"Neng, hari ini aku kan libur kerja. Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan, biar nggak bosan di rumah terus," imbuh Wira."Jalan-jalan? Mau, A aku mau. Memangnya kamu mau ajak aku jalan-jalan kemana?" tanya Nila sangat antusias."Kemana saja, yang penting kamu jangan stres di rumah terus. Aku mau kamu merasa bahagia dan anak kita juga sehat," jawab Wira."Kalau begitu aku mau mandi dulu, A. Mau siap-siap dandan yang rapi. Oh iya, tolong dong ambilkan airnya di sumur. Air di bak sudah kosong," ujar Nila."Siap istriku, aku nimba dulu. Kamu duduk dulu disini, aku nggak bakalan lama," sahut Wira.Wira segera pergi ke kamar mandi. Ia menimba air dari dalam sumur tua peninggalan orang tuanya.Sementara Nila menunggu di dapur sambil menghangatkan tubuhnya di depan tungku, atau orang Sunda biasa menyebutnya dengan siduru."Neng airnya sudah penuh, ayo mandi," panggil Wira dari luar."Ah iya, A," sahut Nila.Nila berdiri dan pergi ke kamar mandi."Hati-hati jalannya licin," kata Wira, saat N
Nila merasa aneh dengan sikap Lita, yang tak seperti biasanya. Lita yang Nila tahu selalu bersikap ramah, kini berubah saat barusan Nila tanya."Mungkin Lita sedang ada masalah keluarga," batin Nila.Nila dan Melati terus berjalan beriringan."Loh, kok masuk ke hutan, Mel. Kita kan mau jalan-jalan," imbuh Nila."Ini adalah akses menuju tempat bagus itu, Nila. Kamu nggak perlu takut, aku sudah biasa kok pergi kesana sendirian lewat jalan sini. Nggak ada yang perlu ditakuti. Aku sudah paham dengan jalan ini," sahut Melati.Karena tak tahu apa-apa, Nila hanya menuruti saja.Jalan setapak membentang lurus di sepanjang hutan. Bahkan tak jarang nyamuk pun mengikuti langkah mereka, hanya demi setetes darah untuk mereka hisap.Plak!Beberapa kali Nila memukul tangannya yang digigit nyamuk. Jika tahu jalannya seperti ini, mungkin ia akan mengenakan baju lengan panjang sebelum berangkat."Masih jauh nggak, Mel jalannya?" tanya Nila. Ia pun sudah lumayan kelelahan."Sebentar lagi, hanya saja kam
Ekspresi Lita terlihat aneh bagi Nila. Lita yang selalu ramah, malam ini berubah dingin entah apa penyebabnya Nila tak mengerti."Neng Nila, ini gulanya. Oh iya, ini ada sedikit singkong hasil kebun. Lumayan buat dijadikan olahan cemilan." Bu Heti memberikan setengah bungkus gula dan satu kantong kresek singkong."Ya ampun, Bu ... Aku jadi merepotkan Ibu. Ngomong-ngomong, terima kasih banyak ya, Bu. Iya nanti setelah masak aku akan bikin cemilan buat teman ngobrol sama A Wira," ucap Nila."Sama-sama, Neng Nila. Sama sekali tidak merepotkan. Wira sudah saya anggap anak sendiri, berarti Neng Nila anak Ibu juga. Jangan sungkan kalau butuh apa-apa. Kesini saja," imbuh bu Heti.Ucapan bu Heti membuat Nila terharu. Disaat Retna membuangnya, kini ia dianggap anak oleh bu Heti, yang kenyataanya hanya tetangga Wira. Tapi kebaikannya membuat Nila merasa terharu."Kalau begitu aku pulang ya, Bu. Mau lanjutin masak lagi," pamit Nila."Iya, Neng Nila," sahut bu Heti.Nila pun segera keluar dari ru
Nila menyimpan ponselnya cukup kasar ke atas meja. Wira seperti sama sekali tak mengkhawatirkan keadaan Nila yang sedang hamil. Dengan entengnya dia menyuruh Nila untuk menginap di rumah Lita.Nila mengangkat masakannya dari wajan. Selera makannya mendadak hilang. Tak seharusnya Wira bersikap seperti itu. Terlebih hari ini adalah tanggal merah, dimana orang-orang libur bekerja, dan meluangkan waktu bersama keluarganya. Tapi tidak dengan Wira. Mungkin Nila bisa terima Wira kerja lembur ditanggal merah. Tapi jika sampai larut malam, apakah Nila mesti iya-iya saja?Hari semakin gelap, perasaan Nila mulai tak enak. Apakah dia akan diteror lagi?Bulu kuduknya mendadak meremang, was-was jika ia didatangi makhluk yang semalam mengejarnya lagi.Berkali-kali Nila mengusap tengkuknya."Ya Tuhan ... Semoga aku tidak didatangi makhluk itu lagi," batin Nila.Angin pun berhembus dengan hawa berbeda. Angin yang seakan membawa kengerian ke dalam dirinya.Nila bangkit dari kursi, kemudian berlari ke d
Wira tercengang saat melihat Melati ada di dalam rumahnya. Namun Melati tersenyum, saat melihat kedatangan Wira."Wira, kamu sudah pulang? Sudah lama kita nggak ketemu. Kebetulan sekali malam ini aku sedang bertamu di rumah ini. Aku dan Nila sudah menjadi teman. Senang sekali aku bisa mengenal istrimu, Wira. Kamu apa kabar? Sudah sebulan kembali tinggal disini, kamu tidak pernah menemuiku," imbuh Melati.Sementara Nila, dia hanya memperhatikan keduanya."Aku baik-baik saja, Mel. Maaf aku belum sempat menemuimu. Aku sibuk bekerja," sahut Wira. Gelagatnya menunjukkan jika ia merasa risih dengan adanya Melati di tengah-tengah Wira dan Nila."Ini, Nila diminum air hangatnya. Semoga kamu tidak kedinginan lagi. Kalau begitu, aku pamit pulang dulu." Melati berpamitan pulang. Sementara Nila hanya mengangguk tak banyak bicara.Sepulangnya Melati dari rumah Wira, kini Nila duduk termenung, memikirkan apa yang ia ketahui tentang Wira dan juga Melati. Walaupun Melati hanya masa lalu, tapi tak bis
Esok pagi pukul 08.00 WIB, warga desa Ciburicak berbondong-bondong pergi menuju balai desa.Kabar ini beredar dari mulut ke mulut, sehingga ada beberapa warga luar pun ikut hadir, karena ingin menyaksikan musyawarah yang diketuai oleh Abah Ikin, selaku tetua kampung itu.Riuh ramai warga memadati balai desa. Tak sedikit pula dari mereka, membicarakan teror yang santer terjadi di kampung itu.Kengerian, ketakutan, bahkan kekhawatiran warga sangat terasa jika malam tiba. Walaupun warga dihimbau untuk tidak mendekati gundukan tanah itu, namun tetap saja tidak dapat dipungkiri, mereka diselimuti rasa ketakutan. Terlebih dari mereka yang memiliki anak kecil yang tak tahu apa-apa. Was-was bilamana anak mereka akan menjadi korban."Pokoknya rencana kita tidak boleh gagal. Kita harus mencari tahu penyebabnya dan harus bisa memusnahkan makhluk itu. Bisa habis warga, jika makhluk itu dibiarkan berkeliaran bebas disini. Lagi pula, kesalahan apa yang pernah warga kampung kita pernah lakukan? Sehi
"Apa?" Wira terperanjat saat mendengar ucapan Abah Ikin."Tidak, ini sangat keterlaluan! Istri saya sedang hamil, kenapa mesti istri saya? Jika kalian mau, saya bersedia menggantikan istri saya!" ujar Wira, dengan suara yang cukup meninggi."Tenang, Wira, sabar ... Kami melakukan ini atas pertimbangan yang matang. Korban yang lain sudah tak terselamatkan, mereka sudah meregang nyawa akibat depresi terus menerus dihantui makhluk itu. Namun istri kamu yang sampai saat ini masih selamat dari teror makhluk itu," timpal pak kades."Jadi kalian bertiga akan mengorbankan istri saya? Kalian akan mempertaruhkan nyawa istri saya? Tidak, saya tidak akan membiarkan hal ini terjadi. Jika tahu semua akan seperti ini, lebih baik saya tidak ikut acara musyawarah ini." Wira sangat marah dengan keputusan pak kades dan juga Abah Ikin."Tapi Abah Kosmos tidak akan membiarkan istri kamu celaka. Ini hanya memancing kedatangannya saja, bukan berarti membiarkan istrimu dihabisi makhluk itu. Tidak, kami tidak
Seketika suasana berubah menjadi hening, tatkala Wira menjawab pertanyaan dari Nila dan juga Lita."Ma-maksud kamu, A, aku?" Nila menunjuk wajahnya sendiri.Dengan berat hati, Wira pun mengangguk mengiyakan."A Wira lagi bercanda, kan?" timpal Lita tak percaya.Wira menghela nafas dalam, "Sayangnya A Wira sedang tidak bercanda, Lita," sahut Wira.Nila dan Lita saling melempar pandangan."Tapi kenapa harus aku, A? Aku sedang hamil, loh!" tukas Nila."Awalnya A Wira juga menolak kamu dijadikan umpan. Tapi Abah Ikin, Pak kades dan Abah Kosmos, orang pintar dari desa sebelah, meyakinkan A Wira jika kamu akan baik-baik saja. Kamu hanya akan dijadikan pancingan, supaya makhluk itu datang. Lalu setelah itu, Abah Kosmos lah yang akan bertindak," sahut Wira.Nila kembali duduk di atas kursi. Ia memijat pelipisnya, bingung apakah ia harus bersedia atau tidak."Semua warga akan berhutang Budi sama kamu, jika kamu melakukannya," tambah Wira.Nila menoleh ke arah Wira, "Dengan cara mengorbankan ak