Semalaman Nila berusaha untuk memejamkan matanya. Namun rasa takut mendominasi dirinya. Terdengar Wira masih mendengkur namun kali ini cukup keras.
"Jika yang tadi yang bukain pintu bukan A Wira, lalu siapa?" batin Nila. Hujan pun mereda, dan kini hanya menyisakan rintik-rintik kecil. Semilir angin berhembus perlahan dari celah-celah bilik bambu. Membuat malam pertama di rumah Wira, menjadi malam yang mencekam bagi Nila. Nila tidak berani bergerak walaupun sekedar menghadap ke arah Wira. Baru kali ini Nila mengalami hal semacam ini. "Neng, kamu belum tidur?" Wira menegur Nila yang masih terjaga. Nila menoleh ke arah pintu kamar, terlihat Wira sedang berdiri menatap dirinya. Jantung Nila semakin berdegup kencang, saat suara dengkuran dari Wira masih terdengar dari belakang. Batin Nila berkecamuk, dia bingung, entah yang mana suaminya yang asli. Dengan rasa penasaran, Nila menoleh ke arah Wira yang ada di atas kasur, di belakangnya. Ia yakin, Wira yang sedang berbaring dengannya adalah Wira yang asli. Namun .... "Aaaaaa!" "Neng, bangun. Ini sudah pagi, kenapa kamu teriak-teriak?" Wira mengguncangkan tubuh Nila, dikala Nila berteriak sangat kencang. Nila bangun, dan mendapati Wira sedang duduk di tepian ranjang menatapnya heran. Terlihat Wira sudah mengenakan seragam kerjanya. "Kamu mimpi buruk?" tanya Wira penasaran. Nila mengangguk, namun rasanya yang baru saja terjadi seperti nyata. "Iya, A, aku mimpi buruk, semalam lupa baca doa sebelum tidur. Aa mau berangkat kerja?" jawab Nila kemudian bertanya. "Makanya sebelum tidur, harus ingat baca doa. Kasihan sekali istri Aa, sampai keringetan begini. Iya, Aa mau berangkat kerja sekarang," jawab Wira. Nila terdiam, jika Wira berangkat bekerja, maka otomatis Nila akan tinggal sendirian di rumah ini selama Wira belum pulang. Kejadian semalam dan mimpi barusan, membuatnya merasa cemas. Nila pun berniat ingin menceritakan perihal yang terjadi semalam. Mungkin memintanya untuk berhenti bekerja di pabrik tempat Wira bekerja, mungkin akan lebih baik. Nila akan memintanya untuk bekerja di dekat-dekat kampung saja. Supaya Wira tidak pulang menjelang malam. "A ...." "Aa mau berangkat dulu, Neng. Keuangan kita sudah menipis. Kalau Aa tidak masuk kerja lagi, bisa-bisa Aa dipecat dan gaji pun dipotong. Bingung kalau seandainya begitu, sebab di daerah sini sangat susah mencari pekerjaan," potong Wira. Baru saja Nila ingin mengungkapkan keluh kesahnya, Wira sudah berbicara demikian. Membuat Nila tak sampai hati jika membuat Wira dipecat dan tidak punya pekerjaan lagi. "Ya sudah, A, hati-hati di jalan. Maaf aku nggak sempat membuat sarapan buat Aa," ucap Nila yang akhirnya pasrah dengan keadaan ini. "Tidak apa-apa, Aa sarapan di kantin saja. Ini uang buat keperluan kamu, kalau mau belanja terus nggak tahu tempatnya dimana, bisa minta antar sama Lita. Rumahnya ada di sebelah kanan rumah ini. Tadi Aa sudah menitipkan kamu sama dia. Semoga kamu nyaman ya, Neng tinggal disini, karena hanya rumah ini harapan kita bisa tinggal." Wira mengecup kening Nila. Nila mengangguk, kemudian Wira pun segera mengeluarkan motornya. Selepas Wira pergi, Nila segera membersihkan diri di kamar mandi. Berbicara kamar mandi, Nila masih trauma dengan kejadian semalam. Namun ia paksakan, karena hanya itu kamar mandi satu-satunya di rumah ini. Selepas mandi, Nila berdandan rapi hendak pergi ke warung sembako untuk belanja kebutuhan rumah. Nila membuka pintu dan terlihat seorang wanita muda berdiri di depan rumah. "Punten, Teteh istrinya A Wira?" tanya wanita itu. "Iya, saya Nila istrinya Wira. Kamu siapa?" Nila balik bertanya. "Saya Lita, tetangga sebelah. Tadi A Wira datang ke rumah, katanya saya disuruh mengantar Teh Nila belanja. Takutnya jika tidak diantar, Teh Nila nanti kesasar. Begitu pesan A Wira tadi," jawab Lita. Nila mengangguk, kemudian menyetujui usul Wira untuk belanja ditemani Lita. "Ya sudah kalau begitu, ayo tunjukkan dimana warung sembakonya!" ujar Nila. Mereka berdua pun berjalan kaki hendak menuju warung. "Saya nggak nyangka, A Wira ternyata pulang lagi ke rumahnya. Saya kira dia tidak akan kesini lagi," ujar Lita membuka obrolan. "Iya, setelah menikah rencananya kami mau tinggal di rumahku. Tapi karena ada problem, jadi kami memutuskan untuk tinggal di rumah mendiang orang tua Wira," sahut Nila. "Oh begitu, hebat ya A Wira. Dapat istri cantik, baik, dan mau tinggal kampung. Sayang ya, kami tidak tahu pas A Wira menikah. Tapi nggak apa-apa, saya berdoa semoga pernikahan kalian langgeng sampai kakek nenek," imbuh Lita. "Aamiin ...." ucap Nila. Tak terasa, dengan berjalan sambil mengobrol, akhirnya mereka sudah sampai di tempat yang dituju. Terlihat banyak sekali ibu-ibu yang hendak membeli kebutuhan rumah mereka. "Nah, ayo, Teh. Mau belanja apa?" tanya Lita. Nila dan Lita mendekati warung itu, kemudian memilih-milih kebutuhan makanan dan sabun untuk di rumah. "Neng orang baru ya?" Pedagang di warung itu bertanya kepada Nila. Ibu-ibu yang sedang fokus belanja pun serempak menoleh ke arah Nila. "Iya, saya baru semalam pindah kesini. Saya Nila istrinya Wira dari kota B." Nila memperkenalkan diri. "Wah ... Bagus kalau begitu. Saya kira Wira tidak akan pernah kembali lagi kesini. Kasihan dia, akibat kematian kedua orang tuanya yang sangat tragis, membuatnya lama tidak pulang kesini dan memilih merantau di kota. Tapi syukurlah, dia kembali dan membawa istri. Setidaknya ada teman untuk mengobrol dan dia tidak merasa sedih lagi," timpal salah satu ibu-ibu berkacamata tebal. Nila mengangguk, walaupun dia sangat penasaran atas meninggalnya Kedua orang tua Wira, namun dia memilih tetap diam. Mungkin bertanya kepada Wira akan lebih baik, sebab Wira tidak pernah menceritakan tentang sebab kematian kedua orang tuanya. Selesai mendapatkan semua kebutuhan rumah, Nila dan Lita pun pulang. "Oh iya, Teh. Tahu nggak tentang larangan di kampung ini?" Tiba-tiba Wina bertanya seperti itu. "Maksudnya, karangan seperti apa?" tanya Nila dengan dahi mengernyit. "Nih aku kasih tahu, ya. Di kampung ini ada larangan jangan pernah mendekati gundukan tanah. Jika tiba-tiba Teteh atau A Wira melihatnya, segera jauhi!" jawab Lita dengan tatapan serius. "Lah, memangnya kenapa? Kok A Wira nggak pernah cerita sama saya?" tanya Nila. "Ya A Wira juga pasti belum tahu, sebab lama di kota. Kejadian ini baru setahun belakangan ini," jawab Lita. "Terus kalau saya mendekatinya, apa yang akan terjadi?" tanya Nila, di dalam hatinya ia tak percaya dengan larangan yang menurutnya sedikit konyol itu. "Ya pokoknya jangan deh, kalau nggak mau lihat wujud aslinya. Soalnya gundukan tanah itu bisa gerak dan berpindah-pindah," jawab Lita. "Memangnya wujudnya seperti apa? Kamu pernah melihatnya?" tanya Nila. "Belum pernah sih, tapi ada beberapa warga yang pernah melihatnya. Konon katanya wujudnya sangat menyeramkan sampai-sampai yang pernah melihatnya menjadi depresi akibat terus menerus dihantui oleh sosok itu setelah mendekatinya," jawab Lita. "Ah kamu ada-ada saja. Mana ada sih hal yang seperti itu." Nila berkilah, bukannya ia tak percaya dengan hal-hal ghaib, namun mendengar kata larangan tersebut, rasanya konyol sekali. "Yee ... Teteh mah dikasih tahu nggak percaya. Pokoknya jangan sekali-kali mendekat!" imbuh Lita. Nila hanya mengangguk dan iya-iya saja. Mengobrol dengan Lita, seperti mengobrol dengan bocah SD, namun terasa menghibur. "Ya sudah, ini mau nyampe rumah. Mau mampir? Kita ngopi-ngopi dulu. Aku nggak ada teman soalnya di rumah," tawarku. "Em ... Ya sudah kalau begitu, saya juga di rumah sendirian. Emak dan Abah sedang pergi ke kebun," sahut Lita. Mereka berdua melenggang masuk ke halaman rumah Wira. "Lit, itu apa?" Langkah Nila berhenti saat dia menunjuk sesuatu yang menyembul dari tanah. Sontak membuat Lita memegang lengan Nila kuat. Tercium bau sesuatu yang sangat menyengat.Nila berjalan ke arah yang ditunjuknya. Namun Lita segera mencegahnya."Jangan, Teh, bahaya!" cegah Lita."Aku nggak percaya dengan adanya larangan itu. Nggak masuk diakal aja, masa melihat gundukan tanah saja sampai depresi. Lagian ini kan masih siang," seloroh Nila.Nila melepaskan tangannya dari pegangan tangan Kita.Nila mendekati gundukan tanah itu, dia tak mau mendengarkan peringatan dari Lita.Setelah mendekat, hidung Nila seperti mencium bau sesuatu yang sangat menyengat.Nila mengambil ranting pohon yang tergeletak di atas tanah. Kemudian dia mengorek gundukan tanah itu menggunakan ranting pohon tersebut.Betapa terkejutnya ia, saat mendapati sesuatu di dalamnya. Alangkah menyesalnya ia telah mengorek gundukan tanah itu."Kenapa, Teh?" tanya Lita merasa was-was."Kotoran kucing, banyak dan gede banget," jawab Nila sambil menutup hidungnya. Hampir saja Nila muntah dibuatnya.Nila segera menjauhi benda itu, kemudian mengajak masuk Lita ke dalam rumah."Ayo masuk, Lit. Sudah ...
Nila menoleh ke belakang, karena terkejut saat pintu kamar itu tertutup dengan sendirinya."Perasaan barusan anginnya biasa saja," batin Nila. Namun dengan cepat ia mengabaikannya."Sudah selesai mandinya? Ayo kita makan!" seru Nila menghampiri Wira di dalam kamar mereka."Sudah, ayo!" sahut Wira.Mereka berdua yang semula berada di kamar depan, kemudian berjalan ke ruangan tengah. Mereka berdua segera makan malam, sebelum beristirahat."Tadi Aa ketemu sama Mama kamu di jalan." Wira membuka obrolan disela-sela mereka makan."Oh ya? Terus gimana Rekasi Mama? Apa dia nanyain kabar aku?" tanya Nila. Walaupun Retna telah mengusirnya, namun tidak dipungkiri Nila sangat merindukannya, walaupun baru beberapa hari mereka tidak berkomunikasi dan bertemu."Masih sama, Neng. Bahkan Aa saja yang mau menyalaminya, Mama malah menepis tangan Aa. Tapi tidak apa-apa, kita berdoa saja semoga Mama dibukakan hatinya. Kita buktikan sama Mama, kita bisa hidup bahagia," jawab Wira.Hati Nila mencelos, segit
Suara halus berbisik tertangkap oleh telinga Nila. Membuatnya kembali bangun dan menoleh kesana kemari."Siapa itu?" Nila menatap seluruh sudut kamar, namun tak mendapati siapapun disana. Hanya ada dirinya seorang diri."Ya Tuhan ... Kenapa akhir-akhir ini, aku sering berhalusinasi." Nila bergumam."Aku disini, lihat aku!" Kembali suara itu terdengar.Nila turun dari ranjang, berjalan mencari sumber suara itu."Aku disini, di belakangmu!"Seperti terhipnotis, Nila menoleh dan mendapati sebuah gundukan tanah, yang sempat ia lihat tadi."Ya ... Kau menemukanku. Mendekatlah!" seru suara itu.Nila menuruti kata-kata suara itu. Dia berjongkok mendekat pada gundukan tanah itu."Gali ...." Bisikan itu menuntun Nila untuk menggali tanah itu.Antara sadar dan tidak, Nila pun mengangguk kemudian mulai mengorek tanah itu tanpa bantuan alat. Ia mengorek tanah itu hanya menggunakan kedua tangannya.Semakin lama, Nila semakin membabi buta mengorek tanah itu."Kenapa ini? Kenapa tanganku terus berge
Lima tahun silam ....Tok! Tok! Tok!Sebuah ketukan di pintu depan, terdengar nyaring. Sehingga aku dan kedua orang tuaku yang sedang makan malam, menoleh ke arah pintu."Biar aku saja yang buka." Aku beranjak pergi menghampiri pintu.Ceklek!Pintu pun aku buka lebar, namun saat pintu sudah terbuka, aku tidak melihat siapa-siapa di luar. Aku menoleh kesana kemari, namun tetap nihil, aku tidak menemukan siapapun."Ah ... Iseng sekali," gumamku.Aku hendak menutup pintu kembali, namun ekor mataku menangkap sesuatu di bawah pintu.Sebuah kantong kresek hitam tergeletak di depan pintu. Entah apa isinya, namun terlihat sesuatu yang berisi banyak."Siapa yang datang, Wira?" tanya bapak yang sudah selesai makan."Nggak tahu, Pak. Tapi aku menemukan ini." Aku menyerahkan kantong kresek itu kepada bapak."Apa ya, Pak kira-kira? Coba buka, Ibu penasaran," imbuh ibu.Bapak pun membuka kantong kresek itu, dan terlihat setelah dibuka, buah jeruk yang berjumlah banyak. Warna kulitnya begitu menggod
"Kamu kenapa, Neng? Siapa yang kirim pesan?" tanya Wira, heran saat melihat perubahan ekspresi Nila.Tangan Nila bergetar, ia tak mampu menahan segala emosi yang ada pada dirinya.Dengan gemetar, Nila memperlihatkan ponselnya kepada Wira. Wira menerimanya kemudian melihat apa yang membuat Nila seperti itu."Mama!" lirih Wira.Nila menjatuhkan kepalanya di bahu Wira. Ia terisak sedih dan sangat kecewa."Tega sekali, Mama. Setelah membuangku, dengan gampangnya dia mengangkat seorang anak. Aku tidak masalah jika anak itu masih kecil. Tapi seperti yang kamu lihat, A, dia sudah dewasa sama sepertiku," ujar Nila bersedih.Di dalam pesan itu, Retna sengaja mengirimkan sebuah foto dirinya bersama perempuan yang ditaksir usianya tak jauh beda dengan Nila. Retna juga mengirimkan pesan teks, memberitahu jika foto perempuan yang bersama dirinya adalah anak angkatnya.Entah apa maksud Retna, sehingga tega menyakiti perasaan Nila, sebagai anak kandungnya."Maafkan Aa, Neng," ucap Wira menunduk.Nil
"Sari!" Nila terus memanggil-manggil nama Sari. Entah kemana perginya, yang jelas Sangat cepat menghilang.Nila berjalan lurus mencari Sari, dia menoleh kesana kemari. Niatnya mencari kayu bakar, kini fokusnya terbuyarkan oleh menghilangnya Sari."Sari kamu dimana?" teriak Nila.Nila terus berjalan, beberapa kali kakinya menginjak ranting-ranting pohon, sehingga menimbulkan suara-suara patahan kayu-kayu kecil yang cukup nyaring."Sar!" Nila terus memanggil.Dari arah belakang, seseorang menepuk bahu Nila. Alhasil Nila terlonjak kaget."Sari, kamu ngagetin a ... ja!" Setelah Nila membalikkan tubuhnya, ternyata bukan Sari yang menepuk bahu Nila, melainkan seorang pria tua dengan pakaian compang-camping."Huh huh!" ujar pria itu.Nila tak mengerti dengan ucapan pria itu, namun tangannya menunjuk ke suatu arah."Ada apa, Pak? Apakah Bapak lihat teman saya?" tanya Nila."Huh huh!" Sama seperti sebelumnya, pria itu berbicara dengan bahasa yang tidak jelas. Namun tangannya terus menunjuk ke
"Suara apa itu, Mel?" tanya Nila yang sangat terkejut. Jantungnya pun berdegup dengan kencang."Biar aku lihat dulu, kamu tunggu disini. Habiskan makananmu," imbuhnya.Melati pergi ke sumber suara, sedangkan Nila duduk walaupun penasaran dengan suara itu.Melati mendapati pintu belakang terbuka lebar. Daun pintu itu nyaris terlepas dari engselnya.Di ambang pintu, berdiri pria berpakaian compang camping, menatap tajam ke arah Melati."Mau apa kamu kesini? Pergi kamu, orang nggak waras!" usir Melati.Nila yang dilanda penasaran, segera beranjak dan menghampiri Melati."Bapak, Bapak yang tadi di hutan, kan?" tanya Nila saat melihat pria tua itu."Huh huh!" Pria tua itu masih berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti semua orang."Kamu ketemu sama dia?" tanya Melati."Iya, aku tadi ketemu sama bapak-bapak ini. Dia memberitahu aku, saat aku mencari Sari yang tiba-tiba menghilang," jawab Nila.Tiba-tiba Melati memegang lengan Nila."Kamu mesti hati-hati dengan orang tidak waras ini. Di
"Aa ...." jerit Nila, saat lampu tiba-tiba mati. Keadaan sangat gelap, membuat Nila tak bisa melangkah dengan leluasa.Dari arah dapur, terlihat Wira berjalan sambil membawa lilin."Kamu dari mana saja sih, Neng? Aku cemas nungguin kamu," ujar Wira, berjalan ke arah Nila.Nila melangkah masuk ke dalam rumah. Mereka berdua duduk di atas kursi ruang tamu."Maafin aku, A. Tadi kayu bakar habis, disini nggak ada persediaan air masak buat minum. Jadi terpaksa aku pergi ke hutan buat nyari kayu bakar. Tadi aku sempat jatuh di hutan, terus ada Melati yang nolongin aku dan dibawa ke rumahnya saat aku pingsan. Waktu mau pulang, eh malah hujan deras. Terpaksa aku nunggu di rumah Melati sampai aku ketiduran," sahut Nila.Dahi Wira mengernyit, lalu ia mengusap rambut Nila yang diikat namun acak-acakan."Ya sudah kalau begitu, yang penting kamu selamat sampai rumah. Kamu belum mandi, kan? Aku buatin air hangat dulu buat kamu mandi. Oh iya, kayu bakarnya kamu taruh dimana?" tanya Wira."Di belakang
"Aaaa!" Nila menjerit ketika melihat makhluk gundukan tanah itu berada di dalam kamarnya.Wira pun tak kalah kaget, ia terjingkat ketika melihat makhluk itu.Namun, setelah menampakkan dirinya beberapa detik, makhluk itu kemudian menghilang begitu saja."Ternyata bau itu berasal dari makhluk itu. Bu-bukannya Mak Onam sudah meninggal, tapi kenapa makhluk itu masih ada?" tanya Wira tergugup.Nila terdiam, sambil menekan rasa takutnya. Walau pun sudah beberapa kali Nila melihatnya. Namun, Nila masih merasakan ketakutan."A, sepertinya tugas kita belum selesai," lirih Nila.Alis Wira mengernyit, tidak mengerti dengan ucapan Nila."Maksud kamu, Neng?" tanya Wira."Kamu ingat perkataan Mama kemarin malam? Mama bilang, dia pernah mendengar makhluk itu meminta tolong untuk disempurnakan," jawab Nila.Wira berpikir sejenak, kemudian bersuara."Ah iya, kita melupakan hal itu. Tunggu-tunggu, kok aku jadi berpikiran sama sesuatu yang ada di gubuk Mak Onam, ya!" seru Wira.Kini giliran alis Nila y
"Nila, ini aku!" bisik seseorang yang tengah memeluk Nila dari belakang.Nila mengurai pelukannya lalu membalikkan badannya."Me-melati," lirih Nila tak menyangka bahwa Melati ada di hadapannya.Melati mengangguk sambil tersenyum, "Iya, Nila, ini aku, Melati."Di belakang Melati, Nila melihat ada Abah Kosmos, Abah Ikin dan tetua desa yang lain."Kok bisa?" Nila merasa bingung."Sudah, nanti saja aku cerita. Mana yang lain? Di sini ada hewan buas, jadi kamu jangan berisik," lirih Melati.Nila mengangguk, "Mereka ada di dalam.""Ya sudah ayo gabung sama mereka," ajak Melati."Sebentar, aku harus menghancurkan batu cincin ini dulu. Aku mau cari batu," ujar Melati.Dengan hati-hati, Abah Ikin berinisiatif mencarikan batu dan menyerahkannya kepada Nila.Dengan cepat Nila menghancurkan batu cincin itu. Tak ayal, suara teriakkan dari dalam gubuk menggema memenuhi atmosfer hutan itu."I-itu," ucap Melati."Iya, itu suara Mak Onam, dan batu ini merupakan sumber kekuatannya. Maafkan aku, Melati
Abah Uta segera mengambil obor yang lain.Beberapa inchi lagi, api telah mendekat ke arah kedua benda milik Mak Onam itu."Maafkan aku, Onam. Kamu sudah banyak merugikan orang lain. Terpaksa aku melakukan ini," gumam Abah Uta.Brus!Seketika api menyentuh kedua benda berupa buntelan kecil itu."Aaaa ... Kurang ajar kau, Uta. Aaaaa!" Teriakkan Mak Onam di atas batu, membuat semua orang menoleh. Mereka menyaksikan tubuh Mak Onam ambruk dan tidak bergerak lagi di atas batu.Kini, mereka bisa bernafas lega. Kedua benda itu telah habis terbakar, dan Mak Onam telah kalah."Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Apa kita mencari Abah Kosmos dulu? Aku lihat dia hanyut tadi. Aku harap beliau selamat," imbuh Wira."Begini saja, kita berpencar menjadi dua kelompok. Beberapa dari kita mencari Abah Kosmos, dan yang lain ikut saya ke kedalaman hutan. Saya ingin membawa putri saya dari sana. Saya khawatir jika Melati terus menerus berada di dalam hutan," sahut Abah Uta.Semua mengangguk setuju,
Huek!Wira berusaha menahan mual saat sesuatu yang ia sentuh itu mengeluarkan bau tak sedap. Wira sangat kesusahan melihatnya. Namun yang jelas, perasaan Wira sangat tidak enak.Wira bangkit dan meraba saku celananya. Ia teringat jika tadi saat istirahat di tempat kerja, ia sempat membeli korek untuk menyalakan rokok."Syukurlah ada," gumam Wira.Tangan gemetar Wira mulai menyalakan korek api itu."Ya Tuhan!"Wira beringsut mundur, dan kembali mematikan korek tersebut. Sesuatu di depan Wira sangat mengejutkannya. Ketika korek itu dinyalakan, jelas Wira melihat kepala menyembul dari dalam tanah dengan wujud mengerikan. Mungkin selama ini, makhluk inilah yang meneror warga bahkan juga istrinya, pikir Wira.Jantung Wira berdetak begitu kencang. Takut, sudah pasti, meski pun ia seorang lelaki, jika dihadapkan dalam situasi seperti ini maka ia akan berubah menjadi pengecut.Wira kembali menyalakan korek itu. Berusaha tidak memperdulikan makhluk itu yang masih ada. Wira gegas mencari oborny
Setelah melintasi aliran air terjun, Wira dan abah Kosmos kembali melewati kawasan hutan, menyusuri jalanan setapak menuju perkampungan.Tak ada percakapan diantara mereka berdua. Hanya helaan nafas yang terdengar saling bersahutan. Perjalanan malam ini terasa begitu menegangkan. Mereka akan berjuang mencari benda-benda milik mak Onam.Krosak!Langkah Wira terhenti, ketika mendengar sebuah suara dari arah belakangnya. Abah Kosmos yang berada di depan Wira menyentuh tangan Wira dan menyuruhnya untuk terus berjalan melalui sebuah isyarat tangannya."Sebisa mungkin kamu tidak boleh menoleh ke belakang atau pun ke samping. Ingat tujuan kita, jika kamu tidak ingin semuanya sia-sia," bisik abah Kosmos yang kini berjalan sejajar dengan Wira.Wira menelan saliva kasar, sambil mengangguk mengiyakan ucapan abah Kosmos.Mereka berdua terus saja berjalan. Sebuah suara kembali terdengar di telinga Wira. Namun, Wira selalu mengingat perkataan abah Kosmos barusan.Entah kenapa, Wira merasa jika jara
"Pak Kades," pekik Wira, saat mengetahui bahwa sang pemilik kepala yang tergeletak di semak-semak itu adalah milik pak kades.Semua orang tercengang, gegas mereka menghampiri pak kades. Mereka menyibakkan semak-semak itu. Tubuh pak kades tertutupi semak-semak. Hanya kepalanya saja yang menyembul keluar."Dia masih hidup," ujar Abah Kosmos setelah memeriksa nadinya."Syukurlah, kita bisa membawanya pulang. Setelah itu kita kembali ke rencana kita untuk menyelidiki rumah Mak Onam," imbuh aki Oyan.Semua mengangguk setuju, kemudian mulai mengangkat tubuh pak kades.Mereka kemudian hendak membalikkan badan. Namun, mereka tak menyadari ada sesosok berbalut kain putih, yang sedang berdiri di belakang mereka."Aaaa ... Apaan itu?" teriak Nila, ketiak melihat sosok itu.Sontak orang yang sedang menggotong tubuh pak kades hampir saja melemparkan tubuh pak kades, saking terkejut. Namun beruntung mereka bisa mempertahankan tubuh kak kades sehingga tidak sampai terjatuh.Di hadapan mereka, berdir
"Wira ... Nila!" teriak Retna dari jalan. Ia tergopoh-gopoh menyusul Wira dan Nila yang sedang berkumpul di lapangan. Sebelumnya Retna sudah diberitahu, jika malam ini akan ada ritual khusus yang akan dilakukan oleh tetua desa. "Mama," Sahut Nila. Semua orang menoleh ke arah Retna. Nila dan Wira pun bangkit dan menghampiri Retna. "Mama kenapa? Kenapa Mama kesini?" tanya Nila. Tubuh Retna bergetar, dari wajahnya terlihat raut ketakutan. "Sebaiknya kita bawa saja ke sana. Biar Mama bergabung sama kita," imbuh Wira. Nila mengangguk, kemudian menuntun Retna bergabung bersama tetua desa. Mereka membiarkan Retna tenang terlebih dahulu. Terlihat sekali, jika Retna seperti orang yang sangat ketakutan. Setelah dirasa tenang, Wira mencoba bertanya perihal ibu mertuanya menyusul mereka ke lapangan. "Jadi begini, Wira ... Semenjak Mama menempati rumah mak Onam, dari pertama Mama selalu merasakan keanehan. Setiap malam, Mama selalu mendengar suara gaduh di dalam kamar tengah. Awal
"Semoga Mama nyaman di sini, soal bayar sewa, biar aku saja yang bayarkan. Susah jika harus menunggu mobil laku dulu. Tapi Mama jangan khawatir, aku sudah menawarkan mobil Mama ke teman-teman dan atasan aku di tempat kerja," ujar Wira siang hari itu.Wira dan Retna telah berada di depan rumah mendiang Mak Onam. Wira menyewa rumah itu kepada saudara Mak Onam. Sebenarnya masih ada abah Uta, suaminya Mak Onam yang berhak menentukan rumah ini disewa atau tidak. Namun, akan susah jika harus berkomunikasi dengannya, mengingat jiwanya sedang terganggu. Sampai sekarang pun, entah dimana keberadaannya, karena ia selalu berpindah-pindah tempat."Iya, Wira ... Terima kasih banyak sudah membantu Mama. Mama pasti akan nyaman tinggal di sini. Halamannya luas, jadi Mama bisa belajar menanam cabai di sini," sahut Retna.Wira tersenyum sambil mengangguk, "Syukurlah kalau Mama suka. Sebenarnya aku dan Nila nggak mau Mama tinggal terpisah, apalagi Mama tinggal sendiri. Tapi kami juga harus menghargai ke
Suasana di rumah Wira begitu ramai. Warga berbondong-bondong mendatangi rumah Wira, guna mencari tahu apa yang terjadi semalam terhadap Nila."Abah ... Bagaimana bisa Nila seperti ini? Tapi syukurlah Abah kebetulan datang ke kampung ini. Sehingga Nila bisa diselamatkan," imbuh pak kades yang juga berada di rumah Wira.Di atas kursi panjang, Nila terbaring tak sadarkan diri. Di bagian tubuhnya seperti tangan, kaki dan pipinya terdapat luka bakar akibat semalam.Retna dan Wira pun terlihat syok akan kejadian yang menimpa Nila. Tak menyangka jika nyawa Nila semalam dalam bahaya. Wira yang baru saja sembuh, sangat khawatir saat tahu apa yang terjadi pada Nila semalam."Sebelumnya Abah sudah memberikan sebuah cincin kepada Nila. Cincin yang terhubung dengan cincin saya. Bilamana Nila berada dalam gangguan makhluk gundukan tanah itu, maka Abah bisa merasakannya. Maka semalam ketika Abah merasakan getaran hebat dari cincin ini, Abah langsung pergi ke kampung ini. Dan benar saja, Nila sedang