"Lo percaya kalau gue bilang Bara yang membunuh Tara?" Malik mulai mengimbuhkan. Melirik gadis yang terdiam sembari menatap awan hitam di atasnya. Bintang mulai redup, bukan menghilang. Namun, tertutup oleh awan hitam di atas sana. Malam ini mendung datang. Bersama ribuan rasa yang tak tenang, Xena menatap jauh di angkasa lepas. Ia tak bisa mempercayai siapa untuk sekarang, bahkan seorang Abian Malik Guinandra pun. Semua tersangka akan membela posisi mereka sendiri bukan? Ya, tak ada tersangka yang berteriak dan mengatakan bahwa dirinya adalah seorang pembunuh.
Xena menghela napasnya. Pandangannya turun seiring dengan tetes hujan yang mulai datang membasahi bumi malam ini. Suara rintikan itu kian tegas. Hawa dingin datang bersama angin basah sebab hujan mulai benar-benar menampakkan kehadirannya. Gadis itu menghela napasnya. Semesta seakan tahu bagaimana caranya masuk ke dalam sebuah suasana. Ia ikut menangis bersama hati Xena malam ini. Jujur saja, Xena tak pernah menya
Suasana sedikit ramai. Jalanan Kota Jakarta memang tak pernah mati dengan aktivitas para manusia. Tempat ini begitu terlihat padat terkadang sumpek dan berdesak. Polusi udara sudah menyambut kalau fajar datang. Sinarnya hangat, terkadang terasa membakar di permukaan kulit. Abian Malik Guinandra, sengaja meninggalkan moge kesayangan di dalam bagasi rumah. Ia tak ingin menggunakan kuda besi kesayangan itu. Malik kali ini berjalan dan memutuskan untuk berangkat dengan kedua kakinya. Toh juga, ia tak sendiri. Di depannya ada seorang gadis yang berjalan ringan. Turun dari halte bus selepas berangkat bersama dirinya dari dalam kawasan komplek tempat mereka tinggal. Xena Ayudi Bridella. Awalnya menolaknya tentu. Xena tak ingin banyak mata memandang keduanya datang bersama. Malik mengusik ketenangannya sekarang. Xena sudah nyaman dengan kesehariannya. Berangkat dengan bus dan pulang dengan bus pula. Sendiri tak bersama siapapun!"Xena ..." Malik memanggil. Mempercepat langkahnya untuk
Helaan napas keluar dari celah bibir merah mudanya. Ia menatap ujung sepatu gadis yang duduk rapi sembari merapatkan kedua kakinya untuk menahan udara yang membelai lembut permukaan betisnya. Gadis itu tak berucap sedikitpun. Ia masing memandangi apapun yang ada di depannya. Nanar lensa itu tegas ia berikan pada lalu lalang orang yang ada di depannya. Luka memar ada di sisi siku tangan kirinya saat ini. Seseorang baru saja membanting tubuhnya mengenai sisi aspal jalanan yang menjadi alas pijakannya kedua kakinya. Lagi, Malik datang untuk menyelematkan dirinya dari sang kakak kandung. Pria berengsek yang menjadi pencandu alkohol selama satu tahun terakhir ini. Hela bisa saja terluka lebih dari sekarang ini jika saja Malik tak datang dan melayangkan satu bogem mentah di sisi wajah tampannya tadi.Hela menghela napasnya kasar. Mulai menundukkan pandangannya ikut menatap gerakan kakinya yang kasar menggesek permukaan aspal di bawahnya."Lo harus lapor polisi. Kalau beg
"Bukankah itu Malik?" Seseorang menyela langkahnya. Gadis itu terhenti sejenak sembari menatap jauh ke tengah lapangan. Seorang remaja jangkung sedang berlari di sana. Ia mengintari setiap sisi lapangan berumput hijau sembari sesekali mengibaskan kerah bajunya sebab panas mulai dirasa menguasai di dalam diri."Dia sedang dihukum?" tanya seseorang melanjutkan. Sukses menarik pandangan Xena untuk kembali menatap paras cantiknya siang ini. Langkah keduanya terhenti. Sejenak sama-sama mengarahkan pandangan untuk menatap remaja jangkung itu."Sepertinya." Xena menyahut. Nada bicaranya ringan sedikit lirih. Tatapannya berubah. Tak lagi sayu nan teduh, terapi malas tak bermakna. Kembali gadis itu melangkahkan kakinya. Ia meninggalkan pemandangan yang sukses mencuri perhatian beberapa gadis sebaya dengannya itu. Pesona remaja tampan ada di tengah lapangan. Orang paling populer karena paras yang terlukis begitu sempurna sedang berada di tengah lapangan sekarang. Kerin
"Xena Ayudi Bridella adalah saudara tiri yang tinggal satu atap dengan Abian Malik Guinandra. Bukankah itu mengejutkan?" Seseorang berbisik. Melirik langkah gadis yang kini mulai memelan sebab rasa aneh mulai dirasa menyelimuti di dalam dirinya. Xena melirik semua orang yang ada di sekitarnya. Ia tak mengerti mengapa semua teman-temannya memberi tatapan aneh seperti itu. Jika hanya pasal dirinya dan Bara yang sudah meresmikan hubungannya pagi ini, itu akan terasa sangat aneh. Mereka tak berhak mencampuri urusannya."Xena Ayudi Bridella adalah saudara tiri dari Abian Malik Guinandra!" Seseorang berteriak lantang. Ia menarik pasangan semua mata agar tertuju pada gadis yang kini menghentikan langkahnya. Xena menoleh. Ia tajam memberi tatapan pada gadis berambut pendek sebahu yang baru saja menyebutkan namanya juga Malik. Dirinya sukses memancing fokus dan keributan di lorong sekolah siang ini."Benarkah!?" tanyanya menatap Xena dengan tajam. Sigap jari jemarinya m
Malik melempar kasar tas hitam yang sedari tadi menggantung di atas pundak lebarnya. Ia mendorong tubuh Bara untuk jatuh tersungkur di atas tanah. Tak ada yang bisa menjangkau keduanya sekarang ini. Tempat yang dipilihnya begitu strategis untuk menghabisi nyawa seseorang. Tak banyak orang berlalu lalang di lapangan tua sisi gang sempit yang ada di belakang sekolah mereka. Tempat ini ditinggalkan oleh semuanya selepas gedung-gedung bertingkat mulai indah menghiasi hiruk-pikuk Kota Jakarta sekarang ini. Malik bisa melakukan apapun yang ia inginkan. Mengerahkan semua tenaga dan keahliannya untuk menghabisi remaja sialan di depannya itu."Sekarang katakan semuanya!" Malik mulai menggebu-gebu. Ia menatap tajam remaja sebaya yang mulai bangkit selepas satu jejakan kaki mengotori seragam yang ia kenakan.Bara menyeringai. Ia menatap Malik dengan penuh teka teki. Remaja itu bodoh, ia terlalu lama dalam menyimpulkan situasi yang terjadi. Dirinya hanya pengecut murahan yang
Gerak sepasang kaki itu tak tegas membelah trotoar jalanan yang menjadi pihaknya sore ini. Tatapan Xena tak bisa benar-benar fokus pada satu objek saja. Sepasang bola mata indah itu terus saja menyapu setiap sisi jalan raya juga beberapa bangunan yang ada di samping kanan juga kirinya. Percayalah, Xena sudah mencoba membuat panggilan untuk saudara tirinya itu. Namun, hasilnya nihil tak ada jawaban sama sekali. Bahkan spam pesan yang ia kirimkan pada nomor yang sama itu tak mendapat satu balasan satu kata pun. Malik tak membaca pesannya. Satu pertanyaan sempat terlontar keluar dari celah bibir gadis itu perihal keberadaan Abian Malik Guinandra. Ia bertanya-tanya pada semua teman sekelas Malik untuk mendapat satu informasi yang menjadi pondasi dasar untuk mencari keberadaan remaja jangkung sialan itu. Seseorang hanya berkata, ia melihat Malik pergi dengan menarik kerah baju anak baru berwajah tampan, tetapi asing untuk dilihat. Kiranya mereka sedang berdebat sebelum menghila
Lo brengsek!" umpatnya menarik baju remaja yang kini dipaksa untuk bangkit dan berdiri dari posisinya."Kalian berdua benar-benar brengsek!" teriak Xena sembari mulai menahan air matanya. Ia tak kuasa menatap wajah Malik juga Bara yang penuh dengan luka memar dan darah segar dengan luka gores yang nyata adanya. Aksa benar, jika bukan Malik yang memang maka Bara adalah jagoannya.Gadis itu kini menundukkan pandangannya. Ia melemparkan tas hitam milik Bara yang dibawanya datang kemari tepat mengarah pada remaja jangkung yang masih duduk di sisi lapangan. Remaja itu tak banyak berkata apapun pada Xena. Ia hanya bisa menatap dengan tatapan sayu penuh makna. Gadis itu mulai terisak. Ia berjongkok sembari membenamkan wajahnya di sela-sela jajaran lututnya sekarang ini. Entah mengapa, bukannya lega melihat Malik dan Bara dalam keadaan hidup, Xena malah merasa aneh dengan perasaan yang mulai berkecamuk hebat saat ini. Ia ingin mengumpat pada semaunya. Aksa, Malik, da
Decitan suara besi tua terdengar samar masuk ke dalam pendengaran kedua remaja setara usia itu kala memutuskan untuk masuk ke dalam rumahnya. Halaman depan dengan tanah berumput hijau menyambut kedatangan Malik juga Xena yang baru saja melangkah kakinya kembali ke peraduan ternyaman mereka. Tatapan remaja jangkung itu mulai mengudara. Ia menatap lantai atas bagian rumahnya. Mencoba mengira-ngira apakah kedua orang tuanya sudah kembali senja ini. Jika mama dan papanya melihat wajah penuh luka milik Abian Malik Guinandra sore ini, maka habislah sudah riwayatnya. Dulu, Malik pernah pulang dengan wajah seperti ini. Remaja jangkung itu mendapatkan semua luka yang identik dengan sekarang sebab tempat yang sering ia kunjungi di akhir pekan, tinju ilegal. Kala itu Malik belum sepandai sekarang. Ia masih kaku dalam menggerakkan tangannya. Mengolah kekuatan dan emosi yang ada di dalam dirinya belum mampu ia lakukan dengan baik.Kali ini Malik bisa mengontrol dan mengatur semua itu