Mike baru saja menyelesaikan rapat dan dia berjalan menuju ruangannya hanya untuk mengambil beberapa dokumen dan tentu saja MacBook miliknya yang tertinggal di atas meja. Baru saja dia hendak masuk ke lift saat Jake memanggil dan berlari tergesa-gesa sehingga napasnya sedikit terputus-putus. Mike menghentikan jarinya yang hendak menekan tombol lift dan melemparkan tatapan membunuh pada sahabatnya, karena pria itu tidak menghadiri rapat dan pergi entah ke mana.
“Bagus, kau datang di saat aku menyelesaikan rapat dan hendak pulang ke rumahku yang nyaman,” sindir Mike dengan mimik datar dan tatapan mencela.
Jake menormalkan napas, meminta jeda pada Mike agar dia diberi waktu untuk menghirup oksigen yang menipis di paru-parunya. Setelah merasa cukup, Jake melihat Mike dengan pandangan meminta maaf. Dia tahu bahwa dirinya melakukan kesalahan dengan meninggalkan tanggung jawab.
“Berikan satu alasan masuk akal sebelum aku pergi dan mengirimmu surat pemecatan besok pagi.” Mike tidak benar-benar melakukannya, itu hanya gertakan yang tidak bernilai di mata Jake, karena perkataannya tadi lebih mengarah pada rasa kesal.
“Kau harus tahu bahwa mangsamu sedang dalam masalah dan bila tidak kau tandai, dia akan pergi bersama pemburu lainnya.”
Mike menatap Jake dengan jijik karena tidak mengerti maksudnya, dia tidak suka mendengar kata pemburu dan apa itu ... mangsa, terdengar seperti mereka baru saja memainkan kata berburu di padang ilalang. Jake memang bisa menjadi orang yang suka mendramatisir keadaan, dan membuat Mike takjub karena sahabatnya memiliki otak yang cerdas berbanding ke bawah dengan kepribadiannya.
“Perjelas dengan bahasa manusia Jake!” ketus Mike masih berdiri dengan posisi seolah-olah dirinya adalah senior yang mengerjai juniornya.
Jake mendengus kesal, dia tahu Mike paham maksud perkataannya, tetapi mereka seakan berputar-putar di tempat yang sama. Mike masih berdiri dengan sabar, tetapi rasa pegal menguasai hingga dia memilih memasuki lift dan melakukan pembicaraan di ruangannya saja sehingga tidak ada yang mendengar sandi-sandi dari mulut Jake.
Ketika Mike telah sampai di ruangan kekuasaannya, barulah Jake memilih buka suara dan hendak mengatakan semua.
“Rentenir-rentenir itu mendatanginya dan sepertinya gadis itu tidak bisa melunasi hutang Hendri, aku takut dia diperlakukan semena-mena oleh mereka,” kata Jake menjelaskan sedangkan Mike hanya duduk santai di kursi seolah tak acuh dengan penjelasan itu.
“Lalu, apa kau memiliki rencana?” Mike membereskan meja kerja dan menaruh semua barang-barang miliknya ke dalam tas, lalu bergabung bersama Jake di sofa.
“Mike, kalau kita menunggu hingga jatuh tempo, dia pasti sudah dibawa entah kebelahan dunia yang mana. Ada baiknya kita memberitahukan masalah kontrak itu sekarang,” kata Jake sembari mengeluarkan ponselnya yang bergetar. Dia berhenti berbicara dan menatap layar ponsel itu lama. Wajahnya mendongak, melihat Mike dengan takut-takut.
“Ada apa Jake?” tanya Mike sedikit tidak suka dengan perubahan suasana yang tiba-tiba.
Jake menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Mmm... Mike, itu....” Jake melihat Mike yang hanya memandanganya tanpa menjawab. Dia tahu, Mike tidak sedang menunggunya berbicara, hanya saja pria itu diam karena tidak berminat melanjutkan, namun ini sesuatu yang penting dan Mike harus tahu.
“Gadis itu sudah ada di rumahmu, dan ... dia baru sa-
ja ...”
Belum sempat Jake menyelesaikan ucapan, Mike pun membentak. Kilatan marah serta emosi tertahan menguar kuat dari wajah Mike yang sudah mengeras dengan rahang mengetat.
“Sejak kapan aku memperbolehkanmu membawa gadis itu ke rumahku?! Bukankah aku menyuruhmu untuk menunggu beberapa bulan lagi?!”
Jake menggaruk kepalanya dengan salah tingkah. Dia bergerak gelisah dari tempat duduknya dan matanya berkedip tanda ragu.
“Aku tahu, tapi sudah kukatan padamu alasannya di awal tadi. Bagian mana yang membuatmu tidak mengerti kalau gadis itu dalam bahaya?” tanya Jake masih dengan pembawaannya yang tenang.
Mike mendengus jengkel. Dia menyadari itu, hanya saja dia tidak suka ada orang asing berada di rumahnya. Orang asing? Pantaskah dia menyebut wanita yang akan segera dia nikahi sebagai orang asing?
“Lalu, apa lagi?” Kini Mike sudah bisa mengontrol suara.
Jake menatapnya bingung membuat kejengkelan Mike bertambah.
“Bukankah kau bilang kalau dia di rumahku dan ucapanmu masih belum selesai!”
Akhirnya Jake paham. Dia mengangguk dan melanjutkan kembali apa yang sempat tertunda. Mike menggeleng melihat Jake berubah menjadi idiot di matanya.
“Dan ... dia ... melempari peralatan rumahmu hingga membuat keributan serta—” belum selesai Jake mengatakan semua, Mike langsung berdiri dan menyeretnya keluar dari sana.
“Mike, apa yang kau lakukan? Jangan menyeretku di depan karyawanmu!” bentak jake, memandang malu-malu pada kumpulan wanita yang mereka lewati. Karyawan di MikeHill Corporate menatap mereka berdua dengan geli, namun mereka membuang pandangan seolah tidak melihat kejadian barusan.
“Sejak kapan kau peduli dengan karyawanku? Kau bahkan tidak pernah menganggap mereka sebagai bawahanku, melainkan sebagai target wanita kencanmu. Dan biarkan saja mereka melihat betapa memalukannya dirimu,” desis Mike masih terus menarik Jake hingga ke lift.
“Ya Tuhan, lenyapkan saja aku dari sini. Oh Mike! Ini benar-benar memalukan, kau boleh memperlakukanku seperti apa yang kau mau, tapi tidak dengan cara ini!” katanya, berusaha melepaskan cengkraman Mike di kerah jasnya yang membuatnya terseret dengan langkah tertatih-tatih hingga mereka tiba di dalam lift.
Jake bergerak menjauh dan mendengus kesal. Dia tidak menutupi perasaannya dan tidak berusaha untuk melakukannya. Mike hanya diam selama meninggalkan MikeHill Corporate dengan chevrolet kesayangan Mike yang diberinya nama Chevi.
...............
Mereka tiba empat puluh lima menit kemudian. Mike lebih dulu keluar dan Jake mengikuti dari belakang. Keduanya tidak mendengar suara keributan apa pun di sana, tetapi saat memasuki ruang tengah barulah kedua pria itu melihat dengan jelas bahwa tempat itu baru saja menjadi arena perang dengan amunisi perabotan mahal serta vas keramik milik Lyly, ibunya Mike yang telah lama meninggal. Rasa marah sudah di ubun-ubun. Ingin rasanya Mike menyeret gadis itu ke hadapannya, tetapi dia menahan diri untuk tidak melakukannya dan lirikan tajam dia arahkan pada satu-satunya orang yang seharusnya bertanggung jawab atas kekacauan yang baru saja terjadi.
“Baiklah, aku akan membereskan ini dan membicara-kannya dengan gadis itu,” kata Jake dengan raut menyesal yang tulus. Dia tahu betapa berharga perabotan itu, bukan karena harganya yang mahal tetapi sejarah dan juga siapa pemilik dari benda-benda itulah yang membuat Mike merasa kehilangan.
“Aku ingin kau menyelesaikan ini. Katakan padanya bahwa dia berhutang padaku atas kekacauan yang baru saja dia perbuat,” ucap Mike dengan intonasi rendah, namun mampu menggetarkan bulu roma siapa saja yang mendengar.
Mike berjalan ke kamar dan dia tidak peduli dengan kekacauan yang ada di bawah. Dirinya terlalu lelah dan ingin segera istirahat. Sementara itu, Jake menghela napas keras, dia merasa pusing dan juga bingung harus berbuat apa.
♥♥♥
Diana meringkuk sambil terisak di tepi tempat tidur. Dia tidak tahu siapa orang-orang itu dan tujuan mereka membawa-nya, namun jelas sekali bahwa mereka bermaksud mengurungnya di kamar yang dia tempati ini. Sekelibat pertanyaan menghantam kepalanya. Berkali-kali dia berspekulasi negatif bahwa dirinya telah dijual oleh rentenir-rentenir itu tanpa sepengetahuannya. Ada perasaan ingin lari dari sana, tetapi dia sudah mencoba tadi, berusaha melakukan apa saja termasuk melempari barang dan melukai pria-pria yang selalu mengapit ke mana pun dia bergerak.
Tetapi tetap saja dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Dia merasa bodoh dan patut ditertawakan karena membuat keributan yang sia-sia. Berkali-kali Diana menghapus air mata yang sudah meleleh sejak beberapa menit yang lalu, dan dirinya tidak tahu apa yang akan orang-orang itu perbuat padanya setelah ini.
Suara gemerincing kunci dan bunyi pintu terbuka membuat bahu Diana menegak waspada. Matanya menatap awas pada pintu kamarnya yang berwarna krem. Seseorang tampak memasuki ruangan dengan senyum yang ramah. Rasa marah bersatu dengan rasa takut saat pria itu semakin mendekat. Diana melirik seisi kamar dan tanpa pikir panjang, dia melempari bantal serta apa pun yang ada di dekatnya.
Pria itu meringis mendapat lemparan darinya, membuat Diana semakin bersemangat untuk terus melempar peralatan yang memenuhi meja di sebelah tempat tidur. Namun dia berhenti saat tidak ada lagi yang bisa digunakan untuk menjadi senjata. Amunisinya sudah kandas. Dengan takut-takut Diana melirik pria yang kini terduduk di lantai dengan wajah meringis. Ada benjolan di keningnya dan hal itu semakin menambah ketakutan Diana.
Aku pasti mati di sini. Ya Tuhan dia pasti membunuhku saat ini juga.
Batinnya dengan tubuh bergetar menahan tangis. Pria itu berdiri, membersihkan celana formal miliknya dan juga jas hitam yang sudah tidak berbentuk terkena taburan bedak. Dia menghela napas dengan frustrasi.
“Kau memang luar biasa, dan kuharap kau benar-benar jadi menikah dengannya,” katanya, menatap Diana dengan manik mata abu-abunya yang tegas. “Dan pasti akan sangat menarik melihat kalian berdua berada dalam lingkaran yang sama. Aku tidak sabar menantikan hal itu.”
Diana menahan perutnya yang mulas saat mendengar kata menikah yang pria itu ucapkan. Kepalanya terasa berputar. Kali ini dia yakin bahwa dirinya telah dijual, atau mungkin lebih buruk dari itu.
Diana menatap Jake takut-takut. Dia berdiri di sudut dinding untuk mencari perlindungan meskipun gayanya saat ini sangat lucu hingga menggelitik Jake dan membuatnya tertawa mendapati tingkah menggemaskan Diana. Wajah Diana memelas meminta pengampunan dan mata bulat hitamnya berbinar menahan tangis.“Aku tidak akan menyakitimu, Diana,” kata Jake.Mendengar namanya disebut membuat alis Diana bertaut. Sejak meninggalkan taman dia tidak pernah menyebutkan identitas pada pria yang membawanya, sehingga terasa ganjil bila pria di hadapannya mengetahui namanya tanpa ia memperkenalkan diri lebih dulu. Pastilah mereka telah merencanakan sesuatu sehingga dia sampai ke tempat asing dan dikurung dalam kamar ini.
Dua hari telah berlalu sejak Diana meninggalkan rumah Mike. Dia masih tidak terima dengan apa yang menimpanya. Dengan berat hati Diana meninggalkan kontrakan dan pindah ke kontrakan Nia karena Diana tidak bisa tinggal sendiri sejak hari itu. Malam-malamnya hanya dipenuhi mimpi di mana selembar kertas mengejar dan meminta Diana untuk mematuhi beberapa baris huruf dan angka yang berputar-putar di kepala hingga dia merasa sesak.Keadaan Diana saat ini tidak lebih baik sejak ia pindah, kantung matanya jelas menggelayut membentuk lingkaran hitam akibat tidak pernah tidur semalaman. Pikirannya juga dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada, bahkan dia tidak peduli menjadi pengangguran dan mengurungkan niat untuk mencari pekerjaan.
Diana mendatangi Juizy Cafe yang tidak jauh dari kontrakan Nia. Dia memilih duduk di dekat jendela sembari menikmati pemandangan lalu-lalang pejalan kaki di luar sana. Seorang wanita denganname tagNadira Andrani mendatanginya, membawakan buku menu.“Aku mau Muffin dan segelas Vanilla Caramelo,” katanya.“Baiklah, ada yang lain?” tanya pelayan tersebut.Diana menggeleng dan pelayan itu segera mengambil pesanan Diana ke balikcounter. Selagi menunggu kedatangan Ari, Diana memilih untuk mendengarkan musik dariearphone, namun tangannya terhenti di tomb
Diana masih menangis menahan sakit pada kakinya, dia bahkan tidak memerhatikan sekitarnya lagi. Baginya rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya sudah sangat menyiksa hingga dia lupa dengan sekitar. Gadis itu mengerang sakit saat berusaha menarik kakinya yang terjepit, namun gerakan putus asanya terhenti saat sebuah tangan kokoh menyentuh pangkal kakinya, dengan gerakan pelan menggeser letak batu dan membebaskan kaki Diana yang terjepit. Pria itu melakukannya dengan hati-hati, sebaik mungkin tidak menyakiti Diana.Namun tidak hanya sampai di situ, pria asing itu meletakkan kaki Diana di atas pangkuannya, lalu memeriksa luka yang sedikit lebar di sana. Dia menatap wajah Diana sekilas sebelum perhatiannya kembali teralih pada luka di kaki Diana, dan saat itulah baru Diana bisa melihat wajahnya yang Diana akui
Jake masuk ke dalam rumah Mike dan dia melihat Mike yang sibuk menyeduh kopi di meja makan. Pria itu melihat kedatangannya, tetapi pandangannya tampak tak acuh dan langsung mengalihkan perhatian pada kopi yang berada di atas meja. Rasanya Jake ingin mengumpat karena pria itu menghilang begitu saja lima menit sebelum rapat dimulai. Dia harus kerepotan saat menghandel semua sendirian selama Mike tidak bersamanya.“Apa kau tahu, kita nyaris saja kehilangan salah satu partner terbaik dalam pembangunan hotel impianmu,” kata jake dengan suara menahan marah. Mike menatapnya malas.
Diana turun dari halte bis setelah menempuh perjalanan panjang selama satu hari satu malam. Tubuhnya begitu pegal dan beberapa sendinya berdenyut nyeri. Gadis itu memilih duduk diam di bangku halte, dia membutuhkan istirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan setidaknya selama tiga jam lagi menuju ke Desa Pandan. Desa yang akan menjadi rumahnya selama pelarian, walau desa itu terpencil jauh ke dekat kaki bukit di pedalaman dengan akses masuk yang sulit dan jalanannya sempit, tetapi Diana harus bersyukur karena dia masih memiliki rumah untuk pelariannya. Setelah merasa cukup untuk sekedar meluruskan kaki, akhirnya gadis itu berdiri dan mencari bus yang akan membawanya memasuki desa.
Mike memasuki rumah bersama Jake. Mereka melintasi ruang tamu menuju meja makan, karena ini memang sudah jadwal makan malam. Keduanya merasa lapar setelah melakukan survey lapangan ke cabang MikeHill yang ada di sekitar kota itu, setidaknya ada tiga anak cabang MikeHill Corporate yang baru saja Mike awasi. Kesemua perusahan itu bergerak di bidang yang berbeda seperti percetakan kertas, perusahaan pembuatan produk furnitur dan cabang perusahaan MikeHill yang memproduksi parfum yang cukup terkenal."Aku tidak tahu kalau pria itu sangat berkompeten di bidang pemasaran," kata Mike memuji salah satu kar
Jake mengurut pelipis dan memperhatikan beberapa keterangan yang Rudith laporkan mengenai Diana. Dia bingung harus bagaimana mengatakannya pada Mike, karena Jake yakin Mike akan sangat tidak senang pada kabar yang akan dia sampaiakan.Suara pintu berderit mengalihkan perhatian Jake dari layar ponsel, dia menodongak dan mendapati Mike yang memasuki ruang kerjanya dengan wajah kusut. Dari kantung mata pria itu jelas terlihat bahwa Mike tidak tidur beberapa malam ini dan hal itu semakin membuatnya merasa aneh.
“DisneyLand”Jake tidak ikut ke mansionku, dia memilih langsung pulang ke rumahnya. Calon istrinya sedang menunggu di sana. Sayang sekali, padahal aku ingin mengajaknya untuk bertemu Jasmin dan Blair karena sudah lama dia tidak bertemu dengan keluarga kecilku, terutama Blair yang belum pernah dia temui.
“Paris, four Years Latter”Suara gaduh yang kurindukan, tawa dan keributan kecil dari putera-puteriku selalu menyambut pagi setiap kali kuterjaga. Tanganku meraba sisi di sebelahku berbaring yang kini telah kosong, terasa dingin seakan sudah lama ditinggalkan.Penciumanku disapa oleh nikmatnya aroma mentega dan manisnya madu bersama roti bakar, kurasa dia sudah memulai aktivitasnya di dapur. Aku bergegas bangun dan bersiap memulai kesibukan hari ini.
Salju di bulan Desember tampak menghiasi Avenue des Champs-Elysées, jalanan yang menghubungkan Concorde dan Arc de Triomphe, dijuluki sebagai belle avenue du monde—jalan terindah di dunia—kini ramai dikunjungi wisatawan, karena hari libur panjang untuk menyambut tahun baru.Seorang wanita dengan coat merah dan syal maroon tengah meniti langkah hati-hati di antara deretan lampu berpendar kuning keemasan dan jejeran pohon natal berhias lonceng, juga pita di setiap pertokoan sudut kota.Wanita itu tersenyum sumringah sembari mengelus perutnya yang tertutupi dengan baik melalui coat merahnya. Dia memasu
Diana memilih menghabiskan waktu siang itu dengan tiduran di atas kasur, dia sangat malu menunjukkan mukanya di depan anggota keluarga Hill yang lain. Mike bahkan kehabisan akal untuk membujuknya keluar.“Diana, apa kau di dalam?” Suara Savira membuat Diana terjaga.“Iya, ada apa?” tanyanya sembari berjalan membukakan pintu. Terlihat Savira sudah siap dengan kaus longgar selutut dan celana jeans pendek.“Ayo, aku ingin mengajakmu naik sepeda ke Place de la Concorde,” ajaknya.Diana mengerutkan
Cahaya matahari mengintip masuk ke kamar luas yang Diana tempati, membuat wanita itu menggeliat gelisah karena silau. Perlahan mata indah Diana terbuka, ia melihat jendela kamarnya yang sedikit terbuka dengan cahaya terang di tengah.Kepala Diana bergeser melirik ke sebelah, sisi kasur yang lain, tidak ada siapa-siapa di sana. Membuat Diana mengernyit heran. Dengan gerakan refleks Diana bangkit dari duduk dan mencari keberadaan suaminya di kamar luas tersebut, tapi tak ada tanda-tanda keberadaan Mike di sana.Diana bergegas turun dari kasur dan masuk ke kamar mandi, sekedar mencuci muka dan menggosok gigi sebelum turun ke bawah untuk bergabung bersama keluarga Hill lainnya. Di meja makan tampak Asley dan boneka b
Cuaca kota Paris pagi itu sangat cerah. Diana bersemangat dan menarik tangan Mike untuk bergegas jalan-jalan keluar.“Ke mana kita akan pergi pagi ini?” tanya Mike yang sama antusiasnya.Diana mengeluarkan senjata andalan, sebuah peta kota Paris dari tas tangan. Mike mengernyit menatap peta yang Diana pegang.“Diana, kenapa kau membawa benda itu?” tanya Mike tak suka.“Tentu saja untuk keliling Paris agar tidak tersesat,” sungutnya pada Mike.
Diana merentangkan tangan, menarik napas menghirup udara musim semi kota Paris. Sekarang sudah jam satu siang, mereka baru saja tiba dan sedang berdiri di luar pintu kedatang-an Bandara Charles de Gaulle. Empat belas jam di dalam pesawat membuatnya bosan. Berkali-kali dia mengganggu Mike yang tidur dalam pesawat hanya untuk mendengarkannya bercerita tentang rencana bulan madu yang telah ia persiapkan.“Apa kau lelah?” tanya Mike yang berjalan di belakang. Diana mengangguk dan menoleh pada Mike.“Kau tidak lelah?” Diana melihat Mike yang masih seg
Tatapan Diana jatuh pada Mike yang masuk begitu saja dari pintu depan. Wanita itu menegang di tempat hendak memarahinya, namun Mike tak peduli dan terus menerjang Diana, menarik wanita itu dalam pelukannya. Dia mencium puncak kepala Diana dan membuat wanita itu menjeritkan penolakan.“Kumohon, jangan menolakku kali ini. Biarkan aku memelukmu sebentar, beri aku waktu lima menit setelahnya aku akan pergi seperti yang kau inginkan,” bisik Mike tepat di telinga Diana. Wanita itu terisak dan menghentikan rontanya, dia membiarkan Mike mengelus lembut puncak kepala serta punggungnya.“Biarkan aku mewujudkan impianmu dan impian ayahmu, jadikan aku pria beruntung yang memilikimu.”
Hari pertama setelah kejadian tersebut. Mike mencari tahu siapa dalang di balik semua ini. Dia akan menuntaskannya hingga ke akar. Tangannya meremas ponsel hendak menghancur-kan benda tipis itu. Jake yang sedari tadi diam akhirnya menghirup udara dan mulai bersuara.“Mereka pasti akan menemukannya, Mike.”Orang yang diajak bicara hanya menatap datar dengan senyum sinis. Dia terus meremas ponselnya yang andaikan bisa berbicara pasti benda mati itu berteriak meminta lepas dari cengkraman Mike yang tampak tidak sabar sembari menahan amarah.“Aku akan me