“Apa kamu baik-baik saja, Alan?”
Akhirnya Alisya memang berangkat dengan Alan sebagai sopirnya dia tak tega melihat laki-laki itu kebingungan dengan keinginannya yang menaiki taksi.“Maksud nyonya?”“Apa mas Pandu atau Sekar memarahimu?”Alan tak segera menjawab dia masih berkonsentrasi pada kemudianya dan menoleh pada Alisya begitu mobil berhenti di lampu merah.“Tidak, memangnya ada apa nyonya?”“Apa mereka tidak bertanya tentang kejadian kemarin?”Alan terlihat berpikir. “Apa tentang nyonya yang menghabiskan waktu di salon?”Alisya langsung mengangguk dengan was-was. “Oh tuan hanya bertanya kemana saya mengantar nyonya dan kenapa pulang terlambat?”“Hanya itu? dia tidak menyinggung masalah orang lain? Atau menuduhmu sesuatu?” tanya Alisya yang tak puas dengan jawaban Alan.“Menuduh? Saya kira tidak nyonya, beliau hanya bertanya baik-baik dan saya jawab apa adanya. Apa ada masalah n“Aku menyesal tidak menemuimu lebih cepat.” “Kenapa?” “Seharusnya kamu bisa berjalan lebih cepat.” Alisya meletakkan botol air mineral yang sedang dia minum dan menatap Pram dengan pandangan tak terbaca. “Seharusnya kamu memakiku bukan, aku memilih pilihan yang keliru,” katanya sendu. Pram menghela napas lalutersenyum pada Alisya yang masih tampak begitu menyesal di depannya. “Ckkk dasar bodoh, bukannya hari ini harusnya hari bahagia mengapa jadi sedih seperti ini,” gerutu Pram yang langsung berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangannya pada Alisya. “Ayo kita berlatih sekali lagi setelah itu pulang,” lanjutnya. Alisya mengangguk dengan semangat, dia menyambut tangan Pram dan memegangnya dengan kuat. Awalnya memang sulit untuk berdiri hanya berpegangan seperti itu, tapi lama-lama Alisya bisa berdiri dengan tegak dan perlahan Pram melepaskan tangannya. Sambil mengepalkan tangannya penuh tekad Alisya kembali belajar melangkah. Perlahan... sangat perlahan. Hanya dua tiga langka
“Hentikan! Tidak jangan lakukan!” Pandu yang sudah dikuasai amarah seolah tuli dengan permohonan dan air mata Alisya. “Aku suamimu berhak atas tubuhmu bukan sopir sialan itu!” Alisya menggeleng, tentu saja dia tahu apa kewajibannya sebagai istri, tapi bukankah selama ini Pandu yang tidak menginginkannya, bukan sebaliknya. Alisya tentu saja akan dengan hati menyerahkan kehormatan yang selama ini dia jaga untuk Pandu, suaminya tapi tentu saja tidak dengan cara seperti ini. “Tidak, Mas! hentikan! Aku mohon!” derai air mata putus asa Alisya bahkan tak bisa meluluhkan hati Pandu, laki-laki itu bahkan dengan beringas langsung membuka semua pakaian Alisya. Wanita itu meronta dan mempertahanan pakaiannya sebisa mungkin, tapi tenaganya yang hanya seorang wanita tentu saja kalah jauh dengan Pandu, apalagi dia sedang sakit dan baru saja melakukan sesi terapi yang melelahkan. “Lepaskan, mas aku mohon kamu akan menyesalinya,”
Untuk pertama kalinya Alisya bungun siang. Lelah jiwa dan raga membuatnya tidur seperti orang mati. Perlahan wanita itu bangkit, dia masih meringkuk di atas ranjangnya dengan sprei yang dipasang asal oleh Pandu, matanya terasa sulit untuk terbuka, sedangkan tubuhnya terasa sakit luar biasa. Dia bukan wanita lemah. Alisya berusaha bangun, tapi beberapa bagian tubuhnya terasa sangat sakit. Dia menoleh pada jam dinding yang menunjukkan pukul dua siang. Bahkan ini sudah lewat dari jam makan siang. pantas saja perutnya sangat lamar. Tadi malam dia sudah melewatkan makan malam dan sekarang makan pagi dan siang. Dia tidak tahu apa yang dipikirkan orang-orang di rumah ini saat tak ada di dapur untuk menyiapkan makanan seperti biasanya. Alisya beringsut duduk di kursi rodanya yang tepat berada di samping tempat tidur, dia akan membersihkan diri dulu sebelum keluar kamar. Jika tidak dia pasti akan mati kelaparan dan untuk sekarang ini dia tidak boleh mati. Ada ibunya yang harus dia pik
Dulu yang Alisya inginkan adalah berada dekat dengan Pandu, mendapat perhatiannya dan mendapatkan cintanya jika mungkin. Saat ini mereka ada dalam jarak yang begitu dekat, bahkan status mereka juga suami istri tapi keinginan terbesar Alisya tidak lagi mendapatkan perhatian dari Pandu lagi. Dia ada di sini karena mengharapkan belas kasihan laki-laki itu. Sedikit rasa iba untuk pengobatan ibunya yang terbaring sakit di sana. Karena berada di dekat Pandu, bukan kebahagiaan yang dia dapatkan seperti keinginannya tapi kesakitan. Kesakitan yang akan terus bertambah setiap harinya. Seperti pagi ini, dia sebenarnya masih enggan untuk memasak untuk suaminya, tapi mendapati laki-laki itu bahkan tak makan jika tidak hasil masakannya membuat sedikit kebanggaan dalam dirinya. Alisya memang sudah menempatkan diri sebagai pelayan untuk Pandu dan Sekar jadi dia baik-baik saja meski lagi-lagi dia mendapati Sekar yang bergelayut manja di lengan Pandu
“Apa sebaiknya tuan tidak istirahat di kamar saja?” tanya bibi setelah Pandu menolak memanggil dokter. Alasan yang sangat masuk akal sebenarnya, bagaimanapun ranjang empuk lebih nyaman dari pada di sofa yang semping ini. Akan tetapi Alisya sekarang yang bingung akan membawa Pandu ke kamar yang mana? Kamar laki-laki itu dengan Sekar? Tidak mungkin kan dibawa ke kamarnya di lantai dua, lagi pula sejak Kapan Pandu sudi tidur di kamarnya, yah kecuali hari itu. Tubuh Pandu yang mengigil membuat Alisya tak tega, dengan bantuan bibi akhirnya Alisya membawa Pandu ke kamar Sekar, setidaknya di sana banyak barang-barang laki-laki itu jika dibutuhkan.“Hati-hati,” kata Alisya saat bibi membaringkan tubuh besar Pandu di ranjang. Entah kemana para pelayan mereka sepertinya kompak menghilang saat dibutuhkan seperti ini. “Biarkan... aku... tidur... sebentar,” kata Pandu dengan susah payah. “Mas!” “Tuan!” Kedua wanita itu kaget saat tubuh Pandu seperti terbanting ke ranjang besar itu dengan
“Sejauh apa kamu ingin menyakitiku,” kata wanita itu dengan suara sendu yang menyedihkan. Wajahnya merah padam menahan amarah, tapi alih-alih marah Sekar memilih berbicara dengan lembut seolah dia korban dan Alisya adalah wanita luar biasa jahat yang telah merebut semua kebahagiaannya. Tapi sorot mata jijik dan penuh hinaan itu terpancar jelas di matanya. Benar-benar aktris yang sangat berbakat, Alisya sendiri yakin dirinya tak mampu mengendalikan diri sebaik Sekar.Alisya sendiri juga sedang dilanda kebingungan dengan sikap Pandu yang tiba-tiba sang baik padanya, seolah hubungan mereka selama ini baik-baik saja. Apa laki-laki itu merasa bersalah padanya karena malam itu? Alisya menggeleng tidak mungkin Pandu berpikir begitu karena tadi pagi laki-laki itu memperlakukannya seperti biasa hanya lebih baik saja. “Apa maksudmu?” tanya Alisya. “Kamu merayu mas Pandu di kamarku, aku tidak tahu kamu menggunakan cara muraha
Andai saja dia bebas menggunakan kruk. Alisya duduk kelelahan di atas ranjangnya. Semangatnya untuk bisa berjalan lagi tak pernah padam. Tapi Alisya tahu ada yang tidak menginginkan kesembuhannya jadi dia harus hati-hati. Tok!tok! "Al kenapa pintunya di kunci?" Gawat. Buru-buru Alisya kembali ke kursi rodanya. Itu suara suaminya untuk apa laki-laki itu datang ke kamarnya? "Al?" ketukan tak sabar itu terdengar lagi. Alisya menghela napas panjang dan merapikan penampilannya. Bukan karena dia ingin tampil cantik di depan Pandu, tapi dia tidak ingin laki-laki itu tahu apa yang barusan dia lakukan. "Kenapa dikunci?" katanya begitu Alisya membuka pintu. Alisya belum menjawab pertanyaan Pandu saat laki-laki itu langsung nyelonong masuk ke dalam kamar Alisya dan tidur di ranjang. "Mas tidak ke kantor?" tanya Alisya. Tidak lagi bekerja bukan berarti dia melupakan hari. Ini hari Rabu, artinya masih hari kerja dan setahunya Pandu yang gila kerja, tidak akan pulang da
"Bubur ayam?" Pandu menatap bubur ayam di depannya dengan alis terangkat.Apalagi saat Alisya hanya meletakkan mangkuk berisi bubur ayam buatannya di depannya dan Sekar. "Kamu makan apa?" tanya Pandu penasaran. Alisya yang baru saja menggeser kursi rodanya untuk duduk di sisi lain Pandu menatap suaminya dengan bingung. "Aku minum susu sama makan roti," kata Alisya sambil mengambil satu buah roti tawar dari dalam toast. "Hanya itu? memangnya kenyang?" "Sayang, kamu katanya ada meeting pagi ini?" tanya Sekar dengan lembut, tapi matanya menatap tajam pada Alisya. Sebagai sesama wanita tentu Alisya tahu kalau Sekar cemburu padanya, meski dia sama sekali tidak habis pikir kenapa Sekar mau menjadi yang kedua jika tidak siap berbagi. Alisya menggelengkan kepalanya dan melanjutkan makan rotinya, mungkin Pandu hanya heran saja. "Meetingnya di undur," jawab Pandu cepat lalu pada Sekar, lalu pandangannya kembali pada Alisya. "Apa tidak ada bahan makanan?" Alisya menghela napas, ada a