Share

Bab 4 Tak Percaya

Nila berjalan ke arah yang ditunjuknya. Namun Lita segera mencegahnya.

"Jangan, Teh, bahaya!" cegah Lita.

"Aku nggak percaya dengan adanya larangan itu. Nggak masuk diakal aja, masa melihat gundukan tanah saja sampai depresi. Lagian ini kan masih siang," seloroh Nila.

Nila melepaskan tangannya dari pegangan tangan Kita.

Nila mendekati gundukan tanah itu, dia tak mau mendengarkan peringatan dari Lita.

Setelah mendekat, hidung Nila seperti mencium bau sesuatu yang sangat menyengat.

Nila mengambil ranting pohon yang tergeletak di atas tanah. Kemudian dia mengorek gundukan tanah itu menggunakan ranting pohon tersebut.

Betapa terkejutnya ia, saat mendapati sesuatu di dalamnya. Alangkah menyesalnya ia telah mengorek gundukan tanah itu.

"Kenapa, Teh?" tanya Lita merasa was-was.

"Kotoran kucing, banyak dan gede banget," jawab Nila sambil menutup hidungnya. Hampir saja Nila muntah dibuatnya.

Nila segera menjauhi benda itu, kemudian mengajak masuk Lita ke dalam rumah.

"Ayo masuk, Lit. Sudah ... disini memang nggak ada apa-apa. Mungkin larangan yang dikatakan warga hanya mitos. Buktinya, gundukan tanah yang aku temui ternyata cuma kotoran kucing. Menyeramkan sih, karena bau," imbuh Nila memberi pengertian, bahwa isu yang digemborkan warga memang tidak benar adanya.

Mereka berdua masuk ke dalam. Lanjut Nila membuat teh dan makanan yang baru saja ia beli.

"Ck ... Kok susah nyala sih," gerutu Nila saat mencoba menyalakan api di dalam tungku.

Beberapa kali Nila meniup, menambah kayu bakar, dan berkali-kali juga menyalakan korek api, sampai-sampai korek api hampir habis namun api belum juga menyala.

"Susah sekali nyala, ini gimana aku mau makan?" gumam Nila.

Dari arah ruang tengah, Lita berjalan menghampiri Nila yang masih berkutat dengan tungku dan kayu bakar.

"Kenapa, Teh? Susah nyala ya apinya?" tanya Lita.

"Iya nih, Lit. Aku belum pernah masak di tungku. Ini kali pertama aku masak seperti ini. Susah sekali nyalanya," jawab Nila.

"Kesini, biar aku bantu. Gampang ini." Dalam satu kali percobaan, api pun menyala cukup besar di dalam tungku.

"Wuih ... Hebat kamu! Kamu kayaknya sudah terbiasa masak di tungku," imbuh Nila.

"Disini hampir semua warga masak pakai tungku. Jarang-jarang ada yang pakai kompor. Adapun pakai kompor, isi ulang gasnya susah, mesti nyari di luar desa ini," sahut Lita.

"Terus kalau kayunya habis, nyarinya dimana?" tanya Nila.

"Itu sih gampang, tinggal masuk saja ke hutan, disana banyak kayu bakar," jawab Lita.

Selesai memasak dan membuat teh, mereka berdua lanjut makan. Setelah itu Lita pun berpamitan pulang, karena harus menyiapkan makanan untuk orang tuanya yang sebentar lagi pulang dari kebun.

Sore hari pun tiba, lembayung senja menampakkan wujudnya di langit. Gegas Nila menyalakan semua lampu yang ada di rumah itu.

Semilir angin berhembus di sela-sela dinding bilik bambu kala Nila sedang duduk menunggu kepulangan suaminya.

Nila merasakan dingin yang menusuk pori-pori kulitnya. Tak ada hiburan sama sekali untuk sebatas menghilangkan sepi. Televisi pun mereka belum punya, karena uang Wira belum cukup untuk membelinya.

Suara jangkrik mulai terdengar bersahutan.

"Sudah jam 18.30, kok A Wira belum pulang, ya?" batin Nila.

Hari sudah gelap, suasana di luar pun sangat sepi saat malam menjelang.

Nila mencoba berpikir positif, tidak akan ada hal-hal aneh di rumah ini. Kalaupun kejadian malam tadi, mungkin hanya halusinasi saja, efek dari kecapean. Kini Nila harus berpikir jernih, tidak mau membesar-besarkan kejadian janggal yang ia alami.

Nila kemudian pergi ke dapur, menyiapkan makan malam untuk Wira. Supaya jika Wira datang, mereka langsung makan.

Angin kembali berhembus, namun kali ini sangat kencang. Membuat daun-daun di luar berguguran. Cuaca dingin seakan menusuk tulang. Tapi Nila bersyukur, malam ini hujan tidak turun.

Brem ....

Terdengar suara motor di depan rumah. Membuat Nila segera bangkit dari duduknya, dan berjalan dari ruang tengah menuju pintu. Saat sudah berada di depan pintu, Nila sedikit menyingkap gorden yang menutupi kaca jendela. Ternyata bukan motor Wira, melainkan motor milik warga yang kebetulan hanya lewat.

Nila kemudian duduk di atas kursi rotan tua, peninggalan orang tua Wira.

Brem ....

Terdengar kembali suara motor, kali ini berhenti tepat di depan rumah. Nila bangkit dan membukakan pintu.

Ceklek!

Terlihat Wira sudah pulang, dengan pakaian yang basah kuyup.

"Aa habis kehujanan?" tanya Nila, heran melihat baju suaminya basah. Padahal di tempat ini tidak turun hujan sama sekali.

"Iya, Neng, tadi di jalan hujan, Aa lupa nggak bawa mantel. Tapi nyampe sini, ternyata tidak hujan, ya!" jawab Wira.

"Ya sudah, ayo cepetan masuk. Aku siapin dulu air hangat, untuk Aa mandi. Sebentar, aku ke dapur dulu!" imbuh Nila.

Wira masuk ke dalam kamar, untuk mengambil handuk. Sementara Nila segera menuang air panas dari dalam termos ke dalam ember.

Wira pun bergegas pergi ke kamar mandi belakang. Sementara Nila menunggunya di ruang tengah, sembari duduk di hadapan menu makan malam yang tertata rapi di atas meja.

Gluduk!

Sebuh suara yang terdengar dari arah kamar tengah. Membuat Nila menoleh ke arah pintu kamar itu, yang masih tertutup rapat.

"Ck ... Pasti tikus, pasti A Wira lupa membersihkan kamar tengah," batin Nila.

Suara itu berulang-ulang terdengar, membuat Nila penasaran ingin membuka ruang tengah tersebut.

Nila berdiri dan menghampiri pintu kamar itu. Tangannya perlahan meraih handle pintu, lalu hendak memutar kenop nya.

Ceklek!

Pintu usang itu dengan mudahnya terbuka. Gelap, pengap, dan lembab sangat terasa di dalam sana. Samar-samar Nila hanya bisa melihat dari sorot lampu ruang tengah, yang sedikit tembus ke dalam kamar.

Tak ada yang aneh di dalam kamar itu, hanya ada ranjang besi tua, lemari kayu tua, cermin rias tua, dan yang membuat Nila terpaku adalah sebuah tanah yang menyembul dari lantai tanah, di kolong ranjang besi itu.

Nila menatapnya lekat, entah ada apa di dalam tanah itu, namun terlihat sedikit bergerak-gerak.

Glek!

Nila menelan ludah kasar, saat melihat tanah itu mulai bergerak mendekatinya.

"Apaan itu?" Nila melangkah mundur, hingga tubuhnya menabrak dinding.

Gundukan tanah itu pun berhenti bergerak. Membuat Nila bisa bernafas lega. Rasa penasaran Nila berkecamuk, namun ia juga reflek teringat akan ucapan Lita tadi siang.

"Apa iya, yang diomongin Lita benar? Tapi ini benar-benar nggak masuk akal. Aku nggak bisa menelan mentah isu yang belum tentu benar adanya," batin Nila bersikukuh.

Mata Nila masih terpaku pada benda itu. Perlahan ia maju beberapa langkah mendekati benda itu.

Dengan tangan gemetar, Nila mencoba menyibak tanah itu, ingin melihat apa sebenarnya yang ada di dalamnya.

"Sedikit lagi!" Suara bisikan yang entah dari mana, terdengar halus seperti tertiup angin di telinga Nila.

"Siapa itu?" Nila menoleh ke sana kemari. Namun tak ada orang di dalam sana selain dirinya.

"Neng, kamu dimana? Ayo makan!" Tiba-tiba Wira memanggil.

"Ah, iya, A. Sebentar!" sahut Nila.

Nila segera berdiri dan keluar, meninggalkan gundukan tanah itu.

Kriet ....

Blag!

Pintu kamar pun tertutup dengan sendirinya, dengan cukup keras.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status