Alisya bukan batu dia manusia yang memiliki perasaan.
Dia juga seorang istri yang sama sekali tidak diharapkan dan diperlakukan begitu kejam. “Aku akan memberikan perawatan terbaik untuk ibumu setelah kamu melakukan ini.” Alisya menelan kembali tangisnya. Ibunya... benar wanita yang sangat dia sayangi itu saat ini sedang berjuang melawan penyakit yang menggerogotinya. Alisya tak akan sanggup bila harus kehilangan wanita itu. Ayahnya sudah berpulang terlebih dahulu dengan cara yang tak sanggup lagi dia ingat, dan sekarang ibunya adalah satu-satunya hal berharga yang dia miliki di dunia ini. Selama ini orang tuanya sudah membesarkannya dengan sangat baik meski dalam keterbatasan. Jika nyawa itunya bisa dipertahannya dengan rasa sakit hatinya... Alisya ikhlas menerimannya. “Aku mengerti terima kasih, mas. Aku sangat berharap ibuku akan segera sembuh.” Alisya tersenyum meski hatinya sangat pedih, sejenak dia menatap wajah rupawan Pandu yang sangat dia kagumi, untuk terakhir kalinya dia ingin mengamati wajah itu lebih dekat saat Pandu berdiri di depannya seperti itu yang sepertinya laki-laki itu tak keberatan. Tepuk tangan para tamu yang hadir membuat Alisya memutuskan mengalihkan pandangannya dan memperhatikan dua orang pelayan yang mendorong sebuah kue berukuran sedang dan lilin dengan angka dua puluh lima di atasnya. Pandu menggerakkan kursi roda Alisya untuk lebih mendekat, dan dengan tangan gemetar menerima pisau kue dari tangan laki-laki itu. Tepuk tangan kembali membahana ketika Alisya sudah memotong sedikit kue itu dan memberikannya pada Pandu, laki-laki itu menerimanya dengan senyum di bibir tapi sorot matanya penuh ancaman. Setelah prosesi potong kue itu, Pandu mengambil microphone dari tangan pembawa acara. “Selamat ulang tahun istriku, semoga di umurmu kamu bisa lebih bijak lagi dalam bersikap,” kata Pandu dengan suara lembut yang bagi telinga Alisya itu adalah bentuk sindiran dan ancaman. “Ah dan aku juga punya hadiah untukmu.” Laki-laki itu memberi isyarat pada sesorang yang langsung sigap datang membawa sebuah kotak. Alisya mengernyitkan kening, bukan dia tidak senang hadiah dari suaminya tapi dia tahu hadiah itu bukan karena ketulusan Pandu. “Bukalah,” kata Pandu setelah menyerahkan kotak itu. Alisya membukanya dengan tangan gemetar, meski begitu dia tak dapat menahan ketakjubannya pada sebuah liontin indah di dalam sana. “Ini indah sekali, terima kasih,” kata Alisya seoalah tak sadar. Alisya masih terpaku menatap liontin itu, saat suara Pandu berbisik lirih di telinganya. “Ini saatnya kamu mengumumkan, ingat lakukan sehalus mungkin.” Seperti ada petir yang baru saja menyambar di siang hari, Alisya mengangkat wajah. Benda berkilau ini telah membuatnya terlena dan benar saja Pandu tidak secara tulus memberikan sesuatu untuk Alisya. Alisya menatap sekelilingnya, orang-orang menatap mereka dengan kagum terutama Pandu yang terlihat begitu menyayanginya yang cacat. Laki-laki itu memang sangat cerdas untuk membuat suasana seperti keinginannya. Ingin sekali Alisya berteriak kalau semua ini tidak nyata, tapi Alisya tak mampu untuk melakukannya jadi alih-alih berteriak seperti orang gila, dia dengan tangan gemetar dan wajah menampilkan senyum yang membuat setiap sudut wajahnya begitu sakit, meraih microphone di tangan Pandu, lalu berbicara dengan setenang yang dia bisa. “Saya sangat mencintai suami saya, karena itu hari ini saya juga ingin memberikan sebuah kado untuknya... Nona Sekar tolong maju ke depan,” kata Alisya dengan suara goyah. Dengan senyum lebar penuh kemenangan Sekar berdiri dari duduknya, dia menatap ibu Pandu sejenak dan yang memberikan senyum penuh dukungan. Bahkan ayah Pandu juga menganggukkan kepalanya membuat Alisya terkejut. Ayah Pandu selalu bersikap baik padanya dan mendukungnya menjadi istri putranya tapi apa yang dia lihat ini! Sebuah tangan meremas tangan Alisya seolah memberi isyarat dan dia tahu tangan siapa itu. Aliysa menghela napas panjang dan kali ini sama sekali tidak bisa menutupi getar suaranya juga air mata yang tiba-tiba menetes dia berkata. “Ma.. malam ini saya melamar Nona Sekar untuk menjadi istri kedua suami saya, karena saya tahu saya punya banyak kekurangan.” Ruangan itu langsung hening seketika, semua orang seperti shock menatap Alisya yang kali ini menunduk dalam tapi tak lama kemudian dia mendongak lagi dan kali ini matanya bertatapan langsung dengan mata Pandu yang menatapnya begitu dalam yang sama sekali tak sanggup Alisya artikan. “Jadi maukah nona Sekar menerima lamaran saya?” lanjut Alisya dengan suara lebih tegar. Perkataan Alisya itu sekaligus seperti menyadarkan semua orang dari keterpakuannya, ruangan itu langsung riuh semua suara bercampur menjadi satu, tapi tak membuat Alisya mundur. Ini demi ibunya, dia yakin Pandu tidak akan mengingkari janjinya, laki-laki itu akan memberikan pengobatan terbaik untuk ibunya. Alisya mengigit bibirnya sampai sakit saat dengan ekpresi malu-malu Sekar menganggukkan kepalanya dan sepertinya Pandu melupakan ini disaksikan banyak orang, laki-laki itu tersenyum lebar dan tanganya langsung meraih tangan Sekar dan mengenggamnya. Alisya menunduk takut air matanya menetes, dia tak sanggup lagi berada di sini, dia memang telah membuat sandiwara sebaik mungkin. Sandiwara yang berpotensi membunuhnya perlahan.“Biar aku bantu.” Alisya langsung mendongak, saat melihat siapa yang bicara dia tak bisa lagi menyembunyikan air matanya. Di saat semua orang sedang memperhatikan Sekar dan Pandu di sana, diam-diam Alisya menyingkir. Perannya sudah selesai dan waktunya dia turun panggung. Akan tetapi panggung ini tentu saja tidak didesain untuknya, wanita cacat yang harus menggunakan kursi roda, sebuah bukti nyata lagi bahwa semua ini memang bukan untuknya. Dan Alisya tentu saja kesulitan untuk turun sendiri.“Aku tahu kamu memang bodoh tapi tidak aku sangka kamu sebodoh ini,” komentar laki-laki itu lagi.Mulut Alisya langsung terkunci, itu kenyataan yang memang tak bisa dia sangkal. Senyum getir menghiasi bibirnya.Meski terlihat luar biasa kesal tapi perlahan laki-laki itu membantu Alisya menurunkan kursi rodanya dari atas panggung dengan hati-hati. Saat telah ada di bawah panggung Alisya menoleh sejenak pada Pandu dan Sekar yang masih tamp
“Fokuslah pada tujuanmu dan lupakan perasaanmu.” Kalimat Pram sebelum laki-laki itu pamit pulang masih menggema di kepala Alisya dan makin membuatnya tak bisa memejamkan mata meski tubuhnya lelah luar biasa. Pesta sudah berakhir satu jam yang lalu, aktifitas membersihkan sisa pesta juga sudah mulai berkurang berisiknya. Alisya memang langsung kembali ke kamar setelah berbicara dengan Pram, pesta yang diadakan di halaman depan membuatnya leluasa untuk kembali ke kamar lewat pintu belakang. Alisya bahkan tak memiliki keinginan sedikit pun untuk beramah tamah dengan orang tua Pandu, dia bahkan tidak peduli jika dikatakan tidak sopan. Sejak kembali yang dia lakukan hanya mengurung diri dalam kamar dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri apa dia mampu untuk menjalani hari ke depan sebagai istri pertama yang sama sekali tak dianggap oleh suaminya? Wanita itu masih sibuk menatap rimbun pohon di balik jendela kamarnya saat pintu kamarnya terbuka dan kemudian menutup lagi dengan keras.
Para pelayan langsung menyingkir ke belakang begitu Pandu menggebrak meja makan dengan keras. Alisya sempat melihat nomer asing yang menghubunginya, dia menghafalnya dengan baik itu nomer ponsel Pram. “Apa karena laki-laki ini kamu meminta cerai dariku?” tanya Pandu dengan suara mendesis. Alisya tahu Pandu marah padanya tapi tidak pernah menyangka laki-laki itu akan mengatakan hal konyol seperti itu. Bukankah Pandu yang berselingkuh dan menghamili kekasihnya kenapa sekarang dia yang jadi tersangka. Sungguh Alisya tak habis pikir dengan cara kerja otak laki-laki yang masih saja bertahta di hatinya meski sudah banyak menimbulkan luka. Alisya menatap wajah Pandu dengan seksama, laki-laki ini tidak pernah bersikap baik padanya semenjak mereka menikah tapi kenapa dia masih saja mencintainya. “Dia hanya temanku,” jawab Alisya, tangannya meremas satu sama lain berusaha mengurangi rasa sakit yang ada dalam hatinya, baik karena tuduhan Pandu dan juga saat mengingat Sekar. Pandu menatap A
Kenapa laki-laki ini harus mendatanginya ke kamar? Bu Titin tahu itu artinya tak butuh waktu lama Pandu juga akan tahu.Alisya tahu dia tidak melakukan kesalahan apapun, tapi Pandu dan orang-orang yang tidak menyukainya di rumah ini pasti membuatnya seperti melakukan kejahatan besar. Masalah Pram tadi pagi saja membuatnya kehilangan ponselnya, dia tidak tahu apa yang akan dilakukan laki-laki itu jika tahu hal ini. “Oh bu Titin,” kata laki-laki yang dipanggil Lan dengan sopan dan tenang, tidak ada kekhawatiran sama sekali di wajahnya. Apa laki-laki ini benar-benar tidak mengerti apa yang akan terjadi nanti, terutama untuk Alisya? Bu Titin tidak menggubris laki-laki itu tapi dia menatap Alisya dengan pandangan mengejek. “Anda ternyata sudah berani memasukkan laki-laki lain ke kamar anda Nyonya.” “Apa maksud bu Titin adalah saya?” tanya laki-laki itu lagi ada riak di wajahnya saat mendengar perkataan bu Titin. Alisya
“Ayo pikir! Ayo... apa akalku sekarang!” Alisya memukul-mukulkan tangannya pelan pada kursi rodanya. Dia terbiasa mandiri dan sejak kehilangan sang ayah, ibunya yang dulunya hanya ibu rumah tangga harus mengambil alih peran sang ayah untuk mencari nafkah setelahnya. Dan Alisya tak tega ketika harus merengek pada sang ibu yang selalu kelihatan lelah sepulang kerja. Otaknya yang cerdas sangat membantu sekali dalam pendidikannya, dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang sarjana dan berhasil lulus dengan presikat sangat memuaskan. Itulah yang mengantarkannya mendapatkan undangan kerja dariperusahaan milik keluarga Pandu. Perusahaan multinasional yang bergerak dibidang makanan ringan. Dengan otak cerdasnya Alisya berhasil medapatkan jabatan yang lumayan mentereng di bagian keuangan, bagian yang paling basah pada sebuahperusahaan. Gaji yang diterima Alisya juga cukup besar untuk membiayai kehidupannya dan sang ibu, apalagi mereka bukan pribadi yang gemar berf
Rencananya Alisya akan berbelanja terpisah dengan juru masak keluarga Pandu. Dia sudah menghubungi Pram untuk meminta seseorang mencarikan bahan makanan yang dibutuhkan, sedangkan Alisya akan diam-diam pergi dengan mobil yang disiapkan Pram. Terdengar mudah memang rencana itu, tapi Alisya yang sejak kecil tidak biasa berbohong langsung berkeringat dingin, tapi tentu saja dia tidak akan menyerah dengan mudah. “Jangan kencang-kencang membawa mobilnya! Dasar anak muda!” omel si bibi pada anak pak Maman yang mengantar mereka. Berbeda dengan pak Maman yang merupakan pengemudi yang tenang, anak laki-lakinya mungkin dulu bercita-cita menjadi pembalap tak kesampaian, dia mengemudi seperti kesetananan menyalip ke sana kemari. Mobil yang mereka gunakan memang jenis mobil mahal yang biasanya dipakai mengantar Alisya sehingga guncangan tak begitu terasa tapi untuk wanita paruh paya di sampingnya sangat berpengaruh. Mukanya terlihat san
Siapa? Dari sekian banyak orang yang tak menyukainya di rumah itu, Alisya tidak tahu siapa yang melakukan hal sekonyol itu? Akan tetapi hal yang lebih mengusik pikirannya adalah kenapa? Jika dia sembuh tentu saja Alisya akan dengan senang hati pergi dari sana dan Pandu yang menikahinya karena kakinya umpuh tak akan punya alasan lagi untuk menahannya. Dokter itu dokter yang cukup punya nama, dia pasti punya alasan kuat mempertaruhkan reputasinya seperti itu. Baik ayah mertua, ibu mertua ataupun suaminya memang punya uang dan pengaruh yang besar di mata masyarakat. Apa mereka bertiga pelakunya?“Sampai kapan kamu akan melamun di sana?” tanya Pram yang masih menunggu Alisya kembali ke bumi lagi. “Pram sudah selesai?” tanya Alisya menutupi keterkejutannya. Laki-laki itu hanya menatap malas pada Alisya. “Ayo kembali ke mobil.” Pram kembali mengemudi dengan kecepatan tinggii, tapi kali ini Alisya tidak ingin protes lagi seluruh energinya tersedot habis untuk berpikir, kenyataan ini
“Tuan dan Nyonya besar akan makan malam di sini, tuan muda meminta nyonya menyiapkannya.”Alisya mengernyit. Papa dan mama mertunya jarang sekali datang ke rumah ini, kalau datang pasti ada hal penting atau acara seperti waktu itu. Alisya bukan keberatan orang tua Pandu datang berkunjung, dia sama sekali tidak punya hak untuk itu. yang membuatnya tidak nyaman adalah karena mereka terutama mama Pandu yang selalu saja menghinanya membuat Alisya tak nyaman dan memilih menjauh. Alisya hanya mengangguk untuk menanggapi dan melanjutkan pekerjaannya. Pandu dan mamanya meski tak menyukai kehadirannya sebagai istri dan menantu di rumah ini tapi mereka sangat menyukai masakan Alisya dan menginginkan selalu memasak untuk mereka saat makan di rumah ini. Sedikit hal yang mampu memberikan kepercayaan diri pada Alisya, hanya sedikit karena mereka berdua menganggap itu balas jasa yang pantas untuknya. “Ada yang bisa saya bantu nyonya?” Alisya menger