Share

Maaf, Aku Bukan Wanita Lemah
Maaf, Aku Bukan Wanita Lemah
Author: Ajeng padmi

Bab 1

“Hari ini aku harus menemui dokter.” 

Alisya menatap suaminya, Pandu Wardana menghentikan makannya dan menatap wanita itu datar.

“Aku harus bekerja.” 

Tentu saja apa yang bisa Alisya harapkan Pandu mengantarnya ke dokter? Dia pasti sudah gila. 

Pernikahan mereka bukan pernikahan atas dasar cinta pada umumnya. Alisya memang mencintai Pandu, bahkan sangat mengagumi laki-laki itu, mereka dulu adalah rekan kerja yang kompak hingga petaka itu terjadi. 

Alisya yang waktu itu sedang bingung kemana harus mencari uang untuk pengobatan ibunya, menyebrang jalan begitu saja. Ia tak melihat kendaraan yang dikemudikan Pandu dengan kencang. 

Kecelakaan itu membuatnya harus duduk di kursi roda karena kakinya sama sekali tak mampu menompang tubuhnya. 

Berhari-hari Alisya menyesali kecerobohannya, apalagi  tak lagi punya uang untuk pengobatan ibunya. Di saat itulah kedatangan Pandu dan ayahnya seperti secercah harapan untuknya. 

Mungkin Tuhan memang mengujinya dengan kaki yang lumpuh. Tapi dibalik itu semua Tuhan mengabulkan dua do’anya yaitu menjadikan Pandu suaminya dan memberikan biaya pengobatan ibunya melalui mereka.

Alisya merasa menjadi wanita yang paling bahagia di dunia, dia mendapatkan apa yang diinginkan pada waktu yang bersamaan. 

Awalnya... 

Kini dua tahun telah berlalu tapi hubungannya dengan Pandu bahkan lebih parah dari sebelumnya. Mereka seperti dua orang asing dalam satu rumah, tepatnya Pandu yang bersikap seperti itu, dan itu menyiksa Alisya. 

“Ehm... aku tahu... aku hanya minta izin.” 

Alisya meremas tangannya dengan gugup, seharusnya dia memang tidak perlu mengatakan ini semua, tapi setelah menikah dia bukan wanita bebas yang bisa kemanapun tanpa izin sang suami, meski dia tahu suaminya tak akan peduli. 

“Kamu bisa pergi kemanapun yang kamu inginkan asal tidak kabur dari rumah ini.” Pandu mendorong piringnya dan menatap Alisya yang tertunduk sejenak. 

“Bu Titin!” panggil Pandu pada wanita yang dia tugaskan untuk mengatur keperluan di rumah ini. 

Wanita bertubuh sedang itu mendekat dengan sigap. “Iya Tuan.” 

“Minta salah satu orang untuk mengantarnya ke dokter,” kata Pandu tanpa melirik Alisya yang masih duduk di tempatnya. 

“Pak Maman yang biasanya mengantar Nyonya ke dokter,” jawab wanita itu menyebut nama salah sopir di rumah ini. 

“Ck! Minta salah satu gadis itu menemaninya.” Perasaan hangat memenuhi dada Alisya ternyata Pandu masih mempedulikannya. 

“Dan pastikan dia tidak berbuat ulah.” Bunga yang tadi berkembang di dadanya langsung layu dan durinya menusuk langsung ke jantung, begitu perih. 

Pandu bahkan tak menoleh lagi pada Alisya, laki-laki itu langsung pergi begitu saja. 

Memangnya apa lagi yang bisa dia harapkan? 

Entah ini pertemuan mereka yang keberapa ratus kali Alisya tidak bisa mengingatnya lagi, tapi tetap saja dia merasa tak nyaman berada di sini, ingin sekali dia mencari tempat lain. Andai bisa...

“Apa kaki saya bisa sembuh lagi, dok?” 

Dokter itu diam sejenak. “Saya bukan Tuhan yang bisa memastikan kesembuhan seseorang.” 

Alisya tersenyum kecil sudah biasa dengan sikap sang dokter yang meski terlihat ramah tapi tak pernah membuatnya yakin benar-benar membantunya.

“Saya tahu, tapi saya datang kesini untuk mendapatkan informasi dari anda.” 

Sang dokter terlihat makin tak nyaman dengan pembicaraan ini. “Saya akan memberikan obat-obatan yang bisa membantu anda,” katanya yang membuat Alisya hanya bisa menghela napas panjang tapi tak bisa memaksa lebih jauh. 

Sudah satu jam sejak Alisya meninggalkan ruang praktik sang dokter dia bahkan sudah menebus obat di apotik tapi gadis pelayan yang menemaninya tak terlihat dimanapun. 

Alisya tahu dia bisa saja memilih untuk menghubungi pak Maman dan mengantarnya pulang, tapi tentu saja nanti akan ada drama lain yang tidak dia inginkan.

Sudah bukan rahasia lagi kalau di rumah itu bahkan tidak ada orang benar-benar menyukainya, mereka semua beranggapan bahwa kecelakaan itu sengaja dilakukan Alisya untuk menjebak tuan muda mereka, apalagi mereka tahu kalau ibu Alisya sedang sakit keras dan butuh biaya yang sangat besar. 

Alisya menghubungi ponsel gadis pelayan itu entah untuk keberapa kali tapi belum ada jawaban juga. Saat menutup ponselnya dia melihat gadis itu berjalan ke arahnya. 

“Kamu dari mana? Kenapa tidak menjawab ponselmu?” 

Gadis itu menatap Alisya tak acuh hanya mengangkat tangannya yang penuh dengan barang belanjaan. 

“Aku hanya membeli ini apa susahnya sih menunggu sebentar!” Alisya sedikit terkejut dengan keberanian gadis ini membentaknya. 

“Seharusnya kamu bilang kalau kamu mau belanja, maaf kalau aku sudah merepotkanmu.” kata Alisya dengan raut bersalah, sungguh dia tidak suka merepotkan orang lain.

***

Gadis pelayan menatap Alisya sejenak  seolah bimbang saat akan turun dari mobil, tapi lalu dia memutuskan turun begitu saja tanpa membantu Alisya.

“Biar saya bantu, Nya.” Alisya hanya bisa tersenyum pasrah, dia memang butuh bantuan untuk berpindah dari mobil ke kursi rodanya, kakinya benar-benar seperti jeli tak bisa bergerak sama sekali, kadang dia sangat kesal kenapa kakinya sekian lama sama sekali tidak bisa diajak kompromi. 

Dia ingin sembuh dan ingin berjalan dengan kedua kakinya lagi. 

Kadang dia merasa iri pada orang-orang yang bisa joging di pagi hari atau sekedar sibuk wara-wiri. 

“Apa perlu saya bantu ke dalam, Nya?” tanya pak Maman

Alisya menggeleng dan menggumamkan terima kasih sebelum menggulirkan roda kursinya ke dalam rumah, dia memang wanita cacat tapi dia tidak suka dikasihani. 

“Kamu baru pulang?” suara itu membuat Alisya berhenti menggulirkan roda kursinya dan menatap laki-laki yang menjadi suaminya itu dengan seksama. 

Kok tumben sudah pulang?

“Sebaiknya kamu masuk ada yang ingin aku perkenalkan padamu.” 

Pandu Wardhana langsung berbalik setelah mengatakan itu tak ada keinginan untuk membantu sang istri mendorong kursi rodanya. 

Itu sudah biasa memang, tapi Alisya yakin suatu hari dia akan bisa meraih hati suaminya, dia punya cinta yang tulus untuk laki-laki itu dan selama ini meski kakinya lumpuh dia sudah berusaha menjadi istri yang baik.  Kecuali... urusan ranjang. 

Alisya menggulirkan lagi Roda kursinya, kali ini dengan lebih pelan entah kenapa ada perasaan tak enak yang merambati hatinya. 

Dan benar saja dari ruang tengah terdengar suara suaminya sedang bercanda ... bersama seorang wanita. 

Posisi mereka yang membelakanginya membuat Alisya tak tahu siapa wanita itu tapi dari bahasa tubuh mereka, keduanya sangat akrab. 

Dua tahun pernikahan mereka, suaminya bahkan tidak pernah menganggapnya ada, pria itu memang tidak bersikap kasar padanya bahkan cenderung... tidak peduli, dan bagi Alisya itu lebih menyakitkan. 

“Siapa dia, Mas?” tanya Alisya dengan suara bergetar. 

 “Ah kemarilah aku akan memperkenalkan kalian.” Pria itu berdiri dan untuk pertama kalinya meraih kursi roda Alisya dan mendorongnya pelan. 

“Dia wanita yang aku cintai dan kami akan segera menikah, tapi jangan khawatir aku tidak akan menceraikanmu.” 

Alisya langsung menoleh kaget pada Pandu di belakangnya, dia seolah tak mempercayai telinganya. Firasatnya benar. 

Pengorbanannya selama ini sepertinya sia-sia. 

“Kamu bercanda, kan?” tuntut Alisya.

“Kamu tahu aku tidak pernah mencintaimu, pernikahan kita karena aku harus bertanggung jawab padamu.”

Refleks Alisya menarik kakinya seolah berusaha menyembunyikan kelumpuhannya. 

“Nah ini Sekar, Sekar ini Alisya... istri yang aku ceritakan tadi.” 

Alisya langsung mendongak mendengar nama itu, dan langsung tertegun saat melihat wajah wanita itu. 

Benar dia Sekar yang itu, Sekar yang sama yang dikenalnya sepuluh tahun yang lalu. Dan sepertinya Sekar juga terkejut melihatnya. 

Dari sekian banyak wanita yang bisa menjadi selingkuhan Pandu kenapa harus wanita ini?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
dengan latarbelakang pernikahan seperti itu kayaknya pandu cukup baik dlm memperlakukan alisya. syukuri aja krn kamu dinikahi bukan krn dicintai.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status