Share

Bab 3 Larangan

Semalaman Nila berusaha untuk memejamkan matanya. Namun rasa takut mendominasi dirinya. Terdengar Wira masih mendengkur namun kali ini cukup keras.

"Jika yang tadi yang bukain pintu bukan A Wira, lalu siapa?" batin Nila.

Hujan pun mereda, dan kini hanya menyisakan rintik-rintik kecil. Semilir angin berhembus perlahan dari celah-celah bilik bambu. Membuat malam pertama di rumah Wira, menjadi malam yang mencekam bagi Nila.

Nila tidak berani bergerak walaupun sekedar menghadap ke arah Wira. Baru kali ini Nila mengalami hal semacam ini.

"Neng, kamu belum tidur?" Wira menegur Nila yang masih terjaga.

Nila menoleh ke arah pintu kamar, terlihat Wira sedang berdiri menatap dirinya.

Jantung Nila semakin berdegup kencang, saat suara dengkuran dari Wira masih terdengar dari belakang.

Batin Nila berkecamuk, dia bingung, entah yang mana suaminya yang asli.

Dengan rasa penasaran, Nila menoleh ke arah Wira yang ada di atas kasur, di belakangnya. Ia yakin, Wira yang sedang berbaring dengannya adalah Wira yang asli. Namun ....

"Aaaaaa!"

"Neng, bangun. Ini sudah pagi, kenapa kamu teriak-teriak?" Wira mengguncangkan tubuh Nila, dikala Nila berteriak sangat kencang.

Nila bangun, dan mendapati Wira sedang duduk di tepian ranjang menatapnya heran.

Terlihat Wira sudah mengenakan seragam kerjanya.

"Kamu mimpi buruk?" tanya Wira penasaran.

Nila mengangguk, namun rasanya yang baru saja terjadi seperti nyata.

"Iya, A, aku mimpi buruk, semalam lupa baca doa sebelum tidur. Aa mau berangkat kerja?" jawab Nila kemudian bertanya.

"Makanya sebelum tidur, harus ingat baca doa. Kasihan sekali istri Aa, sampai keringetan begini. Iya, Aa mau berangkat kerja sekarang," jawab Wira.

Nila terdiam, jika Wira berangkat bekerja, maka otomatis Nila akan tinggal sendirian di rumah ini selama Wira belum pulang. Kejadian semalam dan mimpi barusan, membuatnya merasa cemas.

Nila pun berniat ingin menceritakan perihal yang terjadi semalam. Mungkin memintanya untuk berhenti bekerja di pabrik tempat Wira bekerja, mungkin akan lebih baik. Nila akan memintanya untuk bekerja di dekat-dekat kampung saja. Supaya Wira tidak pulang menjelang malam.

"A ...."

"Aa mau berangkat dulu, Neng. Keuangan kita sudah menipis. Kalau Aa tidak masuk kerja lagi, bisa-bisa Aa dipecat dan gaji pun dipotong. Bingung kalau seandainya begitu, sebab di daerah sini sangat susah mencari pekerjaan," potong Wira.

Baru saja Nila ingin mengungkapkan keluh kesahnya, Wira sudah berbicara demikian. Membuat Nila tak sampai hati jika membuat Wira dipecat dan tidak punya pekerjaan lagi.

"Ya sudah, A, hati-hati di jalan. Maaf aku nggak sempat membuat sarapan buat Aa," ucap Nila yang akhirnya pasrah dengan keadaan ini.

"Tidak apa-apa, Aa sarapan di kantin saja. Ini uang buat keperluan kamu, kalau mau belanja terus nggak tahu tempatnya dimana, bisa minta antar sama Lita. Rumahnya ada di sebelah kanan rumah ini. Tadi Aa sudah menitipkan kamu sama dia. Semoga kamu nyaman ya, Neng tinggal disini, karena hanya rumah ini harapan kita bisa tinggal." Wira mengecup kening Nila.

Nila mengangguk, kemudian Wira pun segera mengeluarkan motornya.

Selepas Wira pergi, Nila segera membersihkan diri di kamar mandi. Berbicara kamar mandi, Nila masih trauma dengan kejadian semalam. Namun ia paksakan, karena hanya itu kamar mandi satu-satunya di rumah ini.

Selepas mandi, Nila berdandan rapi hendak pergi ke warung sembako untuk belanja kebutuhan rumah.

Nila membuka pintu dan terlihat seorang wanita muda berdiri di depan rumah.

"Punten, Teteh istrinya A Wira?" tanya wanita itu.

"Iya, saya Nila istrinya Wira. Kamu siapa?" Nila balik bertanya.

"Saya Lita, tetangga sebelah. Tadi A Wira datang ke rumah, katanya saya disuruh mengantar Teh Nila belanja. Takutnya jika tidak diantar, Teh Nila nanti kesasar. Begitu pesan A Wira tadi," jawab Lita.

Nila mengangguk, kemudian menyetujui usul Wira untuk belanja ditemani Lita.

"Ya sudah kalau begitu, ayo tunjukkan dimana warung sembakonya!" ujar Nila.

Mereka berdua pun berjalan kaki hendak menuju warung.

"Saya nggak nyangka, A Wira ternyata pulang lagi ke rumahnya. Saya kira dia tidak akan kesini lagi," ujar Lita membuka obrolan.

"Iya, setelah menikah rencananya kami mau tinggal di rumahku. Tapi karena ada problem, jadi kami memutuskan untuk tinggal di rumah mendiang orang tua Wira," sahut Nila.

"Oh begitu, hebat ya A Wira. Dapat istri cantik, baik, dan mau tinggal kampung. Sayang ya, kami tidak tahu pas A Wira menikah. Tapi nggak apa-apa, saya berdoa semoga pernikahan kalian langgeng sampai kakek nenek," imbuh Lita.

"Aamiin ...." ucap Nila.

Tak terasa, dengan berjalan sambil mengobrol, akhirnya mereka sudah sampai di tempat yang dituju. Terlihat banyak sekali ibu-ibu yang hendak membeli kebutuhan rumah mereka.

"Nah, ayo, Teh. Mau belanja apa?" tanya Lita.

Nila dan Lita mendekati warung itu, kemudian memilih-milih kebutuhan makanan dan sabun untuk di rumah.

"Neng orang baru ya?" Pedagang di warung itu bertanya kepada Nila. Ibu-ibu yang sedang fokus belanja pun serempak menoleh ke arah Nila.

"Iya, saya baru semalam pindah kesini. Saya Nila istrinya Wira dari kota B." Nila memperkenalkan diri.

"Wah ... Bagus kalau begitu. Saya kira Wira tidak akan pernah kembali lagi kesini. Kasihan dia, akibat kematian kedua orang tuanya yang sangat tragis, membuatnya lama tidak pulang kesini dan memilih merantau di kota. Tapi syukurlah, dia kembali dan membawa istri. Setidaknya ada teman untuk mengobrol dan dia tidak merasa sedih lagi," timpal salah satu ibu-ibu berkacamata tebal.

Nila mengangguk, walaupun dia sangat penasaran atas meninggalnya Kedua orang tua Wira, namun dia memilih tetap diam. Mungkin bertanya kepada Wira akan lebih baik, sebab Wira tidak pernah menceritakan tentang sebab kematian kedua orang tuanya.

Selesai mendapatkan semua kebutuhan rumah, Nila dan Lita pun pulang.

"Oh iya, Teh. Tahu nggak tentang larangan di kampung ini?" Tiba-tiba Wina bertanya seperti itu.

"Maksudnya, karangan seperti apa?" tanya Nila dengan dahi mengernyit.

"Nih aku kasih tahu, ya. Di kampung ini ada larangan jangan pernah mendekati gundukan tanah. Jika tiba-tiba Teteh atau A Wira melihatnya, segera jauhi!" jawab Lita dengan tatapan serius.

"Lah, memangnya kenapa? Kok A Wira nggak pernah cerita sama saya?" tanya Nila.

"Ya A Wira juga pasti belum tahu, sebab lama di kota. Kejadian ini baru setahun belakangan ini," jawab Lita.

"Terus kalau saya mendekatinya, apa yang akan terjadi?" tanya Nila, di dalam hatinya ia tak percaya dengan larangan yang menurutnya sedikit konyol itu.

"Ya pokoknya jangan deh, kalau nggak mau lihat wujud aslinya. Soalnya gundukan tanah itu bisa gerak dan berpindah-pindah," jawab Lita.

"Memangnya wujudnya seperti apa? Kamu pernah melihatnya?" tanya Nila.

"Belum pernah sih, tapi ada beberapa warga yang pernah melihatnya. Konon katanya wujudnya sangat menyeramkan sampai-sampai yang pernah melihatnya menjadi depresi akibat terus menerus dihantui oleh sosok itu setelah mendekatinya," jawab Lita.

"Ah kamu ada-ada saja. Mana ada sih hal yang seperti itu." Nila berkilah, bukannya ia tak percaya dengan hal-hal ghaib, namun mendengar kata larangan tersebut, rasanya konyol sekali.

"Yee ... Teteh mah dikasih tahu nggak percaya. Pokoknya jangan sekali-kali mendekat!" imbuh Lita.

Nila hanya mengangguk dan iya-iya saja. Mengobrol dengan Lita, seperti mengobrol dengan bocah SD, namun terasa menghibur.

"Ya sudah, ini mau nyampe rumah. Mau mampir? Kita ngopi-ngopi dulu. Aku nggak ada teman soalnya di rumah," tawarku.

"Em ... Ya sudah kalau begitu, saya juga di rumah sendirian. Emak dan Abah sedang pergi ke kebun," sahut Lita.

Mereka berdua melenggang masuk ke halaman rumah Wira.

"Lit, itu apa?" Langkah Nila berhenti saat dia menunjuk sesuatu yang menyembul dari tanah. Sontak membuat Lita memegang lengan Nila kuat. Tercium bau sesuatu yang sangat menyengat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status