“Dua minggu lagi Sekar juga akan tinggal di sini,” kata Pandu tenang. Alisya menatap suaminya dengan terbelalak. Dia sangat menyadari kalau ini memang rumah yang dibangun Pandu untuk istrinya, dan seperti yang laki-laki itu bilang Sekar istrinya juga, tapi bukan berarti mereka bisa hidup dalam satu atap. Membayangkan ada seseorang lagi dengan watak yanglicik dan culas di rumah ini dengan status yang sama dengannya membuat Alisya tak tahu penderitaan macam apa lagi yang akan dia jalani. “Baiklah aku mengerti, aku bisa tinggal ditempat lain,” kata Alisya berusaha bersikap tenang. “Rumah ini tidak kekurangan kamar meski penghuninya bertambah lima orang lagi,” kata Pandu tak habis pikir. Rumah ini memang tidak seluas rumah utama yang ditempati orang tua Pandu, tapi luar tanah yang mencapai satu hektar lebih lebih dari cukup untuk menampung keluarga kecil itu juga orang-orang yang bekerja di sana, apalagi pegawai yang menetap hanya beberapa orang sisanya merupakan bantuan dari rumah u
Alisya menatap terbebalak saat baru saja tiba di ruangan itu. Dia tak pernah menyangka akan melihat hal ini lagi. Sejak tadi pagi wajah Alisya sudah terlihat mendung, penyebabnya tentu saja suaminya yang sedang melakukan bulan madu dengan istri barunya.Alisya tentu tahu rencana ini dan berusaha untuk menata hatinya, tapi hal itu langsung ambyar saat dia mendapat kiriman kebersaaman keduanya saat bulan madu dari nomor tak dikenal. Alisya tidak tahu nomer siapa itu, tapi siapapun itu telah berhasil menghancurkan pertahanan yang coba dia bangun, dan kedatangan ke sini seperti biasa ingin mencari ketenangan. Tempat satu-satunya orang yang begitu sangat mencintainya dan juga dia cintai. Meski tak bisa menanggapinya. Akan tetapi Tuhan sepertinya sedang bermurah hati padanya, setelah kesakitan yang dia alami melihat ibunya sudah bisa membuka mata dan duduk meski dengan wajah pucat membuatnya sangat senang. “Kenapa tak a
“Mas Alan bisa jalan-jalan sekitar sini, mungkin saya akan lama. Nanti saya hubungi jika sudah selesai,” kata Alisya begitu mereka sudah sampai di mall yang dimaksud. Seperti biasa Alan membantu wanita itu untuk menaiki kursi rodanya lagi. “Apa tidak sebaiknya saya menemani nyonya ke dalam? Mungkin nyonya perlu bantuan saya membawa barang,” kata laki-laki. Pertanyaan yang wajar memang, tapi hal itu tentu saja akan berpotensi menggagalkan rencananya.“Saya bisa sendiri,” kata Alisya dengan yakin. Alan terdiam dan menatap wanita di depannya dengan sedikt ragu. Sebuah pertanyaan melintas di otaknya dan dia tak tahan untuk tidak bertanya langsung. “Apa mas Pandu memintamu mengawasiku?” tanya Alisya. Alan langsung membelalak mendengar pertanyaan Alisya itu. “Bukankah itu tugas saya memang nyonya.” “Jadi benar selama ini kamu mengawasiku. Tunggu apa nomer baru yang-” “Nyonya salah paham,” potong Alan
Ini sudah dua minggu sejak kepergian Pandu waktu itu. Apa mereka akan kembali hari ini atau menambah waktu lagi? Alisya lebih sering menghabiskan waktunya dengan mengurung diri dalam kamar. Jika dulu dia melakukannya untuk menghindari hinaan dan juga pandangan sinis orang-orang di rumah ini, sekarang Alisya melakukannya untuk melatih kakinya. Iya dia memang nekad melakukannya seperti yang dikhawatirkan Pram waktu itu, tapi dia tak punya cara lain, dia tidak punya siapapun untuk dimintai bantuan di sini. Kadang Alisya melatih otot kakinya dengan berdiri dan duduk dari tempat tidurnya atau sofa empuk yang ada di sini. Sampai sekarang kamarnya memang masih ada di lantai bawah, lift yang dibangun Pandu belum juga selesai sampai sekarang, dan itu menambah tekad Alisya untuk sembuh. Dia ingin segera sembuh, paling tidak kakinya bisa digunakan lagi untuk menompang tubuhnya, sebelum bisa digunakan untuk menompang hidupnya lagi. “Ayo... sedikit... lagi.” Alisya berdiri dari tempat tidu
“Kamu tidak berencana untuk pergi bukan.” Alisya yang masih dengan susah payah menggeret koper besarnya langsung terdiam. Dia bingung akan menjawab apa. Dia tidak ingin dikatakan pengadu, tapi tidak mengatakan fakta benarnya jelas akan merugikan dirinya sendiri. “Ehm... hanya pindah kamar saja,” jawab Alisya beruisaha tenang. “Kenapa kamua harus pindah kamar?” tanya laki-laki itu lagi. “Ehm... saya... hanya ingin dekat dengan dapur.” “Dan untuk apa kamu ingin kamar yang dekat dengan dapur?” Alisya merasa sedang dintrogasi, dia melirik pada ibu mertua juga para pelayan yang masih sibuk entah apa di sana, melihat semua ini tanpa berani menyela. “Katakan, Nak. Apa yang terjadi?”Alisya memaksakan senyumnya, laki-laki paruh baya yang menjadi ayah mertuanya ini sudah berdiri di depannya dan menatapnya dengan menuntut. “Kamar itu akan ditempati mas Pandu dan istrinya,” jawab Alisya
“Bukankah kamu punya penhouse, kenapa mengajak Sekar tinggal di sini?” “Kamu mengadu pada papa?” Pandu menatap tajam Alisya yang masih menunduk, sungguh dia tidak mempermasalahkan semua ini. dia hanya ingn cepat sembuh dan bisa bekerja lagi, menompang hidupnya dan sang ibu. Tidak dengan menggantungkan hidup pada seseorang yang sama sekali tidak menginginkannya. “Bukan Alisya tapi Papa, apa kamu tidak tahu dia menempati kamar pembantu. Atau memang kamu menjadikannya pembantumu dan istri barumu?” “Bukan begitu. apa yang kamu lakukan, Al? apa yang dimaksud papa dengan kamar pembantu bukankah aku sudah meminta kamu pindah ke lantai atas.” “Maaf, mas aku tidak –“ “Kamu sengaja membuat kami bertengkar rupanya. Lihat, pa wanita yang papa bela ini malah membuat anak kita seperti orang jahat.” “Memang kenyataannya begitu kan,” kata sang ayah dengan tenang. Lalu menatap putranya dengan seksama. “Apa kamu lupa kalau Alisya
“Aku akan mengantarmu kontrol ke dokter besok,” kata Pandu yang tiba-tiba saja masuk ke kamar Alisya. “Mas Pandu apa yang mas lakukan!” Alisya yang sedang mengganti bajunya langsung menarik selimut di sampingnya untuk menutupi tubuh bagian atasnya, sungguh dia tidak rela tubuhnya dilihat oleh Pandu meski laki-laki itu adalah suaminya yang sah. Pandu mengangkat alisnya tak peduli melihat kepanikan Alisya. “Kamu berlebihan,” komentarnya datar.“Maaf, seharusnya mas bilang kalau mau masuk,” kata Alisya tak rela. “Kenapa aku harus melakukannya, ini juga kamarku bukan.” Alisya memejamkan matanya sejenak, berusaha meredakan emosinya. Dua hari setelah kedatangan Pandu, entah dengan cara apa lift untuknya akhirnya selesai dengan baik dan mau tak mau Alisya harus pindah ke lantai dua, sebenarnya ada tiga kamar di sini tapi Pandu kukuh menginginkan Alisya untuk menempati kamar miliknya. Dan yang membuat Alisya tidak nyaman adalah laki-laki itu yang bisa masuk seenaknya ke kamar ini, bahka
“Aku tidak masalah jika harus berangkat sendiri, mas pasti sibuk,” kata Alisya untuk kesekian kalinya. Dia kira setelah drama Sekar yang merajuk, Pandu akan membatalkan niatnya untuk mengantarnya ke dokter ternyata laki-laki itu kembali muncul di ruang makan dan mengatakan tetap akan mengantar Alisya nanti dan tak mempedulikan keberatan Sekar. “Bukankah aku sudah bilang akan mengantarmu dan tidak membatalkannya,” tegas Pandu. “Tapi sekar-““Sebenarnya aku curiga kamu yang tidak mau aku antar. Katakan ada apa? apa kamu menyembunyikan sesuatu?” tanya Pandu penuh intimidasi. Alisya menghela napas dengan tegang. Sepertinya dia memang tidak bisa menghindar. “Memangnya apa yang bisa aku sembunyikan jika mas selalu mengawasiku,” jawabnya setenang mungkin. “Benar seharusnya memang tidak ada.” Pandu segera mendorong kursi roda Alisya ke dekat mobilnya dan segera membopong Alisya untuk naik ke kursi di samping kemudi. Lalu dia menyimpan kursi roda Alisya di bagasi dan berputar ke kursi ke
Jika diberi pilihan hidup sekali lagi apa orang-orang itu akan memilih pilihan yang berbeda atau masih keras kepala kalau pilihannya sudah tepat. Meski pilihan itu mengorbankan orang lain atau bahkan dirinya sendiri?"Seharusnya saya tadi tidak bicara dengannya," kata Alisya lirih penuh penyesalan. Sungguh Alisya menyesal dengan apa yang terjadi pagi ini, wanita itu menunduk dengan kedua tangan saling menggenggam erat. Saat ini dia ada di ruang tunggu ruang perawatan Pandu, bersama sang ibu mertua tentu saja karena ayah mertuanya harus mengurus insiden yang terjadi pagi ini. "Seharusnya memang begitu." Alisya langsung mendongak mendengar suara dingin ibu mertuanya, suara yang sejak kemarin tidak dia dengar lagi. "Kamu memang bodoh, bukankah aku sudah bilang untuk menjauhinya tapi kamu sok baik dengan meladeninya bicara." Kalimat itu memang menyakitkan tapi Alisya tak bisa menyangkal kebenaran kalimat itu. "Maaf." Hanya itu yang bisa dia katakan, andaikan waktu bisa diputar lag
Alisya menatap tetesan darah di lantai dengan tubuh bergetar. Dia selalu meyakinkan diri kalau dirinya adalah wanita yang mandiri dan kuat, akan tetapi saat ini dia tak yakin lagi dengan hal itu. Dia bahkan tak tahu bagaimana dia bisa ada di sini, yang dia tahu dia hanya sekuat tenaga mendekap luka di punggung sang suami dan berusaha menghentikan darah yang terus saja mengalir. Sedangkan Bisma seperti mengerti kalau sang ayah butuh pertolongan anak itu menangis begitu kencang dan berlari ke dalam rumah mencari pertolongan. "Pandu pasti akan baik-baik saja dia laki-laki yang kuat, dulu dia sendirian menghadapi segala ujian hidupnya mampu sekarang dia pasti sangat mampu dengan adanya kamu dan anak kalian." Kalimat itu diucapkan ayah mertuanya dengan mata berkaca-kaca. Alisya tahu bukan hanya dirinya yang shock, tapi juga semua orang yang ada di sana.Meski dia sama sekali tidak menyukai Silvia karena berusaha merusak rumah tangganya, tapi Alisya masih menghormati wanita itu sebaga
"Mas."Ini kayak maling kolor terus ketahuan lagi sama orang sekampung, hasil curiannya nggak seberapa tapi malunya itu lho yang akan melekat erat selama hidupnya, entah tadi dia ngomong apa saja, Alisya saja sampai lupa. Mau bagaimana lagi dia yang biasanya terorganisir dan sangat realistis, hanya mengandalkan emosinya saja, yah mau bagaimana lagi pelakor di depannya ini sangat menyebalkan dan tak tahu malu. Bukan Alisya takut kalau sang suami akan membela pelakor ini sebenarnya tapi lebih kepada harga dirinya yang terbanting jatuh, jangan sampai deh suaminya ini besar kepala karena diperebutkan dua orang wanita, apalagi pelakor ini sangat gigih dan memiliki background yang luar biasa. Alisya sedang tidak menuduh suaminya akan tergoda oleh wanita ini sih, tapi tetap saja suaminya adalah laki-laki biasa dan bisa saja melakukan kesalahan. "Bisma mencarimu, Sayang," kata Pandu lembut. "Aku kira kamu di dapur." "Oh tadi memang ada di sana buatin makanan untuk mas sama Bisma tapi non
"Bagaimana kamu melakukannya?" tanya Pandu takjub ketika mereka masuk ke dalam kamar. Malam ini adalah pesta ulang tahun Panji Wardhana, bukan pesta yang meriah memang hanya makan malam keluarga besar dan juga sedikit bertukar cerita, tapi hal yang sangat epik terjadi adalah, istri Panji Wardhan sekaligus ibu mertua Alisya yang dulu terlihat sangat anti dengan menantunya, tiba-tiba saja membela sang menantu, bahkan mengesankan mereka sudah akrab satu sama lain. "Melakukan apa?" "Menjadi soulmate mama," kata Pandu sambil menarik Alisya dalam pelukannya. "Mama hanya cerita masa lalunya saja, dan beliau juga bilang kalau hal yang sama terjadi padanya dulu, maksudku tante Agnes menjodohkan suaminya dengan wanita lain." "Iya pola yang sama untuk orang yang berbeda, tanteku sangat tidak kreatif bukan," kata Pandu sambil tertawa getir. "Dia hanya tidak mau kehilangan kendali pada keluarga." "Benar, tapi opa juga bukan orang bodoh dia tahu mana anaknya yang mampu menjadi pewaris kekaya
"Jangan pergi jika ada yang harus pergi dari sini itu orang lain, ini pesta ayah kalian, sama halnya kalian tuan rumah di sini." Pandu yang terlihat sangat emosi sambil menggandeng tangan Alisya langsung menghentikan langkahnya.Sang mama tadi memang tidak ikut ada di sana tapi suara keras mereka pasti menarik perhatian semua orang, apa karena Pandu pernah mengkhianati pernikahannya dulu, bukan berarti dia akan mudah mengkhianati pernikahannya lagi. "Mama." "Apa kamu kira mama tidak pernah mengalaminya, jawabnya sering tapi mama bukan orang yang mudah menyerah," kata sang mama dengan pandangan penuh tekad."Mama tahu kamu selama ini sudah sangat menderita, dan sekarang buktikan kamu memang layak untuk menjadi pewaris bukan hanya karena kamu anak papamu." Pandu menatap mamanya kaget, ada kesedihan, penyesalan juga rasa bersalah di mata wanita yang telah melahirkannya itu, tapi dia tahu mamanya memang menyesal sudah menelantarkannya dulu, tapi bukan berarti mamanya berubah menjadi l
"Maaf, mbak hanya kamar itu yang masih tersisa, aku kira tadi mbak hanya datang bersama keluarga seperti biasa."Alisya melihat ayah mertuanya menghela napas dalam, sementara ibu mertuanya memilih memalingkan muka, terlihat sekali kalau wanita itu sama sekali tidak menyukai saudara iparnya ini. "Kamu bagaimana sih, Ji. seharusnya sebagai tuan rumah kamu sudah memperkirakan hal seperti ini," omel sang tante. Sebagai seorang pewaris utama semua aset keluarga tentu saja ayah mertuanya tidak ingin nama baik keluarga besarnya menjadi tercoreng, memang sih di sini sama sekali tidak ada orang lain, tapi ada para saudara serta anak menantu mereka yang tentu akan menilai sang pewaris bukan orang yang cakap untuk menghandle keluarga besarnya. "Maaf, mbak. Untuk sementara nona... ehm.. Silvia, benar namamu itu bukan kamu anak hakim Raharja?" Silvia lalu mengangguk dengan tak enak hati. "Kamu tidak masalahkan, menempati kamar tamu di belakang, maaf kalau kesannya malah tidak sopan.""Tidak apa
Acara itu dilakukan di salah satu villa keluarga Wardhana. Ini pertama kalinya memang Alisya mengikuti acara keluarga suaminya. "Apa setiap tahun hanya seperti ini?" tanya Alisya pada sang suami yang sedang menyetir di sampingnya. "Seperti ini bagaimana?" "Hanya acara kumpul keluarga?" "Iya memangnya harus bagaimana, papa bilang dia sudah terlalu tua untuk acara seperti ini." "Oh, aku kira ulang tahun papa akan dirayakan besar-besaran dan mengundang koleganya, karena Silvia-" "Dia tak pernah datang ke acara keluarga kami, entah kalau keluarga tante," potong Pandu yang tak ingin nama itu lagi-lagi di sebut oleh istrinya, dia cukup kesal dengan ulah wanita itu. Setelah pembicaraan mereka berdua kemarin, Pandu kira wanita seperti Silvia akan merasa marah dan lebih memilih pulang saja tapi wanita itu cukup tebal muka, Pandu saja sampai terkejut saat kembali ke dalam mobil setelah menjemput Alisya yang sedang mengajak anak mereka bermain, sudah duduk seperti semula di dalam mobil d
"Mbak Silvia mau duduk di depan?" tanya Alisya.Pandu mengangkat alisnya mendengar pertanyaan Alisya, tapi dia sama sekali tak berkomentar apapun. Usia pernikahan mereka memang masih seumur jagung, tapi komunikasi yang efektif juga pelajaran berharga yang mereka dapatkan di pernikahan sebelum ini menjadikan ikatan mereka makin kuat. Keduanya masih muda, masih memiliki waktu yang panjang untuk mengarungi bahtera rumah tangga yang penuh duri, tapi mereka yakin dengan saling percaya satu sama lain, membuat keduanya akan mampu bertahan di tengah badai yang menerjang. Sengaja memang Alisya bertanya seperti itu untuk memancing wanita di depannya ini tapi Silvia bukan orang bodoh dia tahu sekali maksud Alisya. "Saya dibelakang saja, saya tidak ingin diusir karena dianggap menganggu suami orang." "Jawaban yang bijak, saya harap itu tidak hanya dimulut saja," balas Alisya tak lupa memberikan senyum semanis mungkin. Alisya membuka pintu penumpang samping, lalu Pandu memberikan putra merek
Silvia yang Pandu kenal dulu adalah gadis yang lemah lembut dan baik hati, karena itu dia tidak keberatan saat sang tante merekomendasikan wanita itu untuk menangani perceraiannya dengan Sekar yang pasti tidak akan berlangsung dengan mudah. Sekian lama tidak bertemu meski mereka memang dalam lingkungan pergaulan yang sama membuat Pandu terkejut dengan perubahan wanita itu, tutur katanya memang masih halus dan lembut seperti dulum tapi Silvia yang sekarang berubah menjadi wanita yang ambisius dan manipulatif. Apalagi sejak wanita itu nekad menerobos masuk ke dalam mobilnya dengan alasan ingin menjelaskan kesalahpahaman pada Alisya, tapi nyatanya hal yang terjadi malah sebaliknya, Alisya emnjadi tambah marah dan Silvia seolah menikmati semua itu dan menambah parah kesalahpahaman mereka. Harusnya sejak awal Pandu memang tidak berhubungan dengan wanita ini, dia bukannya tidak menyadari kalau Silvia punya ketertarikan lebih pada dirinya diperparah dengan dukungan sang tante yang