Wajah pucat dan mata sembab.
Itulah yang dilihat Alisya dari sosok dalam pantulan cermin. Dia ingin tetap di dalam kamar dan tidak usah menghadiri pesta itu, tapi dia tidak bisa mengabaikan ancaman Pandu. Alisya tak menyangka bahwa banyak orang yang hadir untuk menghadiri pesta ulang tahunnya, tapi dia bahkan tak tahu siapa saja yang diundang. Dia memang pemeran utama dalam pesta ini tapi dia merasa seperti tamu yang tak diundang, begitu menyedihkan. Tentu saja ini pesta untuk Sekar, wanita yang dicintai Pandu. Alisya mengedarkan pandangannya tak terlihat Pandu atau keluarganya dimanapun. Bahkan Sekar juga tak ada diantara tamu yang tak semua Alisya kenal. “Aku tidak tahu apa yang membuatmu betah duduk di kursi menyedihkan itu?” Alisya yang semula sibuk mengedarkan pandangan mencari keberadaan Pandu langsung menoleh dan menemukan laki-laki yang menatap sinis padanya. Pramudya Setiaji, sahabat Alisya, mereka sudah mengenal sejak SMA, ayah Pram adalah salah satu rekan bisnis ayah Pandu, mungkin alasan itu yang membuat laki-laki ini diundang hari ini. Pram adalah salah satu orang yang tidak setuju dengan pernikahan Alisya dan Pandu dulu. Alisya yang waktu itu sempat marah pada Pram dan membuat mereka saling menjauh, bahkan dia sama sekali tidak tahu jika hari ini Pram juga diundang. Setelah dua tahun inilah pertemuan pertama mereka. “Pram! Kamu di sini!” Alisya menekan tombol pada kursi rodanya dan benda itu mendekati laki-laki yang berdiri dengan wajah permusuhan itu, dia seperti tak menyadari keengganan laki-laki itu untuk dia dekati. “Oh ayolah apa kamu tak merindukanku,” kata Alisya dengan wajah memelas. Laki-laki itu berdecak kesal tapi tak urung juga menundukkan tubuhnya dan memeluk Alisya. “Aku senang kamu ada di sini, apa kamu sudah tidak marah lagi?” “Inginku sih tidak, tapi melihatmu seperti ini aku benar-benar marah,” jawab laki-laki itu cuek. “Dan dimana suami yang kamu puja itu?” tanyanya sinis Alisya mencoba tersenyum, mana mungkin Pandu mau menemaninya. “Dia sedang bersiap-siap, sebentar lagi dia pasti turun.” “Benarkah? Mengesankan sekali,” kata Pram penuh sarkas. “Pram.” Alisya tahu Pram tidak pernah menyukai Pandu, bahkan sejak dulu sebelum laki-laki itu menyebabkan kecelakaan yang membuat kakinya tak bisa berjalan lagi. Pramlah yang menentang keras pernikahan Alisya dan Pandu, dan menjauh setelah Alisya mengambil keputusan tetap menikahi Pandu. “Kamu belum menjawab pertanyaanku kenapa kamu masih betah di kursi sialan itu, bukankah dokter bilang kamu bisa segera berjalan.” Alisya menatap kedua kakinya dengan miris. “Mungkin dokter salah diagnosa, kakiku sama sekali belum bisa digerakkan,” katanya dengan nada sedih dan itu membuat laki-laki di depannya menatap tak percaya padanya. “Kukira kamu sengaja tidak berobat supaya terus mendapat simpati laki-laki itu,” komentarnya sinis. Mata Alisya langsung membelalak. “Untuk apa aku melakukannya, aku tidak suka jadi orang invalid yang menyedihkan,” balasnya tak terima. “Baguslah kalau masih seperti itu.” Dan laki-laki itu pergi begitu saja membuat Alisya luar biasa sedih. Apa dia telah kehilangan sahabatnya. Apakah memang dia selalu ditakdirkan untuk ditinggalkan? Alisya menatap sedih pada Pram yang berlalu dari hadapannya, tapi deheman seseorang yang sedang menuju ke arahnya membuatnya merasa bersalah. Dia tahu seharusnya dia tidak lagi berdekatan dengan laki-laki lain setelah pernikahannya, tapi bukannya Pram hanya sahabat baiknya dan mereka sudah seperti saudara. Dia tahu dia memang salah dengan menikahi Pandu karena kejadian itu, tapi hatinya tidak bisa berbohong kalau dia memang sangat menginginkan laki-laki itu. Sekarang dia harus menerima konsekuensi keputusannya. Pandu yang membencinya karena menganggap Alisya menjebaknya dengan kecelakaan itu dan bahkan sekarang laki-laki itu menghadirkan wanita lain dan lebih mengabaikannya. Semenjak ayahnya meninggal dan ibunya sakit Alisya harus berjuang keras di atas kakinya sendiri untuk kelangsungan hidupnya juga ibunya tapi... Sekarang kakinya bahkan tidak sanggup menompang berat tubuhnya. “Selamat ulang tahun, Nak. Kenapa kamu tidak menyapa tamu-tamumu.” Tamu-tamumu? Bahkan Alisya saja tidak mengenal sebagian besar dari mereka. “Saya bahkan tidak mengenal mereka,” jawabnya jujur. Ayah mertuanya selalu memperlakukannya dengan baik, berbeda sekali dengan ibu mertuanya yang sering menghinanya dengan kata-kata kasar. “Kalau begitu ayah akan perkenalkan mereka padamu.” Laki-laki tua itu sudah siap mendorong kursi roda Alisya tapi wanita itu menggeleng. “Tidak perlu yah, mungkin mereka teman-teman mas Pandu, biar nanti saya minta Mas Pandu saja untuk membawa saja berkenalan,” tolak Alisya dengan sopan. Terdengar helaan napas yang membuat Alisya menoleh ke belakang, lalu laki-laki tua itu berjalan ke depan Alisya. “Mereka rekan bisnis kami, apa Pandu belum pernah memperkenalkanmu pada mereka.” Alisya menggeleng sambil tersenyum, berusaha menampilkan kalau dia baik-baik saja. “Saya selama ini fokus pada pengobatan kaki saya.” “Ada dokter yang bertugas memastikan kesehatanmu, jadi jangan khawatir lagi kamu pasti bisa segera berjalan lagi, apa kamu meminum obat yang diberikan dokter dengan rutin?” Ada yang menggelitik hati Alisya saat ayah mertuanya menanyakan hal itu tapi dia memilih menganggukkan kepala. “Tentu saja, ayah saya ingin sembuh.” “Baguslah.” Alisya kembali hanya sendirian saat ayah mertuanya menyambut seorang tamu yang terlihat penting dan lagi-lagi Alisya sama sekali tidak mengenalnya, padahal semua orang bilang ini pesta untuknya. Pandangan Alisya mengedar ke semua tempat, dia mencari Pandu yang tak terlihat dimanapun juga Sekar. Apa mereka menghabiskan waktu bersama? Kenapa rasanya sakit sekali hatinya apalagi mengetahui kalau Sekar tengah hamil, apa sebenarnya dibelakangnya mereka berdua sudah menikah? Alisya menatap dekorasi ruangan yang begitu indah itu lalu tersenyum pahit, dekorasi ini bukan untuknya bahkan bunga-bunga yang tarpasang di setiap sudat ruangan bukan yang dia suka. Ini pesta untuk Sekar. “Tuan meminta Nyonya untuk naik ke atas panggung, acara akan segera dimulai,” kata seorang wanita yang Alisya tahu salah satu pelayan di rumah ini, meski dia tidak tahu siapa namanya. Alisya mengarahkan pandangan pada panggung yang dimaksud wanita itu dan benar saja, sudah ada Pandu yang berdiri di sana dengan senyum lebar, tapi tatapannya bukan tertuju padanya tapi pada wanita yang sedang duduk bersama kedua orang tua laki-laki itu. Memangnya apa yang kamu harapkan Alisya, batin Alisya menjerit perih. Andai dia dulu tahu Pandu adalah milik Sekar dia pasti akan menolak pernikahan ini, meski dia mencintai laki-laki itu. Lima tahun. Sekarang dialah perusak hubungan mereka, ada rasa bersalah dalam hati Alisya yang dengan semena-mena masuk dalam hubungan dua orang itu, tapi sisi batinnya yang lain juga mengingatkan kalau dia sama sekali tidak tahu, dan perbuatan dua orang itu tetap saja perselingkuhan. “Setelah memotong kue aku ingin kamu sendiri yang melamar Sekar untukku,” gumaman pelan di belakangnya itu membuat Alisya membeku. Sekejam itukah Pandu memperlakukannya.Alisya bukan batu dia manusia yang memiliki perasaan. Dia juga seorang istri yang sama sekali tidak diharapkan dan diperlakukan begitu kejam. “Aku akan memberikan perawatan terbaik untuk ibumu setelah kamu melakukan ini.” Alisya menelan kembali tangisnya. Ibunya... benar wanita yang sangat dia sayangi itu saat ini sedang berjuang melawan penyakit yang menggerogotinya. Alisya tak akan sanggup bila harus kehilangan wanita itu. Ayahnya sudah berpulang terlebih dahulu dengan cara yang tak sanggup lagi dia ingat, dan sekarang ibunya adalah satu-satunya hal berharga yang dia miliki di dunia ini. Selama ini orang tuanya sudah membesarkannya dengan sangat baik meski dalam keterbatasan. Jika nyawa itunya bisa dipertahannya dengan rasa sakit hatinya... Alisya ikhlas menerimannya. “Aku mengerti terima kasih, mas. Aku sangat berharap ibuku akan segera sembuh.” Alisya tersenyum meski hatinya sangat pedih, sejenak dia menatap wajah rupawan Pandu yang sangat dia kagumi, untuk terakhir kalinya
“Biar aku bantu.” Alisya langsung mendongak, saat melihat siapa yang bicara dia tak bisa lagi menyembunyikan air matanya. Di saat semua orang sedang memperhatikan Sekar dan Pandu di sana, diam-diam Alisya menyingkir. Perannya sudah selesai dan waktunya dia turun panggung. Akan tetapi panggung ini tentu saja tidak didesain untuknya, wanita cacat yang harus menggunakan kursi roda, sebuah bukti nyata lagi bahwa semua ini memang bukan untuknya. Dan Alisya tentu saja kesulitan untuk turun sendiri.“Aku tahu kamu memang bodoh tapi tidak aku sangka kamu sebodoh ini,” komentar laki-laki itu lagi.Mulut Alisya langsung terkunci, itu kenyataan yang memang tak bisa dia sangkal. Senyum getir menghiasi bibirnya.Meski terlihat luar biasa kesal tapi perlahan laki-laki itu membantu Alisya menurunkan kursi rodanya dari atas panggung dengan hati-hati. Saat telah ada di bawah panggung Alisya menoleh sejenak pada Pandu dan Sekar yang masih tamp
“Fokuslah pada tujuanmu dan lupakan perasaanmu.” Kalimat Pram sebelum laki-laki itu pamit pulang masih menggema di kepala Alisya dan makin membuatnya tak bisa memejamkan mata meski tubuhnya lelah luar biasa. Pesta sudah berakhir satu jam yang lalu, aktifitas membersihkan sisa pesta juga sudah mulai berkurang berisiknya. Alisya memang langsung kembali ke kamar setelah berbicara dengan Pram, pesta yang diadakan di halaman depan membuatnya leluasa untuk kembali ke kamar lewat pintu belakang. Alisya bahkan tak memiliki keinginan sedikit pun untuk beramah tamah dengan orang tua Pandu, dia bahkan tidak peduli jika dikatakan tidak sopan. Sejak kembali yang dia lakukan hanya mengurung diri dalam kamar dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri apa dia mampu untuk menjalani hari ke depan sebagai istri pertama yang sama sekali tak dianggap oleh suaminya? Wanita itu masih sibuk menatap rimbun pohon di balik jendela kamarnya saat pintu kamarnya terbuka dan kemudian menutup lagi dengan keras.
Para pelayan langsung menyingkir ke belakang begitu Pandu menggebrak meja makan dengan keras. Alisya sempat melihat nomer asing yang menghubunginya, dia menghafalnya dengan baik itu nomer ponsel Pram. “Apa karena laki-laki ini kamu meminta cerai dariku?” tanya Pandu dengan suara mendesis. Alisya tahu Pandu marah padanya tapi tidak pernah menyangka laki-laki itu akan mengatakan hal konyol seperti itu. Bukankah Pandu yang berselingkuh dan menghamili kekasihnya kenapa sekarang dia yang jadi tersangka. Sungguh Alisya tak habis pikir dengan cara kerja otak laki-laki yang masih saja bertahta di hatinya meski sudah banyak menimbulkan luka. Alisya menatap wajah Pandu dengan seksama, laki-laki ini tidak pernah bersikap baik padanya semenjak mereka menikah tapi kenapa dia masih saja mencintainya. “Dia hanya temanku,” jawab Alisya, tangannya meremas satu sama lain berusaha mengurangi rasa sakit yang ada dalam hatinya, baik karena tuduhan Pandu dan juga saat mengingat Sekar. Pandu menatap A
Kenapa laki-laki ini harus mendatanginya ke kamar? Bu Titin tahu itu artinya tak butuh waktu lama Pandu juga akan tahu.Alisya tahu dia tidak melakukan kesalahan apapun, tapi Pandu dan orang-orang yang tidak menyukainya di rumah ini pasti membuatnya seperti melakukan kejahatan besar. Masalah Pram tadi pagi saja membuatnya kehilangan ponselnya, dia tidak tahu apa yang akan dilakukan laki-laki itu jika tahu hal ini. “Oh bu Titin,” kata laki-laki yang dipanggil Lan dengan sopan dan tenang, tidak ada kekhawatiran sama sekali di wajahnya. Apa laki-laki ini benar-benar tidak mengerti apa yang akan terjadi nanti, terutama untuk Alisya? Bu Titin tidak menggubris laki-laki itu tapi dia menatap Alisya dengan pandangan mengejek. “Anda ternyata sudah berani memasukkan laki-laki lain ke kamar anda Nyonya.” “Apa maksud bu Titin adalah saya?” tanya laki-laki itu lagi ada riak di wajahnya saat mendengar perkataan bu Titin. Alisya
“Ayo pikir! Ayo... apa akalku sekarang!” Alisya memukul-mukulkan tangannya pelan pada kursi rodanya. Dia terbiasa mandiri dan sejak kehilangan sang ayah, ibunya yang dulunya hanya ibu rumah tangga harus mengambil alih peran sang ayah untuk mencari nafkah setelahnya. Dan Alisya tak tega ketika harus merengek pada sang ibu yang selalu kelihatan lelah sepulang kerja. Otaknya yang cerdas sangat membantu sekali dalam pendidikannya, dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang sarjana dan berhasil lulus dengan presikat sangat memuaskan. Itulah yang mengantarkannya mendapatkan undangan kerja dariperusahaan milik keluarga Pandu. Perusahaan multinasional yang bergerak dibidang makanan ringan. Dengan otak cerdasnya Alisya berhasil medapatkan jabatan yang lumayan mentereng di bagian keuangan, bagian yang paling basah pada sebuahperusahaan. Gaji yang diterima Alisya juga cukup besar untuk membiayai kehidupannya dan sang ibu, apalagi mereka bukan pribadi yang gemar berf
Rencananya Alisya akan berbelanja terpisah dengan juru masak keluarga Pandu. Dia sudah menghubungi Pram untuk meminta seseorang mencarikan bahan makanan yang dibutuhkan, sedangkan Alisya akan diam-diam pergi dengan mobil yang disiapkan Pram. Terdengar mudah memang rencana itu, tapi Alisya yang sejak kecil tidak biasa berbohong langsung berkeringat dingin, tapi tentu saja dia tidak akan menyerah dengan mudah. “Jangan kencang-kencang membawa mobilnya! Dasar anak muda!” omel si bibi pada anak pak Maman yang mengantar mereka. Berbeda dengan pak Maman yang merupakan pengemudi yang tenang, anak laki-lakinya mungkin dulu bercita-cita menjadi pembalap tak kesampaian, dia mengemudi seperti kesetananan menyalip ke sana kemari. Mobil yang mereka gunakan memang jenis mobil mahal yang biasanya dipakai mengantar Alisya sehingga guncangan tak begitu terasa tapi untuk wanita paruh paya di sampingnya sangat berpengaruh. Mukanya terlihat san
Siapa? Dari sekian banyak orang yang tak menyukainya di rumah itu, Alisya tidak tahu siapa yang melakukan hal sekonyol itu? Akan tetapi hal yang lebih mengusik pikirannya adalah kenapa? Jika dia sembuh tentu saja Alisya akan dengan senang hati pergi dari sana dan Pandu yang menikahinya karena kakinya umpuh tak akan punya alasan lagi untuk menahannya. Dokter itu dokter yang cukup punya nama, dia pasti punya alasan kuat mempertaruhkan reputasinya seperti itu. Baik ayah mertua, ibu mertua ataupun suaminya memang punya uang dan pengaruh yang besar di mata masyarakat. Apa mereka bertiga pelakunya?“Sampai kapan kamu akan melamun di sana?” tanya Pram yang masih menunggu Alisya kembali ke bumi lagi. “Pram sudah selesai?” tanya Alisya menutupi keterkejutannya. Laki-laki itu hanya menatap malas pada Alisya. “Ayo kembali ke mobil.” Pram kembali mengemudi dengan kecepatan tinggii, tapi kali ini Alisya tidak ingin protes lagi seluruh energinya tersedot habis untuk berpikir, kenyataan ini
"Mas pulang saja, di sini pasi tidak nyaman," kata Alisya yang melihat Pandu masih duduk dengan tablet di tanganya, laki-laki itu memang tak banyak bicara setelah bulek Par meninggalkan mereka tadi. Pandu meletakkan tabletnya dan mendekati Alisya, dia lalu mengambil botol air mineral dan memberikannya pada Alisya. "Aku tidak ingin minum," kata wanita itu dengan nada protes. "Kata dokter kamu harus banyak minum kalau mau cepat sembuh." "Susah kalau bolak balik ke kamar mandi," bantah wanita itu. "Aku akan menggendongmu ke kamar mandi tenang saja," Alisya menghela napas lalu menerima air itu dan meminumnya sedikit. "Aku serius, mas. Aku tidak masalh di sini sendiri ada suster yang bisa aku panggil kalau butuh bantuan, lagi pula aku takut Bisma nangis dan kasihan papa dan mama." Pandu malah menarik kursi di samping ranjang Alisya dan duduk di sana. "Kenapa kamu hobi sekali mengusirku, ini bukan di rumahmu tidak akan ada tetangga yang usil, lagi pula seperti kata bulek aku akan be
Pandu sudah mendengar kasus itu tapi tentu saja dia sama sekali tidak bisa membantu sama sekali. Kekhawatiran menguasai hatinya sejak mendengar kasus itu, meski sekretarisnya bilang semuanya bisa teratasi dengan baik tapi tetap saja dia sangat khawatir pada ibu dari anaknya itu. Entah apa yang dilakukan Alisya, sehingga wanita itu terus saja bercokol dalam benak Pandu, sehari saja tak bertemu membuat lagi-lagi itu dilanda kegelisahan. Apa ini normal? Ayahnya bahkan mengatakan dia seperti ABG yang sedang jatuh cinta. Mungkin memang benar, saat ini dia bisa merasakan jantungnya berdebar saat berhadapan dengan Alisya bahkan ikut tersenyum saat wanita itu tersenyum. Dengan menenggelamkan diri pada pekerjaan sedikit mengalihkan pikiran Pandu dari keinginan untuk menemui Alisya juga putranya. “Pak ada telepon dari ibu Sasti, apa bapak mau menerimanya?” Suara sang sekretaris terdengar dari interkom di depannya
“Apa aku bisa mempercayai ucapanmu sekarang?” tanya Sasti dengan penuh intimidasi. Alisya yang ada di ruangan yang sama langsung membeku mendengar ledakan kemarahan Sasti, dia tahu Sasti wanita yang dingin dan bertangan besi, tapi tidak pernah melihat wanita itu semarah sekarang ini. “Aku awalnya juga tidak percaya tapi semakin aku menyangkalnya semakin banyak bukti yang menunjukkan keterlibatan beliau,” kata Fahri dengan frustasi. Sasti terduduk di kursinya dia sama sekali tak menyangka hal ini akan terjadi. “Kenapa?” tanyanya dengan kekecewaan yang tidak dia tutup-tutupi. “Karena beliau merasa dialah yang pantas ada di posisi puncak.” “Lalu kenapa dia tidak mengambilnya, merebutnya dan bersaing sehat jika dia merasa punya kemampuan.” Fahri hanya menunduk diam tak sanggup menjawab cercaan Sasti karena dia sendiri memang tidak tahu alasannya. “Bagaimana dengan kamu sendiri? Apa kamu juga berpikir hal yang sama?” tanya Sasti tajam. Fahri langsung mengangkat wajahnya dan menatap
“Ma...ma,” rengek Bisma minta digendong saat Alisya sudah rapi. Rencana mengajukan cuti hari ini batal sudah saat telepon dari Dara membuatnya mau tak mau harus datang ke kantor. “Sayang, Bisma sama mbak Rani dan nenek dulu ya, Nak,” kata Alisya sambil memeluk anaknya yang gembul itu. Bahkan untuk menggendong Bisma pun Alisya tak punya tenaga, kepalanya begitu pusing dan wajahnya pucat, efek dari tidak tidur semalam. Tapi mau tak mau dia harus tetap ke kantor, tidak mungkin dia lepas tangan begitu saja karena sejak awal dia yang bertanggung jawab untuk hal itu. “Kamu yakin mau pergi ke kantor, Lis. Dengan wajah seperti itu, apa tidak bisa ijin saja,” tanya bulek dia terlihat sangat khawatir pada Alisya. “Ada sedikit masalah di kantor, saya harus ke sana.” “Oalah, Lis, memangnya tak ada orang lain yang bisa gantikan?” “Ini masalah tanggung jawab saya bulek jadi tak bisa diwakilkan,” kata Alisya berusaha m
Alisya menatap tak percaya setelah membaca dokumen yang diberikan Pandu padanya, dia sampai butuh membaca beberapa kali untuk meyakinkan dirinya. “Mas sudah memverifikasi laporan ini?” tanya Alisya pada Pandu. Setelah mereka piknik di alun-alun kota, Pram harus pulang terlebih dahulu karena ada panggilan dari ayahnya, dia hanya bilang pada Alisya kalau nanti malam akan menghubungi lagi, dan itu dikatakan tanpa sepengetahuan Pandu, artinya akan ada hal serius yang ingin dibicarakan laki-laki itu. “Aku tidak akan memberikan padamu kalau belum membuktikannya sendiri.” “Kenapa mas mencari tahu tentang hal ini? apa karena kerja sama dengan galeri mas waktu itu?” tanya Alisya yang masih belum percaya kalau Pandu memiliki minat pada barang-barang seni. Selama mereka hidup bersama hal itu tidak terlihat sama sekali, rumah tempat mereka tinggal dulu Alisyalah yang menatanya dan laki-laki itu sama sekali tidak protes. “Salah satunya.”
Tak mudah jalan bersama dua orang laki-laki dewasa yang siap saling tonjok satu sama lain setiap saat. “Ayo Al, sudah mulai panas,” kata Pandu sedikit kesal melihat interaksi Alisya dan Pram. Suasana alun-alun kota memang mulai ramai, banyak orang yang berdatangan dan menikmati kebersamaan dengan keluarga mereka, para pedagang kaki lima di pinggir alun-alun juga tak mau ketinggalan. Secara umum suasananya memang menyenangkan tapi tentu saja tidak untuk Pandu yang lebih memilih berhenti dan menunggu Alisya. “Kamu bawa tikar?” tanya Pram pada Alisya saat mereka memutuskan untuk memilih satu sudut yang lapang untuk duduk. “Ada dalam tas.” Pram membuka tas bekal yang dibawa Alisya dan mendapati tikar kecil di dalamnya. Duduk di atas tikar yang barusan dia gelar lalu tanpa permisi membuka tas bekal Alisya dan mencomot satu roti isi yang ada di sana. “Astaga Pram kamu bahkan tidak cuci tangan,” omel Alisya ya
Bisma menangis kencang tapi Alisya malah tersenyum geli. “Tunggu ya, mama siapin Asip buat kamu dulu, anak mama yang ganteng tenang dulu ya,” kata Alisya kalem. Seperti mengerti ucapan sang mama, bayi mungil itu menatap Alisya yang membawa asi beku untuk dipanaskan sambil sesekali sesegukan. Lucu sekali. Setelah suhunya dirasa cukup, Alisya memberikannya pada Bisma dan anak itu menerimanya dengan tak sabar.“Makasih ya, nak sudah menyelamatkan mama dari papamu tadi malam,” kata Alisya sambil mengelus rambut Bisma yang begitu lembut. Secara keseluruhan wajah anaknya memang mengcopi wajah Pandu, bisa dibilang Bisma hanya numpang tumbuh di rahimnya saja. Tentu saja hal itu membuat Pandu ataupun keluarganya yang dulu sempat meragukan anak yang dia kandung tidak perlu melakukan test DNA. Ini hari libur untuk Alisya dan dia berencana mengajak Bisma untuk jalan-jalan bukan jalan yang jauh sih hanya ke alun-alun kota, tapi
Nyamuk jaman sekarang memang nekad, tidak bisa melihat daging mulus sedikit saja langsung digigit. Bahkan tidak jarang mereka juga memilih bagian-bagian yang sengaja disembunyikan. Padahal ini di teras rumah, bukan di kebun atau bahkan di jalanan. “Pakai ini.” ini agak menggelikan tahu, untuk dua orang yang sudah bercerai karena salah satu melakukan pengkhianatan dan merasa cinta mati pada wanita lain. Alisya jadi teringat dengan film yang dia tonton bersama Laras, film manis yang menurutnya yang telah mengalami pahitnya percintaan tentu saja tidak akan percaya hal itu akan ada di dunia nyata, begitu juga dengan Laras yang mengalami hal yang sama. Tapi...Astaga ini hanya jas... jangan baper Lis. “Terima kasih, mas. Tapi aku bisa masuk dan mengambil jaket dari dalam, aku malas kalau nanti harus mencuci bajumu,” kata Alisya dengan nada bercanda. “Padahal aku kangen kamu mengurusi baju yang aku p
Kalau mereka pikir Alisya akan memakai pakaian terbaiknya mereka salah. Alisya lebih memilih repot mengurus Bisma setelah dia pulang kerja, lalu membantu Bulek Par menyediakan piring dan peralatan makan lainnya. “Lis, di sini ada Rani lho, dia sudah pegang Bisma dari tadi kalau untuk menyelesaikan ini saja bulek bisa sendiri,” kata Bulek Par. Maksudnya sih ingin mengusir Alisya secara halus, untuk segera mandi dan berdandan. Sejak pulang kerja tadi wanita itu hanya mencuci tangan lalu berwudhu dan menyelesaikannya kewajibannya seperti biasa, tapi belum mandi dan ganti baju. Blus warna merah maron dengan celana potongan lurus warna krem yang sekarang dia gunakan memang tidak ada yang salah bagi Alisya, tapi di mata Bulek Par itu sangat salah. Apalagi wanita paruh baya itu masih beranggapan kalau keluarga mantan suami Alisya datang untuk meminta rujuk. Wanita itu tentu tahu penyebab perpisahan Alisya dan mantan suaminya, tapi di juga tidak buta kalau laki-laki itu masih mencintai