Sore hari pukul 17.00, Nila segera memasak telur balado yang Wira mau. Dengan semangat, Nila memasak dengan selezat mungkin."Semoga A Wira suka, aku ingin sekali dia bahagia telah menikah denganku," gumam Nila.Senyuman manisnya tak luput dari wajah ayunya.Pukul 17.51, akhirnya Nila sudah menyelesaikan aktivitas masaknya. Kini giliran ia mandi, lalu menyambut kepulangan Wira dari bekerja.Nila segera menaruh semua makanannya di atas meja ruang tengah. Nila duduk di ruangan depan sambil sesekali mengintip ke arah jendela.Pukul 18.00, belum ada tanda-tanda motor Wira terdengar. Hanya hening yang menemaninya saat ini. Namun Nila mencoba untuk sabar, toh baru pukul 18.00, mungkin Wira hanya telat beberapa menit.Sambil menunggu, Nila menyibukkan diri dengan belajar merajut. Namun tak bisa dipungkiri, Nila mulai gelisah saat menatap jam sudah menunjukkan pukul enam lebih.Tak biasanya Wira telat seperti ini. Apakah mungkin motor Wira mogok di tengah jalan?Waktu cepat berputar, dan kini
"Aaaa!" Nila menarik tubuhnya saat matanya beradu pandang di celah bilik itu dengan sosok lain di luar.Nila beringsut menjauhi bilik itu. Dia turun dari ranjang dan berjalan mundur ke arah pintu.Nila membuka slot pintu lalu kemudian memutar kenop pintu.Ceklek!Nila berhambur keluar dari kamar. Ia menerjang apa saja yang ada di depannya, kemudian berlari ke arah pintu utama.Nila keluar dari rumah itu secepat mungkin. Ia ingin menjauhi makhluk itu. Namun ia bingung hendak berlari kemana.Tanpa arah tujuan, Nila berlari sekuat tenaga. Suasana sepi di luar sudah tak ia hiraukan.Ternyata benar kata Lita dan warga tentang larangan itu. Kini Nila merasakannya sendiri, akibat ia terlalu sombong karena tidak percaya dengan larangan itu. Menyesal pun rasanya percuma, semua sudah terlanjur. Kini Nila harus menghadapi teror-teror yang mengerikan itu.Nila terus berlari menyusuri jalanan. Berharap ada orang namun tetap saja, kampung ini seperti kampung mati jika malam tiba."Tolong!" teriak N
"Neng, kamu kenapa, Neng bangun!" Wira panik saat menyadari Nila tiba-tiba tak sadarkan diri."Ya Tuhan ... Kenapa dia tidak bangun-bangun," batin Wira.Beberapa kali Wira mencoba membangunkan Nila, namun tetap gagal.Panik karena sang istri tak kunjung bangun, Wira membaringkan tubuh Nila di atas ranjang, kemudian ia berlari keluar dari rumah.Wira pergi ke rumah Lita, dan menggedor pintu rumahnya.Dor! Dor! Dor!"Lita!" panggil Wira dengan suara cukup keras."Lita, tolong bukain pintunya, ini A Wira." Wira terus menggedor dan memanggil nama Lita.Ceklek!Pintu pun terbuka, terlihat Lita muncul dari dalam rumah, dengan keadaan rambut acak-acakan dan mata menyipit. Tampaknya ia sedang terlelap tidur, namun dipaksakan bangun karena mendengar Wira menggedor pintu rumahnya cukup keras."A Wira, ada apa malam-malam begini gedor-gedor pintu?" tanya Lita sambil mengucek matanya. Beberapa kali Lita menguap."Lita, tolong A Wira. Nila pingsan di dalam kamar. A Wira khawatir sama dia. A Wira m
"Neng, hari ini aku kan libur kerja. Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan, biar nggak bosan di rumah terus," imbuh Wira."Jalan-jalan? Mau, A aku mau. Memangnya kamu mau ajak aku jalan-jalan kemana?" tanya Nila sangat antusias."Kemana saja, yang penting kamu jangan stres di rumah terus. Aku mau kamu merasa bahagia dan anak kita juga sehat," jawab Wira."Kalau begitu aku mau mandi dulu, A. Mau siap-siap dandan yang rapi. Oh iya, tolong dong ambilkan airnya di sumur. Air di bak sudah kosong," ujar Nila."Siap istriku, aku nimba dulu. Kamu duduk dulu disini, aku nggak bakalan lama," sahut Wira.Wira segera pergi ke kamar mandi. Ia menimba air dari dalam sumur tua peninggalan orang tuanya.Sementara Nila menunggu di dapur sambil menghangatkan tubuhnya di depan tungku, atau orang Sunda biasa menyebutnya dengan siduru."Neng airnya sudah penuh, ayo mandi," panggil Wira dari luar."Ah iya, A," sahut Nila.Nila berdiri dan pergi ke kamar mandi."Hati-hati jalannya licin," kata Wira, saat N
Nila merasa aneh dengan sikap Lita, yang tak seperti biasanya. Lita yang Nila tahu selalu bersikap ramah, kini berubah saat barusan Nila tanya."Mungkin Lita sedang ada masalah keluarga," batin Nila.Nila dan Melati terus berjalan beriringan."Loh, kok masuk ke hutan, Mel. Kita kan mau jalan-jalan," imbuh Nila."Ini adalah akses menuju tempat bagus itu, Nila. Kamu nggak perlu takut, aku sudah biasa kok pergi kesana sendirian lewat jalan sini. Nggak ada yang perlu ditakuti. Aku sudah paham dengan jalan ini," sahut Melati.Karena tak tahu apa-apa, Nila hanya menuruti saja.Jalan setapak membentang lurus di sepanjang hutan. Bahkan tak jarang nyamuk pun mengikuti langkah mereka, hanya demi setetes darah untuk mereka hisap.Plak!Beberapa kali Nila memukul tangannya yang digigit nyamuk. Jika tahu jalannya seperti ini, mungkin ia akan mengenakan baju lengan panjang sebelum berangkat."Masih jauh nggak, Mel jalannya?" tanya Nila. Ia pun sudah lumayan kelelahan."Sebentar lagi, hanya saja kam
Ekspresi Lita terlihat aneh bagi Nila. Lita yang selalu ramah, malam ini berubah dingin entah apa penyebabnya Nila tak mengerti."Neng Nila, ini gulanya. Oh iya, ini ada sedikit singkong hasil kebun. Lumayan buat dijadikan olahan cemilan." Bu Heti memberikan setengah bungkus gula dan satu kantong kresek singkong."Ya ampun, Bu ... Aku jadi merepotkan Ibu. Ngomong-ngomong, terima kasih banyak ya, Bu. Iya nanti setelah masak aku akan bikin cemilan buat teman ngobrol sama A Wira," ucap Nila."Sama-sama, Neng Nila. Sama sekali tidak merepotkan. Wira sudah saya anggap anak sendiri, berarti Neng Nila anak Ibu juga. Jangan sungkan kalau butuh apa-apa. Kesini saja," imbuh bu Heti.Ucapan bu Heti membuat Nila terharu. Disaat Retna membuangnya, kini ia dianggap anak oleh bu Heti, yang kenyataanya hanya tetangga Wira. Tapi kebaikannya membuat Nila merasa terharu."Kalau begitu aku pulang ya, Bu. Mau lanjutin masak lagi," pamit Nila."Iya, Neng Nila," sahut bu Heti.Nila pun segera keluar dari ru
Nila menyimpan ponselnya cukup kasar ke atas meja. Wira seperti sama sekali tak mengkhawatirkan keadaan Nila yang sedang hamil. Dengan entengnya dia menyuruh Nila untuk menginap di rumah Lita.Nila mengangkat masakannya dari wajan. Selera makannya mendadak hilang. Tak seharusnya Wira bersikap seperti itu. Terlebih hari ini adalah tanggal merah, dimana orang-orang libur bekerja, dan meluangkan waktu bersama keluarganya. Tapi tidak dengan Wira. Mungkin Nila bisa terima Wira kerja lembur ditanggal merah. Tapi jika sampai larut malam, apakah Nila mesti iya-iya saja?Hari semakin gelap, perasaan Nila mulai tak enak. Apakah dia akan diteror lagi?Bulu kuduknya mendadak meremang, was-was jika ia didatangi makhluk yang semalam mengejarnya lagi.Berkali-kali Nila mengusap tengkuknya."Ya Tuhan ... Semoga aku tidak didatangi makhluk itu lagi," batin Nila.Angin pun berhembus dengan hawa berbeda. Angin yang seakan membawa kengerian ke dalam dirinya.Nila bangkit dari kursi, kemudian berlari ke d
Wira tercengang saat melihat Melati ada di dalam rumahnya. Namun Melati tersenyum, saat melihat kedatangan Wira."Wira, kamu sudah pulang? Sudah lama kita nggak ketemu. Kebetulan sekali malam ini aku sedang bertamu di rumah ini. Aku dan Nila sudah menjadi teman. Senang sekali aku bisa mengenal istrimu, Wira. Kamu apa kabar? Sudah sebulan kembali tinggal disini, kamu tidak pernah menemuiku," imbuh Melati.Sementara Nila, dia hanya memperhatikan keduanya."Aku baik-baik saja, Mel. Maaf aku belum sempat menemuimu. Aku sibuk bekerja," sahut Wira. Gelagatnya menunjukkan jika ia merasa risih dengan adanya Melati di tengah-tengah Wira dan Nila."Ini, Nila diminum air hangatnya. Semoga kamu tidak kedinginan lagi. Kalau begitu, aku pamit pulang dulu." Melati berpamitan pulang. Sementara Nila hanya mengangguk tak banyak bicara.Sepulangnya Melati dari rumah Wira, kini Nila duduk termenung, memikirkan apa yang ia ketahui tentang Wira dan juga Melati. Walaupun Melati hanya masa lalu, tapi tak bis
"Aaaa!" Nila menjerit ketika melihat makhluk gundukan tanah itu berada di dalam kamarnya.Wira pun tak kalah kaget, ia terjingkat ketika melihat makhluk itu.Namun, setelah menampakkan dirinya beberapa detik, makhluk itu kemudian menghilang begitu saja."Ternyata bau itu berasal dari makhluk itu. Bu-bukannya Mak Onam sudah meninggal, tapi kenapa makhluk itu masih ada?" tanya Wira tergugup.Nila terdiam, sambil menekan rasa takutnya. Walau pun sudah beberapa kali Nila melihatnya. Namun, Nila masih merasakan ketakutan."A, sepertinya tugas kita belum selesai," lirih Nila.Alis Wira mengernyit, tidak mengerti dengan ucapan Nila."Maksud kamu, Neng?" tanya Wira."Kamu ingat perkataan Mama kemarin malam? Mama bilang, dia pernah mendengar makhluk itu meminta tolong untuk disempurnakan," jawab Nila.Wira berpikir sejenak, kemudian bersuara."Ah iya, kita melupakan hal itu. Tunggu-tunggu, kok aku jadi berpikiran sama sesuatu yang ada di gubuk Mak Onam, ya!" seru Wira.Kini giliran alis Nila y
"Nila, ini aku!" bisik seseorang yang tengah memeluk Nila dari belakang.Nila mengurai pelukannya lalu membalikkan badannya."Me-melati," lirih Nila tak menyangka bahwa Melati ada di hadapannya.Melati mengangguk sambil tersenyum, "Iya, Nila, ini aku, Melati."Di belakang Melati, Nila melihat ada Abah Kosmos, Abah Ikin dan tetua desa yang lain."Kok bisa?" Nila merasa bingung."Sudah, nanti saja aku cerita. Mana yang lain? Di sini ada hewan buas, jadi kamu jangan berisik," lirih Melati.Nila mengangguk, "Mereka ada di dalam.""Ya sudah ayo gabung sama mereka," ajak Melati."Sebentar, aku harus menghancurkan batu cincin ini dulu. Aku mau cari batu," ujar Melati.Dengan hati-hati, Abah Ikin berinisiatif mencarikan batu dan menyerahkannya kepada Nila.Dengan cepat Nila menghancurkan batu cincin itu. Tak ayal, suara teriakkan dari dalam gubuk menggema memenuhi atmosfer hutan itu."I-itu," ucap Melati."Iya, itu suara Mak Onam, dan batu ini merupakan sumber kekuatannya. Maafkan aku, Melati
Abah Uta segera mengambil obor yang lain.Beberapa inchi lagi, api telah mendekat ke arah kedua benda milik Mak Onam itu."Maafkan aku, Onam. Kamu sudah banyak merugikan orang lain. Terpaksa aku melakukan ini," gumam Abah Uta.Brus!Seketika api menyentuh kedua benda berupa buntelan kecil itu."Aaaa ... Kurang ajar kau, Uta. Aaaaa!" Teriakkan Mak Onam di atas batu, membuat semua orang menoleh. Mereka menyaksikan tubuh Mak Onam ambruk dan tidak bergerak lagi di atas batu.Kini, mereka bisa bernafas lega. Kedua benda itu telah habis terbakar, dan Mak Onam telah kalah."Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Apa kita mencari Abah Kosmos dulu? Aku lihat dia hanyut tadi. Aku harap beliau selamat," imbuh Wira."Begini saja, kita berpencar menjadi dua kelompok. Beberapa dari kita mencari Abah Kosmos, dan yang lain ikut saya ke kedalaman hutan. Saya ingin membawa putri saya dari sana. Saya khawatir jika Melati terus menerus berada di dalam hutan," sahut Abah Uta.Semua mengangguk setuju,
Huek!Wira berusaha menahan mual saat sesuatu yang ia sentuh itu mengeluarkan bau tak sedap. Wira sangat kesusahan melihatnya. Namun yang jelas, perasaan Wira sangat tidak enak.Wira bangkit dan meraba saku celananya. Ia teringat jika tadi saat istirahat di tempat kerja, ia sempat membeli korek untuk menyalakan rokok."Syukurlah ada," gumam Wira.Tangan gemetar Wira mulai menyalakan korek api itu."Ya Tuhan!"Wira beringsut mundur, dan kembali mematikan korek tersebut. Sesuatu di depan Wira sangat mengejutkannya. Ketika korek itu dinyalakan, jelas Wira melihat kepala menyembul dari dalam tanah dengan wujud mengerikan. Mungkin selama ini, makhluk inilah yang meneror warga bahkan juga istrinya, pikir Wira.Jantung Wira berdetak begitu kencang. Takut, sudah pasti, meski pun ia seorang lelaki, jika dihadapkan dalam situasi seperti ini maka ia akan berubah menjadi pengecut.Wira kembali menyalakan korek itu. Berusaha tidak memperdulikan makhluk itu yang masih ada. Wira gegas mencari oborny
Setelah melintasi aliran air terjun, Wira dan abah Kosmos kembali melewati kawasan hutan, menyusuri jalanan setapak menuju perkampungan.Tak ada percakapan diantara mereka berdua. Hanya helaan nafas yang terdengar saling bersahutan. Perjalanan malam ini terasa begitu menegangkan. Mereka akan berjuang mencari benda-benda milik mak Onam.Krosak!Langkah Wira terhenti, ketika mendengar sebuah suara dari arah belakangnya. Abah Kosmos yang berada di depan Wira menyentuh tangan Wira dan menyuruhnya untuk terus berjalan melalui sebuah isyarat tangannya."Sebisa mungkin kamu tidak boleh menoleh ke belakang atau pun ke samping. Ingat tujuan kita, jika kamu tidak ingin semuanya sia-sia," bisik abah Kosmos yang kini berjalan sejajar dengan Wira.Wira menelan saliva kasar, sambil mengangguk mengiyakan ucapan abah Kosmos.Mereka berdua terus saja berjalan. Sebuah suara kembali terdengar di telinga Wira. Namun, Wira selalu mengingat perkataan abah Kosmos barusan.Entah kenapa, Wira merasa jika jara
"Pak Kades," pekik Wira, saat mengetahui bahwa sang pemilik kepala yang tergeletak di semak-semak itu adalah milik pak kades.Semua orang tercengang, gegas mereka menghampiri pak kades. Mereka menyibakkan semak-semak itu. Tubuh pak kades tertutupi semak-semak. Hanya kepalanya saja yang menyembul keluar."Dia masih hidup," ujar Abah Kosmos setelah memeriksa nadinya."Syukurlah, kita bisa membawanya pulang. Setelah itu kita kembali ke rencana kita untuk menyelidiki rumah Mak Onam," imbuh aki Oyan.Semua mengangguk setuju, kemudian mulai mengangkat tubuh pak kades.Mereka kemudian hendak membalikkan badan. Namun, mereka tak menyadari ada sesosok berbalut kain putih, yang sedang berdiri di belakang mereka."Aaaa ... Apaan itu?" teriak Nila, ketiak melihat sosok itu.Sontak orang yang sedang menggotong tubuh pak kades hampir saja melemparkan tubuh pak kades, saking terkejut. Namun beruntung mereka bisa mempertahankan tubuh kak kades sehingga tidak sampai terjatuh.Di hadapan mereka, berdir
"Wira ... Nila!" teriak Retna dari jalan. Ia tergopoh-gopoh menyusul Wira dan Nila yang sedang berkumpul di lapangan. Sebelumnya Retna sudah diberitahu, jika malam ini akan ada ritual khusus yang akan dilakukan oleh tetua desa. "Mama," Sahut Nila. Semua orang menoleh ke arah Retna. Nila dan Wira pun bangkit dan menghampiri Retna. "Mama kenapa? Kenapa Mama kesini?" tanya Nila. Tubuh Retna bergetar, dari wajahnya terlihat raut ketakutan. "Sebaiknya kita bawa saja ke sana. Biar Mama bergabung sama kita," imbuh Wira. Nila mengangguk, kemudian menuntun Retna bergabung bersama tetua desa. Mereka membiarkan Retna tenang terlebih dahulu. Terlihat sekali, jika Retna seperti orang yang sangat ketakutan. Setelah dirasa tenang, Wira mencoba bertanya perihal ibu mertuanya menyusul mereka ke lapangan. "Jadi begini, Wira ... Semenjak Mama menempati rumah mak Onam, dari pertama Mama selalu merasakan keanehan. Setiap malam, Mama selalu mendengar suara gaduh di dalam kamar tengah. Awal
"Semoga Mama nyaman di sini, soal bayar sewa, biar aku saja yang bayarkan. Susah jika harus menunggu mobil laku dulu. Tapi Mama jangan khawatir, aku sudah menawarkan mobil Mama ke teman-teman dan atasan aku di tempat kerja," ujar Wira siang hari itu.Wira dan Retna telah berada di depan rumah mendiang Mak Onam. Wira menyewa rumah itu kepada saudara Mak Onam. Sebenarnya masih ada abah Uta, suaminya Mak Onam yang berhak menentukan rumah ini disewa atau tidak. Namun, akan susah jika harus berkomunikasi dengannya, mengingat jiwanya sedang terganggu. Sampai sekarang pun, entah dimana keberadaannya, karena ia selalu berpindah-pindah tempat."Iya, Wira ... Terima kasih banyak sudah membantu Mama. Mama pasti akan nyaman tinggal di sini. Halamannya luas, jadi Mama bisa belajar menanam cabai di sini," sahut Retna.Wira tersenyum sambil mengangguk, "Syukurlah kalau Mama suka. Sebenarnya aku dan Nila nggak mau Mama tinggal terpisah, apalagi Mama tinggal sendiri. Tapi kami juga harus menghargai ke
Suasana di rumah Wira begitu ramai. Warga berbondong-bondong mendatangi rumah Wira, guna mencari tahu apa yang terjadi semalam terhadap Nila."Abah ... Bagaimana bisa Nila seperti ini? Tapi syukurlah Abah kebetulan datang ke kampung ini. Sehingga Nila bisa diselamatkan," imbuh pak kades yang juga berada di rumah Wira.Di atas kursi panjang, Nila terbaring tak sadarkan diri. Di bagian tubuhnya seperti tangan, kaki dan pipinya terdapat luka bakar akibat semalam.Retna dan Wira pun terlihat syok akan kejadian yang menimpa Nila. Tak menyangka jika nyawa Nila semalam dalam bahaya. Wira yang baru saja sembuh, sangat khawatir saat tahu apa yang terjadi pada Nila semalam."Sebelumnya Abah sudah memberikan sebuah cincin kepada Nila. Cincin yang terhubung dengan cincin saya. Bilamana Nila berada dalam gangguan makhluk gundukan tanah itu, maka Abah bisa merasakannya. Maka semalam ketika Abah merasakan getaran hebat dari cincin ini, Abah langsung pergi ke kampung ini. Dan benar saja, Nila sedang