Share

Bab 5 Trauma

Nila menoleh ke belakang, karena terkejut saat pintu kamar itu tertutup dengan sendirinya.

"Perasaan barusan anginnya biasa saja," batin Nila. Namun dengan cepat ia mengabaikannya.

"Sudah selesai mandinya? Ayo kita makan!" seru Nila menghampiri Wira di dalam kamar mereka.

"Sudah, ayo!" sahut Wira.

Mereka berdua yang semula berada di kamar depan, kemudian berjalan ke ruangan tengah. Mereka berdua segera makan malam, sebelum beristirahat.

"Tadi Aa ketemu sama Mama kamu di jalan." Wira membuka obrolan disela-sela mereka makan.

"Oh ya? Terus gimana Rekasi Mama? Apa dia nanyain kabar aku?" tanya Nila. Walaupun Retna telah mengusirnya, namun tidak dipungkiri Nila sangat merindukannya, walaupun baru beberapa hari mereka tidak berkomunikasi dan bertemu.

"Masih sama, Neng. Bahkan Aa saja yang mau menyalaminya, Mama malah menepis tangan Aa. Tapi tidak apa-apa, kita berdoa saja semoga Mama dibukakan hatinya. Kita buktikan sama Mama, kita bisa hidup bahagia," jawab Wira.

Hati Nila mencelos, segitu bencinya sang ibu terhadap Wira.

"Jangan sedih, aku akan berusaha membahagiakanmu. Semoga kelak aku bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari ini. Aku ingin pernikahan kita bahagia, dan kelak Mama bisa menerimaku." Wira mencoba menenangkan hati Nila.

Nila menyandarkan kepalanya di bahu Wira.

"Iya, A, aku doain semoga impian kita terkabul."

Selesai makan malam, Nila dan Wira masuk ke dalam kamar. Mereka berdua tak langsung tidur, melainkan berbaring bersama sambil bercengkrama.

"A, aku mau tanya sesuatu sama kamu. Tapi Aa tidak boleh marah sama aku. Jika Aa marah, bisa dipastikan aku akan sangat sedih," imbuh Nila.

Wira mengacak rambut Nila dengan gemas, "Belum juga nanya, sudah mengancam akan sedih. Memangnya mau nanya apa sih, kok sampai segitunya?" tanya Wira.

"Dih, Aa ... Rambut aku jadi berantakan dong." Nila menyugar rambutnya.

"Jadi mau nanya apa?" tanya Wira.

Sebelum bertanya, Nila menarik nafas terlebih dahulu. Mengumpulkan keberanian, supaya pertanyaannya tidak membuat Wira tersinggung dan sedih.

"Aa belum pernah cerita sama aku, tentang kematian kedua orang tuamu. Aku mau tahu, apa penyebab kematian ibu sama bapak kamu, A?" tanya Nila.

Benar saja apa yang ditakutkan Nila. Mendengar pertanyaan itu, wajah Wira berubah muram.

"Aku minta maaf jika pertanyaanku membuatmu sedih. Tapi aku berhak tahu, karena aku istrimu, A. Tadi saat aku belanja dengan Lita, ada seorang ibu-ibu yang menyebutkan bahwa kematian kedua orang tuamu sangat tragis. Dan kamu tahu? Semenjak saat itu, aku menjadi kepikiran sama ucapan ibu-ibu tadi. Sebenarnya apa yang terjadi kepada ibu dan bapakmu?" tanya Nila.

Wira mengepalkan tangan kuat, rahangnya mengeras, teringat akan tragedi yang menimpa kedua orang tuanya. Baginya, kejadian itu tidak akan pernah terlupakan, dan menjadi pengalaman buruk dalam sejarah hidupnya.

"Kenapa nggak dijawab, A?" tanya Nila.

"Cukup! Diam, diam kamu nggak usah menanyakan hal itu. Tidak usah ikut campur dalam masalah itu!" Wira menjambak rambutnya kasar. Membuat Nila terkejut dan tak menyangka, reaksi Wira akan seperti itu.

Wajah Wira memerah, membuat Nila tak enak hati.

"Sebesar itukah trauma A Wira? Sampai-sampai dia membentak ku seperti itu?" batin Nila.

"A, maafkan aku. Aku nggak tahu jika pertanyaanku akan membuat kamu semarah itu," ucap Nila.

"Pergi kamu dari sini, pergi!" bentak Wira.

Nyes!

Hati Nila begitu sakit mendengar Wira mengusirnya dari dalam kamar. Semula Nila enggan pergi, tapi melihat Wira yang seperti itu, membuatnya terpaksa keluar dari dalam kamar.

Nila keluar dan duduk di ruang tengah. Tak terasa, air matanya menetes di pipi putihnya.

Berkali-kali Nila menyeka air matanya yang terus berjatuhan. Nila tak mampu berkata apa-apa lagi. Hanya Isak tangis yang keluar dari mulutnya.

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 23.15. Nila masih berdiam diri di ruang tengah. Ingin kembali ke kamarnya pun, ia tak berani. Sedangkan Wira, Nila tak tahu apa yang sedang ia lakukan di dalam kamar.

Rasa kantuk mulai menghampiri Nila. Semilir angin malam pun membuat bulu-bulu yang ada di tangannya berdiri berjejer bak duri-duri halus.

Bingung hendak tidur dimana, Nila pun menatap kamar tengah yang sempat ia masuki tadi.

"Apa aku tidur di kamar itu saja?" batin Nila.

Nila pun berdiri dan berjalan menuju kamar itu.

Ceklek! Kriet!

Pintu pun dibuka dengan perlahan, menimbulkan suara decitan dari engsel yang sudah berkarat.

Nila terfokus pada kolong tempat tidur. Gundukan tanah yang sempat ia lihat tadi, sudah tak ada di tempat itu. Mungkin di dalam tanah itu ada makhluk sejenis hewan yang suka menggali tanah, pikir Nila.

Tak ingin berpikiran yang tidak-tidak, Nila segera masuk dengan membawa sarung yang akan ia gunakan sebagai seprei.

Setelah memasang sarung, Nila segera merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur besi tua itu. Di setiap gerak tubuhnya, suara decitan besi yang beradu membuat gaduh seisi kamar.

Nila menatap langit-langit, teringat akan Wira yang tega mengusirnya tadi. Sesakit apa yang Wira rasakan, sehingga perangainya yang semula sangat lembut, kini berubah menjadi kasar.

Nila berguling ke arah kanan, menghadap dinding bilik bambu, yang beberapa bagian sudah berlubang namun dengan ukuran kecil.

Sunyi, sepi, menjadi temannya malam ini. Nila mencoba memejamkan matanya, berharap segera berlabuh ke alam mimpi, melupakan sejenak sakit hati karena Wira.

Sementara di kamar yang berbeda, Wira tengah menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya. Bayangan di masa lalunya kini teringat lagi.

"Aaa ... Sakit, tolong! Akhiri penderitaanku, tolong!"

Suara itu, suara menyakitkan, suara dimana detik-detik orang tuanya meregang nyawa. Kulit terkelupas, kaki tiba-tiba lumpuh dan mulut mengeluarkan hewan-hewan kecil berupa belatung campur darah. Di depan mata kepala, Wira menyaksikan kedua orang tuanya menghembuskan nafas terakhir.

"To-long sa-ya!" pekik ibu Wira, kemudian menghembuskan nafas terakhir.

Wira menangis di sudut kamar dengan kaki menekuk. Ia menenggelamkan kepalanya diantara kedua lutut.

Pukul 01.30

Gludak!

Ranjang yang ditempati Nila mendadak bergoyang. Membuat Nila yang sedang terlelap, terbangun karena guncangan yang cukup membuatnya terkejut.

Nila bangun dan menoleh ke sisi kiri ranjang. Tidak ada apapun, yang ada hanya bantal lapuk, yang sudah berbau jamur.

Dirasa tak ada yang aneh, Nila kembali merebahkan tubuhnya lagi. Ia ingin segera beristirahat.

Gludak! Kreeek!

Lagi dan lagi ranjang besi yang ia tiduri, berguncang kembali. Seperti ada seseorang yang tidur dan membalikkan badan. Namun setelah dilihat, memang tidak ada apapun.

Kejadian ini, cukup membuat perasaan Nila tidak enak.

Nila mencoba membuang jauh perasaan itu. Ia harus berpikir positif, karena tinggal di rumah ini bukan hanya untuk sehari dua hari.

Kembali Nila membaringkan tubuhnya lagi. Kali ini menghadap pintu.

"Aku disini ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status