“Beraninya kamu menyakiti kekasihku.” Pandu menatap Alisya dengan dingin.
Laki-laki itu langsung meraih Sekar dalam pelukannya dan memeriksa pipi dan juga semua bagian tubuh dengan sangat khawatir, membuat Alisya hanya bisa menggigit bibirnya getir. Ada rasa takut dalam hatinya karena tak pernah melihat Pandu semarah itu. Alisya memang dibesarkan dengan kesederhanaan oleh kedua orang tuanya bahkan setelah ayahnya meninggal mereka bisa dikatakan kekurangan tapi tak pernah ada perlakukan kasar dan bentakan meski mereka mendidknya dengan sangat keras tapi saat dia menikah kata-kata kasar penuh hinaan itu sudah menjadi makanannya sehari-hari. Bukan hanya dari Pandu suaminya tapi juga dari keluarga laki-laki itu bahkan para pelayan yang bekerja di rumah ini. Biasanya Alisya hanya diam saja dan hanya menunduk kemudian pergi dari sana, menganggap itu adalah bagian dari resiko. Akan tetapi kali ini dia tak bisa terima Sekar telah menghina ibunya. Dia tidak pernah memiliki hutang budi pada Sekar jadi tidak sepantasnya wanita itu menjadi bagian dari orang-orang yang memberikan luka padanya. Wanita itu menangis sesenggukan seolah dia adalah orang yang teraniayaya di dunia. Alisya menatap kedua orang itu dengan dada sesak, tanpa mempedulikan mereka lagi, dia langsung memutar kursi rodanya kembali ke rumah. Alisya bahkan masih bisa merasakan pandangan marah Pandu di belakangnya tapi wanita itu sama sekali tak peduli. Sekar sudah keterlaluan dengan mengusik ibunya. *** Ketukan pintu membuat Alisya yang sedari tadi hanya duduk melamun di depan jendela menoleh, dia sedang tak ingin diganggu siapapun, dia tahu siapapun yang datang tak akan bisa membuat hatinya lebih baik justru sebaliknya orang-orang di rumah ini lebih banyak mendatangkan kesakitan untuknya, tapi ketukan itu tak mau berhenti juga membuatnya lama-lama terusik juga. “Siapa?” “Saya Mua yang diminta mendandani nyonya.” Alisya menipiskan bibirnya, malam memang sebentar lagi akan tiba dan pesta ulang tahunnya pasti akan segera dimulai. Saat Pandu mengatakan kalau hari akan mengadakan pesta ulang tahun Alisya, dia merasa ada yang aneh dua tahun dia berada di rumah ini jangankan sebuah pesta untuknya, dia bahkan tidak pernah dianggap ada. Alisya memang seorang istri yang sah dimata agama dan negara, tapi dia hanya mahluk tak kasat mata di depan suaminya, dan alasan kenapa pesta ini diadakan yang tentu saja bukan untuk dirinya tapi untuk Sekar, kekasih suaminya. Alisya bisa menduga hal itu. Selama ini dia terlalu percaya diri bisa meraih hati Pandu tapi nyatanya... “Masuklah.” Seorang wanita masuk ke kamar Alisya dan dengan senyum ramah mereka langsung membantu Alisya bersiap. Alisya menatap wajah cantik dari cermin itu, mereka sudah bekerja sangat baik, riasan wajahnya sangat halus seperti sudah melakukan perawatan salon seumur hidupnya. “Anda tidak kalah cantik dengan Nyonya Sekar,” kata salah satu wanita yang mendandaninya, Alisya tidak mengenal kedua wanita ini, mereka bukan salah satu pelayan yang bekerja di rumah ini atau mertuanya, kenapa mereka memanggil Sekar dengan kata Nyonya? “Kamu mengenal Sekar?” tanya Alisya dengan wajah polos seolah itu bukan hal yang penting. Wanita itu mengangguk. “Tuan Pandu sering mengajak Nyonya Sekar ke salon kami.” Jadi mereka sering menghabiskan waktu bersama. “Salon kalian pasti salah satu yang terbaik,” kata Alisya yang membuat wanita itu tersenyum bangga. “Wajah Sekar juga terlihat sangat terawat, pasti dia rutin melakukan perawatan ditempat kalian.” “Sudah sejak lima tahun yang lalu, tapi sudah lama Nyonya tidak datang katanya pergi ke luar negeri tapi tiga bulan lalu mereka datang lagi.” Alisya berusaha menampilkan wajah baik-baik saja meski hatinya terasa sakit luar biasa. Jika waktu itu Pandu sudah memiki Sekar kenapa menikahinya? “Mereka putus?” tanyanya seolah tak peduli. “Sepertinya begitu karena itu kami kaget tuan Pandu datang lagi dengan Nyonya Sekar yang sedang hamil sedangkan yang kami tahu Tuan menikah dengan orang lain.” Wanita itu menutup mulutnya sepertinya dia baru saja menyadari kesalahannya sedangkan Alisya membeku ditempatnya. “Maafkan saya,” lanjut wanita itu sambil menunduk tak enak hati. Saat berenang bersama teman-temannya Alisya pernah hampir tenggelam karena ulah salah satu temannya, napasnya begitu sesak mau meledak rasanya, dia merasa akan mati, tapi ternyata mendengar Pandu menghamili pacarnya lebih menyakitkan dari itu, andai saja dia tak teringat ibunya mungkin dia akan memilih pergi. “Aku tidak tahu Sekar hamil,” katanya dengan pandangan mata kosong. “Nyonya, sa-saya...” “Terima kasih, mbak apa sudah selesai?” tanya Alisya seolah pembicaraan mereka tak pernah terjadi. Alisya menatap pintu yang baru saja tertutup saat tiba-tiba saja pintu itu terbuka lagi, dan bukan si Mua yang datang tapi Pandu, suaminya. “Aku ingin bicara,” kata laki-laki itu yang tanpa permisi langsung menarik kursi di samping meja rias Alisya. Ada sedikit rasa tak nyaman dalam hati Alisya saat melihat suaminya, apalagi setelah dia ingat dengan perkataan mbak-mbak Mua tadi. Alisya menunggu beberapa saat tapi tak ada suara yang dikeluarkan oleh laki-laki yang masih sah berstatus suaminya itu, dia menatap laki-laki itu dengan bingung. “Jadi?” “Aku hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun,” kata laki-laki itu. “Terima kasih,” jawab Alisya masih dengan kening berkerut, dia tahu bukan ini maksud Pandu menemuinya dan dia mulai merasakan firasat buruk. “Aku akan menikahi Sekar.” Alisya terdiam, Pandu sudah mengatakannya tadi tapi sekali lagi rasa sakit itu menghantam telak dirinya membuatnya kewalahan untuk menghadapi rasa itu. “Alisya kenapa kamu diam?” tanya Pandu dengan nada tak suka. Alisya menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan, rasa sesak dalam hatinya tak juga sirna. “Apa karena dia hamil?” tanyanya dengan suara bergetar. “Jadi, kamu sudah tahu? Tanya Pandu dengan wajah datarnya. Alisya menatap suaminya dengan air mata yang sudang menggenang. “Baguslah jadi aku tak perlu repot-repot memberitahumu lagi.” Alisya hanya mampu menggigit bibirnya melihat respon sang suami. “Apa mas pernah punya sedikit saja rasa untukku?” tanya Alisya nekad. “Pernah,” jawab Pandu seolah tanpa berpikir, membuat Alisya mengangkat kepalanya. “Aku pernah menganggumi kamu yang cerdas dan pekerja keras, tapi rasa itu sudah lenyap saat aku tahu kenyataannya.” Alisya menggeleng dan tersenyum pahit, dia tidak pernah ingin kecelakaan itu terjadi. Sungguh. Tapi percuma saja mengatakan pada Pandu. “Ada yang halal untukmu kenapa kamu memilih berbuat zina dengannya?” Pertanyaan itu seperti bensin yang menyulut kemarahan Pandu. “Bukankah itu salahmu, kamu sudah mengancurkan duniaku kamu juga yang menghancurkan akiratku,” katanya dingin tanpa sadar Alisya memundurkan kursi rodanya. “A... aku minta maaf tapi aku tidak pernah meminta mas nikahi.” “Munafik, semua orang juga tahu apa tujuanmu,” jawab Pandu sinis. Alisya menarik napasnya mencoba peruntungannya kali ini. “Mas bisa menceraikanku dan berbahagia dengan Sekar, aku hanya minta uang untuk pengobatan ibuku.” Pandu tersenyum sinis. “Dan membuat Sekar dihujat banyak orang, begitu maksudmu.” Alisya menggeleng dengan air mata yang kini membasahi pipinya, hatinya sungguh sakit. “A...aku akan menjelaskan pada semua orang,” katanya dengan terbata. “Kamu pikir aku percaya itu? Sekar tidak masalah jika hanya berstatus sebagai istri kedua. Malam ini aku akan mengumumkan pertunangan kami, aku harap kamu bisa bekerja sama.” Sudah Alisya duga pesta ini memang bukan untuknya. “Baiklah aku akan tetap di sini.” “Lakukan itu jika kamu ingin semuanya sia-sia,” kata Pandu dan tanpa mau menoleh lagi dia langsung keluar tak lupa membanting pintu kamar Alisya. Meninggalkan Alisya yang sedang tertawa dalam tangisnya.Wajah pucat dan mata sembab.Itulah yang dilihat Alisya dari sosok dalam pantulan cermin. Dia ingin tetap di dalam kamar dan tidak usah menghadiri pesta itu, tapi dia tidak bisa mengabaikan ancaman Pandu. Alisya tak menyangka bahwa banyak orang yang hadir untuk menghadiri pesta ulang tahunnya, tapi dia bahkan tak tahu siapa saja yang diundang. Dia memang pemeran utama dalam pesta ini tapi dia merasa seperti tamu yang tak diundang, begitu menyedihkan.Tentu saja ini pesta untuk Sekar, wanita yang dicintai Pandu.Alisya mengedarkan pandangannya tak terlihat Pandu atau keluarganya dimanapun. Bahkan Sekar juga tak ada diantara tamu yang tak semua Alisya kenal. “Aku tidak tahu apa yang membuatmu betah duduk di kursi menyedihkan itu?” Alisya yang semula sibuk mengedarkan pandangan mencari keberadaan Pandu langsung menoleh dan menemukan laki-laki yang menatap sinis padanya. Pramudya Setiaji, sahabat Alisya, mereka sudah mengenal sejak SMA, ayah Pram adalah salah satu rekan bisnis ayah
Alisya bukan batu dia manusia yang memiliki perasaan. Dia juga seorang istri yang sama sekali tidak diharapkan dan diperlakukan begitu kejam. “Aku akan memberikan perawatan terbaik untuk ibumu setelah kamu melakukan ini.” Alisya menelan kembali tangisnya. Ibunya... benar wanita yang sangat dia sayangi itu saat ini sedang berjuang melawan penyakit yang menggerogotinya. Alisya tak akan sanggup bila harus kehilangan wanita itu. Ayahnya sudah berpulang terlebih dahulu dengan cara yang tak sanggup lagi dia ingat, dan sekarang ibunya adalah satu-satunya hal berharga yang dia miliki di dunia ini. Selama ini orang tuanya sudah membesarkannya dengan sangat baik meski dalam keterbatasan. Jika nyawa itunya bisa dipertahannya dengan rasa sakit hatinya... Alisya ikhlas menerimannya. “Aku mengerti terima kasih, mas. Aku sangat berharap ibuku akan segera sembuh.” Alisya tersenyum meski hatinya sangat pedih, sejenak dia menatap wajah rupawan Pandu yang sangat dia kagumi, untuk terakhir kalinya
“Biar aku bantu.” Alisya langsung mendongak, saat melihat siapa yang bicara dia tak bisa lagi menyembunyikan air matanya. Di saat semua orang sedang memperhatikan Sekar dan Pandu di sana, diam-diam Alisya menyingkir. Perannya sudah selesai dan waktunya dia turun panggung. Akan tetapi panggung ini tentu saja tidak didesain untuknya, wanita cacat yang harus menggunakan kursi roda, sebuah bukti nyata lagi bahwa semua ini memang bukan untuknya. Dan Alisya tentu saja kesulitan untuk turun sendiri.“Aku tahu kamu memang bodoh tapi tidak aku sangka kamu sebodoh ini,” komentar laki-laki itu lagi.Mulut Alisya langsung terkunci, itu kenyataan yang memang tak bisa dia sangkal. Senyum getir menghiasi bibirnya.Meski terlihat luar biasa kesal tapi perlahan laki-laki itu membantu Alisya menurunkan kursi rodanya dari atas panggung dengan hati-hati. Saat telah ada di bawah panggung Alisya menoleh sejenak pada Pandu dan Sekar yang masih tamp
“Fokuslah pada tujuanmu dan lupakan perasaanmu.” Kalimat Pram sebelum laki-laki itu pamit pulang masih menggema di kepala Alisya dan makin membuatnya tak bisa memejamkan mata meski tubuhnya lelah luar biasa. Pesta sudah berakhir satu jam yang lalu, aktifitas membersihkan sisa pesta juga sudah mulai berkurang berisiknya. Alisya memang langsung kembali ke kamar setelah berbicara dengan Pram, pesta yang diadakan di halaman depan membuatnya leluasa untuk kembali ke kamar lewat pintu belakang. Alisya bahkan tak memiliki keinginan sedikit pun untuk beramah tamah dengan orang tua Pandu, dia bahkan tidak peduli jika dikatakan tidak sopan. Sejak kembali yang dia lakukan hanya mengurung diri dalam kamar dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri apa dia mampu untuk menjalani hari ke depan sebagai istri pertama yang sama sekali tak dianggap oleh suaminya? Wanita itu masih sibuk menatap rimbun pohon di balik jendela kamarnya saat pintu kamarnya terbuka dan kemudian menutup lagi dengan keras.
Para pelayan langsung menyingkir ke belakang begitu Pandu menggebrak meja makan dengan keras. Alisya sempat melihat nomer asing yang menghubunginya, dia menghafalnya dengan baik itu nomer ponsel Pram. “Apa karena laki-laki ini kamu meminta cerai dariku?” tanya Pandu dengan suara mendesis. Alisya tahu Pandu marah padanya tapi tidak pernah menyangka laki-laki itu akan mengatakan hal konyol seperti itu. Bukankah Pandu yang berselingkuh dan menghamili kekasihnya kenapa sekarang dia yang jadi tersangka. Sungguh Alisya tak habis pikir dengan cara kerja otak laki-laki yang masih saja bertahta di hatinya meski sudah banyak menimbulkan luka. Alisya menatap wajah Pandu dengan seksama, laki-laki ini tidak pernah bersikap baik padanya semenjak mereka menikah tapi kenapa dia masih saja mencintainya. “Dia hanya temanku,” jawab Alisya, tangannya meremas satu sama lain berusaha mengurangi rasa sakit yang ada dalam hatinya, baik karena tuduhan Pandu dan juga saat mengingat Sekar. Pandu menatap A
Kenapa laki-laki ini harus mendatanginya ke kamar? Bu Titin tahu itu artinya tak butuh waktu lama Pandu juga akan tahu.Alisya tahu dia tidak melakukan kesalahan apapun, tapi Pandu dan orang-orang yang tidak menyukainya di rumah ini pasti membuatnya seperti melakukan kejahatan besar. Masalah Pram tadi pagi saja membuatnya kehilangan ponselnya, dia tidak tahu apa yang akan dilakukan laki-laki itu jika tahu hal ini. “Oh bu Titin,” kata laki-laki yang dipanggil Lan dengan sopan dan tenang, tidak ada kekhawatiran sama sekali di wajahnya. Apa laki-laki ini benar-benar tidak mengerti apa yang akan terjadi nanti, terutama untuk Alisya? Bu Titin tidak menggubris laki-laki itu tapi dia menatap Alisya dengan pandangan mengejek. “Anda ternyata sudah berani memasukkan laki-laki lain ke kamar anda Nyonya.” “Apa maksud bu Titin adalah saya?” tanya laki-laki itu lagi ada riak di wajahnya saat mendengar perkataan bu Titin. Alisya
“Ayo pikir! Ayo... apa akalku sekarang!” Alisya memukul-mukulkan tangannya pelan pada kursi rodanya. Dia terbiasa mandiri dan sejak kehilangan sang ayah, ibunya yang dulunya hanya ibu rumah tangga harus mengambil alih peran sang ayah untuk mencari nafkah setelahnya. Dan Alisya tak tega ketika harus merengek pada sang ibu yang selalu kelihatan lelah sepulang kerja. Otaknya yang cerdas sangat membantu sekali dalam pendidikannya, dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang sarjana dan berhasil lulus dengan presikat sangat memuaskan. Itulah yang mengantarkannya mendapatkan undangan kerja dariperusahaan milik keluarga Pandu. Perusahaan multinasional yang bergerak dibidang makanan ringan. Dengan otak cerdasnya Alisya berhasil medapatkan jabatan yang lumayan mentereng di bagian keuangan, bagian yang paling basah pada sebuahperusahaan. Gaji yang diterima Alisya juga cukup besar untuk membiayai kehidupannya dan sang ibu, apalagi mereka bukan pribadi yang gemar berf
Rencananya Alisya akan berbelanja terpisah dengan juru masak keluarga Pandu. Dia sudah menghubungi Pram untuk meminta seseorang mencarikan bahan makanan yang dibutuhkan, sedangkan Alisya akan diam-diam pergi dengan mobil yang disiapkan Pram. Terdengar mudah memang rencana itu, tapi Alisya yang sejak kecil tidak biasa berbohong langsung berkeringat dingin, tapi tentu saja dia tidak akan menyerah dengan mudah. “Jangan kencang-kencang membawa mobilnya! Dasar anak muda!” omel si bibi pada anak pak Maman yang mengantar mereka. Berbeda dengan pak Maman yang merupakan pengemudi yang tenang, anak laki-lakinya mungkin dulu bercita-cita menjadi pembalap tak kesampaian, dia mengemudi seperti kesetananan menyalip ke sana kemari. Mobil yang mereka gunakan memang jenis mobil mahal yang biasanya dipakai mengantar Alisya sehingga guncangan tak begitu terasa tapi untuk wanita paruh paya di sampingnya sangat berpengaruh. Mukanya terlihat san
Ini bukan hari pertama Pandu pulang malam semenjak sang tante kembali membuat masalah. "Bapak sedang meeting dengan buyer dari Australi, mereka baru saja makan malam tadi dan sekarang meeting berlanjut lagi." Pandu memang bercerita padanya kalau keluarga besar suaminya itu mendesak untuk meloloskan permintaan sang tante dan tak segan-segan meminta Pandu memakai dana amal perusahaan jika memang diperlukan. Tentu saja Pandu menolak hal itu, karena sang tante bukan orang fakir miskin yang sedang kesulitan yang perlu bantuan jadi yang bisa Pandu lakukan adalah mencari buyer sebanyak mungkin untuk menutupi kekurangan harga karena ketololan sang tante. Sebenarnya bisa saja Pandu menolak, tapi itu akan berimbas pada nama baik keluarga juga saham yang kemungkinan akan anjlok."Baiklah, terima kasih mbak tolong ingatkan bapak supaya tidak telat meminum vitaminnya." "Baik, bu." Alisya menutup telepon sambil menghela napas. "Tuan muda pulang malam lagi ya, nyonya?" tanya bibi. Alisya men
Sepertinya inilah yang namanya kualat.Alisya tadi hanya memanggil nama Pram satu kali bukan tiga kali tapi kenapa laki-laki itu langsung merespon panggilannya? Parahnya di depan Pandu pula. "Kamu benar-benar janjian dengan Pramudya?" Ada nada berbahaya dalam suara Pandu dan Alisya jelas tahu hal itu. Di masa lalu meski tak ada cinta ataupun kepedulian dalam diri laki-laki itu untuknya tapi tetap saja akan marah kalau dia masih berhubungan dengan Pram atau temannya yang lain. "Apa mas akan menggunakan hak mas sebagai suamiku untuk melarangku berteman dengannya?" tanya wanita itu, dia tahu ini mungkin akan memicu pertengkaran lagi. Sebenarnya sejak menikah dengan Pandu lagi, Alisya jarang sekali berhubungan dengan Pram, juga karena laki-laki itu yang katanya sibuk sekali dan sudah memiliki wanita yang dia sukai. Tindakannya tadi hanya impulsif semata dian hanya ingin memberi pelajaran pada suaminya, bagaimana jika dia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Pandu. Hubung
Kadang mencintai itu begitu menyakitkan apalagi mencintai sendiri. Seberapapun dia menolak rasa cinta itu, dia tetap saja tak mampu. Rasa itu datang dengan semena-mena dan menggerus kewarasannya. Diantara besarnya cinta yang dia miliki terdapat cemburu yang membuatnya tak ingin berbagi, dia kira Pandu sudah menyadari semuanya, bahwa dia tidak ingin terluka lagi oleh cinta orang yang sama, tapi nyatanya semua hanya fatamorgana. "Mas tidak perlu bersusah payah aku tahu urusan mas sangat banyak, aku tidak ingin dianggap beban yang merepotkan." Alisya berkata tenang, dia tidak ingin mempermalukan dirinya, sudah cukup drama yang dia ciptakan tadi. "Kamu nggak apa-apa kan, Ran. Nunggu sebentar lagi." Rani yang dari tadi ada di samping Alisya sejak tadi hanya menunduk, dia tidak tahu hari pertama dia tinggal di kota ini malah jadi seperti ini. "Aku terserah mbak Alisya saja," kata Rani dengan pandangan bingung dan enak hati, gadis itu memang tidak tahu apa yang terjadi tahu-tahu Pandu
"Apa yang akan kamu lakukan?" Alisya meletakkan ponselnya setelah mengirimkan screenshoot postingan tadi pada Pandu. Dia menatap Sasti sebentar. Sekarang mereka ada di ruangan Alisya dengan banyak makanan di depannya, bahkan Dara dan Rani juga mendapat jatah, tapi seperti biasa setelah mengambil makanan mereka, dua orang itu lebih memilih kabur dari pada menemani keduanya. Alisya pernah juga iseng bertanya, kenapa mereka menolak makan bersama, padahal Sasti bukan tipe bos yang pelit dan sok elit dengan tak mau makan dengan bawahannya. "Mending kita makan di warteg dari pada makan makanan mahal semeja sama bu Sasti." "Memangnya dengan makanan yang dibelikan bu Sasti?" "Makanannya pedes banget." "Kan kamu bisa request makanan yang nggak pedas." "Percuma saja.""Maksudnya?" "Makanannya memang nggak pedas tapi omongan bu Sasti yang membuat pedas." Alisya langsung tertawa dia juga mengakui hal itu. "Tapi dia baik lho, suka bantu karyawannya juga.""Tetap saja, dari pada senam jan
Alisya memakan kripik yang diberikan bulek Par padanya sambil mengamati air hujan yang jatuh ke bumi. Begitu sampai di rumah ini, mereka disambut dengan hujan yang begitu lebat. Bibi dan Pak Maman yang menyambut mereka langsung sibuk menurunkan barang-barang yang mereka bawa. Baik Pandu maupun Alisya tidak banyak membawa barang pribadi mereka kanrena mereka berencana akan sering pulang ke desa jika ada libur, lagi pula barang-barang mereka masih banyak di sini. Saat Alisya pergi dulu dia memang tidak membawa barang-barang yang dibelikan oleh Pandu hanya barang-barang lamanya saja. "Memangnya kamu pikir aku harus pake baju perempuan," kata Pandu sebal saat Alisya mengatakan baju itu milik Pandu karena dibeli dengan uang laki-laki itu dulu. Sekarang dia kembali lagi ke rumah ini, kali ini bukan hanya berkunjung tapi juga kemungkinan akan menetap entah lama, masalah keluarga Pandu tidak akan mungkin bisa diselesaikan dalam waktu dekat, banyak rencana Pandu yang diceritakan pada Al
"Memang harusnya istri ikut suaminya, Nduk." Hari ini Alisya datang ke rumah bulek Par, sengaja dengan membawakan kolak pisang kesukaan bulek yang tadi dia buat. Rumah bulek Par memang tidak besar tapi asri dan bersih. Alisya duduk di balai-balai bambu di teras depan rumah bulek. "Iya, bulek sepertinya ini memang sudah saatnya kasihan mas Pandu kalau pulang malam jaraknya jauh." "Lah sudah pinter kamu, pernikahan itu memang harus keduanya berjuang, kalau salah satu saja ya pincang." Alisya mengangguk, itu juga salah satu alasannya mau kembali bersama Pandu, dia melihat kalau laki-laki itu sudah berubah dan mau untuk berjuang untuk pernikahan mereka. "Tapi bulek ada yang menganggu saya sebenarnya kalau harus pindah ke rumah mas Pandu-" "Rumah kalian," koreksi bulek Par. "Iya maksud, Lisya rumah kami. Apa bulek mau ikut kami ke kota?" tanya Alisya hati-hati. Suasana desa yang tentram dan masyarakatnya yang saling tolong menolong membuat banyak warga di sini yang enggan untu
"Mbak Alisya!" Alisya yang baru saja menyiram tanaman di depan rumahnya langsung membuang selangnya begitu Rani memeluknya erat sambil menangis. "Ada apa, Ran? ibumu baik-baik saja kan?" tanya Alisya panik, bulek Par yang pagi ini memang datang ke rumah Alisya ikut berdiri dan menatap Rani tak kalah panik.Beberapa hari yang lalu memang Alisya juga datang ke rumah Rani untuk menjenguk ibunya yang memang sudah lama mengidap penyakit darah tinggi dan sekarang saat tiba-tiba wanita itu datang dengan menangis tentu saja Alisya ikut khawatir. "Ran, ada apa?" tanya Alisya sambil merenggangkan pelukan mereka. Rani yang masih menangis langsung melongo apalagi beberapa tetangga juga sudah berkerumun ingin tahu apa yang terjadi. "Ran!" tegur Alisya lagi. "Kok banyak orang, mbak?" "Lah mereka penasaran kamu teriak tadi, ibumu kenapa?" "Hah! ibu baik-baik saja kok, aku teriak bukan karena ibu," kata Rani dan sekarang meringis salah tingkah apalagi semua mata sekarang menatapnya dengan
Pandu sudah ada di lobi begitu jam kantor Alisya bubar. Tumben. "Mas sejak tadi di sini?" tanya Alisya, resepsionis sama sekali tidak memberi tahunya, padahal setahunya Pandu sama sekali tak suka menunggu. Pandu mengangguk lalu berdiri memeluk anak dan istrinya, Bisma yang mungkin engap terjepit antara ayah dan ibunya langsung merengek. "Mas, ih peluk-peluk sembarangan." Pandu mengedikkan bahunya dengan acuh. "Kan istri sendiri." "Ye siapa bilang istri tetangga." Pandu hanya tersenyum, lalu membimbing sang istri untuk menuju mobilnya. "Bisma nggak rewel setelah imunisasi?" tanya Pandu begitu dia sudah ada di balik kemudi dengan Alisya yang sudah duduk di sampingnya. "Enggak cuma tadi tidur terus setelah minum obat." Pandu mengusap kepala Bisma dengan tangan kirinya dengan sayang, perjalanan menjadi sunyi karena Bisma yang terlihat masih ngantuk menempel erat di dada ibunya sedangkan Rani duduk di bangku belakang dengan terkantuk-kantuk, astaga padahal anak itu juga seharian
"Mbak aku mau beli cilok dulu," kata Rani dengan ceria saat melihat penjual cilok langganannya. "Mbak mau juga?" "Tidak, itu tidak higenis."Jawaban itu bukan dari Alisya tentu saja tapi dari Pandu yang sejak mereka berangkat tadi seperti terkena sariawan. "Ta...tapi abangnya bersih kok, tuan. Pancinya juga pakai tutup." Alisya tak bisa menahan tawanya dia melihat wajah Rani yang ingin menangis saat mengatakan itu, meski begitu gadis itu nekad banget mendebat Pandu.Dan Tuan? Alisya baru saja kalau Rani selama ini memanggil Pandu dengan sebutan tuan, sama dengan semua asisten rumah tangga di rumah laki-laki itu, padahal memanggilnya dengan sebutan mbak bukan nyonya. "Ciloknya enak dan bersih kok, mas," bela Alisya. Orang kaya sih memang seperti itu, dia bahkan tidak yakin Pandu pernah makan jajanan rakyat yang tersebar di pinggir-pinggir jalan. "Memangnya kamu tidak bisa buat itu, ma. Atau nanti aku minta salah satu chef rumah mama untuk membuatkan." "Ish... mas jangan keterla