“Siapa yang menghubungimu kenapa tidak diangkat?” Alisya langsung membatu saat mendengar pertanyaan itu, dia bahkan tak berani menoleh untuk menatap Pandu yang sedang menyetir di sampingnya. Kenapa dia begitu ceroboh tidak menaruh ponsel itu di rumah atau mematikannya sebelum pergi. Sekarang apa yang harus dia lakukan. Alisya ingat dengan kemarahan Pandu saat terakhir kali Pram menghubunginya, laki-laki itu bahkan mengambil ponselnya malah lebih memilih membelikannya ponsel baru dari pada mengembalikannya. Padahal ponsel itu adalah ponsel lama Alisya yang dia miliki sejak dia bekerja dan tentu saja di sana ada banyak sekali foto-foto dengan orang tuanya, juga Pram yang merupakan sahabatnya. Sejak beberapa hari yang lalu sikap Pandu memang sangat baik padanya, setelah ayahnya menegur laki-laki itu dengan keras, tapi Alisya yakin perubahan itu hanya sementara. Apalagi jika dia mengingat pembicaraan Rahasia Pandu dan ayahnya membuat
"Ada apa denganmu apa memang begini sifat aslimu!"Alisya terduduk di kursi rodanya dengan lemas. Dia tadi lepas kendali. Alisya menyesali kecerobohannya ini, biasanya dia akan berpikir panjang dalam bertindak. Keinginannya untuk menemukan pelaku membuatnya sangat ceroboh.Seharusnya dia bersikap tenang, lagi pula dia bisa berobat pada dokter yang direkomendasikan Pram dan sudah ada kemajuan untuk itu.Alisya memejamkan matanya dan menatap Pandu yang menatapnya dengan wajah marah. "Maaf... maafkan aku. Aku hanya ingin sembuh," kata Alisya lirih. "Apa kamu pikir dokter itu tidak mau menyembuhkanmu!" Alisya menahan keinginannya sekuat tenaga untuk menggatakan yang sebenarnya. Bisa saja Pandu adalah orang yang menginginkannya untuk tidak bisa berjalan lagi, entah dengan tujuan apa. "Aku tidak tahu," katanya dengan mata berkaca-kaca. Alisya makin menunduk saat pandangan Pandu makin membara padanya. "Jadi apa yang kamu inginkan?" Dibalik tabir air matanya Alisya menatap Pandu de
"Kemana saja kamu, Lis!" semprot Pram begitu Alisya menghubunginya. laki-laki itu bahkan tidak peduli dengan kata halo yang belum dia ucapkan. Alisya meringis dan menjauhkan ponselnya sedikit dari telinga. "Aku sudah menghubungi ponselmu ribuan kali, untung saja aku tidak datang dengan polisi untuk menyerbu rumah suamimu!" Berlebihan memang, tapi itulah Pram laki-laki itu akan mengomel tak karuan saat dia tidak bisa menghubungi Alisya, bahkan meski alasan kenapa dia menghubunginya bisa sangat remeh. Seperti dulu, batin wanita itu geli. "Aku bersama mas Pandu, kamu ingat bukan bagaimana dia tidak suka aku bertelponan dengan orang lain yang dia sukai apalagi laki-laki," balas Alisya dengan lembut. "Seharusnya suamimu itu memang dirawat di rumah sakit jiwa!" ini bukan komentar pedas pertama Pram untuk Pandu tapi tetap saja membuat Alisya sedikit cemberut. "Sudahlah, itu tidak penting," gerutu Alisya. "Ada apa kamu sampai mengirim orang?" "Orang yang membuntuti kalian."
“Apa kita langsung pulang nyonya?” tanya Alan setelah mobil melaju membelah jalanan dan Alisya sama sekali tidak membuka mulutnya. Alisya memang lumayan pendiam, apalagi setelah menghadapi hampir semua orang dalam rumah Pandu yang membencinya, tapi jika bersama orang yang bersikap baik padanya, dia juga bersikap baik san sangat ramah. Salah satunya pada Alan sang sopir. Biasanya wanita itu berbasa-basi mengatakan ini itu untuk memulai perjalanan tapi kali ini, Alisya bungkam dengan wajah mendung. “Iya??” “Apa kita langsung pulang? Atau nyonya ingin mampir ke tempat lain?” tanya Alan lagi. Alisya memeluk tas dalam pangkuannya dengan erat. “Apa mas Pandu yang menyuruhmu menjemputku?” Bukannya menjawab wanita itu malah menanyakan keberadaan suaminya. Sudah biasa memang Alisya diabaikan dan dihina oleh Pandu, tapi melihat sikapnya tadi pagi membuat Alisya merasa ada sedikit harapan untuk rumah tangganya tapi semua langsung terhempas begitu saja saat mendapati Pandu bahkan tak mau r
Neraka apalagi yang akan diciptakan penghuni rumah ini untuknya? Ini bahkan belum sebulan Sekar tinggal di sini tapi Alisya sudah mengalami berbagai penindasan yang dilakukan wanita itu. Alisya boleh berkoar kalau dia sudah bersiap untuk segala kemungkinan yang ada, tapi dia juga tidak bisa menahan amarah dalam dirinya saat kejutan yang terlalu manis sampai terasa pahit ini dia terima. Alisya bukan wanita lemah. Akan tetapi batu karang pun tidak bisa tegak berdiri jika terhantam terjangan ombak ribuan kali. Butuh setidaknya beberapa detik untuk Alisya bisa mencerna apa yang diucapkan laki-laki di depannya ini. Rasa sakit itu kembali menyerangnya saat menerima tuduhan tak masuk akal dari laki-laki yang dia cintai ini tapi dia saat ini dia sudah lebh siap. Pengabaian yang dilakukan Pandu tadi satu bukti dia memang tidak berharga dan Alisya berusaha meyakinkan hatinya untuk tidak lagi mengemis cinta pada sang suami.
“Tidak adakah makanan yang lain aku sedang tidak ingin makan nasi goreng ini.” Alisya yang baru saja menyuapkan satu sendok nasi goreng mulutnya langsung terdiam. Dia menatap Pandu yang juga mengerutkan kening, sedangkan makanan dalam piring laki-laki itu sudah hampir habis. “Kenapa bukannya kamu suka masakan Alisya biasanya?” tanya Pandu lembut pada istri mudanya itu. Alisya hanya menatap semua itu dengan wajah datar, dia sudah sangat terbiasa dengan pertunjukan kemesraan yang mereka perlihatkan tanpa mengenal tempat, bahkan meski di depannya sebagai istri pertama Pandu bahkan tak terlihat canggung. Mungkin bagi Pandu keberadaannya di sini sama seperti juru masak untuknya. “Aku jadi mual mencium bau bawang dalam nasi goreng.” “Tapi kamu harus makan , Sayang. Kasihan bayi kita dalam perutmu.” Dengan lembut Pandu menggenggam tangan Sekar dan menatapnya penuh cinta, Alisya menunduk dan melanjutkan makan nasi gorengnya, dia tahu mungkin sebentar lagi Sekar akan membuat masalah dan
“Apa kamu baik-baik saja, Alan?” Akhirnya Alisya memang berangkat dengan Alan sebagai sopirnya dia tak tega melihat laki-laki itu kebingungan dengan keinginannya yang menaiki taksi. “Maksud nyonya?” “Apa mas Pandu atau Sekar memarahimu?” Alan tak segera menjawab dia masih berkonsentrasi pada kemudianya dan menoleh pada Alisya begitu mobil berhenti di lampu merah. “Tidak, memangnya ada apa nyonya?” “Apa mereka tidak bertanya tentang kejadian kemarin?” Alan terlihat berpikir. “Apa tentang nyonya yang menghabiskan waktu di salon?” Alisya langsung mengangguk dengan was-was. “Oh tuan hanya bertanya kemana saya mengantar nyonya dan kenapa pulang terlambat?” “Hanya itu? dia tidak menyinggung masalah orang lain? Atau menuduhmu sesuatu?” tanya Alisya yang tak puas dengan jawaban Alan. “Menuduh? Saya kira tidak nyonya, beliau hanya bertanya baik-baik dan saya jawab apa adanya. Apa ada masalah n
“Aku menyesal tidak menemuimu lebih cepat.” “Kenapa?” “Seharusnya kamu bisa berjalan lebih cepat.” Alisya meletakkan botol air mineral yang sedang dia minum dan menatap Pram dengan pandangan tak terbaca. “Seharusnya kamu memakiku bukan, aku memilih pilihan yang keliru,” katanya sendu. Pram menghela napas lalutersenyum pada Alisya yang masih tampak begitu menyesal di depannya. “Ckkk dasar bodoh, bukannya hari ini harusnya hari bahagia mengapa jadi sedih seperti ini,” gerutu Pram yang langsung berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangannya pada Alisya. “Ayo kita berlatih sekali lagi setelah itu pulang,” lanjutnya. Alisya mengangguk dengan semangat, dia menyambut tangan Pram dan memegangnya dengan kuat. Awalnya memang sulit untuk berdiri hanya berpegangan seperti itu, tapi lama-lama Alisya bisa berdiri dengan tegak dan perlahan Pram melepaskan tangannya. Sambil mengepalkan tangannya penuh tekad Alisya kembali belajar melangkah. Perlahan... sangat perlahan. Hanya dua tiga langka