“Usia gadis itu akan menginjak dua puluh satu tahun, putri dari mantan pengusaha sukses, Hendri Sandoro yang meninggal karena bunuh diri satu tahun sembilan bulan yang lalu dan meninggalkan hutang dengan jumlah tidak sedikit. Seharus-nya, dia sudah di rumah bordil mengingat betapa tidak mampunya dia membayar semua hutang yang Hendri tinggal-kan.”
Mike menyerahkan seluruh kertas penyelidikan yang dia dapat dari Rudith seminggu yang lalu dan menunjukkannya pada Jake. Pria itu membacanya satu per satu. Jake membolak balik kertas di tangan. Perhatiannya juga tidak luput dari surat kontrak yang David tinggalkan. Keningnya berkerut ketika membaca berkas yang dia terima, berpikir keras mengapa sahabatnya sangat tertarik dengan ini semua.
“Lalu, apa yang kau inginkan dari gadis itu? Menyeret-nya dalam hidupmu atau membebaskannya seolah perjanjian ini tidak pernah ada sebelumnya?”
Jake mengamati reaksi Mike dengan seksama. Dia akan menjadi pria serius jika memang diharuskan. Ada rasa tidak suka dalam hatinya melihat betapa besar ketertarikan Mike pada Diana Sandoro, terutama jika itu menyangkut David, ayah tiri Mike. Jake sadar, kontrak itu bagaikan hujan di musim kemarau panjang. Namun bukan sebuah berkah, melainkan petaka. Pria di hadapannya akan berubah menjadi monster yang tidak berbelas kasih dan ia takut walau hanya membayangkan.
“Tentu saja aku akan memilikinya, karena dia memang milikku. David mewariskan seluruhnya padaku, termasuk kontrak ini. Seharusnya itu sudah jelas, karena kontrak kepemilikan ini ada bersamaan dengan dokumen warisanku lainnya.” Mike berkata tanpa keraguan.
Jake menghela napas, memperhatikan surat-surat yang berserakan di atas meja.
“Jadi, kau ingin aku melakukan apa?” tanyanya tidak antusias. Percuma saja menolak, Mike tidak akan membiarkan, perkataan pria itu mutlak, tanpa bantahan dan Jake mau tak mau mengiyakan saja. Lagi pula, dia tidak disuruh melakukan hal kriminal.
Senyum Mike tampak menghiasi wajah tampannya, namun senyum itu terlihat dingin, dan penuh perhitungan, seolah dirinya siap memulai permainan kapan saja dan tidak pandang bulu untuk menjatuhkan lawan mainnya.
“Bawa dia dan paksa untuk menikah denganku. Aku sangat bosan, dan ingin sedikit bermain. Dia adalah mainan menarik untuk saat ini.”
Jake tercekat, wajahnya pias dan tatapannya penuh ketidaksetujuan. Dengan lantang dia menyuarakan perasaannya.
“Dia manusia Mike! Bukan mainan! Apa kau gila? Hanya karena dia wanita yang David inginkan dan kau ingin menghancurkannya?”
Emosi Jake tidak terkontrol, dia tidak peduli jika sahabatnya itu berbalik memusuhi, baginya ini sudah di luar batas. Baru kali ini dia melihat Mike ingin menyentuh sesuatu yang tidak berkaitan dengan bisnis serta hal-hal yang tidak berkaitan lainnya. Meskipun David masuk dalam kategori hal-hal itu, tapi ini berbeda. Gadis itu jelas tidak bersentuhan langsung dengan David.
“Kau lihat sendiri, bahwa Hendri yang telah menandatangani kontrak ini. Gadis itu mungkin tidak tahu jika dia terikat, Mike,” lanjut Jake sambil menunjuk tanda tangan yang Hendri bubuhkan di atas matrai perjanjian.
“Apa aku harus peduli? Tidak mungkin David menginginkan sesuatu yang tidak ada nilainya, kau juga tahu seperti apa si tua bangka itu. Dengan adanya surat ini, itu berarti gadis itu sangat berharga baginya.” Mike menatap Jake, meminta sahabatnya untuk mendengarkan secara seksama. “Dan si tua bangka itu seharusnya bisa mendapatkan apa pun dengan mudah, tapi mengapa dia harus repot-repot membuat kontrak ini?” Ada senyum tergurat di mata Mike, sebuah senyum kemenangan, karena pada akhirnya Jake bungkam. Dengan diamnya Jake itu artinya Mike memenangkan perdebatan.
Tanpa sadar Jake membenarkan perkataan Mike. Memang aneh, mengingat David adalah orang yang sangat berkuasa. Dia tidak seharusnya repot-repot membuat kontrak tersebut dan sampai menunggu hingga usia Diana dua puluh satu tahun.
“Baiklah, kau menang. Aku akan membawanya ke rumahmu segera.” Jake bersiap untuk berdiri, dia butuh sesuatu untuk menjauhkan diri dari kegilaan serta ambisi sahabatnya.
“Kau mau ke mana? Aku belum selesai bicara,” kata Mike tajam. Dia menggerakkan jarinya, mengisyaratkan pada sahabatnya untuk duduk kembali. Jake menatap Mike dengan gusar dan memilih patuh, duduk manis di depan Mike seperti remaja yang baru ketahuan merokok oleh guru killer di sekolah.
“Untuk saat ini, biarkan dia bebas. Jatuh tempo kontrak tinggal dua bulan lagi. Selama itu terus awasi dia.”
“Kau yakin tidak ingin memberitahunya tentang kontrak, sekarang?”
Mike mengangguk pasti.
“Ya, tapi jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, langsung bawa dia ke rumahku, beritahu padanya tentang kontrak ini.” Mike menatap Jake dengan binar mata penuh gairah. Dia seperti pemburu yang membiarkan mangsanya tergelepar mengenaskan dan menunggunya mati secara perlahan.
“Baiklah, aku akan menyuruh Rudith dan Bima untuk mengawasi.”
...............
Diana mematung di depan etalase sebuah butik. Berkali-kali dia menghela napas dengan berat hanya untuk mendapat penolakan kesekian kali. Awalnya dia bersemangat untuk kembali mencari pekerjaan, tapi semangatnya seolah pudar karena semua tak sesuai harapan.
Gadis itu kembali membawa langkah nyaris terseok, meninggalkan pusat perbelanjaan menuju taman tempatnya biasa menyendiri. Dia membawa kakinya dengan malas, sedikit diseret menuju bus yang akan mengantarkannya hingga ke taman. Dalam perjalanan ke sana, dia termenung. Membiarkan kepalanya menempel pada dinding kaca bus sambil melihat pergerakan lalu lintas di sepanjang jalan.
Berkali-kali Diana berpikir mencari solusi dan tindakan selanjutnya, tetapi sebanyak itu pula dia membentur kebuntuan. Jawaban yang dia dapat hanyalah satu, menyerah atas keadaan yang enggan berpihak padanya. Seakan dia tidak memiliki harapan untuk melanjutkan hidup sesuai keinginan.
.................
Kaki Diana menapak jalanan beraspal setelah sampai di halte. Tubuhnya masih mematung, menatap kepulan asap dari bus yang dia tumpangi tadi. Melihat asap yang bergulung di udara mengingatkan Diana dengan kecamuk hatinya seperti asap pekat hitam itu. Diana mengedarkan pandangan, meneliti pengunjung di sekitaran taman hanya untuk memastikan dia tidak sedang diikuti. Tubuhnya merosot kaku di atas sebuah bangku kayu panjang, di bawah naungan pohon linden. Kakinya bergerak membentur kerikil, dan jelas dia sedang berpikir.
Kepala Diana bergerak pelan ke kanan, saat itulah dia melihat tiga pria berbadan besar dengan wajah sangar tampak mendekat. Diana panik. Dia tidak mampu menelan saliva yang kini terasa pahit di ujung kerongkongan, tubuhnya kaku seketika. Dia mencoba menatap mereka meski dengan perasaan ngeri dan ingin lari. Tetapi ternyata otaknya lebih dulu merespon untuk menyuruhnya lari sebelum jarak mereka menipis.
Diana terus berlari, dia tidak tahu lagi ke mana langkah kaki membawanya. Yang ada dalam benak hanyalah pergi sejauh mungkin, lepas dari kejaran pria-pria itu. Tubuh Diana berdiri dengan rasa ngeri di tepi jalan yang padat, dia hendak menyeberang, tetapi mobil-mobil di depannya merayap dengan laju cepat. Dia tidak sebodoh itu menembus jalanan yang dilewati mobil tanpa lampu merah, namun harus ada keputusan jika dia ingin selamat dari kejaran pria yang sudah dekat dengan tempatnya saat ini.
“Ayah, bantu aku,” bisiknya dengan suara bergetar takut.
Diana tidak lagi dapat berpikir. Dia terlalu panik jika hanya berdiam diri tanpa melakukan apa pun, tanpa pikir panjang, dia bertekad menerobos jalanan yang padat oleh lalu-lalang mobil pada jalan di hadapannya, namun langkahnya terhenti ketika sebuah tangan menghentikannya dan menyeretnya ke dalam mobil sedan hitam. Jerit tertahan lolos dari bibir mungil Diana, rasa takut menyergapnya. Dia tidak bisa melihat siapa yang telah menangkap serta memaksanya memasuki mobil itu.
Saat kesadarannya bertumpu barulah Diana bisa melihat dua pria berkaus hitam mengapit dirinya. Di bangku belakang. Dahinya berkerut bingung melihat orang asing di kanan-kirinya. Dia tidak mengenal mereka, dan jelas sekali bahwa orang-orang ini bukan rentenir yang mengejar tadi. Tidak mungkin rentenir-rentenir itu berubah menjadi kumpulan pria-pria berwajah tampan, meski sama menakutkan karena tiada senyum di wajah-wajah itu.
“Si-siapa kalian?” tanyanya masih dengan rasa takut yang menjalari sekujur tubuh, hingga membuatnya bergetar dan panik.
Salah satu dari pria itu tersenyum, hanya senyum kaku tanpa keramahan. Menambah kebingungan Diana. Mereka tidak kunjung menjawab, seolah Diana berbicara pada diri sendiri.
“Aku tanya, siapa kalian sebenarnya?!” bentak Diana tidak sabar, meskipun ketakutan itu masih menggelayuti, namun dia tidak bisa diam saja saat dirinya dibawa ke suatu tempat tanpa mengenal orang-orang yang membawanya.
Ke suatu tempat?
Diana membatin gusar. Dia tidak mau bersama pria-pria asing ini, tubuhnya berontak meminta diturunkan dari mobil.
“Lepaskan aku!”
Namun, pria-pria itu menahannya. Mereka tidak membiarkan Diana mengambil alih keadaan. Rasa pasrah serta putus asa menjalari hati Diana yang kini mendidih perih. Lepas dari rentenir-rentenir tadi, kini dia dihadapkan pada situasi yang tidak bisa dia cerna. Siapa mereka, dan apa tujuannya sama sekali tidak dia ketahui yang tanpa sadar membuatnya menggeram marah.
Mike baru saja menyelesaikan rapat dan dia berjalan menuju ruangannya hanya untuk mengambil beberapa dokumen dan tentu saja MacBook miliknya yang tertinggal di atas meja. Baru saja dia hendak masuk ke lift saat Jake memanggil dan berlari tergesa-gesa sehingga napasnya sedikit terputus-putus. Mike menghentikan jarinya yang hendak menekan tombol lift dan melemparkan tatapan membunuh pada sahabatnya, karena pria itu tidak menghadiri rapat dan pergi entah ke mana.“Bagus, kau datang di saat aku menyelesaikan rapat dan hendak pulang ke rumahku yang nyaman,” sindir Mike dengan mimik datar dan tatapan mencela.Jake menormalkan napas, meminta jeda pada Mike agar dia diberi waktu untuk menghirup oksigen yang m
Diana menatap Jake takut-takut. Dia berdiri di sudut dinding untuk mencari perlindungan meskipun gayanya saat ini sangat lucu hingga menggelitik Jake dan membuatnya tertawa mendapati tingkah menggemaskan Diana. Wajah Diana memelas meminta pengampunan dan mata bulat hitamnya berbinar menahan tangis.“Aku tidak akan menyakitimu, Diana,” kata Jake.Mendengar namanya disebut membuat alis Diana bertaut. Sejak meninggalkan taman dia tidak pernah menyebutkan identitas pada pria yang membawanya, sehingga terasa ganjil bila pria di hadapannya mengetahui namanya tanpa ia memperkenalkan diri lebih dulu. Pastilah mereka telah merencanakan sesuatu sehingga dia sampai ke tempat asing dan dikurung dalam kamar ini.
Dua hari telah berlalu sejak Diana meninggalkan rumah Mike. Dia masih tidak terima dengan apa yang menimpanya. Dengan berat hati Diana meninggalkan kontrakan dan pindah ke kontrakan Nia karena Diana tidak bisa tinggal sendiri sejak hari itu. Malam-malamnya hanya dipenuhi mimpi di mana selembar kertas mengejar dan meminta Diana untuk mematuhi beberapa baris huruf dan angka yang berputar-putar di kepala hingga dia merasa sesak.Keadaan Diana saat ini tidak lebih baik sejak ia pindah, kantung matanya jelas menggelayut membentuk lingkaran hitam akibat tidak pernah tidur semalaman. Pikirannya juga dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada, bahkan dia tidak peduli menjadi pengangguran dan mengurungkan niat untuk mencari pekerjaan.
Diana mendatangi Juizy Cafe yang tidak jauh dari kontrakan Nia. Dia memilih duduk di dekat jendela sembari menikmati pemandangan lalu-lalang pejalan kaki di luar sana. Seorang wanita denganname tagNadira Andrani mendatanginya, membawakan buku menu.“Aku mau Muffin dan segelas Vanilla Caramelo,” katanya.“Baiklah, ada yang lain?” tanya pelayan tersebut.Diana menggeleng dan pelayan itu segera mengambil pesanan Diana ke balikcounter. Selagi menunggu kedatangan Ari, Diana memilih untuk mendengarkan musik dariearphone, namun tangannya terhenti di tomb
Diana masih menangis menahan sakit pada kakinya, dia bahkan tidak memerhatikan sekitarnya lagi. Baginya rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya sudah sangat menyiksa hingga dia lupa dengan sekitar. Gadis itu mengerang sakit saat berusaha menarik kakinya yang terjepit, namun gerakan putus asanya terhenti saat sebuah tangan kokoh menyentuh pangkal kakinya, dengan gerakan pelan menggeser letak batu dan membebaskan kaki Diana yang terjepit. Pria itu melakukannya dengan hati-hati, sebaik mungkin tidak menyakiti Diana.Namun tidak hanya sampai di situ, pria asing itu meletakkan kaki Diana di atas pangkuannya, lalu memeriksa luka yang sedikit lebar di sana. Dia menatap wajah Diana sekilas sebelum perhatiannya kembali teralih pada luka di kaki Diana, dan saat itulah baru Diana bisa melihat wajahnya yang Diana akui
Jake masuk ke dalam rumah Mike dan dia melihat Mike yang sibuk menyeduh kopi di meja makan. Pria itu melihat kedatangannya, tetapi pandangannya tampak tak acuh dan langsung mengalihkan perhatian pada kopi yang berada di atas meja. Rasanya Jake ingin mengumpat karena pria itu menghilang begitu saja lima menit sebelum rapat dimulai. Dia harus kerepotan saat menghandel semua sendirian selama Mike tidak bersamanya.“Apa kau tahu, kita nyaris saja kehilangan salah satu partner terbaik dalam pembangunan hotel impianmu,” kata jake dengan suara menahan marah. Mike menatapnya malas.
Diana turun dari halte bis setelah menempuh perjalanan panjang selama satu hari satu malam. Tubuhnya begitu pegal dan beberapa sendinya berdenyut nyeri. Gadis itu memilih duduk diam di bangku halte, dia membutuhkan istirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan setidaknya selama tiga jam lagi menuju ke Desa Pandan. Desa yang akan menjadi rumahnya selama pelarian, walau desa itu terpencil jauh ke dekat kaki bukit di pedalaman dengan akses masuk yang sulit dan jalanannya sempit, tetapi Diana harus bersyukur karena dia masih memiliki rumah untuk pelariannya. Setelah merasa cukup untuk sekedar meluruskan kaki, akhirnya gadis itu berdiri dan mencari bus yang akan membawanya memasuki desa.
Mike memasuki rumah bersama Jake. Mereka melintasi ruang tamu menuju meja makan, karena ini memang sudah jadwal makan malam. Keduanya merasa lapar setelah melakukan survey lapangan ke cabang MikeHill yang ada di sekitar kota itu, setidaknya ada tiga anak cabang MikeHill Corporate yang baru saja Mike awasi. Kesemua perusahan itu bergerak di bidang yang berbeda seperti percetakan kertas, perusahaan pembuatan produk furnitur dan cabang perusahaan MikeHill yang memproduksi parfum yang cukup terkenal."Aku tidak tahu kalau pria itu sangat berkompeten di bidang pemasaran," kata Mike memuji salah satu kar
“DisneyLand”Jake tidak ikut ke mansionku, dia memilih langsung pulang ke rumahnya. Calon istrinya sedang menunggu di sana. Sayang sekali, padahal aku ingin mengajaknya untuk bertemu Jasmin dan Blair karena sudah lama dia tidak bertemu dengan keluarga kecilku, terutama Blair yang belum pernah dia temui.
“Paris, four Years Latter”Suara gaduh yang kurindukan, tawa dan keributan kecil dari putera-puteriku selalu menyambut pagi setiap kali kuterjaga. Tanganku meraba sisi di sebelahku berbaring yang kini telah kosong, terasa dingin seakan sudah lama ditinggalkan.Penciumanku disapa oleh nikmatnya aroma mentega dan manisnya madu bersama roti bakar, kurasa dia sudah memulai aktivitasnya di dapur. Aku bergegas bangun dan bersiap memulai kesibukan hari ini.
Salju di bulan Desember tampak menghiasi Avenue des Champs-Elysées, jalanan yang menghubungkan Concorde dan Arc de Triomphe, dijuluki sebagai belle avenue du monde—jalan terindah di dunia—kini ramai dikunjungi wisatawan, karena hari libur panjang untuk menyambut tahun baru.Seorang wanita dengan coat merah dan syal maroon tengah meniti langkah hati-hati di antara deretan lampu berpendar kuning keemasan dan jejeran pohon natal berhias lonceng, juga pita di setiap pertokoan sudut kota.Wanita itu tersenyum sumringah sembari mengelus perutnya yang tertutupi dengan baik melalui coat merahnya. Dia memasu
Diana memilih menghabiskan waktu siang itu dengan tiduran di atas kasur, dia sangat malu menunjukkan mukanya di depan anggota keluarga Hill yang lain. Mike bahkan kehabisan akal untuk membujuknya keluar.“Diana, apa kau di dalam?” Suara Savira membuat Diana terjaga.“Iya, ada apa?” tanyanya sembari berjalan membukakan pintu. Terlihat Savira sudah siap dengan kaus longgar selutut dan celana jeans pendek.“Ayo, aku ingin mengajakmu naik sepeda ke Place de la Concorde,” ajaknya.Diana mengerutkan
Cahaya matahari mengintip masuk ke kamar luas yang Diana tempati, membuat wanita itu menggeliat gelisah karena silau. Perlahan mata indah Diana terbuka, ia melihat jendela kamarnya yang sedikit terbuka dengan cahaya terang di tengah.Kepala Diana bergeser melirik ke sebelah, sisi kasur yang lain, tidak ada siapa-siapa di sana. Membuat Diana mengernyit heran. Dengan gerakan refleks Diana bangkit dari duduk dan mencari keberadaan suaminya di kamar luas tersebut, tapi tak ada tanda-tanda keberadaan Mike di sana.Diana bergegas turun dari kasur dan masuk ke kamar mandi, sekedar mencuci muka dan menggosok gigi sebelum turun ke bawah untuk bergabung bersama keluarga Hill lainnya. Di meja makan tampak Asley dan boneka b
Cuaca kota Paris pagi itu sangat cerah. Diana bersemangat dan menarik tangan Mike untuk bergegas jalan-jalan keluar.“Ke mana kita akan pergi pagi ini?” tanya Mike yang sama antusiasnya.Diana mengeluarkan senjata andalan, sebuah peta kota Paris dari tas tangan. Mike mengernyit menatap peta yang Diana pegang.“Diana, kenapa kau membawa benda itu?” tanya Mike tak suka.“Tentu saja untuk keliling Paris agar tidak tersesat,” sungutnya pada Mike.
Diana merentangkan tangan, menarik napas menghirup udara musim semi kota Paris. Sekarang sudah jam satu siang, mereka baru saja tiba dan sedang berdiri di luar pintu kedatang-an Bandara Charles de Gaulle. Empat belas jam di dalam pesawat membuatnya bosan. Berkali-kali dia mengganggu Mike yang tidur dalam pesawat hanya untuk mendengarkannya bercerita tentang rencana bulan madu yang telah ia persiapkan.“Apa kau lelah?” tanya Mike yang berjalan di belakang. Diana mengangguk dan menoleh pada Mike.“Kau tidak lelah?” Diana melihat Mike yang masih seg
Tatapan Diana jatuh pada Mike yang masuk begitu saja dari pintu depan. Wanita itu menegang di tempat hendak memarahinya, namun Mike tak peduli dan terus menerjang Diana, menarik wanita itu dalam pelukannya. Dia mencium puncak kepala Diana dan membuat wanita itu menjeritkan penolakan.“Kumohon, jangan menolakku kali ini. Biarkan aku memelukmu sebentar, beri aku waktu lima menit setelahnya aku akan pergi seperti yang kau inginkan,” bisik Mike tepat di telinga Diana. Wanita itu terisak dan menghentikan rontanya, dia membiarkan Mike mengelus lembut puncak kepala serta punggungnya.“Biarkan aku mewujudkan impianmu dan impian ayahmu, jadikan aku pria beruntung yang memilikimu.”
Hari pertama setelah kejadian tersebut. Mike mencari tahu siapa dalang di balik semua ini. Dia akan menuntaskannya hingga ke akar. Tangannya meremas ponsel hendak menghancur-kan benda tipis itu. Jake yang sedari tadi diam akhirnya menghirup udara dan mulai bersuara.“Mereka pasti akan menemukannya, Mike.”Orang yang diajak bicara hanya menatap datar dengan senyum sinis. Dia terus meremas ponselnya yang andaikan bisa berbicara pasti benda mati itu berteriak meminta lepas dari cengkraman Mike yang tampak tidak sabar sembari menahan amarah.“Aku akan me