“Beraninya kamu menyakiti kekasihku.” Pandu menatap Alisya dengan dingin.
Laki-laki itu langsung meraih Sekar dalam pelukannya dan memeriksa pipi dan juga semua bagian tubuh dengan sangat khawatir, membuat Alisya hanya bisa menggigit bibirnya getir. Ada rasa takut dalam hatinya karena tak pernah melihat Pandu semarah itu. Alisya memang dibesarkan dengan kesederhanaan oleh kedua orang tuanya bahkan setelah ayahnya meninggal mereka bisa dikatakan kekurangan tapi tak pernah ada perlakukan kasar dan bentakan meski mereka mendidknya dengan sangat keras tapi saat dia menikah kata-kata kasar penuh hinaan itu sudah menjadi makanannya sehari-hari. Bukan hanya dari Pandu suaminya tapi juga dari keluarga laki-laki itu bahkan para pelayan yang bekerja di rumah ini. Biasanya Alisya hanya diam saja dan hanya menunduk kemudian pergi dari sana, menganggap itu adalah bagian dari resiko. Akan tetapi kali ini dia tak bisa terima Sekar telah menghina ibunya. Dia tidak pernah memiliki hutang budi pada Sekar jadi tidak sepantasnya wanita itu menjadi bagian dari orang-orang yang memberikan luka padanya. Wanita itu menangis sesenggukan seolah dia adalah orang yang teraniayaya di dunia. Alisya menatap kedua orang itu dengan dada sesak, tanpa mempedulikan mereka lagi, dia langsung memutar kursi rodanya kembali ke rumah. Alisya bahkan masih bisa merasakan pandangan marah Pandu di belakangnya tapi wanita itu sama sekali tak peduli. Sekar sudah keterlaluan dengan mengusik ibunya. *** Ketukan pintu membuat Alisya yang sedari tadi hanya duduk melamun di depan jendela menoleh, dia sedang tak ingin diganggu siapapun, dia tahu siapapun yang datang tak akan bisa membuat hatinya lebih baik justru sebaliknya orang-orang di rumah ini lebih banyak mendatangkan kesakitan untuknya, tapi ketukan itu tak mau berhenti juga membuatnya lama-lama terusik juga. “Siapa?” “Saya Mua yang diminta mendandani nyonya.” Alisya menipiskan bibirnya, malam memang sebentar lagi akan tiba dan pesta ulang tahunnya pasti akan segera dimulai. Saat Pandu mengatakan kalau hari akan mengadakan pesta ulang tahun Alisya, dia merasa ada yang aneh dua tahun dia berada di rumah ini jangankan sebuah pesta untuknya, dia bahkan tidak pernah dianggap ada. Alisya memang seorang istri yang sah dimata agama dan negara, tapi dia hanya mahluk tak kasat mata di depan suaminya, dan alasan kenapa pesta ini diadakan yang tentu saja bukan untuk dirinya tapi untuk Sekar, kekasih suaminya. Alisya bisa menduga hal itu. Selama ini dia terlalu percaya diri bisa meraih hati Pandu tapi nyatanya... “Masuklah.” Seorang wanita masuk ke kamar Alisya dan dengan senyum ramah mereka langsung membantu Alisya bersiap. Alisya menatap wajah cantik dari cermin itu, mereka sudah bekerja sangat baik, riasan wajahnya sangat halus seperti sudah melakukan perawatan salon seumur hidupnya. “Anda tidak kalah cantik dengan Nyonya Sekar,” kata salah satu wanita yang mendandaninya, Alisya tidak mengenal kedua wanita ini, mereka bukan salah satu pelayan yang bekerja di rumah ini atau mertuanya, kenapa mereka memanggil Sekar dengan kata Nyonya? “Kamu mengenal Sekar?” tanya Alisya dengan wajah polos seolah itu bukan hal yang penting. Wanita itu mengangguk. “Tuan Pandu sering mengajak Nyonya Sekar ke salon kami.” Jadi mereka sering menghabiskan waktu bersama. “Salon kalian pasti salah satu yang terbaik,” kata Alisya yang membuat wanita itu tersenyum bangga. “Wajah Sekar juga terlihat sangat terawat, pasti dia rutin melakukan perawatan ditempat kalian.” “Sudah sejak lima tahun yang lalu, tapi sudah lama Nyonya tidak datang katanya pergi ke luar negeri tapi tiga bulan lalu mereka datang lagi.” Alisya berusaha menampilkan wajah baik-baik saja meski hatinya terasa sakit luar biasa. Jika waktu itu Pandu sudah memiki Sekar kenapa menikahinya? “Mereka putus?” tanyanya seolah tak peduli. “Sepertinya begitu karena itu kami kaget tuan Pandu datang lagi dengan Nyonya Sekar yang sedang hamil sedangkan yang kami tahu Tuan menikah dengan orang lain.” Wanita itu menutup mulutnya sepertinya dia baru saja menyadari kesalahannya sedangkan Alisya membeku ditempatnya. “Maafkan saya,” lanjut wanita itu sambil menunduk tak enak hati. Saat berenang bersama teman-temannya Alisya pernah hampir tenggelam karena ulah salah satu temannya, napasnya begitu sesak mau meledak rasanya, dia merasa akan mati, tapi ternyata mendengar Pandu menghamili pacarnya lebih menyakitkan dari itu, andai saja dia tak teringat ibunya mungkin dia akan memilih pergi. “Aku tidak tahu Sekar hamil,” katanya dengan pandangan mata kosong. “Nyonya, sa-saya...” “Terima kasih, mbak apa sudah selesai?” tanya Alisya seolah pembicaraan mereka tak pernah terjadi. Alisya menatap pintu yang baru saja tertutup saat tiba-tiba saja pintu itu terbuka lagi, dan bukan si Mua yang datang tapi Pandu, suaminya. “Aku ingin bicara,” kata laki-laki itu yang tanpa permisi langsung menarik kursi di samping meja rias Alisya. Ada sedikit rasa tak nyaman dalam hati Alisya saat melihat suaminya, apalagi setelah dia ingat dengan perkataan mbak-mbak Mua tadi. Alisya menunggu beberapa saat tapi tak ada suara yang dikeluarkan oleh laki-laki yang masih sah berstatus suaminya itu, dia menatap laki-laki itu dengan bingung. “Jadi?” “Aku hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun,” kata laki-laki itu. “Terima kasih,” jawab Alisya masih dengan kening berkerut, dia tahu bukan ini maksud Pandu menemuinya dan dia mulai merasakan firasat buruk. “Aku akan menikahi Sekar.” Alisya terdiam, Pandu sudah mengatakannya tadi tapi sekali lagi rasa sakit itu menghantam telak dirinya membuatnya kewalahan untuk menghadapi rasa itu. “Alisya kenapa kamu diam?” tanya Pandu dengan nada tak suka. Alisya menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan, rasa sesak dalam hatinya tak juga sirna. “Apa karena dia hamil?” tanyanya dengan suara bergetar. “Jadi, kamu sudah tahu? Tanya Pandu dengan wajah datarnya. Alisya menatap suaminya dengan air mata yang sudang menggenang. “Baguslah jadi aku tak perlu repot-repot memberitahumu lagi.” Alisya hanya mampu menggigit bibirnya melihat respon sang suami. “Apa mas pernah punya sedikit saja rasa untukku?” tanya Alisya nekad. “Pernah,” jawab Pandu seolah tanpa berpikir, membuat Alisya mengangkat kepalanya. “Aku pernah menganggumi kamu yang cerdas dan pekerja keras, tapi rasa itu sudah lenyap saat aku tahu kenyataannya.” Alisya menggeleng dan tersenyum pahit, dia tidak pernah ingin kecelakaan itu terjadi. Sungguh. Tapi percuma saja mengatakan pada Pandu. “Ada yang halal untukmu kenapa kamu memilih berbuat zina dengannya?” Pertanyaan itu seperti bensin yang menyulut kemarahan Pandu. “Bukankah itu salahmu, kamu sudah mengancurkan duniaku kamu juga yang menghancurkan akiratku,” katanya dingin tanpa sadar Alisya memundurkan kursi rodanya. “A... aku minta maaf tapi aku tidak pernah meminta mas nikahi.” “Munafik, semua orang juga tahu apa tujuanmu,” jawab Pandu sinis. Alisya menarik napasnya mencoba peruntungannya kali ini. “Mas bisa menceraikanku dan berbahagia dengan Sekar, aku hanya minta uang untuk pengobatan ibuku.” Pandu tersenyum sinis. “Dan membuat Sekar dihujat banyak orang, begitu maksudmu.” Alisya menggeleng dengan air mata yang kini membasahi pipinya, hatinya sungguh sakit. “A...aku akan menjelaskan pada semua orang,” katanya dengan terbata. “Kamu pikir aku percaya itu? Sekar tidak masalah jika hanya berstatus sebagai istri kedua. Malam ini aku akan mengumumkan pertunangan kami, aku harap kamu bisa bekerja sama.” Sudah Alisya duga pesta ini memang bukan untuknya. “Baiklah aku akan tetap di sini.” “Lakukan itu jika kamu ingin semuanya sia-sia,” kata Pandu dan tanpa mau menoleh lagi dia langsung keluar tak lupa membanting pintu kamar Alisya. Meninggalkan Alisya yang sedang tertawa dalam tangisnya.Wajah pucat dan mata sembab.Itulah yang dilihat Alisya dari sosok dalam pantulan cermin. Dia ingin tetap di dalam kamar dan tidak usah menghadiri pesta itu, tapi dia tidak bisa mengabaikan ancaman Pandu. Alisya tak menyangka bahwa banyak orang yang hadir untuk menghadiri pesta ulang tahunnya, tapi dia bahkan tak tahu siapa saja yang diundang. Dia memang pemeran utama dalam pesta ini tapi dia merasa seperti tamu yang tak diundang, begitu menyedihkan.Tentu saja ini pesta untuk Sekar, wanita yang dicintai Pandu.Alisya mengedarkan pandangannya tak terlihat Pandu atau keluarganya dimanapun. Bahkan Sekar juga tak ada diantara tamu yang tak semua Alisya kenal. “Aku tidak tahu apa yang membuatmu betah duduk di kursi menyedihkan itu?” Alisya yang semula sibuk mengedarkan pandangan mencari keberadaan Pandu langsung menoleh dan menemukan laki-laki yang menatap sinis padanya. Pramudya Setiaji, sahabat Alisya, mereka sudah mengenal sejak SMA, ayah Pram adalah salah satu rekan bisnis ayah
Alisya bukan batu dia manusia yang memiliki perasaan. Dia juga seorang istri yang sama sekali tidak diharapkan dan diperlakukan begitu kejam. “Aku akan memberikan perawatan terbaik untuk ibumu setelah kamu melakukan ini.” Alisya menelan kembali tangisnya. Ibunya... benar wanita yang sangat dia sayangi itu saat ini sedang berjuang melawan penyakit yang menggerogotinya. Alisya tak akan sanggup bila harus kehilangan wanita itu. Ayahnya sudah berpulang terlebih dahulu dengan cara yang tak sanggup lagi dia ingat, dan sekarang ibunya adalah satu-satunya hal berharga yang dia miliki di dunia ini. Selama ini orang tuanya sudah membesarkannya dengan sangat baik meski dalam keterbatasan. Jika nyawa itunya bisa dipertahannya dengan rasa sakit hatinya... Alisya ikhlas menerimannya. “Aku mengerti terima kasih, mas. Aku sangat berharap ibuku akan segera sembuh.” Alisya tersenyum meski hatinya sangat pedih, sejenak dia menatap wajah rupawan Pandu yang sangat dia kagumi, untuk terakhir kalinya
“Biar aku bantu.” Alisya langsung mendongak, saat melihat siapa yang bicara dia tak bisa lagi menyembunyikan air matanya. Di saat semua orang sedang memperhatikan Sekar dan Pandu di sana, diam-diam Alisya menyingkir. Perannya sudah selesai dan waktunya dia turun panggung. Akan tetapi panggung ini tentu saja tidak didesain untuknya, wanita cacat yang harus menggunakan kursi roda, sebuah bukti nyata lagi bahwa semua ini memang bukan untuknya. Dan Alisya tentu saja kesulitan untuk turun sendiri.“Aku tahu kamu memang bodoh tapi tidak aku sangka kamu sebodoh ini,” komentar laki-laki itu lagi.Mulut Alisya langsung terkunci, itu kenyataan yang memang tak bisa dia sangkal. Senyum getir menghiasi bibirnya.Meski terlihat luar biasa kesal tapi perlahan laki-laki itu membantu Alisya menurunkan kursi rodanya dari atas panggung dengan hati-hati. Saat telah ada di bawah panggung Alisya menoleh sejenak pada Pandu dan Sekar yang masih tamp
“Fokuslah pada tujuanmu dan lupakan perasaanmu.” Kalimat Pram sebelum laki-laki itu pamit pulang masih menggema di kepala Alisya dan makin membuatnya tak bisa memejamkan mata meski tubuhnya lelah luar biasa. Pesta sudah berakhir satu jam yang lalu, aktifitas membersihkan sisa pesta juga sudah mulai berkurang berisiknya. Alisya memang langsung kembali ke kamar setelah berbicara dengan Pram, pesta yang diadakan di halaman depan membuatnya leluasa untuk kembali ke kamar lewat pintu belakang. Alisya bahkan tak memiliki keinginan sedikit pun untuk beramah tamah dengan orang tua Pandu, dia bahkan tidak peduli jika dikatakan tidak sopan. Sejak kembali yang dia lakukan hanya mengurung diri dalam kamar dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri apa dia mampu untuk menjalani hari ke depan sebagai istri pertama yang sama sekali tak dianggap oleh suaminya? Wanita itu masih sibuk menatap rimbun pohon di balik jendela kamarnya saat pintu kamarnya terbuka dan kemudian menutup lagi dengan keras.
Para pelayan langsung menyingkir ke belakang begitu Pandu menggebrak meja makan dengan keras. Alisya sempat melihat nomer asing yang menghubunginya, dia menghafalnya dengan baik itu nomer ponsel Pram. “Apa karena laki-laki ini kamu meminta cerai dariku?” tanya Pandu dengan suara mendesis. Alisya tahu Pandu marah padanya tapi tidak pernah menyangka laki-laki itu akan mengatakan hal konyol seperti itu. Bukankah Pandu yang berselingkuh dan menghamili kekasihnya kenapa sekarang dia yang jadi tersangka. Sungguh Alisya tak habis pikir dengan cara kerja otak laki-laki yang masih saja bertahta di hatinya meski sudah banyak menimbulkan luka. Alisya menatap wajah Pandu dengan seksama, laki-laki ini tidak pernah bersikap baik padanya semenjak mereka menikah tapi kenapa dia masih saja mencintainya. “Dia hanya temanku,” jawab Alisya, tangannya meremas satu sama lain berusaha mengurangi rasa sakit yang ada dalam hatinya, baik karena tuduhan Pandu dan juga saat mengingat Sekar. Pandu menatap A
Kenapa laki-laki ini harus mendatanginya ke kamar? Bu Titin tahu itu artinya tak butuh waktu lama Pandu juga akan tahu.Alisya tahu dia tidak melakukan kesalahan apapun, tapi Pandu dan orang-orang yang tidak menyukainya di rumah ini pasti membuatnya seperti melakukan kejahatan besar. Masalah Pram tadi pagi saja membuatnya kehilangan ponselnya, dia tidak tahu apa yang akan dilakukan laki-laki itu jika tahu hal ini. “Oh bu Titin,” kata laki-laki yang dipanggil Lan dengan sopan dan tenang, tidak ada kekhawatiran sama sekali di wajahnya. Apa laki-laki ini benar-benar tidak mengerti apa yang akan terjadi nanti, terutama untuk Alisya? Bu Titin tidak menggubris laki-laki itu tapi dia menatap Alisya dengan pandangan mengejek. “Anda ternyata sudah berani memasukkan laki-laki lain ke kamar anda Nyonya.” “Apa maksud bu Titin adalah saya?” tanya laki-laki itu lagi ada riak di wajahnya saat mendengar perkataan bu Titin. Alisya
“Ayo pikir! Ayo... apa akalku sekarang!” Alisya memukul-mukulkan tangannya pelan pada kursi rodanya. Dia terbiasa mandiri dan sejak kehilangan sang ayah, ibunya yang dulunya hanya ibu rumah tangga harus mengambil alih peran sang ayah untuk mencari nafkah setelahnya. Dan Alisya tak tega ketika harus merengek pada sang ibu yang selalu kelihatan lelah sepulang kerja. Otaknya yang cerdas sangat membantu sekali dalam pendidikannya, dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang sarjana dan berhasil lulus dengan presikat sangat memuaskan. Itulah yang mengantarkannya mendapatkan undangan kerja dariperusahaan milik keluarga Pandu. Perusahaan multinasional yang bergerak dibidang makanan ringan. Dengan otak cerdasnya Alisya berhasil medapatkan jabatan yang lumayan mentereng di bagian keuangan, bagian yang paling basah pada sebuahperusahaan. Gaji yang diterima Alisya juga cukup besar untuk membiayai kehidupannya dan sang ibu, apalagi mereka bukan pribadi yang gemar berf
Rencananya Alisya akan berbelanja terpisah dengan juru masak keluarga Pandu. Dia sudah menghubungi Pram untuk meminta seseorang mencarikan bahan makanan yang dibutuhkan, sedangkan Alisya akan diam-diam pergi dengan mobil yang disiapkan Pram. Terdengar mudah memang rencana itu, tapi Alisya yang sejak kecil tidak biasa berbohong langsung berkeringat dingin, tapi tentu saja dia tidak akan menyerah dengan mudah. “Jangan kencang-kencang membawa mobilnya! Dasar anak muda!” omel si bibi pada anak pak Maman yang mengantar mereka. Berbeda dengan pak Maman yang merupakan pengemudi yang tenang, anak laki-lakinya mungkin dulu bercita-cita menjadi pembalap tak kesampaian, dia mengemudi seperti kesetananan menyalip ke sana kemari. Mobil yang mereka gunakan memang jenis mobil mahal yang biasanya dipakai mengantar Alisya sehingga guncangan tak begitu terasa tapi untuk wanita paruh paya di sampingnya sangat berpengaruh. Mukanya terlihat san
Laras terbangun di pagi hari dengan semangat yang baru. Pagi ini memang mendung, tapi tak membuat suasana hatinya muram seperti sebelumnya. Berita yang dia dengar malam tadi tanpa sengaja membuatnya optimis pelaku pembunuhan ayah mertuanya akan segera tertangkap. Bukan ayahnya tentu saja, Laras sangat yakin akan hal itu. Polisi yang tadi malam datang ke rumah ini mengatakan kalau tidak ada pembelian racun oleh ayah Laras, dan Pram meminta penyelidikan ulang kenapa ayahnya bisa minum racun itu. Setidaknya ada harapan, ayahnya akan terbebas dari tuduhan itu. Dia ingin berterima kasih secara layak pada Pram dengan cara memasakkan makanan kesukaan laki-laki itu, dia bahkan melupakan fakta kalau ibu tiri Pram sangat rajin membuatkan sarapan untuk Pram dan rasanya tentu saja jauh lebih enak dari pada buatannya. “Clara belum bangun?” tanya Laras pada salah satu pembantu yang biasa membantu Clara membuat sarapan. “Belum, nyonya.” Laras tahu di belakangnya para pembantu rumah ini juga
“Kamu yakin akan membiarkannya? Kamu tahu ucapannya itu cukup masuk akal. Dan yang lebih penting dia tidak bersalah.” Pram masih mondar-mandir di ruang kerjanya, ini hari terakhir dia akan ada di sini, setelah ini dia akan memimpin kantor pusat perusahaan keluarganya. Menggantikan sang ayah. Sedangkan Aris sang asisten sekaligus sahabatnya, hanya duduk diam menatap laki-laki itu datar.Pram pikir dia masih akan lama menggantikan sang ayah. Meski terkenal playboy dan suka kawin cerai sang ayah adalah pembisnis yang sangat handal, dia merasa belum banyak belajar dari sang ayah. Kesedihan ini, bukan hanya karena sang ayah yang membagikan semua pengetahuannya padanya, tapi karena beberapa bulan terakhir ini mereka terlibat perang dingin dan itu semua karena wanita. Pram tidak habis pikir kenapa dia bisa setolol itu, biasanya dia yang mengendalikan para gadis yang mengejarnya, dia merasa sudah sangat tahu bagaimana cara mengatasi mereka, tapi lagi-lagi dia salah. Clara adalah anomali
"Apa menurutmu itu tidak aneh?"Alisya menatap Laras dengan seksama, dia memang sengaja datang berkunjung ke kediaman Pram selain untuk memberi dukungan dan bela sungkawa pada sahabatnya itu juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pertemuan terakhir Alisya dengan pasangan itu, dia merasa sangat optimis hubungan keduanya akan semakin membaik meski dulu dia tidak yakin kalau keduanya saling mencintai seperti yang mereka katakan. Akan tetapi dengan peristiwa ini hubungan kedua sahabatnya itu berada di ujung tanduk, sebagai sahabat Alisya tentu ingin kalau hubungan keduanya akan bahagia. "Memang sih ada yang aneh menurutku," gumam Alisya. "Tapi yang terpenting sekaraang kita harus bisa memecaahkan kenapa ayah Pram minum racun di rumah ayahmu, apa kamu sudah bertemu dengan ayahmu? apa dia mengatakan ada orang lain di sana atau-" "Atau apa?" tanya Laras karena Alisya langsung terdiam dan berpikir keras. "Atau sebenarnya racun itu digunakan oleh seseorang untuk membunuh ayahmu, ta
"Ini tidak adil! Pasti ada yang salah!" Laras membeku ditempatnya saat melihat Clara yang biasanya anggun dan sombong kini memakinya dengan kalimat yang bahkan tidak pernah dia bayangkan keluar dari mulut wanita berpendidikan, bukan hanya dirinya bahkan wanita itu berusaha menyerang pengacara berwajah masam yang tadi membacakan surat wasiat mertuanya. Sungguh dia sama sekali tak menyangka kalau sang mertua akan melakukan ini semua. Semua hartanya memang jatuh ke tangan Pram sebagai ahli waris utama keluarga ini memang, tapi sebagai istri sah ayah Pram, mungkin Clara berharap dia juga mendapat warisan juga meski tak sebanyak Pram, tapi ternyata dia sama sekali tidak mendapatkan apapun selain diperbolehkan tinggal di rumah ini seperti biasa dan mendapat uang saku bulanan sebesar lima puluh juta sebulan. Bagi Laras mungkin jumlah itu lebih dari cukup bahkan dia bisa menabung uang itu untuk membeli rumah di pinggir kota dan memulai usaha, tapi Clara yang biasa hidup hedon tentu uang
“Apa memang mereka sengaja melakukannya?” Menunggu momen yang tepat untuk memperlihatkan kalau mereka adalah pasangan yang serasi di depannya. Laras tahu kalau selamanya Pram dan Clara tak mungkin bisa bersatu, tapi zaman sekarang apapun bisa dilakukan demi sebuah tujuan yang ingin dicapai. Bahkan menggoda anak tirinya sendiri. Clara jelas menyadari kehadiran Laras, dia bahkan dengan tidak tahu malunya menempelkan bagian depan tubuhnya pada lengan Pram. Rasa cemburu berubah menjadi jijik, jika memang mereka saling menginginkan dia akan dengan senang hati mengundurkan diri, rasa cintanya pada Pram belum terlalu dalam jadi dia tidak akan butuh usaha keras untuk melupakan laki-laki itu. Dia tidak sudi dijadikan tameng untuk dua orang ini berbuat sesukanya. Laras berjalan tenang menuju dapur mengambil peralatan makan untuk dirinya sendiri, dan mulai makan dalam diam seolah dua mahluk di depannya itu tidak ada di sana
“Untuk apa kamu nekad datang kemari.” Dingin dan menusuk, itulah kata pertama yang didengar dari mulut sang suami setelah seharian ini jiwa dan raganya lelah dihajar kenyataan. Acara pengajian sang mertua baru saja usai dan para kerabat yang datang sudah meninggalkan rumah ini, ada memang beberapa yang tetap tinggal tapi tentu saja sudah masuk kamar yang telah disediakan. Laras bahkan tak tahu sebanyak apa kamar di rumah ini, tapi tentu saja itu sama sekali tidak penting untuknya karena Clara sudah mengatur semuanya, sangat detail dan mewah seperti pesta yang biasa Laras hadiri di rumah ini dulu, seolah kali ini juga acara biasa seperti yang biasa ada.Beberapa kerabat yang dulu dia tahu mencibir Clara karena lebih memilih ayah Pram dari pada Pram yang tunangannya sendiri, kini seolah berdiri terdepan untuk menguatkan wanita itu, bahkan dia melihat Pram memeluk Clara untuk menenangkannya. Laras tahu seharusnya dia tidak merasa marah atau sakit hati, mungkin saja Pram tak tega meli
“Pembunuh! Ini semua pasti rencanamu! Kalian orang rendahan! Pergi!” Laras terkejut saat tiba-tiba tubuhnya di dorong dengan keras, untung saja Aris yang ada di belakangnya sigap menahan tubuhnya. Clara berdiri di depan pagar dengan mata menatapnya penuh kebencian, sepertinya dia baru saja sampai rumah ini. Ambulance baru saja pergi kemungkinan wanita itu menyusul di belakang dengan mobil pribadi. Meski Laras tak melihat suaminya. “Sudah kubilang bukan, datang ke rumah ini bukan keputusan bijak,” bisik laki-laki itu tapi Laras menggeleng dan melepaskan tangan Aris dia bahunya. Dia menarik napas panjang, dia tidak bersalah. Dia tidak sudi diperlakukan seperti pesakitan dan meski ini masih perlu dibuktikan tapi Laras sangat yakin kalau ayahnya sama sekali tidak bersalah. Laras menatap istri ayah mertuanya itu ditarik paksa oleh beberapa orang yang mungkin kerabatnya. Berita kematian sang mertua itu dia terima sejam yang lalu tepatnya Aris yang mengatakan padanya saat dia masih ad
Inikah arti perasaan tak enak yang menghantuinya sejak kemarin. “Aku ikut, kamu akan ke sana bukan,” kata Laras. Bagaimanapun dia merasa akhir-akhir ini ayah mertuanya bukan lagi sosok menakutkan, laki-laki itu bersikap lembut dan hangat seperti kebanyakan seorang ayah yang hanya bisa dia dengar ceritanya dari teman-temannya. Laras bahkan berpikir mungkin saja di masa depan dia akan bisa memperbaiki hubungan dengan ayah mertuanya dan mereka bisa menjalin hubungan seperti ayah dan anak yang baik. Selain tukang kawin dan tidak bisa setia pada satu wanita, menurut Laras tidak ada yang salah dengan ayah mertuanya. Dia masih memperhatikan Pram dengan baik meski hanya dengan membayar orang untuk mengurus semua kebutuhan putranya. Hubungan Pram dan sang ayah secara pribadi memang memburuk karena Pram yang kesal dengan tingkah ayahnya, tapi saat keduanya berbicara tentang bisnis, bisa dibilang kalau Pram begitu kagum pada ayahnya.
“Anda yakin dengan isi surat ini?” tanya sang pengacara untuk kesekian kalinya. “Apa ada alasan aku tidak yakin dengan semua ini?” tanya laki-laki paruh baya yang masih tampan itu. “Maaf, maksud saya di sini tidak ada warisan untuk istri anda, bukankah seharusnya dia berhak juga atas harta anda.” “Dia hanya wanita yang baru saja aku nikahi, dan sama sekali tidak ada andil dalam mendapatkan hartaku.” Sang pengacara terdiam, tahu bahwa dia telah salah bicara. “Maaf, saya hanya mengingatkan karena di sini-“ “Aku memberi bagian untuk menantuku.” Sang pengacara mengangguk dengan wajah penasaran. “Itu memang haknya.” “Baiklah, saya mengeti.” “Tolong pastikan anda menjalankan surat wasiat saya, saya percaya anda memang pengacara yang dapat saya andalkan bahkan setelah kematian saya nanti.” Sang pengacara mengangguk dengan wajah tak terbaca lalu meminta diri lebih dulu dengan sopan. Senyum tenang lalu tersungging di bibir laki-laki itu. “Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk melindu