamu menyembunyikan sesuatu?” tanya Pandu penuh intimidasi. Alisya menghela napas dengan tegang. Sepertinya dia memang tidak bisa menghindar. “Memangnya apa yang bisa aku sembunyikan jika mas selalu mengawasiku,” jawabnya setenang mungkin. “Benar seharusnya memang tidak ada.” Pandu segera mendorong kursi roda Alisya ke dekat mobilnya dan segera membopong Alisya untuk naik ke kursi di samping kemudi. Lalu dia menyimpan kursi roda Alisya di bagasi dan berputar ke kursi ke
“Siapa yang menghubungimu kenapa tidak diangkat?” Alisya langsung membatu saat mendengar pertanyaan itu, dia bahkan tak berani menoleh untuk menatap Pandu yang sedang menyetir di sampingnya. Kenapa dia begitu ceroboh tidak menaruh ponsel itu di rumah atau mematikannya sebelum pergi. Sekarang apa yang harus dia lakukan. Alisya ingat dengan kemarahan Pandu saat terakhir kali Pram menghubunginya, laki-laki itu bahkan mengambil ponselnya malah lebih memilih membelikannya ponsel baru dari pada mengembalikannya. Padahal ponsel itu adalah ponsel lama Alisya yang dia miliki sejak dia bekerja dan tentu saja di sana ada banyak sekali foto-foto dengan orang tuanya, juga Pram yang merupakan sahabatnya. Sejak beberapa hari yang lalu sikap Pandu memang sangat baik padanya, setelah ayahnya menegur laki-laki itu dengan keras, tapi Alisya yakin perubahan itu hanya sementara. Apalagi jika dia mengingat pembicaraan Rahasia Pandu dan ayahnya membuat
Sepertinya inilah yang namanya kualat.Alisya tadi hanya memanggil nama Pram satu kali bukan tiga kali tapi kenapa laki-laki itu langsung merespon panggilannya? Parahnya di depan Pandu pula. "Kamu benar-benar janjian dengan Pramudya?" Ada nada berbahaya dalam suara Pandu dan Alisya jelas tahu hal itu. Di masa lalu meski tak ada cinta ataupun kepedulian dalam diri laki-laki itu untuknya tapi tetap saja akan marah kalau dia masih berhubungan dengan Pram atau temannya yang lain. "Apa mas akan menggunakan hak mas sebagai suamiku untuk melarangku berteman dengannya?" tanya wanita itu, dia tahu ini mungkin akan memicu pertengkaran lagi. Sebenarnya sejak menikah dengan Pandu lagi, Alisya jarang sekali berhubungan dengan Pram, juga karena laki-laki itu yang katanya sibuk sekali dan sudah memiliki wanita yang dia sukai. Tindakannya tadi hanya impulsif semata dian hanya ingin memberi pelajaran pada suaminya, bagaimana jika dia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Pandu. Hubung
Kadang mencintai itu begitu menyakitkan apalagi mencintai sendiri. Seberapapun dia menolak rasa cinta itu, dia tetap saja tak mampu. Rasa itu datang dengan semena-mena dan menggerus kewarasannya. Diantara besarnya cinta yang dia miliki terdapat cemburu yang membuatnya tak ingin berbagi, dia kira Pandu sudah menyadari semuanya, bahwa dia tidak ingin terluka lagi oleh cinta orang yang sama, tapi nyatanya semua hanya fatamorgana. "Mas tidak perlu bersusah payah aku tahu urusan mas sangat banyak, aku tidak ingin dianggap beban yang merepotkan." Alisya berkata tenang, dia tidak ingin mempermalukan dirinya, sudah cukup drama yang dia ciptakan tadi. "Kamu nggak apa-apa kan, Ran. Nunggu sebentar lagi." Rani yang dari tadi ada di samping Alisya sejak tadi hanya menunduk, dia tidak tahu hari pertama dia tinggal di kota ini malah jadi seperti ini. "Aku terserah mbak Alisya saja," kata Rani dengan pandangan bingung dan enak hati, gadis itu memang tidak tahu apa yang terjadi tahu-tahu Pandu
"Apa yang akan kamu lakukan?" Alisya meletakkan ponselnya setelah mengirimkan screenshoot postingan tadi pada Pandu. Dia menatap Sasti sebentar. Sekarang mereka ada di ruangan Alisya dengan banyak makanan di depannya, bahkan Dara dan Rani juga mendapat jatah, tapi seperti biasa setelah mengambil makanan mereka, dua orang itu lebih memilih kabur dari pada menemani keduanya. Alisya pernah juga iseng bertanya, kenapa mereka menolak makan bersama, padahal Sasti bukan tipe bos yang pelit dan sok elit dengan tak mau makan dengan bawahannya. "Mending kita makan di warteg dari pada makan makanan mahal semeja sama bu Sasti." "Memangnya dengan makanan yang dibelikan bu Sasti?" "Makanannya pedes banget." "Kan kamu bisa request makanan yang nggak pedas." "Percuma saja.""Maksudnya?" "Makanannya memang nggak pedas tapi omongan bu Sasti yang membuat pedas." Alisya langsung tertawa dia juga mengakui hal itu. "Tapi dia baik lho, suka bantu karyawannya juga.""Tetap saja, dari pada senam jan
Alisya memakan kripik yang diberikan bulek Par padanya sambil mengamati air hujan yang jatuh ke bumi. Begitu sampai di rumah ini, mereka disambut dengan hujan yang begitu lebat. Bibi dan Pak Maman yang menyambut mereka langsung sibuk menurunkan barang-barang yang mereka bawa. Baik Pandu maupun Alisya tidak banyak membawa barang pribadi mereka kanrena mereka berencana akan sering pulang ke desa jika ada libur, lagi pula barang-barang mereka masih banyak di sini. Saat Alisya pergi dulu dia memang tidak membawa barang-barang yang dibelikan oleh Pandu hanya barang-barang lamanya saja. "Memangnya kamu pikir aku harus pake baju perempuan," kata Pandu sebal saat Alisya mengatakan baju itu milik Pandu karena dibeli dengan uang laki-laki itu dulu. Sekarang dia kembali lagi ke rumah ini, kali ini bukan hanya berkunjung tapi juga kemungkinan akan menetap entah lama, masalah keluarga Pandu tidak akan mungkin bisa diselesaikan dalam waktu dekat, banyak rencana Pandu yang diceritakan pada Al
"Memang harusnya istri ikut suaminya, Nduk." Hari ini Alisya datang ke rumah bulek Par, sengaja dengan membawakan kolak pisang kesukaan bulek yang tadi dia buat. Rumah bulek Par memang tidak besar tapi asri dan bersih. Alisya duduk di balai-balai bambu di teras depan rumah bulek. "Iya, bulek sepertinya ini memang sudah saatnya kasihan mas Pandu kalau pulang malam jaraknya jauh." "Lah sudah pinter kamu, pernikahan itu memang harus keduanya berjuang, kalau salah satu saja ya pincang." Alisya mengangguk, itu juga salah satu alasannya mau kembali bersama Pandu, dia melihat kalau laki-laki itu sudah berubah dan mau untuk berjuang untuk pernikahan mereka. "Tapi bulek ada yang menganggu saya sebenarnya kalau harus pindah ke rumah mas Pandu-" "Rumah kalian," koreksi bulek Par. "Iya maksud, Lisya rumah kami. Apa bulek mau ikut kami ke kota?" tanya Alisya hati-hati. Suasana desa yang tentram dan masyarakatnya yang saling tolong menolong membuat banyak warga di sini yang enggan untu
"Mbak Alisya!" Alisya yang baru saja menyiram tanaman di depan rumahnya langsung membuang selangnya begitu Rani memeluknya erat sambil menangis. "Ada apa, Ran? ibumu baik-baik saja kan?" tanya Alisya panik, bulek Par yang pagi ini memang datang ke rumah Alisya ikut berdiri dan menatap Rani tak kalah panik.Beberapa hari yang lalu memang Alisya juga datang ke rumah Rani untuk menjenguk ibunya yang memang sudah lama mengidap penyakit darah tinggi dan sekarang saat tiba-tiba wanita itu datang dengan menangis tentu saja Alisya ikut khawatir. "Ran, ada apa?" tanya Alisya sambil merenggangkan pelukan mereka. Rani yang masih menangis langsung melongo apalagi beberapa tetangga juga sudah berkerumun ingin tahu apa yang terjadi. "Ran!" tegur Alisya lagi. "Kok banyak orang, mbak?" "Lah mereka penasaran kamu teriak tadi, ibumu kenapa?" "Hah! ibu baik-baik saja kok, aku teriak bukan karena ibu," kata Rani dan sekarang meringis salah tingkah apalagi semua mata sekarang menatapnya dengan
Pandu sudah ada di lobi begitu jam kantor Alisya bubar. Tumben. "Mas sejak tadi di sini?" tanya Alisya, resepsionis sama sekali tidak memberi tahunya, padahal setahunya Pandu sama sekali tak suka menunggu. Pandu mengangguk lalu berdiri memeluk anak dan istrinya, Bisma yang mungkin engap terjepit antara ayah dan ibunya langsung merengek. "Mas, ih peluk-peluk sembarangan." Pandu mengedikkan bahunya dengan acuh. "Kan istri sendiri." "Ye siapa bilang istri tetangga." Pandu hanya tersenyum, lalu membimbing sang istri untuk menuju mobilnya. "Bisma nggak rewel setelah imunisasi?" tanya Pandu begitu dia sudah ada di balik kemudi dengan Alisya yang sudah duduk di sampingnya. "Enggak cuma tadi tidur terus setelah minum obat." Pandu mengusap kepala Bisma dengan tangan kirinya dengan sayang, perjalanan menjadi sunyi karena Bisma yang terlihat masih ngantuk menempel erat di dada ibunya sedangkan Rani duduk di bangku belakang dengan terkantuk-kantuk, astaga padahal anak itu juga seharian
"Mbak aku mau beli cilok dulu," kata Rani dengan ceria saat melihat penjual cilok langganannya. "Mbak mau juga?" "Tidak, itu tidak higenis."Jawaban itu bukan dari Alisya tentu saja tapi dari Pandu yang sejak mereka berangkat tadi seperti terkena sariawan. "Ta...tapi abangnya bersih kok, tuan. Pancinya juga pakai tutup." Alisya tak bisa menahan tawanya dia melihat wajah Rani yang ingin menangis saat mengatakan itu, meski begitu gadis itu nekad banget mendebat Pandu.Dan Tuan? Alisya baru saja kalau Rani selama ini memanggil Pandu dengan sebutan tuan, sama dengan semua asisten rumah tangga di rumah laki-laki itu, padahal memanggilnya dengan sebutan mbak bukan nyonya. "Ciloknya enak dan bersih kok, mas," bela Alisya. Orang kaya sih memang seperti itu, dia bahkan tidak yakin Pandu pernah makan jajanan rakyat yang tersebar di pinggir-pinggir jalan. "Memangnya kamu tidak bisa buat itu, ma. Atau nanti aku minta salah satu chef rumah mama untuk membuatkan." "Ish... mas jangan keterla
"Lho mbak Alisya tidak ke kantor?" Orang bilang pertengkaran adalah bumbu dalam rumah tangga. Ayah dan ibu Alisya dulu bukannya tak pernah bertengkar, diam-diam saat malam hari ketika Alisya terbangun dia sering mendengar orang tuanya berdebat. Bukan jenis pertengkaran yang bar-bar memang karena ayah Alisya adalah tipe laki-laki lemah lembut dalam memperlakukan istrinya, hal itu jugalah yang menjadi alasan sang ibu tidak mau menikah lagi setelah sang ayah meninggal. Hidup Alisya memang penuh dengan hinaan dan cacian, tapi tentu saja itu dilakukan orang lain, bukan orang yang dia sayangi dan Alisya memilih masa bodoh. Akan tetapi hari ini mendapati kembali wajah marah Pandu membuat tubuh Alisya gemetar, dia jadi ingat masa-masa kelam pernikahan pertama mereka. "Mbak kok malah bengong, ini Bisma kenapa kok kayak habis nangis?" Bisma memang menangis keras karena kaget dengan bentakan sang papa, karena itu tanpa banyak kata Alisya mengambil alih Bisma dan menenangkannya di tanah la