Nila berjalan ke arah yang ditunjuknya. Namun Lita segera mencegahnya.
"Jangan, Teh, bahaya!" cegah Lita. "Aku nggak percaya dengan adanya larangan itu. Nggak masuk diakal aja, masa melihat gundukan tanah saja sampai depresi. Lagian ini kan masih siang," seloroh Nila. Nila melepaskan tangannya dari pegangan tangan Kita. Nila mendekati gundukan tanah itu, dia tak mau mendengarkan peringatan dari Lita. Setelah mendekat, hidung Nila seperti mencium bau sesuatu yang sangat menyengat. Nila mengambil ranting pohon yang tergeletak di atas tanah. Kemudian dia mengorek gundukan tanah itu menggunakan ranting pohon tersebut. Betapa terkejutnya ia, saat mendapati sesuatu di dalamnya. Alangkah menyesalnya ia telah mengorek gundukan tanah itu. "Kenapa, Teh?" tanya Lita merasa was-was. "Kotoran kucing, banyak dan gede banget," jawab Nila sambil menutup hidungnya. Hampir saja Nila muntah dibuatnya. Nila segera menjauhi benda itu, kemudian mengajak masuk Lita ke dalam rumah. "Ayo masuk, Lit. Sudah ... disini memang nggak ada apa-apa. Mungkin larangan yang dikatakan warga hanya mitos. Buktinya, gundukan tanah yang aku temui ternyata cuma kotoran kucing. Menyeramkan sih, karena bau," imbuh Nila memberi pengertian, bahwa isu yang digemborkan warga memang tidak benar adanya. Mereka berdua masuk ke dalam. Lanjut Nila membuat teh dan makanan yang baru saja ia beli. "Ck ... Kok susah nyala sih," gerutu Nila saat mencoba menyalakan api di dalam tungku. Beberapa kali Nila meniup, menambah kayu bakar, dan berkali-kali juga menyalakan korek api, sampai-sampai korek api hampir habis namun api belum juga menyala. "Susah sekali nyala, ini gimana aku mau makan?" gumam Nila. Dari arah ruang tengah, Lita berjalan menghampiri Nila yang masih berkutat dengan tungku dan kayu bakar. "Kenapa, Teh? Susah nyala ya apinya?" tanya Lita. "Iya nih, Lit. Aku belum pernah masak di tungku. Ini kali pertama aku masak seperti ini. Susah sekali nyalanya," jawab Nila. "Kesini, biar aku bantu. Gampang ini." Dalam satu kali percobaan, api pun menyala cukup besar di dalam tungku. "Wuih ... Hebat kamu! Kamu kayaknya sudah terbiasa masak di tungku," imbuh Nila. "Disini hampir semua warga masak pakai tungku. Jarang-jarang ada yang pakai kompor. Adapun pakai kompor, isi ulang gasnya susah, mesti nyari di luar desa ini," sahut Lita. "Terus kalau kayunya habis, nyarinya dimana?" tanya Nila. "Itu sih gampang, tinggal masuk saja ke hutan, disana banyak kayu bakar," jawab Lita. Selesai memasak dan membuat teh, mereka berdua lanjut makan. Setelah itu Lita pun berpamitan pulang, karena harus menyiapkan makanan untuk orang tuanya yang sebentar lagi pulang dari kebun. Sore hari pun tiba, lembayung senja menampakkan wujudnya di langit. Gegas Nila menyalakan semua lampu yang ada di rumah itu. Semilir angin berhembus di sela-sela dinding bilik bambu kala Nila sedang duduk menunggu kepulangan suaminya. Nila merasakan dingin yang menusuk pori-pori kulitnya. Tak ada hiburan sama sekali untuk sebatas menghilangkan sepi. Televisi pun mereka belum punya, karena uang Wira belum cukup untuk membelinya. Suara jangkrik mulai terdengar bersahutan. "Sudah jam 18.30, kok A Wira belum pulang, ya?" batin Nila. Hari sudah gelap, suasana di luar pun sangat sepi saat malam menjelang. Nila mencoba berpikir positif, tidak akan ada hal-hal aneh di rumah ini. Kalaupun kejadian malam tadi, mungkin hanya halusinasi saja, efek dari kecapean. Kini Nila harus berpikir jernih, tidak mau membesar-besarkan kejadian janggal yang ia alami. Nila kemudian pergi ke dapur, menyiapkan makan malam untuk Wira. Supaya jika Wira datang, mereka langsung makan. Angin kembali berhembus, namun kali ini sangat kencang. Membuat daun-daun di luar berguguran. Cuaca dingin seakan menusuk tulang. Tapi Nila bersyukur, malam ini hujan tidak turun. Brem .... Terdengar suara motor di depan rumah. Membuat Nila segera bangkit dari duduknya, dan berjalan dari ruang tengah menuju pintu. Saat sudah berada di depan pintu, Nila sedikit menyingkap gorden yang menutupi kaca jendela. Ternyata bukan motor Wira, melainkan motor milik warga yang kebetulan hanya lewat. Nila kemudian duduk di atas kursi rotan tua, peninggalan orang tua Wira. Brem .... Terdengar kembali suara motor, kali ini berhenti tepat di depan rumah. Nila bangkit dan membukakan pintu. Ceklek! Terlihat Wira sudah pulang, dengan pakaian yang basah kuyup. "Aa habis kehujanan?" tanya Nila, heran melihat baju suaminya basah. Padahal di tempat ini tidak turun hujan sama sekali. "Iya, Neng, tadi di jalan hujan, Aa lupa nggak bawa mantel. Tapi nyampe sini, ternyata tidak hujan, ya!" jawab Wira. "Ya sudah, ayo cepetan masuk. Aku siapin dulu air hangat, untuk Aa mandi. Sebentar, aku ke dapur dulu!" imbuh Nila. Wira masuk ke dalam kamar, untuk mengambil handuk. Sementara Nila segera menuang air panas dari dalam termos ke dalam ember. Wira pun bergegas pergi ke kamar mandi belakang. Sementara Nila menunggunya di ruang tengah, sembari duduk di hadapan menu makan malam yang tertata rapi di atas meja. Gluduk! Sebuh suara yang terdengar dari arah kamar tengah. Membuat Nila menoleh ke arah pintu kamar itu, yang masih tertutup rapat. "Ck ... Pasti tikus, pasti A Wira lupa membersihkan kamar tengah," batin Nila. Suara itu berulang-ulang terdengar, membuat Nila penasaran ingin membuka ruang tengah tersebut. Nila berdiri dan menghampiri pintu kamar itu. Tangannya perlahan meraih handle pintu, lalu hendak memutar kenop nya. Ceklek! Pintu usang itu dengan mudahnya terbuka. Gelap, pengap, dan lembab sangat terasa di dalam sana. Samar-samar Nila hanya bisa melihat dari sorot lampu ruang tengah, yang sedikit tembus ke dalam kamar. Tak ada yang aneh di dalam kamar itu, hanya ada ranjang besi tua, lemari kayu tua, cermin rias tua, dan yang membuat Nila terpaku adalah sebuah tanah yang menyembul dari lantai tanah, di kolong ranjang besi itu. Nila menatapnya lekat, entah ada apa di dalam tanah itu, namun terlihat sedikit bergerak-gerak. Glek! Nila menelan ludah kasar, saat melihat tanah itu mulai bergerak mendekatinya. "Apaan itu?" Nila melangkah mundur, hingga tubuhnya menabrak dinding. Gundukan tanah itu pun berhenti bergerak. Membuat Nila bisa bernafas lega. Rasa penasaran Nila berkecamuk, namun ia juga reflek teringat akan ucapan Lita tadi siang. "Apa iya, yang diomongin Lita benar? Tapi ini benar-benar nggak masuk akal. Aku nggak bisa menelan mentah isu yang belum tentu benar adanya," batin Nila bersikukuh. Mata Nila masih terpaku pada benda itu. Perlahan ia maju beberapa langkah mendekati benda itu. Dengan tangan gemetar, Nila mencoba menyibak tanah itu, ingin melihat apa sebenarnya yang ada di dalamnya. "Sedikit lagi!" Suara bisikan yang entah dari mana, terdengar halus seperti tertiup angin di telinga Nila. "Siapa itu?" Nila menoleh ke sana kemari. Namun tak ada orang di dalam sana selain dirinya. "Neng, kamu dimana? Ayo makan!" Tiba-tiba Wira memanggil. "Ah, iya, A. Sebentar!" sahut Nila. Nila segera berdiri dan keluar, meninggalkan gundukan tanah itu. Kriet .... Blag! Pintu kamar pun tertutup dengan sendirinya, dengan cukup keras.Nila menoleh ke belakang, karena terkejut saat pintu kamar itu tertutup dengan sendirinya."Perasaan barusan anginnya biasa saja," batin Nila. Namun dengan cepat ia mengabaikannya."Sudah selesai mandinya? Ayo kita makan!" seru Nila menghampiri Wira di dalam kamar mereka."Sudah, ayo!" sahut Wira.Mereka berdua yang semula berada di kamar depan, kemudian berjalan ke ruangan tengah. Mereka berdua segera makan malam, sebelum beristirahat."Tadi Aa ketemu sama Mama kamu di jalan." Wira membuka obrolan disela-sela mereka makan."Oh ya? Terus gimana Rekasi Mama? Apa dia nanyain kabar aku?" tanya Nila. Walaupun Retna telah mengusirnya, namun tidak dipungkiri Nila sangat merindukannya, walaupun baru beberapa hari mereka tidak berkomunikasi dan bertemu."Masih sama, Neng. Bahkan Aa saja yang mau menyalaminya, Mama malah menepis tangan Aa. Tapi tidak apa-apa, kita berdoa saja semoga Mama dibukakan hatinya. Kita buktikan sama Mama, kita bisa hidup bahagia," jawab Wira.Hati Nila mencelos, segit
Suara halus berbisik tertangkap oleh telinga Nila. Membuatnya kembali bangun dan menoleh kesana kemari."Siapa itu?" Nila menatap seluruh sudut kamar, namun tak mendapati siapapun disana. Hanya ada dirinya seorang diri."Ya Tuhan ... Kenapa akhir-akhir ini, aku sering berhalusinasi." Nila bergumam."Aku disini, lihat aku!" Kembali suara itu terdengar.Nila turun dari ranjang, berjalan mencari sumber suara itu."Aku disini, di belakangmu!"Seperti terhipnotis, Nila menoleh dan mendapati sebuah gundukan tanah, yang sempat ia lihat tadi."Ya ... Kau menemukanku. Mendekatlah!" seru suara itu.Nila menuruti kata-kata suara itu. Dia berjongkok mendekat pada gundukan tanah itu."Gali ...." Bisikan itu menuntun Nila untuk menggali tanah itu.Antara sadar dan tidak, Nila pun mengangguk kemudian mulai mengorek tanah itu tanpa bantuan alat. Ia mengorek tanah itu hanya menggunakan kedua tangannya.Semakin lama, Nila semakin membabi buta mengorek tanah itu."Kenapa ini? Kenapa tanganku terus berge
Lima tahun silam ....Tok! Tok! Tok!Sebuah ketukan di pintu depan, terdengar nyaring. Sehingga aku dan kedua orang tuaku yang sedang makan malam, menoleh ke arah pintu."Biar aku saja yang buka." Aku beranjak pergi menghampiri pintu.Ceklek!Pintu pun aku buka lebar, namun saat pintu sudah terbuka, aku tidak melihat siapa-siapa di luar. Aku menoleh kesana kemari, namun tetap nihil, aku tidak menemukan siapapun."Ah ... Iseng sekali," gumamku.Aku hendak menutup pintu kembali, namun ekor mataku menangkap sesuatu di bawah pintu.Sebuah kantong kresek hitam tergeletak di depan pintu. Entah apa isinya, namun terlihat sesuatu yang berisi banyak."Siapa yang datang, Wira?" tanya bapak yang sudah selesai makan."Nggak tahu, Pak. Tapi aku menemukan ini." Aku menyerahkan kantong kresek itu kepada bapak."Apa ya, Pak kira-kira? Coba buka, Ibu penasaran," imbuh ibu.Bapak pun membuka kantong kresek itu, dan terlihat setelah dibuka, buah jeruk yang berjumlah banyak. Warna kulitnya begitu menggod
"Kamu kenapa, Neng? Siapa yang kirim pesan?" tanya Wira, heran saat melihat perubahan ekspresi Nila.Tangan Nila bergetar, ia tak mampu menahan segala emosi yang ada pada dirinya.Dengan gemetar, Nila memperlihatkan ponselnya kepada Wira. Wira menerimanya kemudian melihat apa yang membuat Nila seperti itu."Mama!" lirih Wira.Nila menjatuhkan kepalanya di bahu Wira. Ia terisak sedih dan sangat kecewa."Tega sekali, Mama. Setelah membuangku, dengan gampangnya dia mengangkat seorang anak. Aku tidak masalah jika anak itu masih kecil. Tapi seperti yang kamu lihat, A, dia sudah dewasa sama sepertiku," ujar Nila bersedih.Di dalam pesan itu, Retna sengaja mengirimkan sebuah foto dirinya bersama perempuan yang ditaksir usianya tak jauh beda dengan Nila. Retna juga mengirimkan pesan teks, memberitahu jika foto perempuan yang bersama dirinya adalah anak angkatnya.Entah apa maksud Retna, sehingga tega menyakiti perasaan Nila, sebagai anak kandungnya."Maafkan Aa, Neng," ucap Wira menunduk.Nil
"Sari!" Nila terus memanggil-manggil nama Sari. Entah kemana perginya, yang jelas Sangat cepat menghilang.Nila berjalan lurus mencari Sari, dia menoleh kesana kemari. Niatnya mencari kayu bakar, kini fokusnya terbuyarkan oleh menghilangnya Sari."Sari kamu dimana?" teriak Nila.Nila terus berjalan, beberapa kali kakinya menginjak ranting-ranting pohon, sehingga menimbulkan suara-suara patahan kayu-kayu kecil yang cukup nyaring."Sar!" Nila terus memanggil.Dari arah belakang, seseorang menepuk bahu Nila. Alhasil Nila terlonjak kaget."Sari, kamu ngagetin a ... ja!" Setelah Nila membalikkan tubuhnya, ternyata bukan Sari yang menepuk bahu Nila, melainkan seorang pria tua dengan pakaian compang-camping."Huh huh!" ujar pria itu.Nila tak mengerti dengan ucapan pria itu, namun tangannya menunjuk ke suatu arah."Ada apa, Pak? Apakah Bapak lihat teman saya?" tanya Nila."Huh huh!" Sama seperti sebelumnya, pria itu berbicara dengan bahasa yang tidak jelas. Namun tangannya terus menunjuk ke
"Suara apa itu, Mel?" tanya Nila yang sangat terkejut. Jantungnya pun berdegup dengan kencang."Biar aku lihat dulu, kamu tunggu disini. Habiskan makananmu," imbuhnya.Melati pergi ke sumber suara, sedangkan Nila duduk walaupun penasaran dengan suara itu.Melati mendapati pintu belakang terbuka lebar. Daun pintu itu nyaris terlepas dari engselnya.Di ambang pintu, berdiri pria berpakaian compang camping, menatap tajam ke arah Melati."Mau apa kamu kesini? Pergi kamu, orang nggak waras!" usir Melati.Nila yang dilanda penasaran, segera beranjak dan menghampiri Melati."Bapak, Bapak yang tadi di hutan, kan?" tanya Nila saat melihat pria tua itu."Huh huh!" Pria tua itu masih berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti semua orang."Kamu ketemu sama dia?" tanya Melati."Iya, aku tadi ketemu sama bapak-bapak ini. Dia memberitahu aku, saat aku mencari Sari yang tiba-tiba menghilang," jawab Nila.Tiba-tiba Melati memegang lengan Nila."Kamu mesti hati-hati dengan orang tidak waras ini. Di
"Aa ...." jerit Nila, saat lampu tiba-tiba mati. Keadaan sangat gelap, membuat Nila tak bisa melangkah dengan leluasa.Dari arah dapur, terlihat Wira berjalan sambil membawa lilin."Kamu dari mana saja sih, Neng? Aku cemas nungguin kamu," ujar Wira, berjalan ke arah Nila.Nila melangkah masuk ke dalam rumah. Mereka berdua duduk di atas kursi ruang tamu."Maafin aku, A. Tadi kayu bakar habis, disini nggak ada persediaan air masak buat minum. Jadi terpaksa aku pergi ke hutan buat nyari kayu bakar. Tadi aku sempat jatuh di hutan, terus ada Melati yang nolongin aku dan dibawa ke rumahnya saat aku pingsan. Waktu mau pulang, eh malah hujan deras. Terpaksa aku nunggu di rumah Melati sampai aku ketiduran," sahut Nila.Dahi Wira mengernyit, lalu ia mengusap rambut Nila yang diikat namun acak-acakan."Ya sudah kalau begitu, yang penting kamu selamat sampai rumah. Kamu belum mandi, kan? Aku buatin air hangat dulu buat kamu mandi. Oh iya, kayu bakarnya kamu taruh dimana?" tanya Wira."Di belakang
Setelah berbelanja untuk makan malam nanti. Nila segera pulang ke rumah, untuk menyimpan semua telur-telur dan bahan lainnya di dalam keranjang belanjaan.Brak!"Aaaa!"Tiba-tiba dari kejauhan terlihat seorang pria berlari kencang, dan nahasnya sebuah motor yang kebetulan melintas, tak sengaja menabraknya."Bapak!" jerit seorang wanita dan dua anak kecil laki-laki dan perempuan.Orang-orang yang berada di warung, bahkan dari dalam rumah mereka, berhamburan menghampiri pria itu. Nila pun tak tinggal diam, ia segera berlari menghampiri pria malang itu.Keadaan menjadi riuh ramai, jalanan berubah menjadi kerumunan orang-orang yang penasaran apa yang terjadi barusan.Setelah Nila mendekat, terlihat pria yang tertabrak motor itu, tergeletak bersimbah darah di bagian kepala. Sementara si pengendara motor, terlihat menahan sakit di bagian kakinya yang tertimpa motornya sendiri."Bapak ... Bapak bangun, Pak!" jerit wanita dan kedua anak kecil itu."Bapak ... Kenapa semuanya jadi seperti ini,
"Aaaa!" Nila menjerit ketika melihat makhluk gundukan tanah itu berada di dalam kamarnya.Wira pun tak kalah kaget, ia terjingkat ketika melihat makhluk itu.Namun, setelah menampakkan dirinya beberapa detik, makhluk itu kemudian menghilang begitu saja."Ternyata bau itu berasal dari makhluk itu. Bu-bukannya Mak Onam sudah meninggal, tapi kenapa makhluk itu masih ada?" tanya Wira tergugup.Nila terdiam, sambil menekan rasa takutnya. Walau pun sudah beberapa kali Nila melihatnya. Namun, Nila masih merasakan ketakutan."A, sepertinya tugas kita belum selesai," lirih Nila.Alis Wira mengernyit, tidak mengerti dengan ucapan Nila."Maksud kamu, Neng?" tanya Wira."Kamu ingat perkataan Mama kemarin malam? Mama bilang, dia pernah mendengar makhluk itu meminta tolong untuk disempurnakan," jawab Nila.Wira berpikir sejenak, kemudian bersuara."Ah iya, kita melupakan hal itu. Tunggu-tunggu, kok aku jadi berpikiran sama sesuatu yang ada di gubuk Mak Onam, ya!" seru Wira.Kini giliran alis Nila y
"Nila, ini aku!" bisik seseorang yang tengah memeluk Nila dari belakang.Nila mengurai pelukannya lalu membalikkan badannya."Me-melati," lirih Nila tak menyangka bahwa Melati ada di hadapannya.Melati mengangguk sambil tersenyum, "Iya, Nila, ini aku, Melati."Di belakang Melati, Nila melihat ada Abah Kosmos, Abah Ikin dan tetua desa yang lain."Kok bisa?" Nila merasa bingung."Sudah, nanti saja aku cerita. Mana yang lain? Di sini ada hewan buas, jadi kamu jangan berisik," lirih Melati.Nila mengangguk, "Mereka ada di dalam.""Ya sudah ayo gabung sama mereka," ajak Melati."Sebentar, aku harus menghancurkan batu cincin ini dulu. Aku mau cari batu," ujar Melati.Dengan hati-hati, Abah Ikin berinisiatif mencarikan batu dan menyerahkannya kepada Nila.Dengan cepat Nila menghancurkan batu cincin itu. Tak ayal, suara teriakkan dari dalam gubuk menggema memenuhi atmosfer hutan itu."I-itu," ucap Melati."Iya, itu suara Mak Onam, dan batu ini merupakan sumber kekuatannya. Maafkan aku, Melati
Abah Uta segera mengambil obor yang lain.Beberapa inchi lagi, api telah mendekat ke arah kedua benda milik Mak Onam itu."Maafkan aku, Onam. Kamu sudah banyak merugikan orang lain. Terpaksa aku melakukan ini," gumam Abah Uta.Brus!Seketika api menyentuh kedua benda berupa buntelan kecil itu."Aaaa ... Kurang ajar kau, Uta. Aaaaa!" Teriakkan Mak Onam di atas batu, membuat semua orang menoleh. Mereka menyaksikan tubuh Mak Onam ambruk dan tidak bergerak lagi di atas batu.Kini, mereka bisa bernafas lega. Kedua benda itu telah habis terbakar, dan Mak Onam telah kalah."Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Apa kita mencari Abah Kosmos dulu? Aku lihat dia hanyut tadi. Aku harap beliau selamat," imbuh Wira."Begini saja, kita berpencar menjadi dua kelompok. Beberapa dari kita mencari Abah Kosmos, dan yang lain ikut saya ke kedalaman hutan. Saya ingin membawa putri saya dari sana. Saya khawatir jika Melati terus menerus berada di dalam hutan," sahut Abah Uta.Semua mengangguk setuju,
Huek!Wira berusaha menahan mual saat sesuatu yang ia sentuh itu mengeluarkan bau tak sedap. Wira sangat kesusahan melihatnya. Namun yang jelas, perasaan Wira sangat tidak enak.Wira bangkit dan meraba saku celananya. Ia teringat jika tadi saat istirahat di tempat kerja, ia sempat membeli korek untuk menyalakan rokok."Syukurlah ada," gumam Wira.Tangan gemetar Wira mulai menyalakan korek api itu."Ya Tuhan!"Wira beringsut mundur, dan kembali mematikan korek tersebut. Sesuatu di depan Wira sangat mengejutkannya. Ketika korek itu dinyalakan, jelas Wira melihat kepala menyembul dari dalam tanah dengan wujud mengerikan. Mungkin selama ini, makhluk inilah yang meneror warga bahkan juga istrinya, pikir Wira.Jantung Wira berdetak begitu kencang. Takut, sudah pasti, meski pun ia seorang lelaki, jika dihadapkan dalam situasi seperti ini maka ia akan berubah menjadi pengecut.Wira kembali menyalakan korek itu. Berusaha tidak memperdulikan makhluk itu yang masih ada. Wira gegas mencari oborny
Setelah melintasi aliran air terjun, Wira dan abah Kosmos kembali melewati kawasan hutan, menyusuri jalanan setapak menuju perkampungan.Tak ada percakapan diantara mereka berdua. Hanya helaan nafas yang terdengar saling bersahutan. Perjalanan malam ini terasa begitu menegangkan. Mereka akan berjuang mencari benda-benda milik mak Onam.Krosak!Langkah Wira terhenti, ketika mendengar sebuah suara dari arah belakangnya. Abah Kosmos yang berada di depan Wira menyentuh tangan Wira dan menyuruhnya untuk terus berjalan melalui sebuah isyarat tangannya."Sebisa mungkin kamu tidak boleh menoleh ke belakang atau pun ke samping. Ingat tujuan kita, jika kamu tidak ingin semuanya sia-sia," bisik abah Kosmos yang kini berjalan sejajar dengan Wira.Wira menelan saliva kasar, sambil mengangguk mengiyakan ucapan abah Kosmos.Mereka berdua terus saja berjalan. Sebuah suara kembali terdengar di telinga Wira. Namun, Wira selalu mengingat perkataan abah Kosmos barusan.Entah kenapa, Wira merasa jika jara
"Pak Kades," pekik Wira, saat mengetahui bahwa sang pemilik kepala yang tergeletak di semak-semak itu adalah milik pak kades.Semua orang tercengang, gegas mereka menghampiri pak kades. Mereka menyibakkan semak-semak itu. Tubuh pak kades tertutupi semak-semak. Hanya kepalanya saja yang menyembul keluar."Dia masih hidup," ujar Abah Kosmos setelah memeriksa nadinya."Syukurlah, kita bisa membawanya pulang. Setelah itu kita kembali ke rencana kita untuk menyelidiki rumah Mak Onam," imbuh aki Oyan.Semua mengangguk setuju, kemudian mulai mengangkat tubuh pak kades.Mereka kemudian hendak membalikkan badan. Namun, mereka tak menyadari ada sesosok berbalut kain putih, yang sedang berdiri di belakang mereka."Aaaa ... Apaan itu?" teriak Nila, ketiak melihat sosok itu.Sontak orang yang sedang menggotong tubuh pak kades hampir saja melemparkan tubuh pak kades, saking terkejut. Namun beruntung mereka bisa mempertahankan tubuh kak kades sehingga tidak sampai terjatuh.Di hadapan mereka, berdir
"Wira ... Nila!" teriak Retna dari jalan. Ia tergopoh-gopoh menyusul Wira dan Nila yang sedang berkumpul di lapangan. Sebelumnya Retna sudah diberitahu, jika malam ini akan ada ritual khusus yang akan dilakukan oleh tetua desa. "Mama," Sahut Nila. Semua orang menoleh ke arah Retna. Nila dan Wira pun bangkit dan menghampiri Retna. "Mama kenapa? Kenapa Mama kesini?" tanya Nila. Tubuh Retna bergetar, dari wajahnya terlihat raut ketakutan. "Sebaiknya kita bawa saja ke sana. Biar Mama bergabung sama kita," imbuh Wira. Nila mengangguk, kemudian menuntun Retna bergabung bersama tetua desa. Mereka membiarkan Retna tenang terlebih dahulu. Terlihat sekali, jika Retna seperti orang yang sangat ketakutan. Setelah dirasa tenang, Wira mencoba bertanya perihal ibu mertuanya menyusul mereka ke lapangan. "Jadi begini, Wira ... Semenjak Mama menempati rumah mak Onam, dari pertama Mama selalu merasakan keanehan. Setiap malam, Mama selalu mendengar suara gaduh di dalam kamar tengah. Awal
"Semoga Mama nyaman di sini, soal bayar sewa, biar aku saja yang bayarkan. Susah jika harus menunggu mobil laku dulu. Tapi Mama jangan khawatir, aku sudah menawarkan mobil Mama ke teman-teman dan atasan aku di tempat kerja," ujar Wira siang hari itu.Wira dan Retna telah berada di depan rumah mendiang Mak Onam. Wira menyewa rumah itu kepada saudara Mak Onam. Sebenarnya masih ada abah Uta, suaminya Mak Onam yang berhak menentukan rumah ini disewa atau tidak. Namun, akan susah jika harus berkomunikasi dengannya, mengingat jiwanya sedang terganggu. Sampai sekarang pun, entah dimana keberadaannya, karena ia selalu berpindah-pindah tempat."Iya, Wira ... Terima kasih banyak sudah membantu Mama. Mama pasti akan nyaman tinggal di sini. Halamannya luas, jadi Mama bisa belajar menanam cabai di sini," sahut Retna.Wira tersenyum sambil mengangguk, "Syukurlah kalau Mama suka. Sebenarnya aku dan Nila nggak mau Mama tinggal terpisah, apalagi Mama tinggal sendiri. Tapi kami juga harus menghargai ke
Suasana di rumah Wira begitu ramai. Warga berbondong-bondong mendatangi rumah Wira, guna mencari tahu apa yang terjadi semalam terhadap Nila."Abah ... Bagaimana bisa Nila seperti ini? Tapi syukurlah Abah kebetulan datang ke kampung ini. Sehingga Nila bisa diselamatkan," imbuh pak kades yang juga berada di rumah Wira.Di atas kursi panjang, Nila terbaring tak sadarkan diri. Di bagian tubuhnya seperti tangan, kaki dan pipinya terdapat luka bakar akibat semalam.Retna dan Wira pun terlihat syok akan kejadian yang menimpa Nila. Tak menyangka jika nyawa Nila semalam dalam bahaya. Wira yang baru saja sembuh, sangat khawatir saat tahu apa yang terjadi pada Nila semalam."Sebelumnya Abah sudah memberikan sebuah cincin kepada Nila. Cincin yang terhubung dengan cincin saya. Bilamana Nila berada dalam gangguan makhluk gundukan tanah itu, maka Abah bisa merasakannya. Maka semalam ketika Abah merasakan getaran hebat dari cincin ini, Abah langsung pergi ke kampung ini. Dan benar saja, Nila sedang