Malik melempar kasar tas hitam yang sedari tadi menggantung di atas pundak lebarnya. Ia mendorong tubuh Bara untuk jatuh tersungkur di atas tanah. Tak ada yang bisa menjangkau keduanya sekarang ini. Tempat yang dipilihnya begitu strategis untuk menghabisi nyawa seseorang. Tak banyak orang berlalu lalang di lapangan tua sisi gang sempit yang ada di belakang sekolah mereka. Tempat ini ditinggalkan oleh semuanya selepas gedung-gedung bertingkat mulai indah menghiasi hiruk-pikuk Kota Jakarta sekarang ini. Malik bisa melakukan apapun yang ia inginkan. Mengerahkan semua tenaga dan keahliannya untuk menghabisi remaja sialan di depannya itu.
"Sekarang katakan semuanya!" Malik mulai menggebu-gebu. Ia menatap tajam remaja sebaya yang mulai bangkit selepas satu jejakan kaki mengotori seragam yang ia kenakan.
Bara menyeringai. Ia menatap Malik dengan penuh teka teki. Remaja itu bodoh, ia terlalu lama dalam menyimpulkan situasi yang terjadi. Dirinya hanya pengecut murahan yang
Gerak sepasang kaki itu tak tegas membelah trotoar jalanan yang menjadi pihaknya sore ini. Tatapan Xena tak bisa benar-benar fokus pada satu objek saja. Sepasang bola mata indah itu terus saja menyapu setiap sisi jalan raya juga beberapa bangunan yang ada di samping kanan juga kirinya. Percayalah, Xena sudah mencoba membuat panggilan untuk saudara tirinya itu. Namun, hasilnya nihil tak ada jawaban sama sekali. Bahkan spam pesan yang ia kirimkan pada nomor yang sama itu tak mendapat satu balasan satu kata pun. Malik tak membaca pesannya. Satu pertanyaan sempat terlontar keluar dari celah bibir gadis itu perihal keberadaan Abian Malik Guinandra. Ia bertanya-tanya pada semua teman sekelas Malik untuk mendapat satu informasi yang menjadi pondasi dasar untuk mencari keberadaan remaja jangkung sialan itu. Seseorang hanya berkata, ia melihat Malik pergi dengan menarik kerah baju anak baru berwajah tampan, tetapi asing untuk dilihat. Kiranya mereka sedang berdebat sebelum menghila
Lo brengsek!" umpatnya menarik baju remaja yang kini dipaksa untuk bangkit dan berdiri dari posisinya."Kalian berdua benar-benar brengsek!" teriak Xena sembari mulai menahan air matanya. Ia tak kuasa menatap wajah Malik juga Bara yang penuh dengan luka memar dan darah segar dengan luka gores yang nyata adanya. Aksa benar, jika bukan Malik yang memang maka Bara adalah jagoannya.Gadis itu kini menundukkan pandangannya. Ia melemparkan tas hitam milik Bara yang dibawanya datang kemari tepat mengarah pada remaja jangkung yang masih duduk di sisi lapangan. Remaja itu tak banyak berkata apapun pada Xena. Ia hanya bisa menatap dengan tatapan sayu penuh makna. Gadis itu mulai terisak. Ia berjongkok sembari membenamkan wajahnya di sela-sela jajaran lututnya sekarang ini. Entah mengapa, bukannya lega melihat Malik dan Bara dalam keadaan hidup, Xena malah merasa aneh dengan perasaan yang mulai berkecamuk hebat saat ini. Ia ingin mengumpat pada semaunya. Aksa, Malik, da
Decitan suara besi tua terdengar samar masuk ke dalam pendengaran kedua remaja setara usia itu kala memutuskan untuk masuk ke dalam rumahnya. Halaman depan dengan tanah berumput hijau menyambut kedatangan Malik juga Xena yang baru saja melangkah kakinya kembali ke peraduan ternyaman mereka. Tatapan remaja jangkung itu mulai mengudara. Ia menatap lantai atas bagian rumahnya. Mencoba mengira-ngira apakah kedua orang tuanya sudah kembali senja ini. Jika mama dan papanya melihat wajah penuh luka milik Abian Malik Guinandra sore ini, maka habislah sudah riwayatnya. Dulu, Malik pernah pulang dengan wajah seperti ini. Remaja jangkung itu mendapatkan semua luka yang identik dengan sekarang sebab tempat yang sering ia kunjungi di akhir pekan, tinju ilegal. Kala itu Malik belum sepandai sekarang. Ia masih kaku dalam menggerakkan tangannya. Mengolah kekuatan dan emosi yang ada di dalam dirinya belum mampu ia lakukan dengan baik.Kali ini Malik bisa mengontrol dan mengatur semua itu
Segelas sirup dingin ia sajikan untuk tamunya sore ini. Seorang gadis yang sudah lama tak bersua dengannya baru saja datang menyambangi kediamannya dengan senyum hangat dan tatapan teduh tanda ada kebencian di dalam raut wajah cantiknya. Danita sudah lama tak berbicara dengan Xena. Bahkan katakan saja, ia menjauhi gadis itu selepas insiden Xena menarik tubuhnya kasar menjauh dari kerumunan dan memakinya habis-habisan. Semua atas dasar sebuah kesalahpahaman. Xena terlalu dalam merasakan emosi yang ada di dalam dirinya kala itu. Ia mengabaikan fakta bahwa tak ada bukti bahwa Danita yang sudah menyebarkan berita bohong itu. Semuanya adalah ulah dari Nara. Si gadis menyebalkan yang selalu saja membuat onar di dalam maupun di luar lingkungan sekolah."Katakan apa tujuan lo datang ke sini. Gue sama Xena mau istirahat di kamar." Suara berat menyela keheningan. Gadis itu menoleh tepat mengarah ke sumber suara. Malik ada di sana. Duduk di depan sebuah televisi besar sembari memangku ba
"Kamu yang membuat artikel itu? Tentang Xena dan Malik?" Cecar pertanyaan terus saja menghujani Daffa Kailin Lim. Remaja itu hanya bisa diam menatap sang kekasih dengan nanar. Ponselnya ada di dalam genggaman Nea sekarang ini. Ia bodoh, seharusnya Daffa tak meninggalkan benda pribadi itu sembarangan. Bisa-bisanya ia melupakan benda itu di ruang OSIS. Membuat seseorang memberikannya pada Nea sebab tak kunjung bertemu dengan Daffa. Pesan masuk. Seseorang mengirimi Daffa sebuah pesan singkat dengan memberitahu bahwa postingan sudah berhasil dibuat. Menumbuhkan banyak mata yang memandang juga komentar menggila pasal Xena dan juga Malik. Tak semuanya menerima itu dengan muda. Malik dan Xena sudah membohongi semua orang. Bukan hanya separuh, tetapi seluruh penghuni sekolah elit ini."Kamu tega melakukannya pada Xena?" tanya Nea kembali mengimbuhkan. Ia kini memberi sebuah pandangan sayu untuk remaja yang hanya bisa menghela napasnya dan menganggukkan kepalanya ringan.
Petang memulai tugas. Datang bersama langit gelap tak bertabur bintang tanpa kehadiran sang dewi malam. Rembulan hari ini absen dalam bertugas, tak ada yang berniat menghias langit gelap di luar sana. Gadis itu kini berjalan ragu. Memasuki area pribadi milik si saudara tiri. Ada Abian Malik Guinandra di depan jendela balkon rumahnya. ia memandang langit gelap sembari sekali terlihat mendesah kasar menutup hari dengan sedikit gusar. Halaman rumah mewah yang ada di bawahnya dengan lampu taman indah menghias sesekali menjadi objek pengalih pandangannya untuk tak terus menatap bentangan cakrawala di atas sana. Ia mulai lirih mengetuk sisi meja kayu untuk memberi isyarat pada Malik menoleh dan menyambut kedatangannya malam ini.Bukan tanpa alasan Xena datang, kalau hanya pasal kesepian aja gadis itu bisa melakukan hal yang lebih berguna dari pada harus menyambangi kamar pribadi milik Abian Malik Guinandra. Xena membenci suasana kotor dan aroma tak sedap ini. Malik bena
Xena menghela napasnya singkat. Ia menyandarkan kepalanya tepat di atas meja kayu yang ada di sudut ruang kamarnya. Matanya fokus menatap pintu kamar mandi pribadinya yang masih tertutup rapat dengan suara gemericik air yang mengalir jatuh mengenai permukaan lantai kamar mandi. Senandung ringan suara yang samar, tetapi sedikit merdu kalau di dengarkan dengan baik. Seorang remaja menyewa kamar mandi pribadi bermenit-menit lamanya. Ia membayar dengan sebuah janji akan mengajak gadis itu berjalan-jalan ria sembari membeli album penyanyi Korea yang amat digemari oleh Xena. Alasannya tak lain tak bukan adalah sebab bak kamar mandi di dalam kamarnya kotor. Malik enggan membersihkan itu sendiri pagi-pagi begini. Itu sebabnya ia datang ke dalam kamar Xena dan membangunkan gadis malas itu kalau akhir pekan begini.Sialnya, Malik kembali melihat muka bantalnya yang begitu jelek dan menjijikan. Rambut singa itu menghias di atas kepalanya. Namun, mau bagaimana lagi? K
Malik menatapnya dengan penuh ketidaksukaan akan kehadiran remaja jangkung sialan satu ini. Aksa tak pantas menginjakkan kakinya di halaman rumah mewah tempat dirinya dan Xena tinggal. Bertamu? Bahkan hanya untuk datang tak sengaja saja, Malik tak akan pernah sudi untuk menyambut orang satu ini. Memang, ia pernah mengatakan bahwa Aksa bukan seperti Bara dan Zain. Remaja satu ini punya sebuah keunikan yang tak pernah dimiliki oleh orang lain. Di dalam hatinya, ia sedang sakit. Pikirannya kalut dengan batin yang semrawut. Aksa memang terlihat kokoh dan tegar. Tubuhnya jangkung dengan perawakan yang besar layaknya seseorang yang suka berolahraga di pusat kebugaran. Bukan, ia bukan orang yang seperti itu. Fisiknya ia dapatkan sebab Aksa adalah rajanya orang-orang berandal. Ia hanya tau bagaimana memukul dan menghakimi orang lain dengan brutal. Ia bahkan hampir membunuh Zain kala itu jika saja Malik tak datang dan melerai keduanya."Katakan tujuan lo dan pergi