"Apa?" Wira terperanjat saat mendengar ucapan Abah Ikin."Tidak, ini sangat keterlaluan! Istri saya sedang hamil, kenapa mesti istri saya? Jika kalian mau, saya bersedia menggantikan istri saya!" ujar Wira, dengan suara yang cukup meninggi."Tenang, Wira, sabar ... Kami melakukan ini atas pertimbangan yang matang. Korban yang lain sudah tak terselamatkan, mereka sudah meregang nyawa akibat depresi terus menerus dihantui makhluk itu. Namun istri kamu yang sampai saat ini masih selamat dari teror makhluk itu," timpal pak kades."Jadi kalian bertiga akan mengorbankan istri saya? Kalian akan mempertaruhkan nyawa istri saya? Tidak, saya tidak akan membiarkan hal ini terjadi. Jika tahu semua akan seperti ini, lebih baik saya tidak ikut acara musyawarah ini." Wira sangat marah dengan keputusan pak kades dan juga Abah Ikin."Tapi Abah Kosmos tidak akan membiarkan istri kamu celaka. Ini hanya memancing kedatangannya saja, bukan berarti membiarkan istrimu dihabisi makhluk itu. Tidak, kami tidak
Seketika suasana berubah menjadi hening, tatkala Wira menjawab pertanyaan dari Nila dan juga Lita."Ma-maksud kamu, A, aku?" Nila menunjuk wajahnya sendiri.Dengan berat hati, Wira pun mengangguk mengiyakan."A Wira lagi bercanda, kan?" timpal Lita tak percaya.Wira menghela nafas dalam, "Sayangnya A Wira sedang tidak bercanda, Lita," sahut Wira.Nila dan Lita saling melempar pandangan."Tapi kenapa harus aku, A? Aku sedang hamil, loh!" tukas Nila."Awalnya A Wira juga menolak kamu dijadikan umpan. Tapi Abah Ikin, Pak kades dan Abah Kosmos, orang pintar dari desa sebelah, meyakinkan A Wira jika kamu akan baik-baik saja. Kamu hanya akan dijadikan pancingan, supaya makhluk itu datang. Lalu setelah itu, Abah Kosmos lah yang akan bertindak," sahut Wira.Nila kembali duduk di atas kursi. Ia memijat pelipisnya, bingung apakah ia harus bersedia atau tidak."Semua warga akan berhutang Budi sama kamu, jika kamu melakukannya," tambah Wira.Nila menoleh ke arah Wira, "Dengan cara mengorbankan ak
Di area pemakaman keramat, Nila duduk seorang diri di atas tikar. Semilir angin berhembus cukup kencang. Nila menoleh ke kiri dan ke kanan. Menatap gundukan tanah yang dikelilingi batu-batu yang sudah dipenuhi lumut.Cahaya rembulan adalah satu-satunya penerangannya disana. Nisan berlumut menjadi pemandangan di hadapannya.Beberapa kali hewan berupa burung hantu, memperdengarkan suara khasnya. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Nila saat itu.Nila bersandar pada pohon kelapa yang ada di belakangnya. Merasa pegal, ia menyelonjorkan kedua kakinya.Sementara di pintu masuk pemakaman, Wira, Abah Ikin dan pak kades sedang berkonsentrasi mengawasi keadaan sekitar. Sedangkan Abah Kosmos sedang sibuk dengan bacaan mantranya. Tercium aroma kemenyan, yang sengaja dibakar oleh Abah Kosmos.Dilain tempat, di lapangan Warga yang berkumpul terlihat hening. Tak satupun dari mereka yang berani mengeluarkan suara sepatah kata pun.Suasana diselimuti ketegangan, tak ada ketenangan di setiap hembusan n
"Saya merasakannya ... Saya merasakan kedatangan makhluk itu!" Abah Kosmos bergumam dengan mata tertutup. Ia masih berkutat dengan kemenyan yang dibakar diatas bara api.Mendengar ucapan Abah Kosmos, membuat Wira menoleh ke arahnya. Wira menunggu instruksi darinya, tentang langkah apa yang harus mereka lakukan selanjutnya."Dia datang! Ya, dia sudah datang." Abah Kosmos membuka matanya lalu menoleh ke arah Wira."Dia datang, tapi anehnya saya tidak mendengar suara Nila sedikitpun. Apakah diantara kalian ada yang mendengar Nila berteriak?" tanya Abah Kosmos.Wira dan yang lain kompak menggeleng. Mereka sama sekali tak mendengar suara Nila sedikitpun."Abah, saya takut terjadi apa-apa pada istriku," ujar Wira diselimuti rasa gelisah."Sebaiknya kita masuk sekarang!" ajak Abah Kosmos.Tanpa menunda-nunda, Wira berlari masuk ke area pemakaman, disusul oleh Abah Ikin, Abah Kosmos dan pak kades.Setibanya di tempat terakhir Nila ditinggal, Wira sama sekali tak melihat Nila. Hanya ada botol
Di sebuah rumah panggung, terdapat sepasang lansia yang sedang menatap tubuh wanita terbungkus kain jarik. Terbaring dalam keadaan tak sadarkan diri dan kulit berwarna pucat."Coba periksa lagi, Pak! Apakah dia masih bernafas?" tanya wanita tua kepada suaminya.Sang suami beringsut mendekati tubuh itu. Namun tiba-tiba tubuh itu bangkit dan membuka matanya. Membuat kedua lansia itu terkejut bukan main. Namun mereka berdua merasa lega, bahwa wanita yang berada di hadapannya ternyata masih dalam keadaan hidup."Syukurlah kamu sudah sadar, Neng!" imbuh wanita tua itu.Nila menatap sekeliling ruangan yang terasa asing baginya."Kamu pasti heran dan bertanya-tanya kamu dimana dan kamu siapa. Saya Aki Oyan dan ini istri saya namanya Nini Anih," timpal aki Oyan memperkenalkan diri dan juga istrinya."Saya Nila, kenapa saya bisa ada disini?" tanya Nila."2 jam yang lalu, saat Aki sedang mencari belut di sawah, tak sengaja Aki melihat kamu tersangkut di bebatuan di tepi kali dekat sawah. Awalny
Kini Nila sudah bersiap untuk pulang ke kampung Wira. Perasaannya was-was, namun ia juga teringat akan Wira, yang pasti sangat khawatir dengan menghilangnya dirinya."Kamu hati-hati di jalan ya, Neng! Jika diberi kesempatan, semoga kita bisa bertemu lagi," imbuh Nini Anih, merasa sedih saat Nila hendak pulang."Nini jangan sedih, insya Allah kita bertemu lagi dilain waktu," sahut Nila."Nini sedih, karena pasti di rumah ini sepi lagi. Walaupun pertemuan kita sangat singkat, tapi Nini merasa terhibur dengan adanya kamu disini. Tapi tidak apa-apa, kamu harus pulang, Neng. Kasihan suami kamu pasti dia sedang menunggu kepulangan kamu," ujar Nini Anih.Nila memeluk Nini Anih sangat erat, beruntung ia ditolong oleh orang-orang baik seperti mereka."Sebentar, kamu jangan pergi dulu. Nini mau ambil sesuatu di dapur," kata Nini Anih, sambil berlalu ke belakang.Nila kemudian duduk bersamaan dengan Aki Oyan yang sedang menggulung daun aren yang berisi tembakau."Aki, kira-kira berapa jam aku ha
Nila menatap takjub rumah yang ada dihadapannya. Begitu megah dan indah serta terlihat halaman tertata rapi.Disana terdapat wanita cantik yang sedang berdiri di teras rumah itu. Cantik, benar-benar cantik. Nila yang melihatnya, begitu kagum akan kecantikannya.Tanpa diduga, wanita cantik itu menoleh ke arah Nila. Dia tersenyum lalu melambaikan tangan.Nila yang merasa dirinyalah yang dipanggil wanita itu, segera melangkahkan kakinya menuju rumah itu.Setelah Nila berdiri di teras rumah itu, wanita cantik yang ada dihadapan Nila segera menyapa Nila."Siapa kamu? Kenapa kamu berdiri di depan rumahku?" tanya wanita itu."Sa-saya Nila, saya minta maaf jika saya sudah lancang. Saya hanya numpang lewat saja. Saya mau pulang ke kampung suami saya. Tapi sayangnya saya kemalaman," jawab Nila tak enak hati.Wanita itu tersenyum, kemudian memperkenalkan dirinya kepada Nila."Aku Nyai Rukmini, jika berkenan kamu boleh menginap di rumahku. Kebetulan rumahku terdapat banyak kamar. Memang rumah ini
"Aaaaa!"Nila terbangun dengan nafas tersengal-sengal. Ia baru tersadar, ternyata hari sudah pagi. Matahari pagi menyinari tubuhnya di sela-sela pepohonan yang menjulang tinggi. Namun sesuatu yang janggal baru ia sadari. Nila kini berada di bawah pohon beringin tua, dengan akar yang sudah menjalar bergelantungan."Aku ... Kenapa aku ada di sini? Bukankah aku sedang berada di rumah Nyai Rukmini?" gumam Nila.Nila memijat pelipisnya, merasa aneh dengan semua yang terjadi pada dirinya."Rumah megah, Nyai Rukmini, apakah semua itu hanya halusinasi?" gumam Nila."Tapi makanan itu ...." Nila menghentikan ucapannya, saat kakinya merasakan geli.Nila menatap kakinya, yang sedang dikerubuti belatung. Sontak membuat Nila berteriak ketakutan sekaligus geli. Nila berdiri dan loncat-loncat karena merasa geli dan jijik.Tak jauh dari tempat Nila, terdapat bangkai tikus yang sudah dikerubuti lalat dan belatung, juga cacing yang masih menggeliat, di atas daun pisang yang sudah kering."Apakah makanan