“Ayo, Neng cepetan!” ujar Wira yang baru selesai menutup pintu.
“Ah iya, A sebentar,” sahut Nila lalu mengambil dompet miliknya di bawah pohon nangka. Mereka berdua segera pergi menuju warung untuk membeli sebuah lilin. Namun saat mereka sudah menjauh dari bawah pohon nangka, sesuatu yang menyembul berupa gundukan tanah itu bergerak maju lalu menghilang. “A Wira, kampung ini masih berdekatan dengan hutan, ya? Banyak sekali pohon-pohon besar sama kebun-kebun singkong dan pisang disini,” tanya Nila melirik kesana kemari. Matanya tak henti menelisik ke setiap arah. “Iya, Neng, kampung sini memang masih dekat dengan hutan, memang disini mayoritas penduduk mata pencahariannya ya ini, mereka berkebun untuk memenuhi kebutuhan mereka. Warga disini memanfaatkan hasil bumi dengan bercocok tanam. Bahkan tak jarang warga disini juga mencari kayu bakar ke hutan untuk kemudian dijual. Orang tua Aa dulu juga berkebun, tapi kebunnya agak jauh sedikit dari sini. Nanti kalau Aa libur, Aa akan ajak kamu ke kebun milik orang tua Aa,” jawab Wira. Nila mengangguk, sambil terus berjalan menyamai langkah Wira. Berkali-kali Nila mengusap lengannya. “Dingin ya cuacanya, A. Nanti kita sambil beli makanan, ya buat makan malam kita. Perutku rasanya lapar setelah perjalanan tadi,” ujar Nila. “Ya sudah, ayo cepat jalannya. Kayaknya malam ini mau hujan deh, langit juga hitam nggak ada bintangnya sama sekali.” Wira dan Nila menatap langit yang hitam pekat. Mereka berdua mempercepat langkah mereka. Sesampainya di depan warung, ternyata warung itu sudah tutup. Nila pun melihat jam di layar ponselnya, “Pantas saja sudah tutup, A. Sudah jam 23.35,” ujar Nila. “Loh, ternyata sudah tengah malam saja, ya! Ya sudah kalau begitu, kita balik lagi ke rumah. Kita nyalain senter hp saja untuk penerangan sementara malam ini,” sahut Wira memberi saran. Apa boleh buat, Nila pun hanya mengangguk setuju. Nila dan Wira akhirnya pulang dengan tangan kosong. Terpaksa mereka harus menggunakan cahaya ponsel sebagai penerangan. “A, perut Neng rasanya semakin lapar. Kalau warung tutup, kita mau makan apa malam ini?” tanya Nila sambil memegangi perutnya. Wira berpikir sejenak, “Oh iya, Aa ingat di dalam tas Aa ada roti. Malam ini kamu makan roti saja nggak apa-apa kan, Neng?” “Iya nggak apa-apa, A. Ya sudah cepat, sebentar lagi kayaknya mau hujan, A!” sahut Nila dengan langkah tergesa. Sesampainya di rumah, gegas Wira membuka pintu dan mereka berdua masuk ke dalam. “Biar Aa yang bereskan, Neng. Kamu pegangin hp Aa,” ujar Wira. Nila mengarahkan senter ponsel Wira ke arah tempat tidur usang yang sedang Wira bersihkan yang kemudian ia balut dengan seprai miliknya yang ia bawa dari kontrakan. “Sudah beres, Neng. Yang lain biar besok saja, sekarang lebih baik kita segera istirahat. Oh iya, ini rotinya kamu makan saja,” imbuh Wira memberikan satu bungkus roti untuk Nila. “Ayo makan bareng, A,” ajak Nila lalu membagi dua roti itu. “Aa tidak lapar, Neng. Neng saja yang makan. Habiskan, ya!” Wira berbaring di atas kasur. Padahal perutnya terasa lapar, namun makanan malam ini hanya itu saja. Biarlah, demi sang istri, Wira rela menahan lapar malam ini. Selesai menghabiskan roti, Nila menyusul Wira tidur. Tak! Duar! Suara dan kilat petir menyambar-nyambar diiringi rintik hujan yang mulai berjatuhan, yang semakin lama semakin deras. Sesekali terlihat suasana dalam ruangan yang terkena cahaya kilat, yang tembus dari jendela. Bahkan angin pun seakan tak ingin ketinggalan, membuat pohon-pohon menari-nari diantara derasnya hujan. “A, A Wira!” panggil Nila. Namun tak ada respon sama sekali dari mulut Wira. Pria itu sudah tertidur pulas disertasi dengkuran halus di atas kasur usang itu. Padahal saat ini Nila merasakan sesuatu yang ingin keluar dari dirinya. Karena cuaca sangat dingin, Nila ingin buang air kecil, namun tak berani ke kamar mandi sendirian. Berkali-kali Nila membangunkan Wira, bahkan mengguncangkan tubuhnya, namun tetap saja pria itu susah sekali dibangunkan. Akhirnya Nila menyusul Wira tidur, membaringkan diri di sampingnya. Namun setelah beberapa menit memaksakan tidur, Nila semakin tak tahan ingin buang air kecil. Jika ditahan, bisa-bisa ia mengompol di kasur, bisa malu dia kalau ketahuan oleh Wira. Dengan berbekal senter ponsel yang daya baterainya tinggal 2 persen, Nila memberanikan diri melangkah menuju kamar mandi. "Apa itu kamar mandinya?" batin Nila saat melihat pintu di dekat dapur. Nila menghampiri pintu itu, kemudian membukanya. Ceklek! "Ya Tuhan ...." Nila menelan ludah saat membuka pintu itu, ternyata itu akses pintu keluar lewat belakang. Namun di luar sana, terdapat kamar mandi kecil yang terbuat dari bilik bambu, tepat di bawah pohon asam. Nila berlari keluar diantara derasnya hujan menuju kamar mandi itu dengan perasaan campur aduk, antara takut dan cemas. Sebab baru kali ini Nila ke kamar mandi yang berada di luar rumah. Namun sesuatu yang mendesak, memaksanya untuk berlari ke kamar mandi itu. Sampai-sampai baju Nila pun sedikit basah akibat terkena air hujan. Setelah sampai di kamar mandi itu, Nila segera menuntaskan urusannya. "Ah lega," batin Nila. Nila segera berlari kembali menuju rumah. Namun .... Blag! Pintu itu tertutup karena tertiup angin yang sangat kencang. Nila yang sangat terkejut, kemudian meraih handle pintu dan memutarnya hingga beberapa kali. "Kenapa ini tidak bisa dibuka? Ya ampun ... Apa pintunya sudah rusak?" batin Nila. "A Wira, tolong bukakan pintunya, A. Aku nggak bisa masuk, di luar hujan deras, aku ada di belakang!" teriak Nila memanggil Wira sambil menggedor-gedor pintu. Tak ada tanda-tanda Wira akan membukakan pintu, membuat Nila semakin panik. Maksud hati ingin menelepon Wira, namun bateri ponsel Nila tiba-tiba mati kehabisan daya. Membuat Nila semakin dilanda ketakutan. "A Wira, bukain pintunya, aku ada di belakang. Tolong bukain pintunya!" teriak Nila lagi sambil menggedor-gedor pintu dengan cukup keras. Nila menoleh kesana kemari, pandangannya mengarah ke pohon asam. Nila membayangkan yang tidak-tidak saat dia menatap pohon besar itu. Nila menjadi semakin panik, mana ini sudah tengah malam. Bisa-bisanya ia terkunci di luar. Ceklek! Akhirnya setelah Nila merasa benar-benar putus asa, akhirnya pintu pun dibuka. Tampak dari kilatan cahaya petir, Wira berdiri membukakan pintu. "Aa tidurnya pulas amat, sih! Aku dari tadi teriak-teriak. Mana gelap dan sudah tengah malam begini!" gerutu Nila merasa kesal terhadap Wira. Dengan bersungut-sungut, Nila pun masuk dan meninggalkan Wira seorang diri di dapur. Nila berjalan cepat menuju kamar, dan segera merebahkan diri di atas kasur, di sebelah Wira. "Ya Tuhan ...." Nila tersadar akan sesuatu yang janggal, ia membekap mulutnya, namun sebisa mungkin Nila memaksakan matanya untuk tertidur, walaupun itu sulit ia lakukan.Semalaman Nila berusaha untuk memejamkan matanya. Namun rasa takut mendominasi dirinya. Terdengar Wira masih mendengkur namun kali ini cukup keras."Jika yang tadi yang bukain pintu bukan A Wira, lalu siapa?" batin Nila.Hujan pun mereda, dan kini hanya menyisakan rintik-rintik kecil. Semilir angin berhembus perlahan dari celah-celah bilik bambu. Membuat malam pertama di rumah Wira, menjadi malam yang mencekam bagi Nila.Nila tidak berani bergerak walaupun sekedar menghadap ke arah Wira. Baru kali ini Nila mengalami hal semacam ini."Neng, kamu belum tidur?" Wira menegur Nila yang masih terjaga.Nila menoleh ke arah pintu kamar, terlihat Wira sedang berdiri menatap dirinya.Jantung Nila semakin berdegup kencang, saat suara dengkuran dari Wira masih terdengar dari belakang.Batin Nila berkecamuk, dia bingung, entah yang mana suaminya yang asli.Dengan rasa penasaran, Nila menoleh ke arah Wira yang ada di atas kasur, di belakangnya. Ia yakin, Wira yang sedang berbaring dengannya adalah
Nila berjalan ke arah yang ditunjuknya. Namun Lita segera mencegahnya."Jangan, Teh, bahaya!" cegah Lita."Aku nggak percaya dengan adanya larangan itu. Nggak masuk diakal aja, masa melihat gundukan tanah saja sampai depresi. Lagian ini kan masih siang," seloroh Nila.Nila melepaskan tangannya dari pegangan tangan Kita.Nila mendekati gundukan tanah itu, dia tak mau mendengarkan peringatan dari Lita.Setelah mendekat, hidung Nila seperti mencium bau sesuatu yang sangat menyengat.Nila mengambil ranting pohon yang tergeletak di atas tanah. Kemudian dia mengorek gundukan tanah itu menggunakan ranting pohon tersebut.Betapa terkejutnya ia, saat mendapati sesuatu di dalamnya. Alangkah menyesalnya ia telah mengorek gundukan tanah itu."Kenapa, Teh?" tanya Lita merasa was-was."Kotoran kucing, banyak dan gede banget," jawab Nila sambil menutup hidungnya. Hampir saja Nila muntah dibuatnya.Nila segera menjauhi benda itu, kemudian mengajak masuk Lita ke dalam rumah."Ayo masuk, Lit. Sudah ...
Nila menoleh ke belakang, karena terkejut saat pintu kamar itu tertutup dengan sendirinya."Perasaan barusan anginnya biasa saja," batin Nila. Namun dengan cepat ia mengabaikannya."Sudah selesai mandinya? Ayo kita makan!" seru Nila menghampiri Wira di dalam kamar mereka."Sudah, ayo!" sahut Wira.Mereka berdua yang semula berada di kamar depan, kemudian berjalan ke ruangan tengah. Mereka berdua segera makan malam, sebelum beristirahat."Tadi Aa ketemu sama Mama kamu di jalan." Wira membuka obrolan disela-sela mereka makan."Oh ya? Terus gimana Rekasi Mama? Apa dia nanyain kabar aku?" tanya Nila. Walaupun Retna telah mengusirnya, namun tidak dipungkiri Nila sangat merindukannya, walaupun baru beberapa hari mereka tidak berkomunikasi dan bertemu."Masih sama, Neng. Bahkan Aa saja yang mau menyalaminya, Mama malah menepis tangan Aa. Tapi tidak apa-apa, kita berdoa saja semoga Mama dibukakan hatinya. Kita buktikan sama Mama, kita bisa hidup bahagia," jawab Wira.Hati Nila mencelos, segit
Suara halus berbisik tertangkap oleh telinga Nila. Membuatnya kembali bangun dan menoleh kesana kemari."Siapa itu?" Nila menatap seluruh sudut kamar, namun tak mendapati siapapun disana. Hanya ada dirinya seorang diri."Ya Tuhan ... Kenapa akhir-akhir ini, aku sering berhalusinasi." Nila bergumam."Aku disini, lihat aku!" Kembali suara itu terdengar.Nila turun dari ranjang, berjalan mencari sumber suara itu."Aku disini, di belakangmu!"Seperti terhipnotis, Nila menoleh dan mendapati sebuah gundukan tanah, yang sempat ia lihat tadi."Ya ... Kau menemukanku. Mendekatlah!" seru suara itu.Nila menuruti kata-kata suara itu. Dia berjongkok mendekat pada gundukan tanah itu."Gali ...." Bisikan itu menuntun Nila untuk menggali tanah itu.Antara sadar dan tidak, Nila pun mengangguk kemudian mulai mengorek tanah itu tanpa bantuan alat. Ia mengorek tanah itu hanya menggunakan kedua tangannya.Semakin lama, Nila semakin membabi buta mengorek tanah itu."Kenapa ini? Kenapa tanganku terus berge
Lima tahun silam ....Tok! Tok! Tok!Sebuah ketukan di pintu depan, terdengar nyaring. Sehingga aku dan kedua orang tuaku yang sedang makan malam, menoleh ke arah pintu."Biar aku saja yang buka." Aku beranjak pergi menghampiri pintu.Ceklek!Pintu pun aku buka lebar, namun saat pintu sudah terbuka, aku tidak melihat siapa-siapa di luar. Aku menoleh kesana kemari, namun tetap nihil, aku tidak menemukan siapapun."Ah ... Iseng sekali," gumamku.Aku hendak menutup pintu kembali, namun ekor mataku menangkap sesuatu di bawah pintu.Sebuah kantong kresek hitam tergeletak di depan pintu. Entah apa isinya, namun terlihat sesuatu yang berisi banyak."Siapa yang datang, Wira?" tanya bapak yang sudah selesai makan."Nggak tahu, Pak. Tapi aku menemukan ini." Aku menyerahkan kantong kresek itu kepada bapak."Apa ya, Pak kira-kira? Coba buka, Ibu penasaran," imbuh ibu.Bapak pun membuka kantong kresek itu, dan terlihat setelah dibuka, buah jeruk yang berjumlah banyak. Warna kulitnya begitu menggod
"Kamu kenapa, Neng? Siapa yang kirim pesan?" tanya Wira, heran saat melihat perubahan ekspresi Nila.Tangan Nila bergetar, ia tak mampu menahan segala emosi yang ada pada dirinya.Dengan gemetar, Nila memperlihatkan ponselnya kepada Wira. Wira menerimanya kemudian melihat apa yang membuat Nila seperti itu."Mama!" lirih Wira.Nila menjatuhkan kepalanya di bahu Wira. Ia terisak sedih dan sangat kecewa."Tega sekali, Mama. Setelah membuangku, dengan gampangnya dia mengangkat seorang anak. Aku tidak masalah jika anak itu masih kecil. Tapi seperti yang kamu lihat, A, dia sudah dewasa sama sepertiku," ujar Nila bersedih.Di dalam pesan itu, Retna sengaja mengirimkan sebuah foto dirinya bersama perempuan yang ditaksir usianya tak jauh beda dengan Nila. Retna juga mengirimkan pesan teks, memberitahu jika foto perempuan yang bersama dirinya adalah anak angkatnya.Entah apa maksud Retna, sehingga tega menyakiti perasaan Nila, sebagai anak kandungnya."Maafkan Aa, Neng," ucap Wira menunduk.Nil
"Sari!" Nila terus memanggil-manggil nama Sari. Entah kemana perginya, yang jelas Sangat cepat menghilang.Nila berjalan lurus mencari Sari, dia menoleh kesana kemari. Niatnya mencari kayu bakar, kini fokusnya terbuyarkan oleh menghilangnya Sari."Sari kamu dimana?" teriak Nila.Nila terus berjalan, beberapa kali kakinya menginjak ranting-ranting pohon, sehingga menimbulkan suara-suara patahan kayu-kayu kecil yang cukup nyaring."Sar!" Nila terus memanggil.Dari arah belakang, seseorang menepuk bahu Nila. Alhasil Nila terlonjak kaget."Sari, kamu ngagetin a ... ja!" Setelah Nila membalikkan tubuhnya, ternyata bukan Sari yang menepuk bahu Nila, melainkan seorang pria tua dengan pakaian compang-camping."Huh huh!" ujar pria itu.Nila tak mengerti dengan ucapan pria itu, namun tangannya menunjuk ke suatu arah."Ada apa, Pak? Apakah Bapak lihat teman saya?" tanya Nila."Huh huh!" Sama seperti sebelumnya, pria itu berbicara dengan bahasa yang tidak jelas. Namun tangannya terus menunjuk ke
"Suara apa itu, Mel?" tanya Nila yang sangat terkejut. Jantungnya pun berdegup dengan kencang."Biar aku lihat dulu, kamu tunggu disini. Habiskan makananmu," imbuhnya.Melati pergi ke sumber suara, sedangkan Nila duduk walaupun penasaran dengan suara itu.Melati mendapati pintu belakang terbuka lebar. Daun pintu itu nyaris terlepas dari engselnya.Di ambang pintu, berdiri pria berpakaian compang camping, menatap tajam ke arah Melati."Mau apa kamu kesini? Pergi kamu, orang nggak waras!" usir Melati.Nila yang dilanda penasaran, segera beranjak dan menghampiri Melati."Bapak, Bapak yang tadi di hutan, kan?" tanya Nila saat melihat pria tua itu."Huh huh!" Pria tua itu masih berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti semua orang."Kamu ketemu sama dia?" tanya Melati."Iya, aku tadi ketemu sama bapak-bapak ini. Dia memberitahu aku, saat aku mencari Sari yang tiba-tiba menghilang," jawab Nila.Tiba-tiba Melati memegang lengan Nila."Kamu mesti hati-hati dengan orang tidak waras ini. Di