Nila menyimpan ponselnya cukup kasar ke atas meja. Wira seperti sama sekali tak mengkhawatirkan keadaan Nila yang sedang hamil. Dengan entengnya dia menyuruh Nila untuk menginap di rumah Lita.Nila mengangkat masakannya dari wajan. Selera makannya mendadak hilang. Tak seharusnya Wira bersikap seperti itu. Terlebih hari ini adalah tanggal merah, dimana orang-orang libur bekerja, dan meluangkan waktu bersama keluarganya. Tapi tidak dengan Wira. Mungkin Nila bisa terima Wira kerja lembur ditanggal merah. Tapi jika sampai larut malam, apakah Nila mesti iya-iya saja?Hari semakin gelap, perasaan Nila mulai tak enak. Apakah dia akan diteror lagi?Bulu kuduknya mendadak meremang, was-was jika ia didatangi makhluk yang semalam mengejarnya lagi.Berkali-kali Nila mengusap tengkuknya."Ya Tuhan ... Semoga aku tidak didatangi makhluk itu lagi," batin Nila.Angin pun berhembus dengan hawa berbeda. Angin yang seakan membawa kengerian ke dalam dirinya.Nila bangkit dari kursi, kemudian berlari ke d
Wira tercengang saat melihat Melati ada di dalam rumahnya. Namun Melati tersenyum, saat melihat kedatangan Wira."Wira, kamu sudah pulang? Sudah lama kita nggak ketemu. Kebetulan sekali malam ini aku sedang bertamu di rumah ini. Aku dan Nila sudah menjadi teman. Senang sekali aku bisa mengenal istrimu, Wira. Kamu apa kabar? Sudah sebulan kembali tinggal disini, kamu tidak pernah menemuiku," imbuh Melati.Sementara Nila, dia hanya memperhatikan keduanya."Aku baik-baik saja, Mel. Maaf aku belum sempat menemuimu. Aku sibuk bekerja," sahut Wira. Gelagatnya menunjukkan jika ia merasa risih dengan adanya Melati di tengah-tengah Wira dan Nila."Ini, Nila diminum air hangatnya. Semoga kamu tidak kedinginan lagi. Kalau begitu, aku pamit pulang dulu." Melati berpamitan pulang. Sementara Nila hanya mengangguk tak banyak bicara.Sepulangnya Melati dari rumah Wira, kini Nila duduk termenung, memikirkan apa yang ia ketahui tentang Wira dan juga Melati. Walaupun Melati hanya masa lalu, tapi tak bis
Esok pagi pukul 08.00 WIB, warga desa Ciburicak berbondong-bondong pergi menuju balai desa.Kabar ini beredar dari mulut ke mulut, sehingga ada beberapa warga luar pun ikut hadir, karena ingin menyaksikan musyawarah yang diketuai oleh Abah Ikin, selaku tetua kampung itu.Riuh ramai warga memadati balai desa. Tak sedikit pula dari mereka, membicarakan teror yang santer terjadi di kampung itu.Kengerian, ketakutan, bahkan kekhawatiran warga sangat terasa jika malam tiba. Walaupun warga dihimbau untuk tidak mendekati gundukan tanah itu, namun tetap saja tidak dapat dipungkiri, mereka diselimuti rasa ketakutan. Terlebih dari mereka yang memiliki anak kecil yang tak tahu apa-apa. Was-was bilamana anak mereka akan menjadi korban."Pokoknya rencana kita tidak boleh gagal. Kita harus mencari tahu penyebabnya dan harus bisa memusnahkan makhluk itu. Bisa habis warga, jika makhluk itu dibiarkan berkeliaran bebas disini. Lagi pula, kesalahan apa yang pernah warga kampung kita pernah lakukan? Sehi
"Apa?" Wira terperanjat saat mendengar ucapan Abah Ikin."Tidak, ini sangat keterlaluan! Istri saya sedang hamil, kenapa mesti istri saya? Jika kalian mau, saya bersedia menggantikan istri saya!" ujar Wira, dengan suara yang cukup meninggi."Tenang, Wira, sabar ... Kami melakukan ini atas pertimbangan yang matang. Korban yang lain sudah tak terselamatkan, mereka sudah meregang nyawa akibat depresi terus menerus dihantui makhluk itu. Namun istri kamu yang sampai saat ini masih selamat dari teror makhluk itu," timpal pak kades."Jadi kalian bertiga akan mengorbankan istri saya? Kalian akan mempertaruhkan nyawa istri saya? Tidak, saya tidak akan membiarkan hal ini terjadi. Jika tahu semua akan seperti ini, lebih baik saya tidak ikut acara musyawarah ini." Wira sangat marah dengan keputusan pak kades dan juga Abah Ikin."Tapi Abah Kosmos tidak akan membiarkan istri kamu celaka. Ini hanya memancing kedatangannya saja, bukan berarti membiarkan istrimu dihabisi makhluk itu. Tidak, kami tidak
Seketika suasana berubah menjadi hening, tatkala Wira menjawab pertanyaan dari Nila dan juga Lita."Ma-maksud kamu, A, aku?" Nila menunjuk wajahnya sendiri.Dengan berat hati, Wira pun mengangguk mengiyakan."A Wira lagi bercanda, kan?" timpal Lita tak percaya.Wira menghela nafas dalam, "Sayangnya A Wira sedang tidak bercanda, Lita," sahut Wira.Nila dan Lita saling melempar pandangan."Tapi kenapa harus aku, A? Aku sedang hamil, loh!" tukas Nila."Awalnya A Wira juga menolak kamu dijadikan umpan. Tapi Abah Ikin, Pak kades dan Abah Kosmos, orang pintar dari desa sebelah, meyakinkan A Wira jika kamu akan baik-baik saja. Kamu hanya akan dijadikan pancingan, supaya makhluk itu datang. Lalu setelah itu, Abah Kosmos lah yang akan bertindak," sahut Wira.Nila kembali duduk di atas kursi. Ia memijat pelipisnya, bingung apakah ia harus bersedia atau tidak."Semua warga akan berhutang Budi sama kamu, jika kamu melakukannya," tambah Wira.Nila menoleh ke arah Wira, "Dengan cara mengorbankan ak
Di area pemakaman keramat, Nila duduk seorang diri di atas tikar. Semilir angin berhembus cukup kencang. Nila menoleh ke kiri dan ke kanan. Menatap gundukan tanah yang dikelilingi batu-batu yang sudah dipenuhi lumut.Cahaya rembulan adalah satu-satunya penerangannya disana. Nisan berlumut menjadi pemandangan di hadapannya.Beberapa kali hewan berupa burung hantu, memperdengarkan suara khasnya. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Nila saat itu.Nila bersandar pada pohon kelapa yang ada di belakangnya. Merasa pegal, ia menyelonjorkan kedua kakinya.Sementara di pintu masuk pemakaman, Wira, Abah Ikin dan pak kades sedang berkonsentrasi mengawasi keadaan sekitar. Sedangkan Abah Kosmos sedang sibuk dengan bacaan mantranya. Tercium aroma kemenyan, yang sengaja dibakar oleh Abah Kosmos.Dilain tempat, di lapangan Warga yang berkumpul terlihat hening. Tak satupun dari mereka yang berani mengeluarkan suara sepatah kata pun.Suasana diselimuti ketegangan, tak ada ketenangan di setiap hembusan n
"Saya merasakannya ... Saya merasakan kedatangan makhluk itu!" Abah Kosmos bergumam dengan mata tertutup. Ia masih berkutat dengan kemenyan yang dibakar diatas bara api.Mendengar ucapan Abah Kosmos, membuat Wira menoleh ke arahnya. Wira menunggu instruksi darinya, tentang langkah apa yang harus mereka lakukan selanjutnya."Dia datang! Ya, dia sudah datang." Abah Kosmos membuka matanya lalu menoleh ke arah Wira."Dia datang, tapi anehnya saya tidak mendengar suara Nila sedikitpun. Apakah diantara kalian ada yang mendengar Nila berteriak?" tanya Abah Kosmos.Wira dan yang lain kompak menggeleng. Mereka sama sekali tak mendengar suara Nila sedikitpun."Abah, saya takut terjadi apa-apa pada istriku," ujar Wira diselimuti rasa gelisah."Sebaiknya kita masuk sekarang!" ajak Abah Kosmos.Tanpa menunda-nunda, Wira berlari masuk ke area pemakaman, disusul oleh Abah Ikin, Abah Kosmos dan pak kades.Setibanya di tempat terakhir Nila ditinggal, Wira sama sekali tak melihat Nila. Hanya ada botol
Di sebuah rumah panggung, terdapat sepasang lansia yang sedang menatap tubuh wanita terbungkus kain jarik. Terbaring dalam keadaan tak sadarkan diri dan kulit berwarna pucat."Coba periksa lagi, Pak! Apakah dia masih bernafas?" tanya wanita tua kepada suaminya.Sang suami beringsut mendekati tubuh itu. Namun tiba-tiba tubuh itu bangkit dan membuka matanya. Membuat kedua lansia itu terkejut bukan main. Namun mereka berdua merasa lega, bahwa wanita yang berada di hadapannya ternyata masih dalam keadaan hidup."Syukurlah kamu sudah sadar, Neng!" imbuh wanita tua itu.Nila menatap sekeliling ruangan yang terasa asing baginya."Kamu pasti heran dan bertanya-tanya kamu dimana dan kamu siapa. Saya Aki Oyan dan ini istri saya namanya Nini Anih," timpal aki Oyan memperkenalkan diri dan juga istrinya."Saya Nila, kenapa saya bisa ada disini?" tanya Nila."2 jam yang lalu, saat Aki sedang mencari belut di sawah, tak sengaja Aki melihat kamu tersangkut di bebatuan di tepi kali dekat sawah. Awalny