Bukan tanpa alasan Xena datang, kalau hanya pasal kesepian aja gadis itu bisa melakukan hal yang lebih berguna dari pada harus menyambangi kamar pribadi milik Abian Malik Guinandra. Xena membenci suasana kotor dan aroma tak sedap ini. Malik bena
Xena menghela napasnya singkat. Ia menyandarkan kepalanya tepat di atas meja kayu yang ada di sudut ruang kamarnya. Matanya fokus menatap pintu kamar mandi pribadinya yang masih tertutup rapat dengan suara gemericik air yang mengalir jatuh mengenai permukaan lantai kamar mandi. Senandung ringan suara yang samar, tetapi sedikit merdu kalau di dengarkan dengan baik. Seorang remaja menyewa kamar mandi pribadi bermenit-menit lamanya. Ia membayar dengan sebuah janji akan mengajak gadis itu berjalan-jalan ria sembari membeli album penyanyi Korea yang amat digemari oleh Xena. Alasannya tak lain tak bukan adalah sebab bak kamar mandi di dalam kamarnya kotor. Malik enggan membersihkan itu sendiri pagi-pagi begini. Itu sebabnya ia datang ke dalam kamar Xena dan membangunkan gadis malas itu kalau akhir pekan begini.Sialnya, Malik kembali melihat muka bantalnya yang begitu jelek dan menjijikan. Rambut singa itu menghias di atas kepalanya. Namun, mau bagaimana lagi? K
Malik menatapnya dengan penuh ketidaksukaan akan kehadiran remaja jangkung sialan satu ini. Aksa tak pantas menginjakkan kakinya di halaman rumah mewah tempat dirinya dan Xena tinggal. Bertamu? Bahkan hanya untuk datang tak sengaja saja, Malik tak akan pernah sudi untuk menyambut orang satu ini. Memang, ia pernah mengatakan bahwa Aksa bukan seperti Bara dan Zain. Remaja satu ini punya sebuah keunikan yang tak pernah dimiliki oleh orang lain. Di dalam hatinya, ia sedang sakit. Pikirannya kalut dengan batin yang semrawut. Aksa memang terlihat kokoh dan tegar. Tubuhnya jangkung dengan perawakan yang besar layaknya seseorang yang suka berolahraga di pusat kebugaran. Bukan, ia bukan orang yang seperti itu. Fisiknya ia dapatkan sebab Aksa adalah rajanya orang-orang berandal. Ia hanya tau bagaimana memukul dan menghakimi orang lain dengan brutal. Ia bahkan hampir membunuh Zain kala itu jika saja Malik tak datang dan melerai keduanya."Katakan tujuan lo dan pergi
Xena menatap batu nisan yang ada di depannya dengan tatapan sayu. Sesekali gadis cantik itu melirik remaja jangkung yang berdiri sembari memasukkan kedua tangannya masuk ke dalam saku celana panjang ia kenakan. Helaan napas ringan muncul. Namun, suara tak kunjung ada dan memecah keheningan yang ada. Semilir hawa bayu mengiringi dedaunan kering yang menjadi alas pijakannya saat ini. Rumput liar ada di beberapa sudut nisan yang ada di bawah pandangannya saat ini. Kiranya, Xena bisa menebak dengan baik kalau siapapun jasad yang terpendam di bawahnya baru saja meninggal beberapa bulan atau satu tahun terakhir ini. Semua yang ada dan tertangkap oleh sepasang netranya masih terlihat baru dan terawat dengan benar. Sebuah nama asing dengan tanggal kematian yang samar terlihat, gadis itu tak mau fokus pada siapa yang ada di bawah sana. Xena memilih menatap Aksa yang terdiam dengan kedua alis yang terkulai turun ke bawah. Wajahnya sedih, tak seperti kala ia 'menyeret' Xena untuk
Suasana yang khas. Sebuah kafe murah dengan menu yang mewah. Andalan anak muda kalau waktu luang mengapa. Mereka akan datang kemari membawa pasangan, sahabat, atau kalau sedang susah hatinya maka datang seorang diri. Dua porsi pizza daging dengan segelas cola float dipesan Xena untuk menemani "kencan butanya" kali ini. Ia duduk berhadapan dengan remaja tampan yang sedikit asing untukku. Aksa sedikit berbeda. Ia tak datang dengan jaket kulit dan celana jeans yang robek-robek. Ia tak tersenyum seringai dengan luka di sisi bibirnya. Xena mulai mengerti, ini adalah hari peringatan kematian seseorang yang amat ia cintai di dalam hidupnya. Pengganti orang tua yang tak pernah ia miliki selama ini. Ibu panti itu adalah orang baik yang sudah menghidupi dirinya sampai sebesar ini.Xena meliriknya. Ia tersenyum tipis kala Aksa mulai memakan pizza daging yang dibeli olehnya beberapa saat yang lalu. Lahap dan sedikit lucu. Ia tak tahu kalau remaja berandalan seperti Ak
Tak ada cahaya yang menyala-nyala di dalam pandangan gadis manis berambut pendek itu. Ia hanya terus menatap lurus ke depan sembari terus menghela napasnya tanda tak baik hatinya pagi ini. Nena Oktaviana, si gadis baik dengan wajah cantik dan tatapan polos itu datang tak seperti biasanya. Ia tak tersenyum, dirinya juga tak ceria dengan logat bak orang sedang terkena penyakit pagi ini. Fisiknya baik-baik saja, maka Xena akan menebak kalau hatinya sedang gundah, gulana, dan gelisah. Pasal Daffa Kailin Lim tentunya.Dua pandangan mengarah pada gadis baik yang ada di sisi Xena. Nea mengabaikan fakta bahwa ada dua sahabatnya sekarang ini. Sejak pagi ia bahkan tak berminat untuk berbicara juga menyapa atau membalas sapaan yang diberikan padanya. Jika Xena bisa menebak, maka seorang gadis menggoda kekasihnya itu. Nea adalah tipe gadis baik yang suka mencemburui sang kekasih. Alasannya tak lain tak bukan bahwa Daffa Kailin Lim adalah miliknya! Pasal benda dan uang mungkin Nea a
Semilir hawa bayu membelai lembut setiap bagian tubuh dua gadis yang tak saling menatap satu sama lain. Mereka melempar pandangan untuk menatap apa-apa saja yang ada di depannya. Lalu lalang teman-teman dengan seragam sama menjadi pusat perhatian untuk Xena maupun Nea kali ini, dua gadis baik yang sedang tak saling cocok satu sama lain. Xena menganggap semuanya terjadi sebab sebuah siklus hubungan dua manusia memang begitu. Ada kalanya cinta menggebu-gebu, ada kalanya itu berubah menjadi abu lalu disapu oleh embusan bayu yang berlalu. Waktu yang mengatur semua itu. Manusia tak bisa berbuat banyak kalau Tuhan sudah menentukan, semesta sudah melukiskan, dan waktu sudah menamatkan. Hanya bisa mengikuti alur juga garis dan arus waktu yang bergulir. Namun, perasaan itu adalah milik Nea dan Daffa Kailin Lim. Xena tak bisa memahaminya dengan benar. Ia tak pernah terlibat hubungan percintaan dengan seorang laki-laki sebelumnya. Baru kali ini, Bara resmi menjadi kekasihnya. Bukan menetap di
Sore datang dengan semilir bayu yang nyaman berembus membelai permukaan kulit dua remaja yang kini berjalan tegas membelah padatnya jalanan kota. Tujuan utama Xena dan Bara adalah halte bus yang ada di depan sana. Mereka akan pulang ke rumah masing-masing dengan alasan sebab sekolah sudah usai. Waktunya bersantai ria dengan canda tawa bersama keluarga tercinta. Bara menghantar sang kekasih untuk datang ke halte bus. Ia tak perlu menaiki bus dari halte ini, tempatnya berbeda. Bara tak bisa pulang dengan jalur yang sama dengan Xena. Namun, ia kokoh dalam pendiriannya. Bara tak akan meninggalkan Xena sebelum bus kota menjemput gadis itu. Ia harus memastikan kalau Xena dalam keadaan baik-baik saja."Lo bisa balik sekarang. Gue akan nunggu bus sendirian." Gadis itu menyela keheningan kala langkah mereka sudah mendekat pada bangunan halte yang ada di depannya. Ia melirik remaja jangkung yang tak acuh dengan kalimatnya. Bara bukan tak mendengar, ia sengaja tak mau mempedulikan
Langkah kaki itu tegas membelah padatnya trotoar jalanan. Senja mulai surut dengan sinar jingga yang sudah tak ada lagi. Malam datang. Langit sedikit mendung dengan suasana gelap sebab bintang dan rembulan sungguh malu untuk menampakkan dirinya malam ini. Mereka bersembunyi di balik gumpalan awan hitam yang berarak mengikuti langkah gadis cantik yang terus saja berjalan tanpa arah dan tujuan yang benar adanya. Ia kalut, bukan sebab masalah besar melandanya malam ini. Xena hanya tak ingin kembali ke rumah dalam keadaan hati yang tak baik. Ia butuh sebuah hiburan untuk mengembalikan mood-nya seperti sebelum dirinya berbicara dengan Nea, si sahabat dekat.Kalimat yang keluar dari celah bibir gadis cantik itu sukses membuat Xena tak bisa berkata apa-apa lagi. Mendengar Daffa memutuskan dirinya hanya sebab mencintai Xena Ayudi Bridella ketimbang Nea Oktaviana sungguh membuat batinnya terguncang. Ia tak ingin munafik, rasa lega dan bahagia sempat menghampiri Xena selepas mend