“Mas Alan bisa jalan-jalan sekitar sini, mungkin saya akan lama. Nanti saya hubungi jika sudah selesai,” kata Alisya begitu mereka sudah sampai di mall yang dimaksud.
Seperti biasa Alan membantu wanita itu untuk menaiki kursi rodanya lagi.“Apa tidak sebaiknya saya menemani nyonya ke dalam? Mungkin nyonya perlu bantuan saya membawa barang,” kata laki-laki.Pertanyaan yang wajar memang, tapi hal itu tentu saja akan berpotensi menggagalkan rencananya.“Saya bisa sendiri,” kata Alisya dengan yakin.Alan terdiam dan menatap wanita di depannya dengan sedikt ragu. Sebuah pertanyaan melintas di otaknya dan dia tak tahan untuk tidak bertanya langsung.“Apa mas Pandu memintamu mengawasiku?” tanya Alisya.Alan langsung membelalak mendengar pertanyaan Alisya itu. “Bukankah itu tugas saya memang nyonya.”“Jadi benar selama ini kamu mengawasiku. Tunggu apa nomer baru yang-”“Nyonya salah paham,” potong AlanIni sudah dua minggu sejak kepergian Pandu waktu itu. Apa mereka akan kembali hari ini atau menambah waktu lagi? Alisya lebih sering menghabiskan waktunya dengan mengurung diri dalam kamar. Jika dulu dia melakukannya untuk menghindari hinaan dan juga pandangan sinis orang-orang di rumah ini, sekarang Alisya melakukannya untuk melatih kakinya. Iya dia memang nekad melakukannya seperti yang dikhawatirkan Pram waktu itu, tapi dia tak punya cara lain, dia tidak punya siapapun untuk dimintai bantuan di sini. Kadang Alisya melatih otot kakinya dengan berdiri dan duduk dari tempat tidurnya atau sofa empuk yang ada di sini. Sampai sekarang kamarnya memang masih ada di lantai bawah, lift yang dibangun Pandu belum juga selesai sampai sekarang, dan itu menambah tekad Alisya untuk sembuh. Dia ingin segera sembuh, paling tidak kakinya bisa digunakan lagi untuk menompang tubuhnya, sebelum bisa digunakan untuk menompang hidupnya lagi. “Ayo... sedikit... lagi.” Alisya berdiri dari tempat tidu
“Kamu tidak berencana untuk pergi bukan.” Alisya yang masih dengan susah payah menggeret koper besarnya langsung terdiam. Dia bingung akan menjawab apa. Dia tidak ingin dikatakan pengadu, tapi tidak mengatakan fakta benarnya jelas akan merugikan dirinya sendiri. “Ehm... hanya pindah kamar saja,” jawab Alisya beruisaha tenang. “Kenapa kamua harus pindah kamar?” tanya laki-laki itu lagi. “Ehm... saya... hanya ingin dekat dengan dapur.” “Dan untuk apa kamu ingin kamar yang dekat dengan dapur?” Alisya merasa sedang dintrogasi, dia melirik pada ibu mertua juga para pelayan yang masih sibuk entah apa di sana, melihat semua ini tanpa berani menyela. “Katakan, Nak. Apa yang terjadi?”Alisya memaksakan senyumnya, laki-laki paruh baya yang menjadi ayah mertuanya ini sudah berdiri di depannya dan menatapnya dengan menuntut. “Kamar itu akan ditempati mas Pandu dan istrinya,” jawab Alisya
“Bukankah kamu punya penhouse, kenapa mengajak Sekar tinggal di sini?” “Kamu mengadu pada papa?” Pandu menatap tajam Alisya yang masih menunduk, sungguh dia tidak mempermasalahkan semua ini. dia hanya ingn cepat sembuh dan bisa bekerja lagi, menompang hidupnya dan sang ibu. Tidak dengan menggantungkan hidup pada seseorang yang sama sekali tidak menginginkannya. “Bukan Alisya tapi Papa, apa kamu tidak tahu dia menempati kamar pembantu. Atau memang kamu menjadikannya pembantumu dan istri barumu?” “Bukan begitu. apa yang kamu lakukan, Al? apa yang dimaksud papa dengan kamar pembantu bukankah aku sudah meminta kamu pindah ke lantai atas.” “Maaf, mas aku tidak –“ “Kamu sengaja membuat kami bertengkar rupanya. Lihat, pa wanita yang papa bela ini malah membuat anak kita seperti orang jahat.” “Memang kenyataannya begitu kan,” kata sang ayah dengan tenang. Lalu menatap putranya dengan seksama. “Apa kamu lupa kalau Alisya
“Aku akan mengantarmu kontrol ke dokter besok,” kata Pandu yang tiba-tiba saja masuk ke kamar Alisya. “Mas Pandu apa yang mas lakukan!” Alisya yang sedang mengganti bajunya langsung menarik selimut di sampingnya untuk menutupi tubuh bagian atasnya, sungguh dia tidak rela tubuhnya dilihat oleh Pandu meski laki-laki itu adalah suaminya yang sah. Pandu mengangkat alisnya tak peduli melihat kepanikan Alisya. “Kamu berlebihan,” komentarnya datar.“Maaf, seharusnya mas bilang kalau mau masuk,” kata Alisya tak rela. “Kenapa aku harus melakukannya, ini juga kamarku bukan.” Alisya memejamkan matanya sejenak, berusaha meredakan emosinya. Dua hari setelah kedatangan Pandu, entah dengan cara apa lift untuknya akhirnya selesai dengan baik dan mau tak mau Alisya harus pindah ke lantai dua, sebenarnya ada tiga kamar di sini tapi Pandu kukuh menginginkan Alisya untuk menempati kamar miliknya. Dan yang membuat Alisya tidak nyaman adalah laki-laki itu yang bisa masuk seenaknya ke kamar ini, bahka
“Hari ini aku harus menemui dokter.” Alisya menatap suaminya, Pandu Wardana menghentikan makannya dan menatap wanita itu datar. “Aku harus bekerja.” Tentu saja apa yang bisa Alisya harapkan Pandu mengantarnya ke dokter? Dia pasti sudah gila. Pernikahan mereka bukan pernikahan atas dasar cinta pada umumnya. Alisya memang mencintai Pandu, bahkan sangat mengagumi laki-laki itu, mereka dulu adalah rekan kerja yang kompak hingga petaka itu terjadi. Alisya yang waktu itu sedang bingung kemana harus mencari uang untuk pengobatan ibunya, menyebrang jalan begitu saja. Ia tak melihat kendaraan yang dikemudikan Pandu dengan kencang. Kecelakaan itu membuatnya harus duduk di kursi roda karena kakinya sama sekali tak mampu menompang tubuhnya. Berhari-hari Alisya menyesali kecerobohannya, apalagi tak lagi punya uang untuk pengobatan ibunya. Di saat itulah kedatangan Pandu dan ayahnya seperti secercah harapan untuknya. Mungkin Tuhan memang mengujinya dengan kaki yang lumpuh. Tapi diba
“Ini Sekar kekasihku.” Dari sekian banyak wanita yang bisa menjadi pacar suaminya kenapa harus wanita ini. tidak cukupkah luka yang wanita ini torehkan pada keluarganya dulu? Alisya tak mungkin salah mengenali orang, meski penampilannya sudah dipoles sana sini sedemikian rupa, tapi senyum dan wajah lembut penuh tipu muslihat itu tak akan pernah dia lupakan. Dan sepertinya Sekar menyadari siapa dirinya tapi seperti yang sudah Alisya kenal bertahun-tahun yang lalu, Sekar adalah orang sangat pandai menjaga raut wajahnya, dan itu yang membuatnya berbahaya. Alisya tahu ini sudah sangat terlambat, tapi bertemu dengan wanita ini membuatnya bukan hanya merasakan rasa sakit tapi juga amarah.“Halo Alisya.” Alisya masih menggenggam tangannya kuat berusaha menguasai dirinya saat wanita itu berjalan mendekatinya dan mengulurkan tangan dengan senyum terkembang. “Halo, kamu pasti sudah tahu siapa aku, meskipun itu tak menyurutkan langkahmu untuk memilki suamiku.” Alisya sendiri terkejut
“Beraninya kamu menyakiti kekasihku.” Pandu menatap Alisya dengan dingin.Laki-laki itu langsung meraih Sekar dalam pelukannya dan memeriksa pipi dan juga semua bagian tubuh dengan sangat khawatir, membuat Alisya hanya bisa menggigit bibirnya getir. Ada rasa takut dalam hatinya karena tak pernah melihat Pandu semarah itu.Alisya memang dibesarkan dengan kesederhanaan oleh kedua orang tuanya bahkan setelah ayahnya meninggal mereka bisa dikatakan kekurangan tapi tak pernah ada perlakukan kasar dan bentakan meski mereka mendidknya dengan sangat keras tapi saat dia menikah kata-kata kasar penuh hinaan itu sudah menjadi makanannya sehari-hari. Bukan hanya dari Pandu suaminya tapi juga dari keluarga laki-laki itu bahkan para pelayan yang bekerja di rumah ini. Biasanya Alisya hanya diam saja dan hanya menunduk kemudian pergi dari sana, menganggap itu adalah bagian dari resiko. Akan tetapi kali ini dia tak bisa terima Sekar telah menghina ibunya. Dia tidak pernah memiliki hutang budi pada
Wajah pucat dan mata sembab.Itulah yang dilihat Alisya dari sosok dalam pantulan cermin. Dia ingin tetap di dalam kamar dan tidak usah menghadiri pesta itu, tapi dia tidak bisa mengabaikan ancaman Pandu. Alisya tak menyangka bahwa banyak orang yang hadir untuk menghadiri pesta ulang tahunnya, tapi dia bahkan tak tahu siapa saja yang diundang. Dia memang pemeran utama dalam pesta ini tapi dia merasa seperti tamu yang tak diundang, begitu menyedihkan.Tentu saja ini pesta untuk Sekar, wanita yang dicintai Pandu.Alisya mengedarkan pandangannya tak terlihat Pandu atau keluarganya dimanapun. Bahkan Sekar juga tak ada diantara tamu yang tak semua Alisya kenal. “Aku tidak tahu apa yang membuatmu betah duduk di kursi menyedihkan itu?” Alisya yang semula sibuk mengedarkan pandangan mencari keberadaan Pandu langsung menoleh dan menemukan laki-laki yang menatap sinis padanya. Pramudya Setiaji, sahabat Alisya, mereka sudah mengenal sejak SMA, ayah Pram adalah salah satu rekan bisnis ayah