Neraka apalagi yang akan diciptakan penghuni rumah ini untuknya? Ini bahkan belum sebulan Sekar tinggal di sini tapi Alisya sudah mengalami berbagai penindasan yang dilakukan wanita itu. Alisya boleh berkoar kalau dia sudah bersiap untuk segala kemungkinan yang ada, tapi dia juga tidak bisa menahan amarah dalam dirinya saat kejutan yang terlalu manis sampai terasa pahit ini dia terima. Alisya bukan wanita lemah. Akan tetapi batu karang pun tidak bisa tegak berdiri jika terhantam terjangan ombak ribuan kali. Butuh setidaknya beberapa detik untuk Alisya bisa mencerna apa yang diucapkan laki-laki di depannya ini. Rasa sakit itu kembali menyerangnya saat menerima tuduhan tak masuk akal dari laki-laki yang dia cintai ini tapi dia saat ini dia sudah lebh siap. Pengabaian yang dilakukan Pandu tadi satu bukti dia memang tidak berharga dan Alisya berusaha meyakinkan hatinya untuk tidak lagi mengemis cinta pada sang suami.
“Tidak adakah makanan yang lain aku sedang tidak ingin makan nasi goreng ini.” Alisya yang baru saja menyuapkan satu sendok nasi goreng mulutnya langsung terdiam. Dia menatap Pandu yang juga mengerutkan kening, sedangkan makanan dalam piring laki-laki itu sudah hampir habis. “Kenapa bukannya kamu suka masakan Alisya biasanya?” tanya Pandu lembut pada istri mudanya itu. Alisya hanya menatap semua itu dengan wajah datar, dia sudah sangat terbiasa dengan pertunjukan kemesraan yang mereka perlihatkan tanpa mengenal tempat, bahkan meski di depannya sebagai istri pertama Pandu bahkan tak terlihat canggung. Mungkin bagi Pandu keberadaannya di sini sama seperti juru masak untuknya. “Aku jadi mual mencium bau bawang dalam nasi goreng.” “Tapi kamu harus makan , Sayang. Kasihan bayi kita dalam perutmu.” Dengan lembut Pandu menggenggam tangan Sekar dan menatapnya penuh cinta, Alisya menunduk dan melanjutkan makan nasi gorengnya, dia tahu mungkin sebentar lagi Sekar akan membuat masalah dan
“Apa kamu baik-baik saja, Alan?” Akhirnya Alisya memang berangkat dengan Alan sebagai sopirnya dia tak tega melihat laki-laki itu kebingungan dengan keinginannya yang menaiki taksi. “Maksud nyonya?” “Apa mas Pandu atau Sekar memarahimu?” Alan tak segera menjawab dia masih berkonsentrasi pada kemudianya dan menoleh pada Alisya begitu mobil berhenti di lampu merah. “Tidak, memangnya ada apa nyonya?” “Apa mereka tidak bertanya tentang kejadian kemarin?” Alan terlihat berpikir. “Apa tentang nyonya yang menghabiskan waktu di salon?” Alisya langsung mengangguk dengan was-was. “Oh tuan hanya bertanya kemana saya mengantar nyonya dan kenapa pulang terlambat?” “Hanya itu? dia tidak menyinggung masalah orang lain? Atau menuduhmu sesuatu?” tanya Alisya yang tak puas dengan jawaban Alan. “Menuduh? Saya kira tidak nyonya, beliau hanya bertanya baik-baik dan saya jawab apa adanya. Apa ada masalah n
“Aku menyesal tidak menemuimu lebih cepat.” “Kenapa?” “Seharusnya kamu bisa berjalan lebih cepat.” Alisya meletakkan botol air mineral yang sedang dia minum dan menatap Pram dengan pandangan tak terbaca. “Seharusnya kamu memakiku bukan, aku memilih pilihan yang keliru,” katanya sendu. Pram menghela napas lalutersenyum pada Alisya yang masih tampak begitu menyesal di depannya. “Ckkk dasar bodoh, bukannya hari ini harusnya hari bahagia mengapa jadi sedih seperti ini,” gerutu Pram yang langsung berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangannya pada Alisya. “Ayo kita berlatih sekali lagi setelah itu pulang,” lanjutnya. Alisya mengangguk dengan semangat, dia menyambut tangan Pram dan memegangnya dengan kuat. Awalnya memang sulit untuk berdiri hanya berpegangan seperti itu, tapi lama-lama Alisya bisa berdiri dengan tegak dan perlahan Pram melepaskan tangannya. Sambil mengepalkan tangannya penuh tekad Alisya kembali belajar melangkah. Perlahan... sangat perlahan. Hanya dua tiga langka
“Hentikan! Tidak jangan lakukan!” Pandu yang sudah dikuasai amarah seolah tuli dengan permohonan dan air mata Alisya. “Aku suamimu berhak atas tubuhmu bukan sopir sialan itu!” Alisya menggeleng, tentu saja dia tahu apa kewajibannya sebagai istri, tapi bukankah selama ini Pandu yang tidak menginginkannya, bukan sebaliknya. Alisya tentu saja akan dengan hati menyerahkan kehormatan yang selama ini dia jaga untuk Pandu, suaminya tapi tentu saja tidak dengan cara seperti ini. “Tidak, Mas! hentikan! Aku mohon!” derai air mata putus asa Alisya bahkan tak bisa meluluhkan hati Pandu, laki-laki itu bahkan dengan beringas langsung membuka semua pakaian Alisya. Wanita itu meronta dan mempertahanan pakaiannya sebisa mungkin, tapi tenaganya yang hanya seorang wanita tentu saja kalah jauh dengan Pandu, apalagi dia sedang sakit dan baru saja melakukan sesi terapi yang melelahkan. “Lepaskan, mas aku mohon kamu akan menyesalinya,”
Untuk pertama kalinya Alisya bungun siang. Lelah jiwa dan raga membuatnya tidur seperti orang mati. Perlahan wanita itu bangkit, dia masih meringkuk di atas ranjangnya dengan sprei yang dipasang asal oleh Pandu, matanya terasa sulit untuk terbuka, sedangkan tubuhnya terasa sakit luar biasa. Dia bukan wanita lemah. Alisya berusaha bangun, tapi beberapa bagian tubuhnya terasa sangat sakit. Dia menoleh pada jam dinding yang menunjukkan pukul dua siang. Bahkan ini sudah lewat dari jam makan siang. pantas saja perutnya sangat lamar. Tadi malam dia sudah melewatkan makan malam dan sekarang makan pagi dan siang. Dia tidak tahu apa yang dipikirkan orang-orang di rumah ini saat tak ada di dapur untuk menyiapkan makanan seperti biasanya. Alisya beringsut duduk di kursi rodanya yang tepat berada di samping tempat tidur, dia akan membersihkan diri dulu sebelum keluar kamar. Jika tidak dia pasti akan mati kelaparan dan untuk sekarang ini dia tidak boleh mati. Ada ibunya yang harus dia pik
Dulu yang Alisya inginkan adalah berada dekat dengan Pandu, mendapat perhatiannya dan mendapatkan cintanya jika mungkin. Saat ini mereka ada dalam jarak yang begitu dekat, bahkan status mereka juga suami istri tapi keinginan terbesar Alisya tidak lagi mendapatkan perhatian dari Pandu lagi. Dia ada di sini karena mengharapkan belas kasihan laki-laki itu. Sedikit rasa iba untuk pengobatan ibunya yang terbaring sakit di sana. Karena berada di dekat Pandu, bukan kebahagiaan yang dia dapatkan seperti keinginannya tapi kesakitan. Kesakitan yang akan terus bertambah setiap harinya. Seperti pagi ini, dia sebenarnya masih enggan untuk memasak untuk suaminya, tapi mendapati laki-laki itu bahkan tak makan jika tidak hasil masakannya membuat sedikit kebanggaan dalam dirinya. Alisya memang sudah menempatkan diri sebagai pelayan untuk Pandu dan Sekar jadi dia baik-baik saja meski lagi-lagi dia mendapati Sekar yang bergelayut manja di lengan Pandu
“Apa sebaiknya tuan tidak istirahat di kamar saja?” tanya bibi setelah Pandu menolak memanggil dokter. Alasan yang sangat masuk akal sebenarnya, bagaimanapun ranjang empuk lebih nyaman dari pada di sofa yang semping ini. Akan tetapi Alisya sekarang yang bingung akan membawa Pandu ke kamar yang mana? Kamar laki-laki itu dengan Sekar? Tidak mungkin kan dibawa ke kamarnya di lantai dua, lagi pula sejak Kapan Pandu sudi tidur di kamarnya, yah kecuali hari itu. Tubuh Pandu yang mengigil membuat Alisya tak tega, dengan bantuan bibi akhirnya Alisya membawa Pandu ke kamar Sekar, setidaknya di sana banyak barang-barang laki-laki itu jika dibutuhkan.“Hati-hati,” kata Alisya saat bibi membaringkan tubuh besar Pandu di ranjang. Entah kemana para pelayan mereka sepertinya kompak menghilang saat dibutuhkan seperti ini. “Biarkan... aku... tidur... sebentar,” kata Pandu dengan susah payah. “Mas!” “Tuan!” Kedua wanita itu kaget saat tubuh Pandu seperti terbanting ke ranjang besar itu dengan
Bagi Pram, Laras merupakan istri yang sangat ideal untuknya. Dan dia tentu saja tak berminat menjadikan pernikahannya hanya pernikahan kontrak saja seperti yang sering Laras bilang. Bagi Pram yang sangat mengagumi pernikahan orang tua Alisya tentu dia tidak akan mempermainkan sebuah pernikahan seperti ayahnya yang hobi kawin cerai. Meski tidak dia pungkiri kalau dia dulu sering gonta- ganti pacar. "Saya suka dengan kue besar bentuk mawar ini, mbak. Apa bisa saya ambil hari jum'at besok?" tanya Pram sambil mengamati contoh kue dengan senyum yang terkembang sempurna, membuat si mbak pelayan toko melongo melihat mahluk indah di depannya ini. "Mbak?" tanya Pram lagi karena tak ada jawaban. "Eh... I-iya, Pak baik bisa." "Bagus. Saya akan menjemput kuenya jam delapan malam." Pram keluar dari toko kue itu dengan wajah cerah, hari jumat adalah hari ulang tahun Laras, dia sudah memperhatikan sang istri selama beberapa bulan mereka hidup bersama dan dari sana dia tahu kalau sang istri s
"Mau kemana lagi setelah ini?" Pram menoleh pada Laras disampingnya, mereka harus mengakhiri pertemuannya dengan Alisya karena wanita itu harus menjemput putranya dari sekolah. "Tidak ada, kita pulang saja," kata Laras malas. Jawaban Pram tadi sungguh membuatnya badmood. "Karena dia pacarku saat aku ingin menikah, dan dulu dia wanita yang lembut dan terlihat sangat baik hati seperti ibu peri." Jujur sih, Laras tidak punya dendam pada wanita yang sekarang berstatus sebagai ibu mertuanya itu, meski wanita itu kerap kali mencari masalah dan menghinanya, tapi bagi Laras itu bukan masalah besar, anggap saja dia hanya tikus yang lewat di depannya. Akan tetapi mendengar pengakuan Pram, membuat dada Laras terasa sesak bahkan sejak tadi dia hanya menunduk berusaha menahan air matanya supaya tidak ada yang tahu, tapi sialnya Alisya tahu dan sempat berbisik sambil memeluknya tadi. "Maafkan aku bertanya begitu, tapi aku yakin hati Pram masih belum ada pemiliknya dan kamu harus berjua
Alisya tahu Pram sering gonta-ganti pacar dan tentu saja rata-rata mereka cantik dan seksi, tapi tidak ada dari mereka yang seberani wanita di depannya ini. Wanita ini bukan hanya sukses menjadi nyonya besar Setiadji, tapi sebelumnya membuat Pram berpikir untuk melangkah lebih jauh. Pertunangan, meski tidak ada pesta besar. "Aku tidak tahu kalau tante ada di sini. Biasalah, Tan anak muda sering hangout bareng teman," kata Laras sambil terkekeh pelan. Dia tahu, istri ayah mertuanya ini paling benci dipanggil tante olehnya karena merasa mereka seumuran. Laras tersenyum manis melihat kepalan tangan wanita di depannya, lalu wanita itu berjalan pergi dengan kesal. Laras rasanya ingin terbahak, dia tidak sudi ditindas wanita seperti istri ayah mertuanya itu. "Apa tidak masalah nanti?" Laras menoleh dan melihat Alisya yang menikmati kuenya dengan tenang sambil mengawasinya dengan seksama.Laras menatap Alisya sejenak lalu mengangkat bahunya acuh, sesungguhnya dia tak tahu, dia tadi h
Laras memang tidak memasak layaknya Alisya, tapi wanita itu bukan wanita manja penuntut dan pemarah. Meski kadang keras kepala tapi Laras sosok yang penurut dan yang pasti dia bisa membuat Pram nyaman di apartemennya yang sudah lama sepi. Menjahili Laras menjadi kebiasan baru yang sangat menyenangkan untuknya.Tak ada pembantu tetap di sini, hanya orang yang dia bayar untuk membersihkan dan mengurus baju mereka, tapi sejak ada Laras dia yang mengurus semua itu. Dalam urusan membersihkan apartemen Laras sangat detail, sehingga apartemennya selalu bersih dan tak pernah ada lagi barang yang tergeletak sembarangan. “Mau kemana?” Padahal biasanya pada hari libur seperti ini jika mereka tidak janjian keluar rumah, mereka akan menghabiskan waktu dengan nonton televisi sambil ngemil, tapi hari ini Laras sepertinya punya rencana tersendiri. “Aku ada janji sebentar.” “Dengan siapa? Kenapa kamu tidak izin padaku?” tanya Pram sambil menaikkan alisnya sombong. Laras kesal dong, dengan muka
“Kalau iya memangnya kenapa?” tanya Laras dengan tak kalah lantang membuat ibu tiri Pram itu terperangah kaget. “Memangnya kamu tidak, lihat tas dan baju kamu, itu pasti uang suamimu. Ckkk siapa di sini yang matre dan jalang.” Kali ini Laras sudah lebih siap saat tangan Clara mengayun akan menampar pipinya, dia langsung menangkap tangan wanita itu dan memutarnya dengan keras hingga terdorong ke belakang, sayangnya yang tidak Laras antisipasi wanita itu memilih jatub terjerembab di pelukan Pram. Pram yang dari tadi hanya melongo menikmati opera di depannya kaget dan refleks langsung memeluk pinggang Clara yang hampir jatuh. “Lihat, Pram. Istrimu dia sama sekali tidak ada hormat padaku, dia bahkan berani merayu papamu.” Wanita itu menangis sesenggukan di pelukan Pram, Laras yang tahu itu hanya modus dan si suaminya yang bego itu malah melihat sang ibu tiri dengan wajah bingung segera bertindak. “Bilang aku mau rayu papa, wong kamu yang gatel gih. Sana jauh-jauh jangan sampai badan
Laras menatap ponsel yang bergetar dengan gelisah. Nomer baru yang sama sekali tidak dia ketahui. Dulu mendapat telepon dari nomer baru adalah bencana untuknya, karena biasanya sang ayah yang meminjam ponsel entah siapa untuk menghubunginya dan meminta uang. Meski dia jarang memberikannya tapi sang ayah terlihat pantang menyerah dan tentu saja menggunakan sang ibu sebagai ancaman membuat Laras tak berkutik lagi. Tapi bukankah sang ayah punya banyak uang sekarang? Ataukah sudah habis di meja judi lagi? “Angkat, Ras. Berisik tahu,” gerutu teman di samping kubikelnya yang pasti terganggu. Laras meringis minta maaf, padahal dia sudah meminimalkan suaranya tapi mungkin telinga rekan kerjanya ini setara kelelawar. Tak ingin menimbulkan masalah lagi Laras mengangkat panggilan itu. “Akhirnya kamu mengangkat panggilan papa jug,” kata suara yang dikenali Laras di ujung sana. “Papa?” “Iya, Ras. Ini papa, baru kemarin kita bertemu masak kamu lupa dengan suara papa.” Lagi dan lagi, Lara
Laras pikir sang mertua kan berbohong atau apa demi harga dirinya, tapi laki-laki itu malah mengangguk dengan bangga. "Papa tidak curiga tujuannya melakukan itu?" cecar Laras lagi. "Kenapa kamu cemburu Pram dekat dengan mantan tunangannya?" tanya sang mertua. Laras terperangah saat melihat sang mertua malah tertawa senang. "Kenapa papa dulu nekad menikahi tunangan Pram?" tanyanya lugas. "Apa lagi, Nak. Karena aku tertarik padanya tentu saja.""Dan tidak peduli itu milik anak anda sendiri? Kenapa saya merasa anda sengaja menikahi wanita itu untuk menggagalkan pertunangan Pram?" Pemikiran itu awal ada di benak Laras, hanya saja dia masih ragu untuk mengatakannya pada Pram dan sekarang kebetulan ayah mertuanya tiba-tiba datang dan membicarakan masalah ini. "Wah ternyata kamu mempunyai pemikiran penuh drama juga," kata laki-laki itu sambil tertawa. "Jika kamu memang curiga ada maksud lain dari Clara, kamu bisa bertanya sendiri kalau bertemu nanti," lanjutnya dengan manis. Lara
“Siapa sih!” gerutu Laras sambil menyeret tubuhnya keluar kamar.Laras jarang sakit, tapi kali ini dia harus menyerah karena terus bersin dan kepalanya pusing sekali.Berkali-kali Pram mengetuk pintu kamarnya dan mengatakan sarapan sudah siap, tapi kepalanya yang pusing membuat Laras tak napsu makan. Untunglah kamar mereka terpisah jadi laki-laki itu tidak akan tahu kalau dia sakit.Laras tidak suka dikasihani, dan sekarang keadaanya pasti terlihat sangat mengerikan. Untunglah Pram percaya kalau Laras sudah makan dan bilang hari ini dia cuti karena ada urusan. Setelah Pram pergi itulah Laras bangun dengan terhuyung-huyung dan mendapati makanan yang disediakan sang suami di atas meja dan memakannya. Tidur setelah minum obat membuat Laras tak menyadari ini sudah hampir jam tiga sore, pusingnya sudah banyak berkurang tapi wajahnya masih terlihat pucat saat dia melihat cermin. Ditambah lagi bunyi bel yang membuatnya ingin menampar siapa saja yang sudah bertamu saat ini. Dia tidak b
Pram mengintip apa yang dilakukan istrinya sepagi ini di dapur. Yah istrinya karena dia memang telah menikahi Laras, meski wanita itu menolak menjadi istri yang sebenarnya. Restu Alisya beberapa bulan yang lalu membuat Pram mantap dengan rencananya mempersunting Laras. Dan dia tidak menyesalinya. Paling tidak dia tidak kesepian di rumah dan yang pasti... ada yang bisa dia jahili.“Makanya aku sudah bilang, tidak usah kerja cari kursus masak saja, supaya kamu bisa masak,” kata Pram dengan wajah penuh ejekan saat sang istri berkutat dengan penggorengan, pasti istrinya itu lapar sepagi ini, tempe yang dia goreng tebalnya tak sama dan tentu saja dengan api yang sebesar itu akan hangus dalam sekejap, belum lagi Laras yang takut-takut terciprat minyak panas merupakan pemandangan yang menarik pagi ini untuknya. Biasanya dia yang akan memasak, kalau tidak memesan makanan di luar atau mendatangkan koki di apartemennya. Me