Setelah berbelanja untuk makan malam nanti. Nila segera pulang ke rumah, untuk menyimpan semua telur-telur dan bahan lainnya di dalam keranjang belanjaan.Brak!"Aaaa!"Tiba-tiba dari kejauhan terlihat seorang pria berlari kencang, dan nahasnya sebuah motor yang kebetulan melintas, tak sengaja menabraknya."Bapak!" jerit seorang wanita dan dua anak kecil laki-laki dan perempuan.Orang-orang yang berada di warung, bahkan dari dalam rumah mereka, berhamburan menghampiri pria itu. Nila pun tak tinggal diam, ia segera berlari menghampiri pria malang itu.Keadaan menjadi riuh ramai, jalanan berubah menjadi kerumunan orang-orang yang penasaran apa yang terjadi barusan.Setelah Nila mendekat, terlihat pria yang tertabrak motor itu, tergeletak bersimbah darah di bagian kepala. Sementara si pengendara motor, terlihat menahan sakit di bagian kakinya yang tertimpa motornya sendiri."Bapak ... Bapak bangun, Pak!" jerit wanita dan kedua anak kecil itu."Bapak ... Kenapa semuanya jadi seperti ini,
Sore hari pukul 17.00, Nila segera memasak telur balado yang Wira mau. Dengan semangat, Nila memasak dengan selezat mungkin."Semoga A Wira suka, aku ingin sekali dia bahagia telah menikah denganku," gumam Nila.Senyuman manisnya tak luput dari wajah ayunya.Pukul 17.51, akhirnya Nila sudah menyelesaikan aktivitas masaknya. Kini giliran ia mandi, lalu menyambut kepulangan Wira dari bekerja.Nila segera menaruh semua makanannya di atas meja ruang tengah. Nila duduk di ruangan depan sambil sesekali mengintip ke arah jendela.Pukul 18.00, belum ada tanda-tanda motor Wira terdengar. Hanya hening yang menemaninya saat ini. Namun Nila mencoba untuk sabar, toh baru pukul 18.00, mungkin Wira hanya telat beberapa menit.Sambil menunggu, Nila menyibukkan diri dengan belajar merajut. Namun tak bisa dipungkiri, Nila mulai gelisah saat menatap jam sudah menunjukkan pukul enam lebih.Tak biasanya Wira telat seperti ini. Apakah mungkin motor Wira mogok di tengah jalan?Waktu cepat berputar, dan kini
"Aaaa!" Nila menarik tubuhnya saat matanya beradu pandang di celah bilik itu dengan sosok lain di luar.Nila beringsut menjauhi bilik itu. Dia turun dari ranjang dan berjalan mundur ke arah pintu.Nila membuka slot pintu lalu kemudian memutar kenop pintu.Ceklek!Nila berhambur keluar dari kamar. Ia menerjang apa saja yang ada di depannya, kemudian berlari ke arah pintu utama.Nila keluar dari rumah itu secepat mungkin. Ia ingin menjauhi makhluk itu. Namun ia bingung hendak berlari kemana.Tanpa arah tujuan, Nila berlari sekuat tenaga. Suasana sepi di luar sudah tak ia hiraukan.Ternyata benar kata Lita dan warga tentang larangan itu. Kini Nila merasakannya sendiri, akibat ia terlalu sombong karena tidak percaya dengan larangan itu. Menyesal pun rasanya percuma, semua sudah terlanjur. Kini Nila harus menghadapi teror-teror yang mengerikan itu.Nila terus berlari menyusuri jalanan. Berharap ada orang namun tetap saja, kampung ini seperti kampung mati jika malam tiba."Tolong!" teriak N
"Neng, kamu kenapa, Neng bangun!" Wira panik saat menyadari Nila tiba-tiba tak sadarkan diri."Ya Tuhan ... Kenapa dia tidak bangun-bangun," batin Wira.Beberapa kali Wira mencoba membangunkan Nila, namun tetap gagal.Panik karena sang istri tak kunjung bangun, Wira membaringkan tubuh Nila di atas ranjang, kemudian ia berlari keluar dari rumah.Wira pergi ke rumah Lita, dan menggedor pintu rumahnya.Dor! Dor! Dor!"Lita!" panggil Wira dengan suara cukup keras."Lita, tolong bukain pintunya, ini A Wira." Wira terus menggedor dan memanggil nama Lita.Ceklek!Pintu pun terbuka, terlihat Lita muncul dari dalam rumah, dengan keadaan rambut acak-acakan dan mata menyipit. Tampaknya ia sedang terlelap tidur, namun dipaksakan bangun karena mendengar Wira menggedor pintu rumahnya cukup keras."A Wira, ada apa malam-malam begini gedor-gedor pintu?" tanya Lita sambil mengucek matanya. Beberapa kali Lita menguap."Lita, tolong A Wira. Nila pingsan di dalam kamar. A Wira khawatir sama dia. A Wira m
"Neng, hari ini aku kan libur kerja. Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan, biar nggak bosan di rumah terus," imbuh Wira."Jalan-jalan? Mau, A aku mau. Memangnya kamu mau ajak aku jalan-jalan kemana?" tanya Nila sangat antusias."Kemana saja, yang penting kamu jangan stres di rumah terus. Aku mau kamu merasa bahagia dan anak kita juga sehat," jawab Wira."Kalau begitu aku mau mandi dulu, A. Mau siap-siap dandan yang rapi. Oh iya, tolong dong ambilkan airnya di sumur. Air di bak sudah kosong," ujar Nila."Siap istriku, aku nimba dulu. Kamu duduk dulu disini, aku nggak bakalan lama," sahut Wira.Wira segera pergi ke kamar mandi. Ia menimba air dari dalam sumur tua peninggalan orang tuanya.Sementara Nila menunggu di dapur sambil menghangatkan tubuhnya di depan tungku, atau orang Sunda biasa menyebutnya dengan siduru."Neng airnya sudah penuh, ayo mandi," panggil Wira dari luar."Ah iya, A," sahut Nila.Nila berdiri dan pergi ke kamar mandi."Hati-hati jalannya licin," kata Wira, saat N
Nila merasa aneh dengan sikap Lita, yang tak seperti biasanya. Lita yang Nila tahu selalu bersikap ramah, kini berubah saat barusan Nila tanya."Mungkin Lita sedang ada masalah keluarga," batin Nila.Nila dan Melati terus berjalan beriringan."Loh, kok masuk ke hutan, Mel. Kita kan mau jalan-jalan," imbuh Nila."Ini adalah akses menuju tempat bagus itu, Nila. Kamu nggak perlu takut, aku sudah biasa kok pergi kesana sendirian lewat jalan sini. Nggak ada yang perlu ditakuti. Aku sudah paham dengan jalan ini," sahut Melati.Karena tak tahu apa-apa, Nila hanya menuruti saja.Jalan setapak membentang lurus di sepanjang hutan. Bahkan tak jarang nyamuk pun mengikuti langkah mereka, hanya demi setetes darah untuk mereka hisap.Plak!Beberapa kali Nila memukul tangannya yang digigit nyamuk. Jika tahu jalannya seperti ini, mungkin ia akan mengenakan baju lengan panjang sebelum berangkat."Masih jauh nggak, Mel jalannya?" tanya Nila. Ia pun sudah lumayan kelelahan."Sebentar lagi, hanya saja kam
Ekspresi Lita terlihat aneh bagi Nila. Lita yang selalu ramah, malam ini berubah dingin entah apa penyebabnya Nila tak mengerti."Neng Nila, ini gulanya. Oh iya, ini ada sedikit singkong hasil kebun. Lumayan buat dijadikan olahan cemilan." Bu Heti memberikan setengah bungkus gula dan satu kantong kresek singkong."Ya ampun, Bu ... Aku jadi merepotkan Ibu. Ngomong-ngomong, terima kasih banyak ya, Bu. Iya nanti setelah masak aku akan bikin cemilan buat teman ngobrol sama A Wira," ucap Nila."Sama-sama, Neng Nila. Sama sekali tidak merepotkan. Wira sudah saya anggap anak sendiri, berarti Neng Nila anak Ibu juga. Jangan sungkan kalau butuh apa-apa. Kesini saja," imbuh bu Heti.Ucapan bu Heti membuat Nila terharu. Disaat Retna membuangnya, kini ia dianggap anak oleh bu Heti, yang kenyataanya hanya tetangga Wira. Tapi kebaikannya membuat Nila merasa terharu."Kalau begitu aku pulang ya, Bu. Mau lanjutin masak lagi," pamit Nila."Iya, Neng Nila," sahut bu Heti.Nila pun segera keluar dari ru
Nila menyimpan ponselnya cukup kasar ke atas meja. Wira seperti sama sekali tak mengkhawatirkan keadaan Nila yang sedang hamil. Dengan entengnya dia menyuruh Nila untuk menginap di rumah Lita.Nila mengangkat masakannya dari wajan. Selera makannya mendadak hilang. Tak seharusnya Wira bersikap seperti itu. Terlebih hari ini adalah tanggal merah, dimana orang-orang libur bekerja, dan meluangkan waktu bersama keluarganya. Tapi tidak dengan Wira. Mungkin Nila bisa terima Wira kerja lembur ditanggal merah. Tapi jika sampai larut malam, apakah Nila mesti iya-iya saja?Hari semakin gelap, perasaan Nila mulai tak enak. Apakah dia akan diteror lagi?Bulu kuduknya mendadak meremang, was-was jika ia didatangi makhluk yang semalam mengejarnya lagi.Berkali-kali Nila mengusap tengkuknya."Ya Tuhan ... Semoga aku tidak didatangi makhluk itu lagi," batin Nila.Angin pun berhembus dengan hawa berbeda. Angin yang seakan membawa kengerian ke dalam dirinya.Nila bangkit dari kursi, kemudian berlari ke d