Wajah pucat dan mata sembab.
Itulah yang dilihat Alisya dari sosok dalam pantulan cermin. Dia ingin tetap di dalam kamar dan tidak usah menghadiri pesta itu, tapi dia tidak bisa mengabaikan ancaman Pandu. Alisya tak menyangka bahwa banyak orang yang hadir untuk menghadiri pesta ulang tahunnya, tapi dia bahkan tak tahu siapa saja yang diundang. Dia memang pemeran utama dalam pesta ini tapi dia merasa seperti tamu yang tak diundang, begitu menyedihkan. Tentu saja ini pesta untuk Sekar, wanita yang dicintai Pandu. Alisya mengedarkan pandangannya tak terlihat Pandu atau keluarganya dimanapun. Bahkan Sekar juga tak ada diantara tamu yang tak semua Alisya kenal. “Aku tidak tahu apa yang membuatmu betah duduk di kursi menyedihkan itu?” Alisya yang semula sibuk mengedarkan pandangan mencari keberadaan Pandu langsung menoleh dan menemukan laki-laki yang menatap sinis padanya. Pramudya Setiaji, sahabat Alisya, mereka sudah mengenal sejak SMA, ayah Pram adalah salah satu rekan bisnis ayah Pandu, mungkin alasan itu yang membuat laki-laki ini diundang hari ini. Pram adalah salah satu orang yang tidak setuju dengan pernikahan Alisya dan Pandu dulu. Alisya yang waktu itu sempat marah pada Pram dan membuat mereka saling menjauh, bahkan dia sama sekali tidak tahu jika hari ini Pram juga diundang. Setelah dua tahun inilah pertemuan pertama mereka. “Pram! Kamu di sini!” Alisya menekan tombol pada kursi rodanya dan benda itu mendekati laki-laki yang berdiri dengan wajah permusuhan itu, dia seperti tak menyadari keengganan laki-laki itu untuk dia dekati. “Oh ayolah apa kamu tak merindukanku,” kata Alisya dengan wajah memelas. Laki-laki itu berdecak kesal tapi tak urung juga menundukkan tubuhnya dan memeluk Alisya. “Aku senang kamu ada di sini, apa kamu sudah tidak marah lagi?” “Inginku sih tidak, tapi melihatmu seperti ini aku benar-benar marah,” jawab laki-laki itu cuek. “Dan dimana suami yang kamu puja itu?” tanyanya sinis Alisya mencoba tersenyum, mana mungkin Pandu mau menemaninya. “Dia sedang bersiap-siap, sebentar lagi dia pasti turun.” “Benarkah? Mengesankan sekali,” kata Pram penuh sarkas. “Pram.” Alisya tahu Pram tidak pernah menyukai Pandu, bahkan sejak dulu sebelum laki-laki itu menyebabkan kecelakaan yang membuat kakinya tak bisa berjalan lagi. Pramlah yang menentang keras pernikahan Alisya dan Pandu, dan menjauh setelah Alisya mengambil keputusan tetap menikahi Pandu. “Kamu belum menjawab pertanyaanku kenapa kamu masih betah di kursi sialan itu, bukankah dokter bilang kamu bisa segera berjalan.” Alisya menatap kedua kakinya dengan miris. “Mungkin dokter salah diagnosa, kakiku sama sekali belum bisa digerakkan,” katanya dengan nada sedih dan itu membuat laki-laki di depannya menatap tak percaya padanya. “Kukira kamu sengaja tidak berobat supaya terus mendapat simpati laki-laki itu,” komentarnya sinis. Mata Alisya langsung membelalak. “Untuk apa aku melakukannya, aku tidak suka jadi orang invalid yang menyedihkan,” balasnya tak terima. “Baguslah kalau masih seperti itu.” Dan laki-laki itu pergi begitu saja membuat Alisya luar biasa sedih. Apa dia telah kehilangan sahabatnya. Apakah memang dia selalu ditakdirkan untuk ditinggalkan? Alisya menatap sedih pada Pram yang berlalu dari hadapannya, tapi deheman seseorang yang sedang menuju ke arahnya membuatnya merasa bersalah. Dia tahu seharusnya dia tidak lagi berdekatan dengan laki-laki lain setelah pernikahannya, tapi bukannya Pram hanya sahabat baiknya dan mereka sudah seperti saudara. Dia tahu dia memang salah dengan menikahi Pandu karena kejadian itu, tapi hatinya tidak bisa berbohong kalau dia memang sangat menginginkan laki-laki itu. Sekarang dia harus menerima konsekuensi keputusannya. Pandu yang membencinya karena menganggap Alisya menjebaknya dengan kecelakaan itu dan bahkan sekarang laki-laki itu menghadirkan wanita lain dan lebih mengabaikannya. Semenjak ayahnya meninggal dan ibunya sakit Alisya harus berjuang keras di atas kakinya sendiri untuk kelangsungan hidupnya juga ibunya tapi... Sekarang kakinya bahkan tidak sanggup menompang berat tubuhnya. “Selamat ulang tahun, Nak. Kenapa kamu tidak menyapa tamu-tamumu.” Tamu-tamumu? Bahkan Alisya saja tidak mengenal sebagian besar dari mereka. “Saya bahkan tidak mengenal mereka,” jawabnya jujur. Ayah mertuanya selalu memperlakukannya dengan baik, berbeda sekali dengan ibu mertuanya yang sering menghinanya dengan kata-kata kasar. “Kalau begitu ayah akan perkenalkan mereka padamu.” Laki-laki tua itu sudah siap mendorong kursi roda Alisya tapi wanita itu menggeleng. “Tidak perlu yah, mungkin mereka teman-teman mas Pandu, biar nanti saya minta Mas Pandu saja untuk membawa saja berkenalan,” tolak Alisya dengan sopan. Terdengar helaan napas yang membuat Alisya menoleh ke belakang, lalu laki-laki tua itu berjalan ke depan Alisya. “Mereka rekan bisnis kami, apa Pandu belum pernah memperkenalkanmu pada mereka.” Alisya menggeleng sambil tersenyum, berusaha menampilkan kalau dia baik-baik saja. “Saya selama ini fokus pada pengobatan kaki saya.” “Ada dokter yang bertugas memastikan kesehatanmu, jadi jangan khawatir lagi kamu pasti bisa segera berjalan lagi, apa kamu meminum obat yang diberikan dokter dengan rutin?” Ada yang menggelitik hati Alisya saat ayah mertuanya menanyakan hal itu tapi dia memilih menganggukkan kepala. “Tentu saja, ayah saya ingin sembuh.” “Baguslah.” Alisya kembali hanya sendirian saat ayah mertuanya menyambut seorang tamu yang terlihat penting dan lagi-lagi Alisya sama sekali tidak mengenalnya, padahal semua orang bilang ini pesta untuknya. Pandangan Alisya mengedar ke semua tempat, dia mencari Pandu yang tak terlihat dimanapun juga Sekar. Apa mereka menghabiskan waktu bersama? Kenapa rasanya sakit sekali hatinya apalagi mengetahui kalau Sekar tengah hamil, apa sebenarnya dibelakangnya mereka berdua sudah menikah? Alisya menatap dekorasi ruangan yang begitu indah itu lalu tersenyum pahit, dekorasi ini bukan untuknya bahkan bunga-bunga yang tarpasang di setiap sudat ruangan bukan yang dia suka. Ini pesta untuk Sekar. “Tuan meminta Nyonya untuk naik ke atas panggung, acara akan segera dimulai,” kata seorang wanita yang Alisya tahu salah satu pelayan di rumah ini, meski dia tidak tahu siapa namanya. Alisya mengarahkan pandangan pada panggung yang dimaksud wanita itu dan benar saja, sudah ada Pandu yang berdiri di sana dengan senyum lebar, tapi tatapannya bukan tertuju padanya tapi pada wanita yang sedang duduk bersama kedua orang tua laki-laki itu. Memangnya apa yang kamu harapkan Alisya, batin Alisya menjerit perih. Andai dia dulu tahu Pandu adalah milik Sekar dia pasti akan menolak pernikahan ini, meski dia mencintai laki-laki itu. Lima tahun. Sekarang dialah perusak hubungan mereka, ada rasa bersalah dalam hati Alisya yang dengan semena-mena masuk dalam hubungan dua orang itu, tapi sisi batinnya yang lain juga mengingatkan kalau dia sama sekali tidak tahu, dan perbuatan dua orang itu tetap saja perselingkuhan. “Setelah memotong kue aku ingin kamu sendiri yang melamar Sekar untukku,” gumaman pelan di belakangnya itu membuat Alisya membeku. Sekejam itukah Pandu memperlakukannya.Alisya bukan batu dia manusia yang memiliki perasaan. Dia juga seorang istri yang sama sekali tidak diharapkan dan diperlakukan begitu kejam. “Aku akan memberikan perawatan terbaik untuk ibumu setelah kamu melakukan ini.” Alisya menelan kembali tangisnya. Ibunya... benar wanita yang sangat dia sayangi itu saat ini sedang berjuang melawan penyakit yang menggerogotinya. Alisya tak akan sanggup bila harus kehilangan wanita itu. Ayahnya sudah berpulang terlebih dahulu dengan cara yang tak sanggup lagi dia ingat, dan sekarang ibunya adalah satu-satunya hal berharga yang dia miliki di dunia ini. Selama ini orang tuanya sudah membesarkannya dengan sangat baik meski dalam keterbatasan. Jika nyawa itunya bisa dipertahannya dengan rasa sakit hatinya... Alisya ikhlas menerimannya. “Aku mengerti terima kasih, mas. Aku sangat berharap ibuku akan segera sembuh.” Alisya tersenyum meski hatinya sangat pedih, sejenak dia menatap wajah rupawan Pandu yang sangat dia kagumi, untuk terakhir kalinya
“Biar aku bantu.” Alisya langsung mendongak, saat melihat siapa yang bicara dia tak bisa lagi menyembunyikan air matanya. Di saat semua orang sedang memperhatikan Sekar dan Pandu di sana, diam-diam Alisya menyingkir. Perannya sudah selesai dan waktunya dia turun panggung. Akan tetapi panggung ini tentu saja tidak didesain untuknya, wanita cacat yang harus menggunakan kursi roda, sebuah bukti nyata lagi bahwa semua ini memang bukan untuknya. Dan Alisya tentu saja kesulitan untuk turun sendiri.“Aku tahu kamu memang bodoh tapi tidak aku sangka kamu sebodoh ini,” komentar laki-laki itu lagi.Mulut Alisya langsung terkunci, itu kenyataan yang memang tak bisa dia sangkal. Senyum getir menghiasi bibirnya.Meski terlihat luar biasa kesal tapi perlahan laki-laki itu membantu Alisya menurunkan kursi rodanya dari atas panggung dengan hati-hati. Saat telah ada di bawah panggung Alisya menoleh sejenak pada Pandu dan Sekar yang masih tamp
“Fokuslah pada tujuanmu dan lupakan perasaanmu.” Kalimat Pram sebelum laki-laki itu pamit pulang masih menggema di kepala Alisya dan makin membuatnya tak bisa memejamkan mata meski tubuhnya lelah luar biasa. Pesta sudah berakhir satu jam yang lalu, aktifitas membersihkan sisa pesta juga sudah mulai berkurang berisiknya. Alisya memang langsung kembali ke kamar setelah berbicara dengan Pram, pesta yang diadakan di halaman depan membuatnya leluasa untuk kembali ke kamar lewat pintu belakang. Alisya bahkan tak memiliki keinginan sedikit pun untuk beramah tamah dengan orang tua Pandu, dia bahkan tidak peduli jika dikatakan tidak sopan. Sejak kembali yang dia lakukan hanya mengurung diri dalam kamar dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri apa dia mampu untuk menjalani hari ke depan sebagai istri pertama yang sama sekali tak dianggap oleh suaminya? Wanita itu masih sibuk menatap rimbun pohon di balik jendela kamarnya saat pintu kamarnya terbuka dan kemudian menutup lagi dengan keras.
Para pelayan langsung menyingkir ke belakang begitu Pandu menggebrak meja makan dengan keras. Alisya sempat melihat nomer asing yang menghubunginya, dia menghafalnya dengan baik itu nomer ponsel Pram. “Apa karena laki-laki ini kamu meminta cerai dariku?” tanya Pandu dengan suara mendesis. Alisya tahu Pandu marah padanya tapi tidak pernah menyangka laki-laki itu akan mengatakan hal konyol seperti itu. Bukankah Pandu yang berselingkuh dan menghamili kekasihnya kenapa sekarang dia yang jadi tersangka. Sungguh Alisya tak habis pikir dengan cara kerja otak laki-laki yang masih saja bertahta di hatinya meski sudah banyak menimbulkan luka. Alisya menatap wajah Pandu dengan seksama, laki-laki ini tidak pernah bersikap baik padanya semenjak mereka menikah tapi kenapa dia masih saja mencintainya. “Dia hanya temanku,” jawab Alisya, tangannya meremas satu sama lain berusaha mengurangi rasa sakit yang ada dalam hatinya, baik karena tuduhan Pandu dan juga saat mengingat Sekar. Pandu menatap A
Kenapa laki-laki ini harus mendatanginya ke kamar? Bu Titin tahu itu artinya tak butuh waktu lama Pandu juga akan tahu.Alisya tahu dia tidak melakukan kesalahan apapun, tapi Pandu dan orang-orang yang tidak menyukainya di rumah ini pasti membuatnya seperti melakukan kejahatan besar. Masalah Pram tadi pagi saja membuatnya kehilangan ponselnya, dia tidak tahu apa yang akan dilakukan laki-laki itu jika tahu hal ini. “Oh bu Titin,” kata laki-laki yang dipanggil Lan dengan sopan dan tenang, tidak ada kekhawatiran sama sekali di wajahnya. Apa laki-laki ini benar-benar tidak mengerti apa yang akan terjadi nanti, terutama untuk Alisya? Bu Titin tidak menggubris laki-laki itu tapi dia menatap Alisya dengan pandangan mengejek. “Anda ternyata sudah berani memasukkan laki-laki lain ke kamar anda Nyonya.” “Apa maksud bu Titin adalah saya?” tanya laki-laki itu lagi ada riak di wajahnya saat mendengar perkataan bu Titin. Alisya
“Ayo pikir! Ayo... apa akalku sekarang!” Alisya memukul-mukulkan tangannya pelan pada kursi rodanya. Dia terbiasa mandiri dan sejak kehilangan sang ayah, ibunya yang dulunya hanya ibu rumah tangga harus mengambil alih peran sang ayah untuk mencari nafkah setelahnya. Dan Alisya tak tega ketika harus merengek pada sang ibu yang selalu kelihatan lelah sepulang kerja. Otaknya yang cerdas sangat membantu sekali dalam pendidikannya, dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang sarjana dan berhasil lulus dengan presikat sangat memuaskan. Itulah yang mengantarkannya mendapatkan undangan kerja dariperusahaan milik keluarga Pandu. Perusahaan multinasional yang bergerak dibidang makanan ringan. Dengan otak cerdasnya Alisya berhasil medapatkan jabatan yang lumayan mentereng di bagian keuangan, bagian yang paling basah pada sebuahperusahaan. Gaji yang diterima Alisya juga cukup besar untuk membiayai kehidupannya dan sang ibu, apalagi mereka bukan pribadi yang gemar berf
Rencananya Alisya akan berbelanja terpisah dengan juru masak keluarga Pandu. Dia sudah menghubungi Pram untuk meminta seseorang mencarikan bahan makanan yang dibutuhkan, sedangkan Alisya akan diam-diam pergi dengan mobil yang disiapkan Pram. Terdengar mudah memang rencana itu, tapi Alisya yang sejak kecil tidak biasa berbohong langsung berkeringat dingin, tapi tentu saja dia tidak akan menyerah dengan mudah. “Jangan kencang-kencang membawa mobilnya! Dasar anak muda!” omel si bibi pada anak pak Maman yang mengantar mereka. Berbeda dengan pak Maman yang merupakan pengemudi yang tenang, anak laki-lakinya mungkin dulu bercita-cita menjadi pembalap tak kesampaian, dia mengemudi seperti kesetananan menyalip ke sana kemari. Mobil yang mereka gunakan memang jenis mobil mahal yang biasanya dipakai mengantar Alisya sehingga guncangan tak begitu terasa tapi untuk wanita paruh paya di sampingnya sangat berpengaruh. Mukanya terlihat san
Siapa? Dari sekian banyak orang yang tak menyukainya di rumah itu, Alisya tidak tahu siapa yang melakukan hal sekonyol itu? Akan tetapi hal yang lebih mengusik pikirannya adalah kenapa? Jika dia sembuh tentu saja Alisya akan dengan senang hati pergi dari sana dan Pandu yang menikahinya karena kakinya umpuh tak akan punya alasan lagi untuk menahannya. Dokter itu dokter yang cukup punya nama, dia pasti punya alasan kuat mempertaruhkan reputasinya seperti itu. Baik ayah mertua, ibu mertua ataupun suaminya memang punya uang dan pengaruh yang besar di mata masyarakat. Apa mereka bertiga pelakunya?“Sampai kapan kamu akan melamun di sana?” tanya Pram yang masih menunggu Alisya kembali ke bumi lagi. “Pram sudah selesai?” tanya Alisya menutupi keterkejutannya. Laki-laki itu hanya menatap malas pada Alisya. “Ayo kembali ke mobil.” Pram kembali mengemudi dengan kecepatan tinggii, tapi kali ini Alisya tidak ingin protes lagi seluruh energinya tersedot habis untuk berpikir, kenyataan ini
“Siapa sih!” gerutu Laras sambil menyeret tubuhnya keluar kamar.Laras jarang sakit, tapi kali ini dia harus menyerah karena terus bersin dan kepalanya pusing sekali.Berkali-kali Pram mengetuk pintu kamarnya dan mengatakan sarapan sudah siap, tapi kepalanya yang pusing membuat Laras tak napsu makan. Untunglah kamar mereka terpisah jadi laki-laki itu tidak akan tahu kalau dia sakit.Laras tidak suka dikasihani, dan sekarang keadaanya pasti terlihat sangat mengerikan. Untunglah Pram percaya kalau Laras sudah makan dan bilang hari ini dia cuti karena ada urusan. Setelah Pram pergi itulah Laras bangun dengan terhuyung-huyung dan mendapati makanan yang disediakan sang suami di atas meja dan memakannya. Tidur setelah minum obat membuat Laras tak menyadari ini sudah hampir jam tiga sore, pusingnya sudah banyak berkurang tapi wajahnya masih terlihat pucat saat dia melihat cermin. Ditambah lagi bunyi bel yang membuatnya ingin menampar siapa saja yang sudah bertamu saat ini. Dia tidak b
Pram mengintip apa yang dilakukan istrinya sepagi ini di dapur. Yah istrinya karena dia memang telah menikahi Laras, meski wanita itu menolak menjadi istri yang sebenarnya. Restu Alisya beberapa bulan yang lalu membuat Pram mantap dengan rencananya mempersunting Laras. Dan dia tidak menyesalinya. Paling tidak dia tidak kesepian di rumah dan yang pasti... ada yang bisa dia jahili.“Makanya aku sudah bilang, tidak usah kerja cari kursus masak saja, supaya kamu bisa masak,” kata Pram dengan wajah penuh ejekan saat sang istri berkutat dengan penggorengan, pasti istrinya itu lapar sepagi ini, tempe yang dia goreng tebalnya tak sama dan tentu saja dengan api yang sebesar itu akan hangus dalam sekejap, belum lagi Laras yang takut-takut terciprat minyak panas merupakan pemandangan yang menarik pagi ini untuknya. Biasanya dia yang akan memasak, kalau tidak memesan makanan di luar atau mendatangkan koki di apartemennya. Me
Pram tidak pernah bisa berbohong pada Alisya. Wanita itu selalu menemukan cara untuk membuatnya bisa berkata jujur, Pram yang terbiasa menyembunyikan sendiri kegundahan hatinya merasa dia punya tempat untuk pulang, tapi setelah wanita itu menikah dengan laki-laki lain tentu dia tidak bisa lagi berbagi seperti dulu. Karena itu jugalah dia tidak ingin mengatakan rencana pernikahannya dengan Laras pada Alisya, setidaknya sebelum mereka resmi menikah. Alisya tidak akan setuju apalagi jika tahu alasan pernikahannya. Bagi wanita itu pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan harus dipertahankan sebisa mungkin, tidak heran sih karena orang tuanya adalah pasangan yang harmonis dan kaya akan cinta meski mereka miskin harta. Tidak heran jika Alisya kembali lagi pada Pandu meski laki-laki itu pernah menyakitinya. Pram menghela napas dan mengambil kantong besar yang ada di sampingnya, hari ini dia memang telah berjanji akan mengunjungi Alisya di rumah suaminya. “Ckk aku pikir kamu tidak jad
Laras kelaparan. Padahal semalam dia makan semua makanan yang dibawakan Pram. Semalam dia tidur sangat larut, bukan karena dia ngobrol dengan Pram, Laras bahkan buru-buru masuk kamarnya begitu selesai makan dan mengunci pintu kamarnya, lagi pula apartemen ini terkunci otomatis jika nanti Pram pulang dan menutup pintu."Jam segini kamu baru bangun?" Laras yang matanya separuh terbuka langsung melonjak begitu mendapati laki-laki di dapur rumahnya, apalagi laki-laki itu bertelanjang dada memamerkan keindahan tubuhnya. "Kamu harus terbiasa dengan keindahan tubuhku karena nanti kita akan menikah," kata Pram dengan tak acuh saat melihat Laras menatap tubuhnya dengan melongo.Laras menggelengkan kepalanya berusaha untuk mengenyahkan bayangan tubuh setengah telanjang Pram. Astaga kenapa otaknya malah berpikir yang tidak-tidak sih! "Apa yang kamu lakukan di dapurku!" tanya Laras ketus. "Dapurmu?" Tanya Pram sambil menaikkan alisnya menyebalkan.Laras tahu pasti ada yang salah dengan otak
"Kamu yakin akan menikahi wanita itu?" Pram menghentikan gerakannya memutar pensil di tangannya, dia menatap sahabat sekaligus sekretarisnya sejenak. Dia mengenal Aris sejak tahun ketiga di bangku kuliah, Aris pemuda yang cerdas meski berasal dari keluarga yang sederhana. Mereka langsung klop dan menjadi teman. Karena itu tak butuh berpikir dua kali, Pram langsung menariknya untuk bekerja bersamanya begitu mendengar sang sahabat belum mendapat pekerjaan tetap. "Kenapa kamu bertanya begitu?" Tanya Pram memperhatikan laki-laki muda di depannya dengan seksama, sejujurnya hal ini sama sekali tidak ada dalam rencananya, semuanya terjadi begitu saja, tapi Pram menolak menyesali semuanya. Dia memang belum lama mengenal Laras, tapi dia sudah sangat berpengalaman bertemu wanita, dia yakin Laras sangat berbeda dari semua wanita-wanita yang dia pacari, termasuk mantan tunangannya yang sekarang menjadi ibu tirinya. "Aku hanya memastikan, bukankah kamu sendiri yang bilang benci dengan ay
Laras berbaring diam di atas ranjang apartemen yang dipinjamkan Pram untuknya. Ini sudah satu minggu sejak mengantar ibunya ke kampung halamannya, dia lebih tenang jika sang ibu di sana bersama saudara-saudaranya. Mungkin hanya dia anak yang bahagia dengan perceraian kedua orang tuanya. Setidaknya sekarang sang ayah tidak akan lagi menganggu ibunya dan bisa bebas besama gundiknya itu. Laras tak tahu bagaimana Pram membujuk ibunya untuk mau bercerai dari sang ayah yang selama hampir lima belas tahun ini selalu gagal dilakukan olehnya. Tidak dia pungkiri Pram memang seorang negosiator dan perayu sejati apalagi di dukung dengan wajahnya yang luar biasa tampan. Karena itu Laras masih tidak percaya kalau mantan tunangannya berkhianat dan malah menikah dengan ayah laki-laki itu, meski tidak Laras pungkiri kalau ayah Pram juga masih sangat menawan meski usianya tak lagi muda. Pram mengingat laki-laki itu membuat Laras kembali menghela napas panjang, dia belum bisa memaafkan dir
Suara ponsel Laras mengintrupsi pembicaraan mereka yang bisa berpotensi penganiyayaan. Laras mengangkat panggilan dari ibunya dengan tenang tapi wajahnya langsung memucat saat mendengar apa yang ibunya bicarakan di seberang sana. “Ada apa?” tanya Pram. “Kenapa wajahmu selalu pucat setelah mengangkat telepon jangan bilang kalau ayahmu-“ “Ibuku. Aku harus menemuinya sekarang,” kata Laras memutus apapun yang akan dikatakan Pram, dia menatap laki-laki itu dengan pandangan kalut. “Aku antar di mana ibumu sekarang?” Laras menyebutkan alamat kontrakannya. Jika biasanya rumah kontrakannya sepi, kini rumah mungil penuh sesak dengan beberapa tetangga, yang hanya beberapa saja yang Laras kenal dengan baik. “Ada yang meninggal?” tanya Pram. Aura rumahnya sangat suram dan para tetangga saling bicara dengan wajah prihatin apalagi setelah melihatnya. Ibunya baru saja menghubunginya jadi tak mungkin meninggal, batin Laras meyakinkan dirinya sendiri. “Jangan bicara sembarang, ibuku mungkin s
Laras sudah menghabiskan entah berapa kue kering di depannya ini, rasanya sangat enak dan dia suka dan yang lebih penting ini gratis. Jadi tidak akan ada yang menghalangi Laras untuk memakannya, meski perutnya sudah kenyang dengan makan mawah dengan berbagai hidangan mewah yang dia santap tadi, kecuali... pandangan sang nyonya rumah yang seperti menuduhnya menyembunyikan setoples kue itu di balik bajunya. Pram yang sedang berbincang dengan sepupunya juga sama sekali tidak membantu, membuatnya seperti terlempar ke sarang macan yang setiap saat siap mencabik-cabik tubuhnya. Baiklah mungkin perumpamaannya memang terlalu berlebihan tapi wanita cantik yang diperkenalkan sebagai istri ayah Pram memang melihatnya seperti harimau melihat mangsa. Lupakan pemikiran Laras yang mungkin saja dia akan berdosa karena sudah membohongi orang tua Pram dengan sandiwara ini, karena seperti kebanyakan orang kaya mereka tidak akan sudi menerima menantu yang sama sekali tida
“Apa sih sebenarnya masalahmu? Kamu sangat merepotkan,” kata Laras judes setelah mereka keluar dari salon. Laras sudah sangat cantik dengan make up minimalisnya, dan juga blus berwarna kuning pucat dan celana kain berwarna gading, sangat cocok dengan kulitnya yang langsat.Tapi dia tidak menyukainya. Siapa sih yang suka tiba-tiba dipaksa untuk melakukan apa yang sama sekali tidak dia ketahui.“Terima kasih dan aku sangat suka merepotkanmu,” kata Pram yang senyumnya sudah kembali bertengger di wajah tampannya. Laras menghela napas, dia mengasihani dirinya sendiri jika suatu saat jatuh cinta pada laki-laki itu dan tentu saja itu bukan hal mustahil mengingat saat ini statusnya adalah barang yang sudah dibeli Pram. Mengingatnya saja sudah membuat Laras bergidik. “Memangnya kita akan kemana? Kamu ternyata suka sekali bersandiwara. Oh jangan-jangan wanita yang menjadi pacar-pacarmu itu sebenarnya adalah wanita yang bernasib sial dan kamu jadikan pacar pura-pura untuk menutupi kebusukan