Share

Bab 5

Alisya bukan batu dia manusia yang memiliki perasaan. 

Dia juga seorang istri yang sama sekali tidak diharapkan dan diperlakukan begitu kejam. 

“Aku akan memberikan perawatan terbaik untuk ibumu setelah kamu melakukan ini.” 

Alisya menelan kembali tangisnya. Ibunya... benar wanita yang sangat dia sayangi itu saat ini sedang berjuang melawan penyakit yang menggerogotinya. Alisya tak akan sanggup bila harus kehilangan wanita itu. 

Ayahnya sudah berpulang terlebih dahulu dengan cara yang tak sanggup lagi dia ingat, dan sekarang ibunya adalah satu-satunya hal berharga yang dia miliki di dunia ini. 

Selama ini orang tuanya sudah membesarkannya dengan sangat baik meski dalam keterbatasan. Jika nyawa itunya bisa dipertahannya dengan rasa sakit hatinya... Alisya ikhlas menerimannya. 

“Aku mengerti terima kasih, mas. Aku sangat berharap ibuku akan segera sembuh.” 

Alisya tersenyum meski hatinya sangat pedih, sejenak dia menatap wajah rupawan Pandu yang sangat dia kagumi, untuk terakhir kalinya dia ingin mengamati wajah itu lebih dekat saat Pandu berdiri di depannya seperti itu yang sepertinya laki-laki itu tak keberatan. 

Tepuk tangan para tamu yang hadir membuat Alisya memutuskan mengalihkan pandangannya dan  memperhatikan dua orang pelayan yang mendorong sebuah kue berukuran sedang dan lilin dengan angka dua puluh lima di atasnya. 

Pandu menggerakkan kursi roda Alisya untuk lebih mendekat, dan dengan tangan gemetar menerima pisau kue dari tangan laki-laki itu. 

Tepuk tangan kembali membahana ketika Alisya sudah memotong sedikit kue itu dan memberikannya pada Pandu, laki-laki itu menerimanya  dengan senyum di bibir tapi sorot matanya penuh ancaman. 

Setelah prosesi potong kue itu, Pandu mengambil microphone dari tangan pembawa acara. 

“Selamat ulang tahun istriku, semoga di umurmu kamu bisa lebih bijak lagi dalam bersikap,” kata Pandu dengan suara lembut yang bagi telinga Alisya itu adalah bentuk sindiran dan ancaman. 

“Ah dan aku juga punya hadiah untukmu.” 

Laki-laki itu memberi isyarat pada sesorang yang langsung sigap datang membawa sebuah kotak.  Alisya mengernyitkan kening, bukan dia tidak senang hadiah dari suaminya tapi dia tahu hadiah itu bukan karena ketulusan Pandu. 

“Bukalah,” kata Pandu setelah menyerahkan kotak itu. 

Alisya membukanya dengan tangan gemetar, meski begitu dia tak dapat menahan ketakjubannya pada sebuah liontin indah di dalam sana. 

“Ini indah sekali, terima kasih,” kata Alisya seoalah tak sadar. 

Alisya masih terpaku menatap liontin itu, saat suara Pandu berbisik lirih di telinganya. “Ini saatnya kamu mengumumkan, ingat lakukan sehalus mungkin.” 

Seperti ada petir yang baru saja menyambar di siang hari, Alisya mengangkat wajah. Benda berkilau ini telah membuatnya terlena dan benar saja Pandu tidak secara tulus memberikan sesuatu untuk Alisya. 

Alisya menatap sekelilingnya, orang-orang menatap mereka dengan kagum terutama Pandu yang terlihat begitu menyayanginya  yang cacat.  Laki-laki itu memang sangat cerdas untuk membuat suasana seperti keinginannya. 

Ingin sekali Alisya berteriak kalau semua ini tidak nyata, tapi Alisya tak mampu untuk melakukannya jadi alih-alih berteriak seperti orang gila, dia dengan tangan gemetar dan wajah menampilkan senyum yang membuat setiap sudut wajahnya begitu sakit, meraih microphone di tangan Pandu, lalu berbicara dengan setenang yang dia bisa. 

“Saya sangat mencintai suami saya, karena itu hari ini saya juga ingin memberikan sebuah kado untuknya... Nona Sekar tolong maju ke depan,” kata Alisya dengan suara goyah. 

Dengan senyum lebar penuh kemenangan Sekar berdiri dari duduknya, dia menatap ibu  Pandu sejenak dan yang memberikan senyum penuh dukungan. Bahkan ayah Pandu juga menganggukkan kepalanya membuat Alisya terkejut. 

Ayah Pandu selalu bersikap baik padanya dan mendukungnya menjadi istri putranya tapi apa yang dia lihat ini!

Sebuah tangan meremas tangan Alisya seolah memberi isyarat dan dia tahu tangan siapa itu. Aliysa menghela napas panjang dan kali ini sama sekali tidak bisa menutupi getar suaranya juga air mata yang tiba-tiba menetes dia berkata. 

“Ma.. malam ini saya melamar Nona Sekar untuk menjadi istri kedua suami saya, karena saya tahu saya punya banyak kekurangan.” 

Ruangan itu langsung hening seketika, semua orang seperti shock menatap Alisya yang kali ini menunduk dalam tapi tak lama kemudian dia mendongak lagi dan kali ini matanya bertatapan langsung dengan mata Pandu yang menatapnya begitu dalam yang sama sekali tak sanggup Alisya artikan. 

“Jadi maukah nona Sekar menerima lamaran saya?” lanjut Alisya dengan suara lebih tegar. 

Perkataan Alisya itu sekaligus seperti menyadarkan semua orang dari keterpakuannya, ruangan itu langsung riuh semua suara bercampur menjadi satu, tapi tak membuat Alisya mundur. Ini demi ibunya, dia yakin Pandu tidak akan mengingkari janjinya, laki-laki itu akan memberikan pengobatan terbaik untuk ibunya. 

Alisya mengigit bibirnya sampai sakit saat dengan ekpresi malu-malu Sekar menganggukkan kepalanya dan sepertinya Pandu melupakan ini disaksikan banyak orang, laki-laki itu tersenyum lebar dan tanganya langsung meraih tangan Sekar dan mengenggamnya. 

Alisya menunduk takut air matanya menetes, dia tak sanggup lagi berada di sini, dia memang telah membuat sandiwara sebaik mungkin. Sandiwara  yang berpotensi membunuhnya perlahan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status