Nila merasa aneh dengan sikap Lita, yang tak seperti biasanya. Lita yang Nila tahu selalu bersikap ramah, kini berubah saat barusan Nila tanya."Mungkin Lita sedang ada masalah keluarga," batin Nila.Nila dan Melati terus berjalan beriringan."Loh, kok masuk ke hutan, Mel. Kita kan mau jalan-jalan," imbuh Nila."Ini adalah akses menuju tempat bagus itu, Nila. Kamu nggak perlu takut, aku sudah biasa kok pergi kesana sendirian lewat jalan sini. Nggak ada yang perlu ditakuti. Aku sudah paham dengan jalan ini," sahut Melati.Karena tak tahu apa-apa, Nila hanya menuruti saja.Jalan setapak membentang lurus di sepanjang hutan. Bahkan tak jarang nyamuk pun mengikuti langkah mereka, hanya demi setetes darah untuk mereka hisap.Plak!Beberapa kali Nila memukul tangannya yang digigit nyamuk. Jika tahu jalannya seperti ini, mungkin ia akan mengenakan baju lengan panjang sebelum berangkat."Masih jauh nggak, Mel jalannya?" tanya Nila. Ia pun sudah lumayan kelelahan."Sebentar lagi, hanya saja kam
Ekspresi Lita terlihat aneh bagi Nila. Lita yang selalu ramah, malam ini berubah dingin entah apa penyebabnya Nila tak mengerti."Neng Nila, ini gulanya. Oh iya, ini ada sedikit singkong hasil kebun. Lumayan buat dijadikan olahan cemilan." Bu Heti memberikan setengah bungkus gula dan satu kantong kresek singkong."Ya ampun, Bu ... Aku jadi merepotkan Ibu. Ngomong-ngomong, terima kasih banyak ya, Bu. Iya nanti setelah masak aku akan bikin cemilan buat teman ngobrol sama A Wira," ucap Nila."Sama-sama, Neng Nila. Sama sekali tidak merepotkan. Wira sudah saya anggap anak sendiri, berarti Neng Nila anak Ibu juga. Jangan sungkan kalau butuh apa-apa. Kesini saja," imbuh bu Heti.Ucapan bu Heti membuat Nila terharu. Disaat Retna membuangnya, kini ia dianggap anak oleh bu Heti, yang kenyataanya hanya tetangga Wira. Tapi kebaikannya membuat Nila merasa terharu."Kalau begitu aku pulang ya, Bu. Mau lanjutin masak lagi," pamit Nila."Iya, Neng Nila," sahut bu Heti.Nila pun segera keluar dari ru
Nila menyimpan ponselnya cukup kasar ke atas meja. Wira seperti sama sekali tak mengkhawatirkan keadaan Nila yang sedang hamil. Dengan entengnya dia menyuruh Nila untuk menginap di rumah Lita.Nila mengangkat masakannya dari wajan. Selera makannya mendadak hilang. Tak seharusnya Wira bersikap seperti itu. Terlebih hari ini adalah tanggal merah, dimana orang-orang libur bekerja, dan meluangkan waktu bersama keluarganya. Tapi tidak dengan Wira. Mungkin Nila bisa terima Wira kerja lembur ditanggal merah. Tapi jika sampai larut malam, apakah Nila mesti iya-iya saja?Hari semakin gelap, perasaan Nila mulai tak enak. Apakah dia akan diteror lagi?Bulu kuduknya mendadak meremang, was-was jika ia didatangi makhluk yang semalam mengejarnya lagi.Berkali-kali Nila mengusap tengkuknya."Ya Tuhan ... Semoga aku tidak didatangi makhluk itu lagi," batin Nila.Angin pun berhembus dengan hawa berbeda. Angin yang seakan membawa kengerian ke dalam dirinya.Nila bangkit dari kursi, kemudian berlari ke d
Wira tercengang saat melihat Melati ada di dalam rumahnya. Namun Melati tersenyum, saat melihat kedatangan Wira."Wira, kamu sudah pulang? Sudah lama kita nggak ketemu. Kebetulan sekali malam ini aku sedang bertamu di rumah ini. Aku dan Nila sudah menjadi teman. Senang sekali aku bisa mengenal istrimu, Wira. Kamu apa kabar? Sudah sebulan kembali tinggal disini, kamu tidak pernah menemuiku," imbuh Melati.Sementara Nila, dia hanya memperhatikan keduanya."Aku baik-baik saja, Mel. Maaf aku belum sempat menemuimu. Aku sibuk bekerja," sahut Wira. Gelagatnya menunjukkan jika ia merasa risih dengan adanya Melati di tengah-tengah Wira dan Nila."Ini, Nila diminum air hangatnya. Semoga kamu tidak kedinginan lagi. Kalau begitu, aku pamit pulang dulu." Melati berpamitan pulang. Sementara Nila hanya mengangguk tak banyak bicara.Sepulangnya Melati dari rumah Wira, kini Nila duduk termenung, memikirkan apa yang ia ketahui tentang Wira dan juga Melati. Walaupun Melati hanya masa lalu, tapi tak bis
Esok pagi pukul 08.00 WIB, warga desa Ciburicak berbondong-bondong pergi menuju balai desa.Kabar ini beredar dari mulut ke mulut, sehingga ada beberapa warga luar pun ikut hadir, karena ingin menyaksikan musyawarah yang diketuai oleh Abah Ikin, selaku tetua kampung itu.Riuh ramai warga memadati balai desa. Tak sedikit pula dari mereka, membicarakan teror yang santer terjadi di kampung itu.Kengerian, ketakutan, bahkan kekhawatiran warga sangat terasa jika malam tiba. Walaupun warga dihimbau untuk tidak mendekati gundukan tanah itu, namun tetap saja tidak dapat dipungkiri, mereka diselimuti rasa ketakutan. Terlebih dari mereka yang memiliki anak kecil yang tak tahu apa-apa. Was-was bilamana anak mereka akan menjadi korban."Pokoknya rencana kita tidak boleh gagal. Kita harus mencari tahu penyebabnya dan harus bisa memusnahkan makhluk itu. Bisa habis warga, jika makhluk itu dibiarkan berkeliaran bebas disini. Lagi pula, kesalahan apa yang pernah warga kampung kita pernah lakukan? Sehi
"Apa?" Wira terperanjat saat mendengar ucapan Abah Ikin."Tidak, ini sangat keterlaluan! Istri saya sedang hamil, kenapa mesti istri saya? Jika kalian mau, saya bersedia menggantikan istri saya!" ujar Wira, dengan suara yang cukup meninggi."Tenang, Wira, sabar ... Kami melakukan ini atas pertimbangan yang matang. Korban yang lain sudah tak terselamatkan, mereka sudah meregang nyawa akibat depresi terus menerus dihantui makhluk itu. Namun istri kamu yang sampai saat ini masih selamat dari teror makhluk itu," timpal pak kades."Jadi kalian bertiga akan mengorbankan istri saya? Kalian akan mempertaruhkan nyawa istri saya? Tidak, saya tidak akan membiarkan hal ini terjadi. Jika tahu semua akan seperti ini, lebih baik saya tidak ikut acara musyawarah ini." Wira sangat marah dengan keputusan pak kades dan juga Abah Ikin."Tapi Abah Kosmos tidak akan membiarkan istri kamu celaka. Ini hanya memancing kedatangannya saja, bukan berarti membiarkan istrimu dihabisi makhluk itu. Tidak, kami tidak
Seketika suasana berubah menjadi hening, tatkala Wira menjawab pertanyaan dari Nila dan juga Lita."Ma-maksud kamu, A, aku?" Nila menunjuk wajahnya sendiri.Dengan berat hati, Wira pun mengangguk mengiyakan."A Wira lagi bercanda, kan?" timpal Lita tak percaya.Wira menghela nafas dalam, "Sayangnya A Wira sedang tidak bercanda, Lita," sahut Wira.Nila dan Lita saling melempar pandangan."Tapi kenapa harus aku, A? Aku sedang hamil, loh!" tukas Nila."Awalnya A Wira juga menolak kamu dijadikan umpan. Tapi Abah Ikin, Pak kades dan Abah Kosmos, orang pintar dari desa sebelah, meyakinkan A Wira jika kamu akan baik-baik saja. Kamu hanya akan dijadikan pancingan, supaya makhluk itu datang. Lalu setelah itu, Abah Kosmos lah yang akan bertindak," sahut Wira.Nila kembali duduk di atas kursi. Ia memijat pelipisnya, bingung apakah ia harus bersedia atau tidak."Semua warga akan berhutang Budi sama kamu, jika kamu melakukannya," tambah Wira.Nila menoleh ke arah Wira, "Dengan cara mengorbankan ak
Di area pemakaman keramat, Nila duduk seorang diri di atas tikar. Semilir angin berhembus cukup kencang. Nila menoleh ke kiri dan ke kanan. Menatap gundukan tanah yang dikelilingi batu-batu yang sudah dipenuhi lumut.Cahaya rembulan adalah satu-satunya penerangannya disana. Nisan berlumut menjadi pemandangan di hadapannya.Beberapa kali hewan berupa burung hantu, memperdengarkan suara khasnya. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Nila saat itu.Nila bersandar pada pohon kelapa yang ada di belakangnya. Merasa pegal, ia menyelonjorkan kedua kakinya.Sementara di pintu masuk pemakaman, Wira, Abah Ikin dan pak kades sedang berkonsentrasi mengawasi keadaan sekitar. Sedangkan Abah Kosmos sedang sibuk dengan bacaan mantranya. Tercium aroma kemenyan, yang sengaja dibakar oleh Abah Kosmos.Dilain tempat, di lapangan Warga yang berkumpul terlihat hening. Tak satupun dari mereka yang berani mengeluarkan suara sepatah kata pun.Suasana diselimuti ketegangan, tak ada ketenangan di setiap hembusan n
"Aaaa!" Nila menjerit ketika melihat makhluk gundukan tanah itu berada di dalam kamarnya.Wira pun tak kalah kaget, ia terjingkat ketika melihat makhluk itu.Namun, setelah menampakkan dirinya beberapa detik, makhluk itu kemudian menghilang begitu saja."Ternyata bau itu berasal dari makhluk itu. Bu-bukannya Mak Onam sudah meninggal, tapi kenapa makhluk itu masih ada?" tanya Wira tergugup.Nila terdiam, sambil menekan rasa takutnya. Walau pun sudah beberapa kali Nila melihatnya. Namun, Nila masih merasakan ketakutan."A, sepertinya tugas kita belum selesai," lirih Nila.Alis Wira mengernyit, tidak mengerti dengan ucapan Nila."Maksud kamu, Neng?" tanya Wira."Kamu ingat perkataan Mama kemarin malam? Mama bilang, dia pernah mendengar makhluk itu meminta tolong untuk disempurnakan," jawab Nila.Wira berpikir sejenak, kemudian bersuara."Ah iya, kita melupakan hal itu. Tunggu-tunggu, kok aku jadi berpikiran sama sesuatu yang ada di gubuk Mak Onam, ya!" seru Wira.Kini giliran alis Nila y
"Nila, ini aku!" bisik seseorang yang tengah memeluk Nila dari belakang.Nila mengurai pelukannya lalu membalikkan badannya."Me-melati," lirih Nila tak menyangka bahwa Melati ada di hadapannya.Melati mengangguk sambil tersenyum, "Iya, Nila, ini aku, Melati."Di belakang Melati, Nila melihat ada Abah Kosmos, Abah Ikin dan tetua desa yang lain."Kok bisa?" Nila merasa bingung."Sudah, nanti saja aku cerita. Mana yang lain? Di sini ada hewan buas, jadi kamu jangan berisik," lirih Melati.Nila mengangguk, "Mereka ada di dalam.""Ya sudah ayo gabung sama mereka," ajak Melati."Sebentar, aku harus menghancurkan batu cincin ini dulu. Aku mau cari batu," ujar Melati.Dengan hati-hati, Abah Ikin berinisiatif mencarikan batu dan menyerahkannya kepada Nila.Dengan cepat Nila menghancurkan batu cincin itu. Tak ayal, suara teriakkan dari dalam gubuk menggema memenuhi atmosfer hutan itu."I-itu," ucap Melati."Iya, itu suara Mak Onam, dan batu ini merupakan sumber kekuatannya. Maafkan aku, Melati
Abah Uta segera mengambil obor yang lain.Beberapa inchi lagi, api telah mendekat ke arah kedua benda milik Mak Onam itu."Maafkan aku, Onam. Kamu sudah banyak merugikan orang lain. Terpaksa aku melakukan ini," gumam Abah Uta.Brus!Seketika api menyentuh kedua benda berupa buntelan kecil itu."Aaaa ... Kurang ajar kau, Uta. Aaaaa!" Teriakkan Mak Onam di atas batu, membuat semua orang menoleh. Mereka menyaksikan tubuh Mak Onam ambruk dan tidak bergerak lagi di atas batu.Kini, mereka bisa bernafas lega. Kedua benda itu telah habis terbakar, dan Mak Onam telah kalah."Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Apa kita mencari Abah Kosmos dulu? Aku lihat dia hanyut tadi. Aku harap beliau selamat," imbuh Wira."Begini saja, kita berpencar menjadi dua kelompok. Beberapa dari kita mencari Abah Kosmos, dan yang lain ikut saya ke kedalaman hutan. Saya ingin membawa putri saya dari sana. Saya khawatir jika Melati terus menerus berada di dalam hutan," sahut Abah Uta.Semua mengangguk setuju,
Huek!Wira berusaha menahan mual saat sesuatu yang ia sentuh itu mengeluarkan bau tak sedap. Wira sangat kesusahan melihatnya. Namun yang jelas, perasaan Wira sangat tidak enak.Wira bangkit dan meraba saku celananya. Ia teringat jika tadi saat istirahat di tempat kerja, ia sempat membeli korek untuk menyalakan rokok."Syukurlah ada," gumam Wira.Tangan gemetar Wira mulai menyalakan korek api itu."Ya Tuhan!"Wira beringsut mundur, dan kembali mematikan korek tersebut. Sesuatu di depan Wira sangat mengejutkannya. Ketika korek itu dinyalakan, jelas Wira melihat kepala menyembul dari dalam tanah dengan wujud mengerikan. Mungkin selama ini, makhluk inilah yang meneror warga bahkan juga istrinya, pikir Wira.Jantung Wira berdetak begitu kencang. Takut, sudah pasti, meski pun ia seorang lelaki, jika dihadapkan dalam situasi seperti ini maka ia akan berubah menjadi pengecut.Wira kembali menyalakan korek itu. Berusaha tidak memperdulikan makhluk itu yang masih ada. Wira gegas mencari oborny
Setelah melintasi aliran air terjun, Wira dan abah Kosmos kembali melewati kawasan hutan, menyusuri jalanan setapak menuju perkampungan.Tak ada percakapan diantara mereka berdua. Hanya helaan nafas yang terdengar saling bersahutan. Perjalanan malam ini terasa begitu menegangkan. Mereka akan berjuang mencari benda-benda milik mak Onam.Krosak!Langkah Wira terhenti, ketika mendengar sebuah suara dari arah belakangnya. Abah Kosmos yang berada di depan Wira menyentuh tangan Wira dan menyuruhnya untuk terus berjalan melalui sebuah isyarat tangannya."Sebisa mungkin kamu tidak boleh menoleh ke belakang atau pun ke samping. Ingat tujuan kita, jika kamu tidak ingin semuanya sia-sia," bisik abah Kosmos yang kini berjalan sejajar dengan Wira.Wira menelan saliva kasar, sambil mengangguk mengiyakan ucapan abah Kosmos.Mereka berdua terus saja berjalan. Sebuah suara kembali terdengar di telinga Wira. Namun, Wira selalu mengingat perkataan abah Kosmos barusan.Entah kenapa, Wira merasa jika jara
"Pak Kades," pekik Wira, saat mengetahui bahwa sang pemilik kepala yang tergeletak di semak-semak itu adalah milik pak kades.Semua orang tercengang, gegas mereka menghampiri pak kades. Mereka menyibakkan semak-semak itu. Tubuh pak kades tertutupi semak-semak. Hanya kepalanya saja yang menyembul keluar."Dia masih hidup," ujar Abah Kosmos setelah memeriksa nadinya."Syukurlah, kita bisa membawanya pulang. Setelah itu kita kembali ke rencana kita untuk menyelidiki rumah Mak Onam," imbuh aki Oyan.Semua mengangguk setuju, kemudian mulai mengangkat tubuh pak kades.Mereka kemudian hendak membalikkan badan. Namun, mereka tak menyadari ada sesosok berbalut kain putih, yang sedang berdiri di belakang mereka."Aaaa ... Apaan itu?" teriak Nila, ketiak melihat sosok itu.Sontak orang yang sedang menggotong tubuh pak kades hampir saja melemparkan tubuh pak kades, saking terkejut. Namun beruntung mereka bisa mempertahankan tubuh kak kades sehingga tidak sampai terjatuh.Di hadapan mereka, berdir
"Wira ... Nila!" teriak Retna dari jalan. Ia tergopoh-gopoh menyusul Wira dan Nila yang sedang berkumpul di lapangan. Sebelumnya Retna sudah diberitahu, jika malam ini akan ada ritual khusus yang akan dilakukan oleh tetua desa. "Mama," Sahut Nila. Semua orang menoleh ke arah Retna. Nila dan Wira pun bangkit dan menghampiri Retna. "Mama kenapa? Kenapa Mama kesini?" tanya Nila. Tubuh Retna bergetar, dari wajahnya terlihat raut ketakutan. "Sebaiknya kita bawa saja ke sana. Biar Mama bergabung sama kita," imbuh Wira. Nila mengangguk, kemudian menuntun Retna bergabung bersama tetua desa. Mereka membiarkan Retna tenang terlebih dahulu. Terlihat sekali, jika Retna seperti orang yang sangat ketakutan. Setelah dirasa tenang, Wira mencoba bertanya perihal ibu mertuanya menyusul mereka ke lapangan. "Jadi begini, Wira ... Semenjak Mama menempati rumah mak Onam, dari pertama Mama selalu merasakan keanehan. Setiap malam, Mama selalu mendengar suara gaduh di dalam kamar tengah. Awal
"Semoga Mama nyaman di sini, soal bayar sewa, biar aku saja yang bayarkan. Susah jika harus menunggu mobil laku dulu. Tapi Mama jangan khawatir, aku sudah menawarkan mobil Mama ke teman-teman dan atasan aku di tempat kerja," ujar Wira siang hari itu.Wira dan Retna telah berada di depan rumah mendiang Mak Onam. Wira menyewa rumah itu kepada saudara Mak Onam. Sebenarnya masih ada abah Uta, suaminya Mak Onam yang berhak menentukan rumah ini disewa atau tidak. Namun, akan susah jika harus berkomunikasi dengannya, mengingat jiwanya sedang terganggu. Sampai sekarang pun, entah dimana keberadaannya, karena ia selalu berpindah-pindah tempat."Iya, Wira ... Terima kasih banyak sudah membantu Mama. Mama pasti akan nyaman tinggal di sini. Halamannya luas, jadi Mama bisa belajar menanam cabai di sini," sahut Retna.Wira tersenyum sambil mengangguk, "Syukurlah kalau Mama suka. Sebenarnya aku dan Nila nggak mau Mama tinggal terpisah, apalagi Mama tinggal sendiri. Tapi kami juga harus menghargai ke
Suasana di rumah Wira begitu ramai. Warga berbondong-bondong mendatangi rumah Wira, guna mencari tahu apa yang terjadi semalam terhadap Nila."Abah ... Bagaimana bisa Nila seperti ini? Tapi syukurlah Abah kebetulan datang ke kampung ini. Sehingga Nila bisa diselamatkan," imbuh pak kades yang juga berada di rumah Wira.Di atas kursi panjang, Nila terbaring tak sadarkan diri. Di bagian tubuhnya seperti tangan, kaki dan pipinya terdapat luka bakar akibat semalam.Retna dan Wira pun terlihat syok akan kejadian yang menimpa Nila. Tak menyangka jika nyawa Nila semalam dalam bahaya. Wira yang baru saja sembuh, sangat khawatir saat tahu apa yang terjadi pada Nila semalam."Sebelumnya Abah sudah memberikan sebuah cincin kepada Nila. Cincin yang terhubung dengan cincin saya. Bilamana Nila berada dalam gangguan makhluk gundukan tanah itu, maka Abah bisa merasakannya. Maka semalam ketika Abah merasakan getaran hebat dari cincin ini, Abah langsung pergi ke kampung ini. Dan benar saja, Nila sedang