JANGAN MENDEKATI GUNDUKAN TANAH ITU, JIKA KAMU MELIHATNYA. JIKA LARANGAN ITU KAMU LANGGAR, MAKA BERSIAP-SIAPLAH KAMU AKAN MELIHAT WUJUD ASLINYA!
*** Kota B, 15.00 WIB. “Ma, aku sudah menikah dengan A Wira tadi siang. Maaf aku tidak bisa mengabulkan permintaan Mama untuk membatalkan pernikahan dengannya. Aku mohon Mama terima ya, A Wira sebagai menantu Mama! Insya Allah dia baik dan bertanggung jawab!” imbuh Nila kepada ibunya, Retna. “Sudah berapa kali saya menentang hubungan kalian. Tapi kalian masih saja nekat menikah tanpa persetujuan saya. Dan kamu, Nila, apa yang kamu cari dari lelaki miskin ini, hah?” bentak Retna tak suka. “Mama, saya mohon jangan marahi Nila. Saya mohon restui pernikahan kami. Saya berjanji akan menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab untuk Nila, saya mohon!” Wira bersimpuh di kaki Retna. “Diam, saya bukan Mama kamu. Sampai kapanpun, saya tidak akan merestui hubungan kalian. Jika kalian nekat melanjutkan pernikahan kalian, lebih baik kamu angkat kaki dari sini, Nila. Bila perlu, Mama akan mencoret nama kamu dari kartu keluarga!” Sore itu, Nila dan Wira memutuskan untuk pergi dari rumah Retna. Sebenarnya berat rasanya Nila meninggalkan ibunya dan rumah yang penuh kenangan itu. Tapi demi baktinya terhadap suami, dia rela meninggalkan rumah dan memilih hidup sederhana dengan Wira, yang hanya seorang cleaning service di sebuah pabrik. “Kamu yakin, mau meninggalkan rumah ini? Maafkan aku, seharusnya kita tidak menikah dulu, sebelum kita mendapat restu dari Mama kamu. Mama kamu ingin yang terbaik buat kamu. Menikahkan kamu dengan lelaki yang sudah mapan. Sementara aku ….” keluh Wira. “Nggak boleh begitu, A Wira. Aku tidak menyesal karena sudah menikah dengan kamu. Justru aku akan berusaha menjadi istri yang baik buat kamu. Jangan pernah mengeluh soal keadaan kamu. Apapun kita syukuri, selama itu tidak merugikan orang lain.” Nila berusaha membesarkan hati Wira. “Jadi, sekarang kita mau kemana nih, A?” tanya Nila, sambil membawa tas besar berisi pakaian. “Aa juga bingung, Neng. Kontrakan A Wira sebentar lagi mau digusur. Padahal itu kontrakan yang sangat murah dan nyaman. Akan sangat sulit mencari kontrakan yang seperti itu. Kebanyakan kontrakan disini sangat mahal, sementara gaji Aa tidak banyak. Tapi ….” Wira berpikir sejenak. “Neng,” lirih Wira. “Iya, A. Kenapa?” tanya Nila. “Apa nggak sebaiknya kita pulang ke rumah mendiang ibu dan bapaknya Aa di kampung saja? Rumahnya kan kosong, jadi kita bisa menggunakannya kembali. Bagaimana?” imbuh Wira memberi saran. “Ya sudah, A tidak apa-apa. Itu lebih baik menurut aku, karena kita tidak perlu menyewa,” sahut Nila bersemangat. Malam hari, Nila dan Wira menaiki motor bebeknya menuju kampung halaman Wira. “Oh iya, Neng. Kalau kita tinggal di kampung Aa, berarti jarak dari rumah ke pabrik sekitar 2 jam, pulang pergi jadi 4 jam. Kamu tidak apa-apa, ditinggal kerja setiap hari?” tanya Wira. Disisi lain ia merasa khawatir dan kasihan terhadap istrinya, jika harus kerja pulang pergi dengan jarak yang cukup jauh. “Tidak apa-apa, A. Aku berani kok di tinggal sendiri, nanti juga kan Aa pulang. Ya … kalau bosan kan aku tinggal main saja ke rumah tetangga,” jawab Nila. Wira tersenyum mendengar ucapan istrinya. Bangga atas karunia yang Tuhan berikan untuknya. Seorang istri yang cantik, lemah lembut dan tentunya baik dan bisa menghargai suami yang notabenenya hanya seorang cleaning service. “Terima kasih, Neng, kamu sangat pengertian,” ucap Wira. Setelah beberapa lama, akhirnya Wira dan Nila sudah sampai di depan gapura masuk kampung halaman Wira. Mereka berdua turun sejenak, hanya untuk mengurangi pegal setelah lama menaiki motor. Wira menatap tulisan yang ada di gapura itu. Desa Ciburicak kampung Ciburinong. Wira menatap sedih gapura itu. Sudah lama ia meninggalkan kampung itu, untuk merantau pergi ke kota. Kepergian kedua orang tuanya membuat hatinya hancur, membuat Wira tidak pernah pulang ke kampung halamannya lagi. Dan inilah kali pertama Wira menginjakkan kaki kembali di kampung halamannya itu, setelah kepergian kedua orang tuanya. “Aa!” Sebuah tepukan mengagetkan Wira. Nila menepuk bahu suaminya itu, karena heran melihat suaminya melamun seperti itu sambil menatap gapura. “Ayo lanjutkan perjalanan kita!” ajak Nila. Wira mengangguk, kemudian mereka berdua kembali menaiki motor. Suasana di sana masih sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah sama sekali. Bangunan pun tidak ada yang modern seiring perkembangan zaman. Mereka warga-warga kampung, masih mempertahankan tradisi rumah jadul mereka. “Benar-benar kampung yang asri ya, A! Lihat anak-anak itu, mereka bermain egrang seru sekali,” tunjuk Nila. Namun Wira tak menyahut. Siang itu keadaan di sana begitu ramai warga yang sedang berkumpul di depan rumah masing-masing. Membuat Nila semakin yakin, ia akan sangat betah bila tinggal di kampung ini. Namun sepersekian detik Nila baru tersadar. Dia menoleh ke arah anak-anak yang sedang bermain tadi. Kemudian ke depan rumah-rumah warga. Ini benar-benar di luar nalar. “Perasaan baru saja aku melihat keadaan disini siang. Tapi ini kan sudah malam, dan mereka? Mereka kemana?” batin Nila. Perasaan Nila menjadi tak enak saat tersadar bahwa ini sudah malam hari dan tidak ada siapa-siapa di sana selain mereka berdua. Nila berusaha membuang jauh pikiran itu. Menganggap yang baru saja ia lihat hanyalah halusinasi saja karena faktor kelelahan setelah perjalanan jauh. Motor Wira berhenti di depan rumah sederhana. Wira pun mengajak Nila turun dari motor. “Ini Neng rumah mendiang orang tua Aa. Beginilah keadaannya, semoga kamu nyaman tinggal disini,” ujar Wira. Rumah berdinding bilik bambu, berlantaikan tanah, namun berukuran paling besar diantara rumah-rumah warga lainnya. Wira membuka pintu yang digembok dari luar. Setelah pintu terbuka, barulah Nila bisa melihat keadaan dalam rumah. Gelap, sama sekali tak ada cahaya yang menerangi rumah itu. “Bagaimana ini, A? Tidak mungkin kita di rumah dalam keadaan gelap seperti ini?” tanya Nila. Wira menyalakan senter dari ponselnya. Lumayan menerangi keadaan di dalam rumah itu. “Apa disini nggak dipasang listrik, A?” tanya Nila. “Dulu sih ada listrik, mungkin sudah diputus karena sudah lama rumah ini kosong. Jadi wajar jika rumahnya gelap,” jawab Wira sambil melangkah masuk. Ia mencoba menyalakan saklar lampu, namun benar saja, listrik sudah diputus. Nila yang berada di belakang Wira, mengikutinya dari belakang. Hawa di dalam rumah sangat pengap karena banyaknya debu dan sarang laba-laba dimana-mana. “A, apa nggak sebaiknya beli lilin? Disini warung dimana ya, A?” tanya Nila. “Ada, di ujung jalan sana! Ya sudah kalau begitu Aa beli lilin dulu, ya! Kamu mau ikut atau nunggu disini?” tanya Wira. “Aku ikut, A. Soalnya nggak enak gelap-gelapan sendiri,” jawab Nila tak nyaman. “Enaknya gelap-gelapan berdua, ya?” goda Wira. “Aw, sakit!” pekik Wira saat tangan Nila mencubit perutnya. “Nggak lucu ya bercandanya, ayo ah cepetan aku ingin segera istirahat!” Nila mendahului Wira berjalan keluar. Pluk! Tiba-tiba dompet Nila terjatuh tepat di bawah pohon nangka di depan rumah. Keadaan yang gelap, membuatnya kesusahan untuk mencari dompetnya. “Sebentar, A dompetku jatuh!” ujar Nila pada Wira yang sedang menutup pintu, sambil meraba dompetnya yang terjatuh. “Ini apa, ya?” gumam Nila saat tangannya menyentuh tanah yang menyembul di bawah pohon nangka.“Ayo, Neng cepetan!” ujar Wira yang baru selesai menutup pintu.“Ah iya, A sebentar,” sahut Nila lalu mengambil dompet miliknya di bawah pohon nangka.Mereka berdua segera pergi menuju warung untuk membeli sebuah lilin. Namun saat mereka sudah menjauh dari bawah pohon nangka, sesuatu yang menyembul berupa gundukan tanah itu bergerak maju lalu menghilang.“A Wira, kampung ini masih berdekatan dengan hutan, ya? Banyak sekali pohon-pohon besar sama kebun-kebun singkong dan pisang disini,” tanya Nila melirik kesana kemari. Matanya tak henti menelisik ke setiap arah.“Iya, Neng, kampung sini memang masih dekat dengan hutan, memang disini mayoritas penduduk mata pencahariannya ya ini, mereka berkebun untuk memenuhi kebutuhan mereka. Warga disini memanfaatkan hasil bumi dengan bercocok tanam. Bahkan tak jarang warga disini juga mencari kayu bakar ke hutan untuk kemudian dijual. Orang tua Aa dulu juga berkebun, tapi kebunnya agak jauh sedikit dari sini. Nanti kalau Aa libur, Aa akan ajak kamu
Semalaman Nila berusaha untuk memejamkan matanya. Namun rasa takut mendominasi dirinya. Terdengar Wira masih mendengkur namun kali ini cukup keras."Jika yang tadi yang bukain pintu bukan A Wira, lalu siapa?" batin Nila.Hujan pun mereda, dan kini hanya menyisakan rintik-rintik kecil. Semilir angin berhembus perlahan dari celah-celah bilik bambu. Membuat malam pertama di rumah Wira, menjadi malam yang mencekam bagi Nila.Nila tidak berani bergerak walaupun sekedar menghadap ke arah Wira. Baru kali ini Nila mengalami hal semacam ini."Neng, kamu belum tidur?" Wira menegur Nila yang masih terjaga.Nila menoleh ke arah pintu kamar, terlihat Wira sedang berdiri menatap dirinya.Jantung Nila semakin berdegup kencang, saat suara dengkuran dari Wira masih terdengar dari belakang.Batin Nila berkecamuk, dia bingung, entah yang mana suaminya yang asli.Dengan rasa penasaran, Nila menoleh ke arah Wira yang ada di atas kasur, di belakangnya. Ia yakin, Wira yang sedang berbaring dengannya adalah
Nila berjalan ke arah yang ditunjuknya. Namun Lita segera mencegahnya."Jangan, Teh, bahaya!" cegah Lita."Aku nggak percaya dengan adanya larangan itu. Nggak masuk diakal aja, masa melihat gundukan tanah saja sampai depresi. Lagian ini kan masih siang," seloroh Nila.Nila melepaskan tangannya dari pegangan tangan Kita.Nila mendekati gundukan tanah itu, dia tak mau mendengarkan peringatan dari Lita.Setelah mendekat, hidung Nila seperti mencium bau sesuatu yang sangat menyengat.Nila mengambil ranting pohon yang tergeletak di atas tanah. Kemudian dia mengorek gundukan tanah itu menggunakan ranting pohon tersebut.Betapa terkejutnya ia, saat mendapati sesuatu di dalamnya. Alangkah menyesalnya ia telah mengorek gundukan tanah itu."Kenapa, Teh?" tanya Lita merasa was-was."Kotoran kucing, banyak dan gede banget," jawab Nila sambil menutup hidungnya. Hampir saja Nila muntah dibuatnya.Nila segera menjauhi benda itu, kemudian mengajak masuk Lita ke dalam rumah."Ayo masuk, Lit. Sudah ...
Nila menoleh ke belakang, karena terkejut saat pintu kamar itu tertutup dengan sendirinya."Perasaan barusan anginnya biasa saja," batin Nila. Namun dengan cepat ia mengabaikannya."Sudah selesai mandinya? Ayo kita makan!" seru Nila menghampiri Wira di dalam kamar mereka."Sudah, ayo!" sahut Wira.Mereka berdua yang semula berada di kamar depan, kemudian berjalan ke ruangan tengah. Mereka berdua segera makan malam, sebelum beristirahat."Tadi Aa ketemu sama Mama kamu di jalan." Wira membuka obrolan disela-sela mereka makan."Oh ya? Terus gimana Rekasi Mama? Apa dia nanyain kabar aku?" tanya Nila. Walaupun Retna telah mengusirnya, namun tidak dipungkiri Nila sangat merindukannya, walaupun baru beberapa hari mereka tidak berkomunikasi dan bertemu."Masih sama, Neng. Bahkan Aa saja yang mau menyalaminya, Mama malah menepis tangan Aa. Tapi tidak apa-apa, kita berdoa saja semoga Mama dibukakan hatinya. Kita buktikan sama Mama, kita bisa hidup bahagia," jawab Wira.Hati Nila mencelos, segit
Suara halus berbisik tertangkap oleh telinga Nila. Membuatnya kembali bangun dan menoleh kesana kemari."Siapa itu?" Nila menatap seluruh sudut kamar, namun tak mendapati siapapun disana. Hanya ada dirinya seorang diri."Ya Tuhan ... Kenapa akhir-akhir ini, aku sering berhalusinasi." Nila bergumam."Aku disini, lihat aku!" Kembali suara itu terdengar.Nila turun dari ranjang, berjalan mencari sumber suara itu."Aku disini, di belakangmu!"Seperti terhipnotis, Nila menoleh dan mendapati sebuah gundukan tanah, yang sempat ia lihat tadi."Ya ... Kau menemukanku. Mendekatlah!" seru suara itu.Nila menuruti kata-kata suara itu. Dia berjongkok mendekat pada gundukan tanah itu."Gali ...." Bisikan itu menuntun Nila untuk menggali tanah itu.Antara sadar dan tidak, Nila pun mengangguk kemudian mulai mengorek tanah itu tanpa bantuan alat. Ia mengorek tanah itu hanya menggunakan kedua tangannya.Semakin lama, Nila semakin membabi buta mengorek tanah itu."Kenapa ini? Kenapa tanganku terus berge
Lima tahun silam ....Tok! Tok! Tok!Sebuah ketukan di pintu depan, terdengar nyaring. Sehingga aku dan kedua orang tuaku yang sedang makan malam, menoleh ke arah pintu."Biar aku saja yang buka." Aku beranjak pergi menghampiri pintu.Ceklek!Pintu pun aku buka lebar, namun saat pintu sudah terbuka, aku tidak melihat siapa-siapa di luar. Aku menoleh kesana kemari, namun tetap nihil, aku tidak menemukan siapapun."Ah ... Iseng sekali," gumamku.Aku hendak menutup pintu kembali, namun ekor mataku menangkap sesuatu di bawah pintu.Sebuah kantong kresek hitam tergeletak di depan pintu. Entah apa isinya, namun terlihat sesuatu yang berisi banyak."Siapa yang datang, Wira?" tanya bapak yang sudah selesai makan."Nggak tahu, Pak. Tapi aku menemukan ini." Aku menyerahkan kantong kresek itu kepada bapak."Apa ya, Pak kira-kira? Coba buka, Ibu penasaran," imbuh ibu.Bapak pun membuka kantong kresek itu, dan terlihat setelah dibuka, buah jeruk yang berjumlah banyak. Warna kulitnya begitu menggod
"Kamu kenapa, Neng? Siapa yang kirim pesan?" tanya Wira, heran saat melihat perubahan ekspresi Nila.Tangan Nila bergetar, ia tak mampu menahan segala emosi yang ada pada dirinya.Dengan gemetar, Nila memperlihatkan ponselnya kepada Wira. Wira menerimanya kemudian melihat apa yang membuat Nila seperti itu."Mama!" lirih Wira.Nila menjatuhkan kepalanya di bahu Wira. Ia terisak sedih dan sangat kecewa."Tega sekali, Mama. Setelah membuangku, dengan gampangnya dia mengangkat seorang anak. Aku tidak masalah jika anak itu masih kecil. Tapi seperti yang kamu lihat, A, dia sudah dewasa sama sepertiku," ujar Nila bersedih.Di dalam pesan itu, Retna sengaja mengirimkan sebuah foto dirinya bersama perempuan yang ditaksir usianya tak jauh beda dengan Nila. Retna juga mengirimkan pesan teks, memberitahu jika foto perempuan yang bersama dirinya adalah anak angkatnya.Entah apa maksud Retna, sehingga tega menyakiti perasaan Nila, sebagai anak kandungnya."Maafkan Aa, Neng," ucap Wira menunduk.Nil
"Sari!" Nila terus memanggil-manggil nama Sari. Entah kemana perginya, yang jelas Sangat cepat menghilang.Nila berjalan lurus mencari Sari, dia menoleh kesana kemari. Niatnya mencari kayu bakar, kini fokusnya terbuyarkan oleh menghilangnya Sari."Sari kamu dimana?" teriak Nila.Nila terus berjalan, beberapa kali kakinya menginjak ranting-ranting pohon, sehingga menimbulkan suara-suara patahan kayu-kayu kecil yang cukup nyaring."Sar!" Nila terus memanggil.Dari arah belakang, seseorang menepuk bahu Nila. Alhasil Nila terlonjak kaget."Sari, kamu ngagetin a ... ja!" Setelah Nila membalikkan tubuhnya, ternyata bukan Sari yang menepuk bahu Nila, melainkan seorang pria tua dengan pakaian compang-camping."Huh huh!" ujar pria itu.Nila tak mengerti dengan ucapan pria itu, namun tangannya menunjuk ke suatu arah."Ada apa, Pak? Apakah Bapak lihat teman saya?" tanya Nila."Huh huh!" Sama seperti sebelumnya, pria itu berbicara dengan bahasa yang tidak jelas. Namun tangannya terus menunjuk ke