Share

MISTERI GUNDUKAN TANAH
MISTERI GUNDUKAN TANAH
Author: Yuni Masrifah

Bab 1 Diusir

JANGAN MENDEKATI GUNDUKAN TANAH ITU, JIKA KAMU MELIHATNYA. JIKA LARANGAN ITU KAMU LANGGAR, MAKA BERSIAP-SIAPLAH KAMU AKAN MELIHAT WUJUD ASLINYA!

***

Kota B, 15.00 WIB.

“Ma, aku sudah menikah dengan A Wira tadi siang. Maaf aku tidak bisa mengabulkan permintaan Mama untuk membatalkan pernikahan dengannya. Aku mohon Mama terima ya, A Wira sebagai menantu Mama! Insya Allah dia baik dan bertanggung jawab!” imbuh Nila kepada ibunya, Retna.

“Sudah berapa kali saya menentang hubungan kalian. Tapi kalian masih saja nekat menikah tanpa persetujuan saya. Dan kamu, Nila, apa yang kamu cari dari lelaki miskin ini, hah?” bentak Retna tak suka.

“Mama, saya mohon jangan marahi Nila. Saya mohon restui pernikahan kami. Saya berjanji akan menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab untuk Nila, saya mohon!” Wira bersimpuh di kaki Retna.

“Diam, saya bukan Mama kamu. Sampai kapanpun, saya tidak akan merestui hubungan kalian. Jika kalian nekat melanjutkan pernikahan kalian, lebih baik kamu angkat kaki dari sini, Nila. Bila perlu, Mama akan mencoret nama kamu dari kartu keluarga!”

Sore itu, Nila dan Wira memutuskan untuk pergi dari rumah Retna. Sebenarnya berat rasanya Nila meninggalkan ibunya dan rumah yang penuh kenangan itu. Tapi demi baktinya terhadap suami, dia rela meninggalkan rumah dan memilih hidup sederhana dengan Wira, yang hanya seorang cleaning service di sebuah pabrik.

“Kamu yakin, mau meninggalkan rumah ini? Maafkan aku, seharusnya kita tidak menikah dulu, sebelum kita mendapat restu dari Mama kamu. Mama kamu ingin yang terbaik buat kamu. Menikahkan kamu dengan lelaki yang sudah mapan. Sementara aku ….” keluh Wira.

“Nggak boleh begitu, A Wira. Aku tidak menyesal karena sudah menikah dengan kamu. Justru aku akan berusaha menjadi istri yang baik buat kamu. Jangan pernah mengeluh soal keadaan kamu. Apapun kita syukuri, selama itu tidak merugikan orang lain.” Nila berusaha membesarkan hati Wira.

“Jadi, sekarang kita mau kemana nih, A?” tanya Nila, sambil membawa tas besar berisi pakaian.

“Aa juga bingung, Neng. Kontrakan A Wira sebentar lagi mau digusur. Padahal itu kontrakan yang sangat murah dan nyaman. Akan sangat sulit mencari kontrakan yang seperti itu. Kebanyakan kontrakan disini sangat mahal, sementara gaji Aa tidak banyak. Tapi ….” Wira berpikir sejenak.

“Neng,” lirih Wira.

“Iya, A. Kenapa?” tanya Nila.

“Apa nggak sebaiknya kita pulang ke rumah mendiang ibu dan bapaknya Aa di kampung saja? Rumahnya kan kosong, jadi kita bisa menggunakannya kembali. Bagaimana?” imbuh Wira memberi saran.

“Ya sudah, A tidak apa-apa. Itu lebih baik menurut aku, karena kita tidak perlu menyewa,” sahut Nila bersemangat.

Malam hari, Nila dan Wira menaiki motor bebeknya menuju kampung halaman Wira.

“Oh iya, Neng. Kalau kita tinggal di kampung Aa, berarti jarak dari rumah ke pabrik sekitar 2 jam, pulang pergi jadi 4 jam. Kamu tidak apa-apa, ditinggal kerja setiap hari?” tanya Wira. Disisi lain ia merasa khawatir dan kasihan terhadap istrinya, jika harus kerja pulang pergi dengan jarak yang cukup jauh.

“Tidak apa-apa, A. Aku berani kok di tinggal sendiri, nanti juga kan Aa pulang. Ya … kalau bosan kan aku tinggal main saja ke rumah tetangga,” jawab Nila.

Wira tersenyum mendengar ucapan istrinya. Bangga atas karunia yang Tuhan berikan untuknya. Seorang istri yang cantik, lemah lembut dan tentunya baik dan bisa menghargai suami yang notabenenya hanya seorang cleaning service.

“Terima kasih, Neng, kamu sangat pengertian,” ucap Wira.

Setelah beberapa lama, akhirnya Wira dan Nila sudah sampai di depan gapura masuk kampung halaman Wira.

Mereka berdua turun sejenak, hanya untuk mengurangi pegal setelah lama menaiki motor.

Wira menatap tulisan yang ada di gapura itu. Desa Ciburicak kampung Ciburinong.

Wira menatap sedih gapura itu. Sudah lama ia meninggalkan kampung itu, untuk merantau pergi ke kota. Kepergian kedua orang tuanya membuat hatinya hancur, membuat Wira tidak pernah pulang ke kampung halamannya lagi. Dan inilah kali pertama Wira menginjakkan kaki kembali di kampung halamannya itu, setelah kepergian kedua orang tuanya.

“Aa!” Sebuah tepukan mengagetkan Wira. Nila menepuk bahu suaminya itu, karena heran melihat suaminya melamun seperti itu sambil menatap gapura.

“Ayo lanjutkan perjalanan kita!” ajak Nila.

Wira mengangguk, kemudian mereka berdua kembali menaiki motor.

Suasana di sana masih sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah sama sekali. Bangunan pun tidak ada yang modern seiring perkembangan zaman. Mereka warga-warga kampung, masih mempertahankan tradisi rumah jadul mereka.

“Benar-benar kampung yang asri ya, A! Lihat anak-anak itu, mereka bermain egrang seru sekali,” tunjuk Nila. Namun Wira tak menyahut.

Siang itu keadaan di sana begitu ramai warga yang sedang berkumpul di depan rumah masing-masing. Membuat Nila semakin yakin, ia akan sangat betah bila tinggal di kampung ini.

Namun sepersekian detik Nila baru tersadar. Dia menoleh ke arah anak-anak yang sedang bermain tadi. Kemudian ke depan rumah-rumah warga. Ini benar-benar di luar nalar.

“Perasaan baru saja aku melihat keadaan disini siang. Tapi ini kan sudah malam, dan mereka? Mereka kemana?” batin Nila. Perasaan Nila menjadi tak enak saat tersadar bahwa ini sudah malam hari dan tidak ada siapa-siapa di sana selain mereka berdua.

Nila berusaha membuang jauh pikiran itu. Menganggap yang baru saja ia lihat hanyalah halusinasi saja karena faktor kelelahan setelah perjalanan jauh.

Motor Wira berhenti di depan rumah sederhana. Wira pun mengajak Nila turun dari motor.

“Ini Neng rumah mendiang orang tua Aa. Beginilah keadaannya, semoga kamu nyaman tinggal disini,” ujar Wira.

Rumah berdinding bilik bambu, berlantaikan tanah, namun berukuran paling besar diantara rumah-rumah warga lainnya.

Wira membuka pintu yang digembok dari luar.

Setelah pintu terbuka, barulah Nila bisa melihat keadaan dalam rumah. Gelap, sama sekali tak ada cahaya yang menerangi rumah itu.

“Bagaimana ini, A? Tidak mungkin kita di rumah dalam keadaan gelap seperti ini?” tanya Nila.

Wira menyalakan senter dari ponselnya. Lumayan menerangi keadaan di dalam rumah itu.

“Apa disini nggak dipasang listrik, A?” tanya Nila.

“Dulu sih ada listrik, mungkin sudah diputus karena sudah lama rumah ini kosong. Jadi wajar jika rumahnya gelap,” jawab Wira sambil melangkah masuk. Ia mencoba menyalakan saklar lampu, namun benar saja, listrik sudah diputus.

Nila yang berada di belakang Wira, mengikutinya dari belakang. Hawa di dalam rumah sangat pengap karena banyaknya debu dan sarang laba-laba dimana-mana.

“A, apa nggak sebaiknya beli lilin? Disini warung dimana ya, A?” tanya Nila.

“Ada, di ujung jalan sana! Ya sudah kalau begitu Aa beli lilin dulu, ya! Kamu mau ikut atau nunggu disini?” tanya Wira.

“Aku ikut, A. Soalnya nggak enak gelap-gelapan sendiri,” jawab Nila tak nyaman.

“Enaknya gelap-gelapan berdua, ya?” goda Wira.

“Aw, sakit!” pekik Wira saat tangan Nila mencubit perutnya.

“Nggak lucu ya bercandanya, ayo ah cepetan aku ingin segera istirahat!” Nila mendahului Wira berjalan keluar.

Pluk!

Tiba-tiba dompet Nila terjatuh tepat di bawah pohon nangka di depan rumah. Keadaan yang gelap, membuatnya kesusahan untuk mencari dompetnya.

“Sebentar, A dompetku jatuh!” ujar Nila pada Wira yang sedang menutup pintu, sambil meraba dompetnya yang terjatuh.

“Ini apa, ya?” gumam Nila saat tangannya menyentuh tanah yang menyembul di bawah pohon nangka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status