Diana mendatangi Juizy Cafe yang tidak jauh dari kontrakan Nia. Dia memilih duduk di dekat jendela sembari menikmati pemandangan lalu-lalang pejalan kaki di luar sana. Seorang wanita dengan name tag Nadira Andrani mendatanginya, membawakan buku menu.
“Aku mau Muffin dan segelas Vanilla Caramelo,” katanya.
“Baiklah, ada yang lain?” tanya pelayan tersebut.
Diana menggeleng dan pelayan itu segera mengambil pesanan Diana ke balik counter. Selagi menunggu kedatangan Ari, Diana memilih untuk mendengarkan musik dari earphone, namun tangannya terhenti di tombol play pada ipod ketika melihat dua pria yang selalu mengawasinya memasuki kafe.
Hati Diana bergemuruh tak tenang. Dia ingin lari dari sana, namun tidak bisa karena pria-pria itu lebih dulu melihat keberadaannya. Mereka duduk tak jauh dari tempat Diana, dan mata keduanya mengawasi setiap gerak-gerik gadis itu. Selang tiga menit kemudian, Ari memasuki kafe dan dia tersenyum melihat Diana yang kini duduk menutupi kegelisahannya di sudut kafe.
Pria itu menghampiri Diana dan memilih bangku yang ada di hadapannya. Senyum manis tak henti-hentinya tersungging di balik bibir pria itu. Diana menatap Ari dengan gugup, dia takut pria itu menyadari dirinya sedang diawasi, sebisa mungkin Diana bersikap biasa dan menormalkan kerja jantungnya.
“Maaf, aku terlambat,” katanya dengan nada menyesal. Diana hanya menggeleng.
“Kenapa kau tidak menghubungiku beberapa hari ini? Saat aku mendatangi kontrakanmu ternyata kau sudah pindah dari sana,” katanya dengan penasaran. Diana menggerakkan jari-jemarinya di bawah meja hanya untuk mengusir kegugupan serta ketakutannya.
“Oh, itu ... aku hanya ingin tinggal bersama Nia sementara ini,” jawabnya.
Ari mengangguk, dia tidak mempermasalahkan hal itu lebih jauh lagi. Pesanan Diana tiba dan mereka menjeda percakapan sementara hingga pelayan menaruh segelas Vanilla Caramelo dengan Muffin di atas meja.
“Aku mau Moccha Latte saja,” kata Ari menyebut pesanannya. Pelayan itu kembali berbalik dan meninggalkan Diana serta Ari yang kini berada dalam keheningan panjang. Keduanya menunggu salah satu untuk membuka percakapan.
“Aku—” kata mereka bersamaan. Ari tersenyum sedangkan Diana tampak malu dengan ketidaksengajaan itu.
“Kau duluan.” Ari mempersilahkan. Diana menundukkan kepala, dia bingung harus mengatakan apa. Tangannya sedikit gemetar saat memegang gelas minumannya sedang matanya bertemu pandang dengan salah satu pria yang mengawasi di seberang.
“Itu ... mmm ... aku ...” Diana tampak terbata sedangkan Ari masih bersabar menunggunya berbicara.
“Katakan saja, aku akan mendengarkanmu.” Ari meremas jari-jemari Diana yang berada di atas meja. Gadis itu terkesiap dengan perlakuan Ari, karena ini pertama kalinya pria itu menyentuhnya sedekat ini. Diana menarik diri dan kembali menyembunyikan tangannya di balik meja.
“Maaf kan aku, aku tidak bermaksud—,” kata Diana dengan rasa bersalah ketika mendapati kekecawaan di mata pria itu.
“Tidak apa, aku tahu kau masih tidak bisa menerimaku,” ujarnya dengan nada sedih, “Tetapi aku akan tetap menunggumu hingga kau membuka hatimu untukku.”
Diana menatap Ari dengan pandangan bersalah, dan dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya mendengar itu. Sudah berkali-kali Diana menolak pria di hadapannya tetapi sebanyak itu pula pria itu mengejarnya bahkan bersabar dan selalu setia di setiap kesulitan yang menimpanya.
“Aku tidak ingin memberimu harapan palsu,” katanya dengan nada sedih atas ketidakmampuan hatinya membalas perasaan Ari.
“Tidak apa Diana, jangan memaksa perasaanmu.”
“Aku ingin kau untuk tidak menemuiku lagi,” kata Diana.
Seketika suasana di sekitar mereka menjadi hening. Ari masih menatap Diana seolah itu adalah sebuah candaan. Dia melihat mata Diana, mencari apakah gadis itu sedang mengerjainya dan perkataannya barusan benar-benar dari hatinya, namun Ari bahkan tidak bisa menebak. Diana tampak mengalihkan pandangan dan tidak mau membalas tatapannya.
“Katakan bahwa kau tidak serius mengatakannya dan itu hanyalah salah satu caramu untuk menjauhiku!” Ari meninggikan suara, membuat Diana semakin menundukkan kepala, terpaku pada mufin serta gelas vanilla caramelo yang tidak ia sentuh di atas meja. Membiarkan makanan itu sebagai pajangan dan bayaran karena mereka berada di sana.
“Aku... tidak bisa mengatakan alasannya, dan... aku ingin kau tidak menemuiku lagi. Kumohon mengertilah, situasiku sedang sulit saat ini,” ucap Diana dengan suara bergetar menahan tangis.
Ari mendongak, menahan gemuruh emosi yang siap ia muntahkan kapan saja, tetapi dia masih memiliki urat malu dan rasa sayang untuk tidak membentak Diana di kafe yang saat ini penuh pengunjung. Mereka bahkan beruntung berada di sudut sehingga hanya beberapa orang saja yang mendengarnya berteriak tadi.
“Baiklah, jika memang itu yang kau inginkan, tetapi aku tidak akan pergi begitu saja. Sampai kapan pun aku akan terus menunggumu, dan ... beri aku waktu untuk bersamamu lebih lama lagi sebelum kau benar-benar membuat jarak denganku.”
Diana menatap Ari saat mendengar permintaan terakhir pria itu, dia menimbang-nimbang untuk menerima atau menolak. Akhirnya Diana mengangguk untuk menyetujui sedangkan Ari tersenyum samar mendapat persetujuannya.
“Aku hanya bisa memberi waktuku hari ini saja,” imbuhnya.
Ari mengangguk paham. “Baiklah, kalau begitu biarkan aku yang membawamu jalan-jalan. Apa kau keberatan? Ini tidak akan lama,” katanya memastikan.
Diana mengangguk lagi dan Ari langsung berdiri serta menggamit tangan Diana. Gadis itu menurut dan mereka meninggalkan kafe. Dari ekor matanya, Diana dapat melihat kedua pria yang tadi mengikuti sudah tidak ada di bangku mereka tadi duduk. Itu artinya mereka sudah pergi meninggalkannya. Diana merasa lega, kali ini tidak akan ada lagi yang mengawasi setiap hal yang ia lakukan.
Ari membawa Diana ke pantai. Pria itu hanya ingin menghabiskan waktu berdua saja dengan Diana tanpa banyak mata yang melihat mereka, dan pantai adalah pilihan yang tepat. Selain memiliki view yang indah, tempat itu juga sangat romantis jika kau bisa merasakan sisi romantismenya saat bersama seseorang yang kau cintai di sekitarmu.
Diana memilih untuk membuka flat shoes-nya dan membiarkan kaki telanjangnya tenggelam dalam pasir putih sepanjang jejak-jejak yang ia buat selama berjalan menyusuri pantai yang mengalunkan nyanyian ombak berbentur karang. Ari ikut mensejajarkan langkah di sebelah, pria itu juga melakukan hal yang sama. Bias sinar matahari menghangatkan pasir di bawah telapak kaki mereka, tetapi baik Diana maupun Ari tampak tidak peduli. Mereka terus menikmati suasana sekitar.
Ari menuntun Diana hingga mereka tiba di bawah pohon kelapa yang cukup tersembunyi di balik bebatuan keras di pantai sebelah barat dari arah mereka pertama datang tadi. Diana duduk di salah satu bebatuan dan yang dilakukannya hanyalah menikmati pemandangan di bawah kaki langit pada cakrawala yang dipenuhi burung pelikan dengan suara merdu membentuk irama debur ombak di bawahnya.
“Diana,” panggil Ari dengan suara sensual.
Diana menoleh dan mendapati tatapan Ari yang tampak menggelap. Pria itu mendekatkan wajahnya ke arah Diana hingga tiada jarak di antara mereka, melihat keganjilan itu, Diana mencoba menghindar tetapi ternyata Ari menahan pinggangnya hingga tubuh mereka menempel dan membuat Diana menggeliat mencoba untuk melepaskan diri. Pria itu semakin mengeratkan rangkulan.
“Ari, apa yang kau lakukan? Lepaskan aku?!” bentaknya dengan wajah menunjukkan ketidaksukaan, namun Ari tidak mendengarkan. Dia memaksa wajah Diana agar sejajar dengan wajahnya. Diana memberontak, dia memukul Ari agar pria itu menjauh, tetapi usahanya seolah sia-sia. Ari jauh lebih berkuasa atas dirinya.
“Apa yang kau lakukan! Lepaskan aku! Ini tidak benar, kenapa kau melakukan ini?!” Diana masih berontak saat Ari mulai memaksanya dengan kasar untuk mencecap bibirnya.
“Diamlah! Aku hanya memanfaatkan waktuku bersamamu! Apa kau pikir aku akan membiarkanmu begitu saja tanpa melakukan apa-apa. Sudah lama aku manahan diri agar bersabar menghadapimu, dan kau memintaku untuk meninggalkanmu sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan?” Ari balas membentaknya dengan wajah merah padam dan mata berkilat gairah.
Ingin rasanya Diana menangis mendengar kenyataan itu, dia tidak mengira pria yang ia percaya selama tiga tahun ini ternyata sama saja dengan pria brengsek di luar sana. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa Ari yang dikenalnya memiliki sisi lain yang tidak ia kenal.
“Aku memercayaimu bukan hanya sebagai pria yang kukenal. Aku percaya padamu sebagai pria yang dapat membuatku bersandar, tetapi kau melakukan ini dan menghancurkan kepercayaanku begitu saja. Aku benar-benar membencimu!” Diana menjerit dan mendorong tubuh Ari sebelum akhirnya beranjak dari sana, namun ia kesulitan karena harus melewati bebatuan, sehingga langkahnya tersendat demi melompati satu batu dengan batu lainnya.
Ari mencengkarm tangannya sebelum Diana sampai ke tepian. Gadis itu terkesiap serta panik, dia menjerit kecil, namun suaranya kalah oleh gaungan ombak yang memecah udara.
“Aku tidak akan membiarkanmu pergi. Tidak sekarang!” ucapnya dengan seringai penuh kemenangan. Diana menggigil di bawah tatapan Ari. Dia mencoba melepaskan diri, namun gerakan memberontaknya membuat Diana terjerembab hingga kakinya terjepit di antara bebatuan dan rasa sakit menjalar dari pergelangan kaki hingga ke pinggang.
Ari hendak menyentuh bahu Diana, tetapi sebuah pukulan mendarat di pipinya hingga dia terhempas ke bebatuan yang ada di belakang. Punggungnya membentur batu dengan suara bedebum seperti benda jatuh. Ari menggelepar, menahan kesakitan akibat benturan, sekujur tubuhnya sakit luar biasa. Rasa marah menguasai hatinya, dia berusaha bangkit dengan susah payah, dan matanya menangkap sesosok pria tinggi dengan manik mata sebiru saphir. Rahangnya kokoh dan otot-otot bisepnya tampak menonjol di balik kemeja putih dengan dasi biru gelap bergaris biru terang.
Pria itu menatap Ari dengan kilat marah yang tidak ditutupi. Pandangan tajamnya menguliti Ari hingga membuat nyalinya menciut. Dia tampak gamang dan tak berdaya di bawah tatapan pria itu. Saat Ari hendak bersuara, terlihat dua pria mendekati mereka. Salah satunya berwajah Eropa dan satunya berwajah lokal. Mereka mengenakan kaus hitam dan celana jeans biru pudar.
“Urus pria itu dan bawa dari sini,” kata pria bermata biru saphir pada kedua pria yang berdiri di belakangnya.
“Siapa kalian?!” bentak Ari tidak terima saat kedua pria itu menyeret paksa dirinya menjauh dari sana.
Diana masih menangis menahan sakit pada kakinya, dia bahkan tidak memerhatikan sekitarnya lagi. Baginya rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya sudah sangat menyiksa hingga dia lupa dengan sekitar. Gadis itu mengerang sakit saat berusaha menarik kakinya yang terjepit, namun gerakan putus asanya terhenti saat sebuah tangan kokoh menyentuh pangkal kakinya, dengan gerakan pelan menggeser letak batu dan membebaskan kaki Diana yang terjepit. Pria itu melakukannya dengan hati-hati, sebaik mungkin tidak menyakiti Diana.Namun tidak hanya sampai di situ, pria asing itu meletakkan kaki Diana di atas pangkuannya, lalu memeriksa luka yang sedikit lebar di sana. Dia menatap wajah Diana sekilas sebelum perhatiannya kembali teralih pada luka di kaki Diana, dan saat itulah baru Diana bisa melihat wajahnya yang Diana akui
Jake masuk ke dalam rumah Mike dan dia melihat Mike yang sibuk menyeduh kopi di meja makan. Pria itu melihat kedatangannya, tetapi pandangannya tampak tak acuh dan langsung mengalihkan perhatian pada kopi yang berada di atas meja. Rasanya Jake ingin mengumpat karena pria itu menghilang begitu saja lima menit sebelum rapat dimulai. Dia harus kerepotan saat menghandel semua sendirian selama Mike tidak bersamanya.“Apa kau tahu, kita nyaris saja kehilangan salah satu partner terbaik dalam pembangunan hotel impianmu,” kata jake dengan suara menahan marah. Mike menatapnya malas.
Diana turun dari halte bis setelah menempuh perjalanan panjang selama satu hari satu malam. Tubuhnya begitu pegal dan beberapa sendinya berdenyut nyeri. Gadis itu memilih duduk diam di bangku halte, dia membutuhkan istirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan setidaknya selama tiga jam lagi menuju ke Desa Pandan. Desa yang akan menjadi rumahnya selama pelarian, walau desa itu terpencil jauh ke dekat kaki bukit di pedalaman dengan akses masuk yang sulit dan jalanannya sempit, tetapi Diana harus bersyukur karena dia masih memiliki rumah untuk pelariannya. Setelah merasa cukup untuk sekedar meluruskan kaki, akhirnya gadis itu berdiri dan mencari bus yang akan membawanya memasuki desa.
Mike memasuki rumah bersama Jake. Mereka melintasi ruang tamu menuju meja makan, karena ini memang sudah jadwal makan malam. Keduanya merasa lapar setelah melakukan survey lapangan ke cabang MikeHill yang ada di sekitar kota itu, setidaknya ada tiga anak cabang MikeHill Corporate yang baru saja Mike awasi. Kesemua perusahan itu bergerak di bidang yang berbeda seperti percetakan kertas, perusahaan pembuatan produk furnitur dan cabang perusahaan MikeHill yang memproduksi parfum yang cukup terkenal."Aku tidak tahu kalau pria itu sangat berkompeten di bidang pemasaran," kata Mike memuji salah satu kar
Jake mengurut pelipis dan memperhatikan beberapa keterangan yang Rudith laporkan mengenai Diana. Dia bingung harus bagaimana mengatakannya pada Mike, karena Jake yakin Mike akan sangat tidak senang pada kabar yang akan dia sampaiakan.Suara pintu berderit mengalihkan perhatian Jake dari layar ponsel, dia menodongak dan mendapati Mike yang memasuki ruang kerjanya dengan wajah kusut. Dari kantung mata pria itu jelas terlihat bahwa Mike tidak tidur beberapa malam ini dan hal itu semakin membuatnya merasa aneh.
Cahaya putih menyilaukan membuat Diana membuka mata, dia terduduk dari posisi berbaring dan selama sepuluh menit ke depan Diana hanya berdiam diri tanpa melakukan apa-apa. Termenung dengan pikiran berkabut, seolah tidak percaya bahwa saat ini dia berada di rumah pria asing. Oh, akankah dia menganggap calon suaminya pria asing. Diana bahkan tidak mengerti harus bagaimana sekarang. Terjebak dalam rumah pria yang baru saja dia kenal bukanlah hal menyenangkan, bahkan dia tidak bisa bebas melakukan apa pun saat ini, karena Diana yakin sepenuhnya bahwa pria itu pasti mengawasi dan menaruh suruhannya di setiap sudut rumah yang baru saja Diana tempati.
Jake melihat Mike yang termenung di atas meja kerja sembari memutar ponsel, dan sikapnya ini sudah berlangsung selama empat hari sejak Diana memasuki kediaman Mike. Kerap kali Jake melihat Diana yang memasang wajah sendu ketika dia datang menyapa, dan bahkan Diana terang-terangan menatap Mike dengan tatapan penuh kebencian, tetapi Mike seolah tidak peduli, walau Jake sebenarnya menyadari bahwa Mike tidak suka dengan pandangan Diana padanya. Jake berdehem untuk menarik perhatian Mike, tetapi pria itu hanya diam sembari melirik dan kembali melakukan kegiatan tidak bergunanya. Jake merasa kesal karena Mike menyerahkan semua tugasnya hingga dia jadi lebih sibuk dari biasanya.“Mike, ada undangan dari Mr. Holand Ranaer dari Singapura. Dia mengundangmu untuk makan siang bersama di Villa pribadinya,”
Mike menarik kerah baju beberapa pria yang berjaga di depan pintu masuk rumahnya. Wajah mereka memar dan tampak luka serta noda darah yang membekas di sebagian baju yang mereka kenakan.“Kalian berlima dan dia sendiri! Apa sesulit itu melumpuhkan satu orang?!” bentak Mike pada lima pria yang terkapar di atas lantai.Rudith menatap penuh penyesalan. “Dia menyerang dengan tidak terduga, Sir. Awalnya dia mendatangi kami dengan baik-baik dan tiba-tiba memukul tanpa memberi kami waktu untuk
“DisneyLand”Jake tidak ikut ke mansionku, dia memilih langsung pulang ke rumahnya. Calon istrinya sedang menunggu di sana. Sayang sekali, padahal aku ingin mengajaknya untuk bertemu Jasmin dan Blair karena sudah lama dia tidak bertemu dengan keluarga kecilku, terutama Blair yang belum pernah dia temui.
“Paris, four Years Latter”Suara gaduh yang kurindukan, tawa dan keributan kecil dari putera-puteriku selalu menyambut pagi setiap kali kuterjaga. Tanganku meraba sisi di sebelahku berbaring yang kini telah kosong, terasa dingin seakan sudah lama ditinggalkan.Penciumanku disapa oleh nikmatnya aroma mentega dan manisnya madu bersama roti bakar, kurasa dia sudah memulai aktivitasnya di dapur. Aku bergegas bangun dan bersiap memulai kesibukan hari ini.
Salju di bulan Desember tampak menghiasi Avenue des Champs-Elysées, jalanan yang menghubungkan Concorde dan Arc de Triomphe, dijuluki sebagai belle avenue du monde—jalan terindah di dunia—kini ramai dikunjungi wisatawan, karena hari libur panjang untuk menyambut tahun baru.Seorang wanita dengan coat merah dan syal maroon tengah meniti langkah hati-hati di antara deretan lampu berpendar kuning keemasan dan jejeran pohon natal berhias lonceng, juga pita di setiap pertokoan sudut kota.Wanita itu tersenyum sumringah sembari mengelus perutnya yang tertutupi dengan baik melalui coat merahnya. Dia memasu
Diana memilih menghabiskan waktu siang itu dengan tiduran di atas kasur, dia sangat malu menunjukkan mukanya di depan anggota keluarga Hill yang lain. Mike bahkan kehabisan akal untuk membujuknya keluar.“Diana, apa kau di dalam?” Suara Savira membuat Diana terjaga.“Iya, ada apa?” tanyanya sembari berjalan membukakan pintu. Terlihat Savira sudah siap dengan kaus longgar selutut dan celana jeans pendek.“Ayo, aku ingin mengajakmu naik sepeda ke Place de la Concorde,” ajaknya.Diana mengerutkan
Cahaya matahari mengintip masuk ke kamar luas yang Diana tempati, membuat wanita itu menggeliat gelisah karena silau. Perlahan mata indah Diana terbuka, ia melihat jendela kamarnya yang sedikit terbuka dengan cahaya terang di tengah.Kepala Diana bergeser melirik ke sebelah, sisi kasur yang lain, tidak ada siapa-siapa di sana. Membuat Diana mengernyit heran. Dengan gerakan refleks Diana bangkit dari duduk dan mencari keberadaan suaminya di kamar luas tersebut, tapi tak ada tanda-tanda keberadaan Mike di sana.Diana bergegas turun dari kasur dan masuk ke kamar mandi, sekedar mencuci muka dan menggosok gigi sebelum turun ke bawah untuk bergabung bersama keluarga Hill lainnya. Di meja makan tampak Asley dan boneka b
Cuaca kota Paris pagi itu sangat cerah. Diana bersemangat dan menarik tangan Mike untuk bergegas jalan-jalan keluar.“Ke mana kita akan pergi pagi ini?” tanya Mike yang sama antusiasnya.Diana mengeluarkan senjata andalan, sebuah peta kota Paris dari tas tangan. Mike mengernyit menatap peta yang Diana pegang.“Diana, kenapa kau membawa benda itu?” tanya Mike tak suka.“Tentu saja untuk keliling Paris agar tidak tersesat,” sungutnya pada Mike.
Diana merentangkan tangan, menarik napas menghirup udara musim semi kota Paris. Sekarang sudah jam satu siang, mereka baru saja tiba dan sedang berdiri di luar pintu kedatang-an Bandara Charles de Gaulle. Empat belas jam di dalam pesawat membuatnya bosan. Berkali-kali dia mengganggu Mike yang tidur dalam pesawat hanya untuk mendengarkannya bercerita tentang rencana bulan madu yang telah ia persiapkan.“Apa kau lelah?” tanya Mike yang berjalan di belakang. Diana mengangguk dan menoleh pada Mike.“Kau tidak lelah?” Diana melihat Mike yang masih seg
Tatapan Diana jatuh pada Mike yang masuk begitu saja dari pintu depan. Wanita itu menegang di tempat hendak memarahinya, namun Mike tak peduli dan terus menerjang Diana, menarik wanita itu dalam pelukannya. Dia mencium puncak kepala Diana dan membuat wanita itu menjeritkan penolakan.“Kumohon, jangan menolakku kali ini. Biarkan aku memelukmu sebentar, beri aku waktu lima menit setelahnya aku akan pergi seperti yang kau inginkan,” bisik Mike tepat di telinga Diana. Wanita itu terisak dan menghentikan rontanya, dia membiarkan Mike mengelus lembut puncak kepala serta punggungnya.“Biarkan aku mewujudkan impianmu dan impian ayahmu, jadikan aku pria beruntung yang memilikimu.”
Hari pertama setelah kejadian tersebut. Mike mencari tahu siapa dalang di balik semua ini. Dia akan menuntaskannya hingga ke akar. Tangannya meremas ponsel hendak menghancur-kan benda tipis itu. Jake yang sedari tadi diam akhirnya menghirup udara dan mulai bersuara.“Mereka pasti akan menemukannya, Mike.”Orang yang diajak bicara hanya menatap datar dengan senyum sinis. Dia terus meremas ponselnya yang andaikan bisa berbicara pasti benda mati itu berteriak meminta lepas dari cengkraman Mike yang tampak tidak sabar sembari menahan amarah.“Aku akan me