Suasana sedikit ramai. Jalanan Kota Jakarta memang tak pernah mati dengan aktivitas para manusia. Tempat ini begitu terlihat padat terkadang sumpek dan berdesak. Polusi udara sudah menyambut kalau fajar datang. Sinarnya hangat, terkadang terasa membakar di permukaan kulit. Abian Malik Guinandra, sengaja meninggalkan moge kesayangan di dalam bagasi rumah. Ia tak ingin menggunakan kuda besi kesayangan itu. Malik kali ini berjalan dan memutuskan untuk berangkat dengan kedua kakinya. Toh juga, ia tak sendiri. Di depannya ada seorang gadis yang berjalan ringan. Turun dari halte bus selepas berangkat bersama dirinya dari dalam kawasan komplek tempat mereka tinggal. Xena Ayudi Bridella. Awalnya menolaknya tentu. Xena tak ingin banyak mata memandang keduanya datang bersama. Malik mengusik ketenangannya sekarang. Xena sudah nyaman dengan kesehariannya. Berangkat dengan bus dan pulang dengan bus pula. Sendiri tak bersama siapapun!
"Xena ..." Malik memanggil. Mempercepat langkahnya untuk
Helaan napas keluar dari celah bibir merah mudanya. Ia menatap ujung sepatu gadis yang duduk rapi sembari merapatkan kedua kakinya untuk menahan udara yang membelai lembut permukaan betisnya. Gadis itu tak berucap sedikitpun. Ia masing memandangi apapun yang ada di depannya. Nanar lensa itu tegas ia berikan pada lalu lalang orang yang ada di depannya. Luka memar ada di sisi siku tangan kirinya saat ini. Seseorang baru saja membanting tubuhnya mengenai sisi aspal jalanan yang menjadi alas pijakannya kedua kakinya. Lagi, Malik datang untuk menyelematkan dirinya dari sang kakak kandung. Pria berengsek yang menjadi pencandu alkohol selama satu tahun terakhir ini. Hela bisa saja terluka lebih dari sekarang ini jika saja Malik tak datang dan melayangkan satu bogem mentah di sisi wajah tampannya tadi.Hela menghela napasnya kasar. Mulai menundukkan pandangannya ikut menatap gerakan kakinya yang kasar menggesek permukaan aspal di bawahnya."Lo harus lapor polisi. Kalau beg
"Bukankah itu Malik?" Seseorang menyela langkahnya. Gadis itu terhenti sejenak sembari menatap jauh ke tengah lapangan. Seorang remaja jangkung sedang berlari di sana. Ia mengintari setiap sisi lapangan berumput hijau sembari sesekali mengibaskan kerah bajunya sebab panas mulai dirasa menguasai di dalam diri."Dia sedang dihukum?" tanya seseorang melanjutkan. Sukses menarik pandangan Xena untuk kembali menatap paras cantiknya siang ini. Langkah keduanya terhenti. Sejenak sama-sama mengarahkan pandangan untuk menatap remaja jangkung itu."Sepertinya." Xena menyahut. Nada bicaranya ringan sedikit lirih. Tatapannya berubah. Tak lagi sayu nan teduh, terapi malas tak bermakna. Kembali gadis itu melangkahkan kakinya. Ia meninggalkan pemandangan yang sukses mencuri perhatian beberapa gadis sebaya dengannya itu. Pesona remaja tampan ada di tengah lapangan. Orang paling populer karena paras yang terlukis begitu sempurna sedang berada di tengah lapangan sekarang. Kerin
"Xena Ayudi Bridella adalah saudara tiri yang tinggal satu atap dengan Abian Malik Guinandra. Bukankah itu mengejutkan?" Seseorang berbisik. Melirik langkah gadis yang kini mulai memelan sebab rasa aneh mulai dirasa menyelimuti di dalam dirinya. Xena melirik semua orang yang ada di sekitarnya. Ia tak mengerti mengapa semua teman-temannya memberi tatapan aneh seperti itu. Jika hanya pasal dirinya dan Bara yang sudah meresmikan hubungannya pagi ini, itu akan terasa sangat aneh. Mereka tak berhak mencampuri urusannya."Xena Ayudi Bridella adalah saudara tiri dari Abian Malik Guinandra!" Seseorang berteriak lantang. Ia menarik pasangan semua mata agar tertuju pada gadis yang kini menghentikan langkahnya. Xena menoleh. Ia tajam memberi tatapan pada gadis berambut pendek sebahu yang baru saja menyebutkan namanya juga Malik. Dirinya sukses memancing fokus dan keributan di lorong sekolah siang ini."Benarkah!?" tanyanya menatap Xena dengan tajam. Sigap jari jemarinya m
Malik melempar kasar tas hitam yang sedari tadi menggantung di atas pundak lebarnya. Ia mendorong tubuh Bara untuk jatuh tersungkur di atas tanah. Tak ada yang bisa menjangkau keduanya sekarang ini. Tempat yang dipilihnya begitu strategis untuk menghabisi nyawa seseorang. Tak banyak orang berlalu lalang di lapangan tua sisi gang sempit yang ada di belakang sekolah mereka. Tempat ini ditinggalkan oleh semuanya selepas gedung-gedung bertingkat mulai indah menghiasi hiruk-pikuk Kota Jakarta sekarang ini. Malik bisa melakukan apapun yang ia inginkan. Mengerahkan semua tenaga dan keahliannya untuk menghabisi remaja sialan di depannya itu."Sekarang katakan semuanya!" Malik mulai menggebu-gebu. Ia menatap tajam remaja sebaya yang mulai bangkit selepas satu jejakan kaki mengotori seragam yang ia kenakan.Bara menyeringai. Ia menatap Malik dengan penuh teka teki. Remaja itu bodoh, ia terlalu lama dalam menyimpulkan situasi yang terjadi. Dirinya hanya pengecut murahan yang
Gerak sepasang kaki itu tak tegas membelah trotoar jalanan yang menjadi pihaknya sore ini. Tatapan Xena tak bisa benar-benar fokus pada satu objek saja. Sepasang bola mata indah itu terus saja menyapu setiap sisi jalan raya juga beberapa bangunan yang ada di samping kanan juga kirinya. Percayalah, Xena sudah mencoba membuat panggilan untuk saudara tirinya itu. Namun, hasilnya nihil tak ada jawaban sama sekali. Bahkan spam pesan yang ia kirimkan pada nomor yang sama itu tak mendapat satu balasan satu kata pun. Malik tak membaca pesannya. Satu pertanyaan sempat terlontar keluar dari celah bibir gadis itu perihal keberadaan Abian Malik Guinandra. Ia bertanya-tanya pada semua teman sekelas Malik untuk mendapat satu informasi yang menjadi pondasi dasar untuk mencari keberadaan remaja jangkung sialan itu. Seseorang hanya berkata, ia melihat Malik pergi dengan menarik kerah baju anak baru berwajah tampan, tetapi asing untuk dilihat. Kiranya mereka sedang berdebat sebelum menghila
Lo brengsek!" umpatnya menarik baju remaja yang kini dipaksa untuk bangkit dan berdiri dari posisinya."Kalian berdua benar-benar brengsek!" teriak Xena sembari mulai menahan air matanya. Ia tak kuasa menatap wajah Malik juga Bara yang penuh dengan luka memar dan darah segar dengan luka gores yang nyata adanya. Aksa benar, jika bukan Malik yang memang maka Bara adalah jagoannya.Gadis itu kini menundukkan pandangannya. Ia melemparkan tas hitam milik Bara yang dibawanya datang kemari tepat mengarah pada remaja jangkung yang masih duduk di sisi lapangan. Remaja itu tak banyak berkata apapun pada Xena. Ia hanya bisa menatap dengan tatapan sayu penuh makna. Gadis itu mulai terisak. Ia berjongkok sembari membenamkan wajahnya di sela-sela jajaran lututnya sekarang ini. Entah mengapa, bukannya lega melihat Malik dan Bara dalam keadaan hidup, Xena malah merasa aneh dengan perasaan yang mulai berkecamuk hebat saat ini. Ia ingin mengumpat pada semaunya. Aksa, Malik, da
Decitan suara besi tua terdengar samar masuk ke dalam pendengaran kedua remaja setara usia itu kala memutuskan untuk masuk ke dalam rumahnya. Halaman depan dengan tanah berumput hijau menyambut kedatangan Malik juga Xena yang baru saja melangkah kakinya kembali ke peraduan ternyaman mereka. Tatapan remaja jangkung itu mulai mengudara. Ia menatap lantai atas bagian rumahnya. Mencoba mengira-ngira apakah kedua orang tuanya sudah kembali senja ini. Jika mama dan papanya melihat wajah penuh luka milik Abian Malik Guinandra sore ini, maka habislah sudah riwayatnya. Dulu, Malik pernah pulang dengan wajah seperti ini. Remaja jangkung itu mendapatkan semua luka yang identik dengan sekarang sebab tempat yang sering ia kunjungi di akhir pekan, tinju ilegal. Kala itu Malik belum sepandai sekarang. Ia masih kaku dalam menggerakkan tangannya. Mengolah kekuatan dan emosi yang ada di dalam dirinya belum mampu ia lakukan dengan baik.Kali ini Malik bisa mengontrol dan mengatur semua itu
Segelas sirup dingin ia sajikan untuk tamunya sore ini. Seorang gadis yang sudah lama tak bersua dengannya baru saja datang menyambangi kediamannya dengan senyum hangat dan tatapan teduh tanda ada kebencian di dalam raut wajah cantiknya. Danita sudah lama tak berbicara dengan Xena. Bahkan katakan saja, ia menjauhi gadis itu selepas insiden Xena menarik tubuhnya kasar menjauh dari kerumunan dan memakinya habis-habisan. Semua atas dasar sebuah kesalahpahaman. Xena terlalu dalam merasakan emosi yang ada di dalam dirinya kala itu. Ia mengabaikan fakta bahwa tak ada bukti bahwa Danita yang sudah menyebarkan berita bohong itu. Semuanya adalah ulah dari Nara. Si gadis menyebalkan yang selalu saja membuat onar di dalam maupun di luar lingkungan sekolah."Katakan apa tujuan lo datang ke sini. Gue sama Xena mau istirahat di kamar." Suara berat menyela keheningan. Gadis itu menoleh tepat mengarah ke sumber suara. Malik ada di sana. Duduk di depan sebuah televisi besar sembari memangku ba
Ini bukan pertemuan mereka yang terakhir, itulah yang ingin Xena katakan lewat kehadiran dan tatapan matanya untuk Bara. Ia meminta polisi untuk menemui teman juga mantan kekasihnya itu. Perpisahan dan akhir sidang harus dirasakan dengan perasaan yang ikhlas dan lapang dada, Xena ingin memberikan kesan itu pada remaja yang baru saja meletakkan pantatnya di atas kursi. Bara tak berucap apapun. Ia terus memandang Xena. Wajahnya tak sesayu dan tatapannya tak senanar sebelumnya. Gadis itu lebih terlihat 'hidup' dengan polesan make up yang khas seorang Xena Ayudi Bridella. Suasana yang ia dapatkan dari Xena mulai kembali lagi."Kenapa lo menemui gue lagi?"Xena tersenyum manis. Ia meraih ujung jari Bara dengan perlahan-lahan. Remaja yang ada di depannya mulai menatap dengan aneh. Ia tak bergerak, terus mengikuti apa yang dilakukan Xena padanya sekarang. Gadis itu mulai menggenggam ujung jari-jari miliknya lalu menatap Bara dengan penuh kehangatan
"Pengadilan menyatakan terdakwa atas nama Haidar Bara Ivander terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan, penculikan dan penyekapan kelas ringan, serta penganiayaan kelas ringan. Untuk itu pengadilan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara 10 tahun ditambah dengan pidana penjara 2 tahun dan ditambah dengan pidana penjara 6 bulan. Menetapkan lamanya terdakwa di tahan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan selama 2 tahun mengingat usia terdakwa yang masih remaja. Pengadilan memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan dengan denda sekurang-kurangnya adalah 20 juta rupiah. Demikian putusan pengadilan ditetapkan."Ketokan palu terdengar begitu tegas menggema di ruangan. Remaja jangkung dengan pakaian khas seorang tahanan kota itu hanya bisa mengangguk. Tak ada yang disanggah. Pengacaranya pun nampak diam dan mulai pasrah. Tak perlu waktu yang lama, tak perlu drama ini itu untuk mengurung si iblis
Rumput hijau yang menyejukkan mata dan hati. Mendamaikan perasaan yang sedang riuh bergemuruh di dalam jiwa saat ini. Malik memutuskan untuk mengikuti setiap langkah yang diambil oleh Zain pagi ini. Ia ingin berbicara banyak dengan laki-laki yang sudah menjadi temannya itu. Ia tak benar-benar membenci Zain. Hanya saja, siapa dingin Zain padanya membuat Malik menjadi sedikit jauh dari temannya itu. Sebenarnya di dalam lubuk hati yang dalam, ia tak pernah menyimpan dendam untuk remaja berponi naik ini. Hanya saja, ia iba. Zain terlalu lama menyimpan rasa sakitnya sendirian. Selepas kematian Tara, remaja itu menjauhi Malik dan memutuskan untuk menghilang dari peredaran. Baru beberapa bulan yang lalu ia kembali datang dengan Aksa yang membawanya penuh luka dan darah segar yang mengalir dari beberapa bagian tubuhnya.Memang, permusuhan keduanya sedikit unik. Tak ada pertengkaran juga perkelahian. Malik selalu memaafkan bagaimana perilaku Zain padanya. Toh juga, ada a
Semilir hawa bayu mengiringi langkah keduanya membelah trotoar jalanan yang menjadi jalur utama untuk mereka saat ini. Jalanan Kota Jakarta yang ramai, padat, dan tak pernah sepi juga sela. Selepas keluar dari bangunan kantor polisi, keduanya kini memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak dan mampir ke sebuah tempat untuk menikmati liburnya hari ini. Tanggal merah, hari penting untuk negara. Namun, surganya bagi para pelajar. Mereka diberi jeda satu untuk merilekskan otak dan hati mereka. Menikmati suasana kota di pagi hari sampai senja datang menutup kisah nanti sore. Malik dan Xena merasakan semua itu. Sedikit demi sedikit perasaan yang mengganggu di dalam hati mereka mulai hilang begitu saja. Semua masalah yang datang mulai surut bak gelombang air laut di malam hati. Rasanya sedikit tenang, mereka bisa menjalani hidup sesuai dengan apa yang mereka inginkan saat ini. Menjalin hubungan sederhana dan mulai merajut kasih juga cinta untuk melalui masa muda. Malik
Malik menatap wajah wanita tua yang ada di depannya saat ini. Pandangan matanya terus saja tertuju pada Sarah yang baru saja datang menghadang langkahnya. Sepasang mata dengan lensa pekat itu mulai menatap sayu dan nanar wajah mantan anak tirinya itu. Penuh luka, identik dengan apa yang terjadi pada sang putri kemarin malam. Kata Xena selepas ia sukses membuat mamanya menangis dengan keadaan wajah dan tubuhnya yang kacau, ia melegakan hati wanita tua itu dengan mengatakan bahwa untung saja Malik datang menyelematkan Xena dari Bara. Katanya, juga. Malik terluka sama dengan apa yang dialami oleh Xena. Gadis itu juga mengimbuhkan kalau yang menghantar dirinya sampai gerbang depan malam-malam begini adalah Abian Malik Guinandra, tetapi kala disuruh mampir untuk mengobati lukanya, Malik menolak. Alasannya hanya satu, ia tak mau membuat Sarah kembali kacau dengan dua luka di dalam hatinya selepas mendapatkan dua putra dan putrinya pulang dalam keadaan seperti itu. Toh juga ada papanya di
Bara mengetukkan ujung jari jemarinya di atas meja kayu yang ada di sisinya. Ia bersandar tepat di atas kursi sembari menyilangkan kaki dan menatap ke arah gadis yang masih tak sadarkan diri selepas ia menyiksanya habis-habisan. Bara memukul wajah Xena. Sisi bibir gadis itu tergores dengan darah yang mulai mengering. Ujung matanya lebam selepas Bara melayangkan tinju ringan kala sang gadis terus saja mengumpat padanya. Xena mengejutkan. Jujur saja, Bara tak tahu kalau gadis itu bisa setangguh ini dengan penampilan dan tatapan wajah dan polos. Kala dirinya mendorong Xena masuk ke dalam gudang sekolah dan menutup pintunya dengan rapat. Xena bahkan mulai bergeming di tempatnya dengan terus menatapnya menggunakan tatapan tajam penuh amarah. Bara menampar wajahnya lalu mendorong tubuh Xena hingga jatuh terantuk sisi meja rusak di belakang tubuh gadis itu. Darah mengalir dari sisi sikunya dan luka lecet datang selepas paku berkarat tak sengaja menyentuh permukaan lengannya.
Fajar menyingsing dari ufuk timur. Sinarnya tegas menghantam permukaan bumi dan mencoba menghangatkan komponen yang ada di bawahnya saat ini. Gadis yang sudah berdiri di depan papan pengumuman besar di sekolahnya itu tak pernah menyangka dan mengira-ngira sebelumnya. Ia mendapatkan sebuah undangan kematian yang datang dari teman dekatnya. Seisi sekolah mulai membicarakan kematian Nara yang terkesan mendadak. Bukan hanya Xena yang terkejut. Akan tetapi, hampir seluruh penghuni sekolah. Bahkan guru-guru juga mulai memberitakan kabar ini dengan bumbu yang membuat suasana sedikit tegang. Kisahnya hari ini mungkin tak akan berakhir baik. Setiap sudut sekolah yang punya Mading besar seperti ini, akan menampilkan wajah Nara dengan pita kuning di atasnya. Ucapan bela sungkawa datang kemudian. Mereka meninggal 'note' yang mereka tempelkan di sisi undangan untuk mengirim doa pada teman mereka yang sudah berpulang ke pangkuan yang maha kuasa. "Bagaimana ini ... gue bahkan berbicara den
Sirine mobil polisi meraung-raung di udara. Membawa sebuah duka di setiap lajunya beberapa saat yang lalu. Ambulan mengikuti, mayat gadis malang turun dari sana dengan keadaan sudah terbungkus oleh kain putih. Seorang remaja jangkung mengiringi masuk ke dalam bangunan kepolisian. Mayat itu akan disimpan di dalam ruangan mayat tempat beberapa korban pembunuhan lainnya berada hingga polisi menyelesaikan penyelidikannya besok pagi. Suasana sudah kacau dengan Aksa yang tak lagi kuasa untuk mengiringi kepergian gadis yang ia cintai. Nara adalah cinta pertama yang ada di dalam hatinya. Gadis itu adalah satu-satunya gadis yang bisa menyentuh lubuk hatinya paling dalam. Belum juga menyatakan perasaannya dengan resmi, ajal sudah menjemputnya dengan tragis. Aksa tak bisa berkata apapun lagi. Semua yang ada di depan matanya bak sebuah mimpi buruk yang harus ia lalui seorang diri.--ia membenci kisah malam ini!"Aksa ... kita cari tempat duduk
Langkah kakinya tegas membelah rerumputan hijau yang ada di bawah pijakan kaki remaja jangkung itu sekarang ini. Gelap terasa, sedikit sunyi sebab tak ada yang datang untuk bertamu dan menyambangi rumah tua itu sekarang. Semua benar-benar terasa sepi bak rumah hantu yang sengaja dijauhi oleh para masyarakat dan warga setempat. Bukan, bukannya di sisihkan dari kota. Bukan juga dijauhi orang-orang, beginilah suasana rumah Nara kalau malam tiba dengan kerikan jangkrik yang khas menghiasi suasana malam. Tak ada hujan, tak mendung dengan langit berbintang di atas sana. Kiranya, sambutan yang baik selepas Aksa memutuskan untuk memungkaskan perkejaan paruh waktu yang ia lakukan dan mulai menatap langit di atasnya.Ada satu alasan yang membuat dirinya datang ke tempat ini lagi. Tak penting jika ia menceritakan alasannya datang kemari pada orang-orang yang tak mengenal Nara dengan baik. Namun, baginya ini sangat penting. Kala keluar dari minimarket tempatnya bekerj