Dastan yang berdiri tak jauh dari tempat tidurnya, kini sedang melepaskan ikat pinggang dengan santai.Lyra masih di posisi yang sama, membelalak.Apalagi saat kancing kemeja Dastan satu per satu dilonggarkan, memperlihatkan sedikit kulit dada bidang pria itu. Lyra membeku.Otaknya berteriak panik.Dia sungguh mau buka baju?! Di sini?! Sekarang?!Tanpa sadar, Lyra terus menatap—Hingga Dastan, tanpa aba-aba menoleh ke arahnya.Tatapan mata mereka bertemu.Lyra spontan membuang muka, panik.Dalam situasi canggung itu, dia hanya bisa berpura-pura mengaduk bubur yang sudah tak lagi berbentuk.Dastan berdehem kecil. Suaranya terdengar tenang saat berkata, "Aku pinjam kamar mandi sebentar, aku harap kau tidak keberatan."Lyra, masih syok, mengangguk cepat sambil membalas dengan terbata,"Ke-kenapa aku harus keberatan? Ini rumahmu..."Begitu kalimat itu meluncur, Lyra langsung menutup mulutnya sendiri.Astaga. Kenapa dia malah mengingatkan diri sendiri bahwa dialah tamunya, dan Dastan beba
"Nyonya Talia menelepon menanyakan keadaan, Nona. Katanya dia khawatir karena ponsel Nona sudah dua hari tidak bisa dihubungi." Alba menjelaskan lebih detail. Baik Lyra maupun Dastan, sama-sama terdiam berpikir. Dastan masih menimbang. Itu pasti hanya kode. Mustahil jika Talia belum tahu, rumornya sudah mulai menyebar. Di tempat tidur, Lyra meremas mangkuk buburnya. Gelisah.Apa ibunya benar-benar sudah tahu tentang kejadian kemarin? Kalau iya, dia tahu, badai besar akan segera menerjangnya."Ibuku pasti akan marah besar..." desis Lyra nyaris tak terdengar. Rasa panik menyusup ke seluruh nadinya.Ia menoleh cemas ke arah Dastan, yang kini berdiri dengan wajah dingin namun rahangnya mengeras.Berbeda dengan ketakutan Lyra pada amarah ibunya, Dastan justru merasa waspada.Dia tahu, Talia Sasmita bukan tipe yang sekadar marah. Dia bisa saja menjadikan tragedi ini sebagai dalih untuk menarik Lyra kembali ke dalam kekuasaannya.Dan itu sesuatu yang Dastan tidak akan izinkan."Tuan? Pang
Dastan berdiri menghadap jendela besar, dengan rambut masih agak basah, kemeja longgar yang belum dikancingkan sepenuhnya. Tangan disilangkan di depan dada, dan sorot mata dingin menatap ke luar. Bayangan gunung di kejauhan tertutup kabut tipis, tapi pikirannya lebih berkabut lagi—penuh amarah yang ditahan setengah mati.Charlie berdiri di dekat rak buku, menatap layar tablet di tangannya. Menunggu instruksi. “Teman-teman Lyra,” gumam Dastan lirih, seperti menahan amarah yang mendidih. “Apa kabar mereka?”Charlie menggeser layar. “Tiga sudah dicoret dari daftar. Mereka tidak akan bisa memulai bisnis kembali. Dua lagi sedang diperiksa karena manipulasi data.”Dastan tertawa pelan, dingin. “Bayangkan orang-orang busuk seperti mereka mengaku temanmu. Menjijikkan.”Dastan berbalik, duduk bersandar di kursinya, satu tangan mengetuk-ngetuk sandaran.“Dan yang mengurungnya di toilet?" tanya Dastan sambil melirik sekilas.Charlie diam sebentar sebelum berani bertanya, “Nona Livia?”Sekilas,
"Ahh... Sayang, lebih cepat...."Lyra baru saja memasuki kantor tunangannya untuk memberi kejutan ulang tahun, tetapi dirinya justru dikejutkan oleh suara desahan seorang wanita dari dalam ruangan.“Mmh… kamu nikmat sekali….”Kening Lyra berkerut rapat. Jantungnya berdegup kencang.Dia ingin mengelak dan menganggap dirinya salah dengar. Akan tetapi, suara itu terlalu jelas. Terlalu nyata.Dengan napas tertahan, Lyra melangkah mendekati pintu yang sedikit terbuka.Di saat yang bersamaan, suara tawa menggoda terdengar.“Menghabiskan waktu denganku di hari ulang tahunmu, apa kamu tidak takut Lyra akan marah?”“Hanya seorang wanita dari keluarga pebisnis yang sudah bangkrut, untuk apa aku takut padanya?”Mata Lyra membesar. Tidak salah lagi, itu suara Darren—tunangannya!Tangannya yang memegang kotak kue jadi gemetar, Lyra pun memberanikan diri untuk mengintip ke dalam.Seketika, dunia Lyra seakan runtuh.Di atas sofa besar dengan suasana berantakan, tubuh Darren yang setengah telanjang t
Panas.Suhu yang tidak nyaman itu membuat kelopak mata Lyra bergerak gelisah sebelum akhirnya terbuka. Lyra melirik ke sumber cahaya.Ternyata, cahaya matahari pagi telah menyelinap masuk melalui celah tirai tebal, menyinari langit-langit yang … asing.‘Di mana ini?’ batin Lyra, menyadari bahwa dia tidak terbangun di kamarnya.Namun, sebelum bisa mendapatkan jawaban, dia menyadari sesuatu yang jauh lebih mengkhawatirkan—tak ada sehelai benang pun menutupi tubuhnya.Ke mana pakaiannya?!Jantung Lyra berdebar kencang seiring berjuta pertanyaan yang muncul di dalam benaknya.Di waktu yang sama, mata Lyra bergerak ke samping. Dan di sana, seorang pria bertelanjang dada tertidur lelap.Seketika, ingatan mengenai apa yang terjadi tadi malam mengalir ke dalam benak. Usai sang pria tampan misterius menerima tawaran Lyra untuk tidur bersama, pria itu membawanya ke sebuah kamar hotel.Kemudian, tangan besar itu meremas pinggang Lyra dan menekan tubuhnya ke ranjang. Bibir dengan rasa anggur
Malam itu, mobil keluarga Sasmita berhenti di depan kediaman megah keluarga Adiwangsa. Pelataran telah dipenuhi deretan mobil mewah, masing-masing milik keluarga terpandang di kota Torin. Lampu-lampu kristal di fasad rumah besar itu berpendar indah, mencerminkan kemewahan yang tak tertandingi.Dari kursi penumpang, Lyra menatap gedung itu dengan dada sesak.Keluarga Adiwangsa paling berkuasa atas kota ini. Dan malam ini, dia harus melangkah masuk, berpura-pura menjadi bagian dari mereka.Pintu mobil terbuka, dan sang ibu, Talia, turun lebih dulu. Senyumnya lebar, penuh kebanggaan. “Jangan lupa membawa kadonya turun, Lyra. Jangan membuatku malu.”Datang ke rumah keluarga Adiwangsa dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja?Berpura-pura bahwa dia tidak tahu bagaimana Darren mengkhianatinya?Kebenciannya hampir tumpah, tetapi seketika Lyra teringat ultimatum ibunya.“Kau harus mengikuti semua perintah Darren, apa pun itu! Kalau kau membuatnya tidak senang, kau tahu akibatnya!”Lyra men
Lyra berdiri kaku di antara para tamu pesta. Di saat tamu lain tersenyum sumringah menyambut kedatangan salah satu bintang dari acara malam hari ini, wajahnya justru kehilangan segala warna–pucat.Kenapa bisa seperti ini?Bagaimana bisa pria yang tadi malam menyentuh setiap inci tubuhnya, yang membisikkan kata-kata nakal di telinganya, yang mencumbu dan memilikinya dalam kegelapan……ternyata adalah Dastan Adiwangsa?!Paman Darren. Pewaris utama keluarga Adiwangsa. Pria paling berbahaya di negeri ini!?Lyra merasakan kepalanya berdenyut hebat. Seluruh tubuhnya bergetar tanpa bisa ia kendalikan. Rasanya ingin lari. Ingin menghilang.Tidak. Ini tidak nyata. Harusnya ini hanya mimpi buruk.Tapi pria itu ada di sana. Nyata.Semakin ia menatap Dastan, semakin ingatan semalam kembali menghantam kepalanya dengan keras.Tangan kekar yang membawanya ke dalam kamar hotel.Bibir penuh yang mencumbunya di bawah remang lampu.Suara rendah yang mengklaimnya tanpa ragu.—"Kalau begitu… mulai sekarang
Darah Lyra seolah menguap. Napasnya tercekat. Dingin menjalari tengkuknya. Apakah Dastan mengenali dirinya?! Bagaimana ini? Lyra panik. Dia benar-benar harus kabur dari tempat itu sekarang. Dia tidak siap mengungkap semua kebenaran. "Ah, itu mustahil." Talia memotong dengan cepat sebelum Lyra sempat bereaksi. Tertawa kecil, wanita itu menepuk tangan Lyra yang gemetar, lalu menoleh pada Dastan dengan senyum percaya diri."Tuan Dastan. Putriku ini tipe anak rumahan. Dia tidak pernah pergi ke mana pun sejauh ini. Hidupnya hanya berkisar di rumah dan lingkungan terbatas kami. Anda baru pulang dari luar negeri, bagaimana bisa bertemu dengannya?"Lyra menelan ludah, berusaha mengontrol napasnya yang tersendat.Dastan diam beberapa detik. Tatapannya masih melekat pada Lyra, tajam dan menelisik begitu teliti, seakan mempertimbangkan sesuatu. Meski akhirnya, pria itu hanya mengangguk kecil. “Begitu rupanya….”Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, Dastan memalingkan wajahnya, kembali ke perca
Dastan berdiri menghadap jendela besar, dengan rambut masih agak basah, kemeja longgar yang belum dikancingkan sepenuhnya. Tangan disilangkan di depan dada, dan sorot mata dingin menatap ke luar. Bayangan gunung di kejauhan tertutup kabut tipis, tapi pikirannya lebih berkabut lagi—penuh amarah yang ditahan setengah mati.Charlie berdiri di dekat rak buku, menatap layar tablet di tangannya. Menunggu instruksi. “Teman-teman Lyra,” gumam Dastan lirih, seperti menahan amarah yang mendidih. “Apa kabar mereka?”Charlie menggeser layar. “Tiga sudah dicoret dari daftar. Mereka tidak akan bisa memulai bisnis kembali. Dua lagi sedang diperiksa karena manipulasi data.”Dastan tertawa pelan, dingin. “Bayangkan orang-orang busuk seperti mereka mengaku temanmu. Menjijikkan.”Dastan berbalik, duduk bersandar di kursinya, satu tangan mengetuk-ngetuk sandaran.“Dan yang mengurungnya di toilet?" tanya Dastan sambil melirik sekilas.Charlie diam sebentar sebelum berani bertanya, “Nona Livia?”Sekilas,
"Nyonya Talia menelepon menanyakan keadaan, Nona. Katanya dia khawatir karena ponsel Nona sudah dua hari tidak bisa dihubungi." Alba menjelaskan lebih detail. Baik Lyra maupun Dastan, sama-sama terdiam berpikir. Dastan masih menimbang. Itu pasti hanya kode. Mustahil jika Talia belum tahu, rumornya sudah mulai menyebar. Di tempat tidur, Lyra meremas mangkuk buburnya. Gelisah.Apa ibunya benar-benar sudah tahu tentang kejadian kemarin? Kalau iya, dia tahu, badai besar akan segera menerjangnya."Ibuku pasti akan marah besar..." desis Lyra nyaris tak terdengar. Rasa panik menyusup ke seluruh nadinya.Ia menoleh cemas ke arah Dastan, yang kini berdiri dengan wajah dingin namun rahangnya mengeras.Berbeda dengan ketakutan Lyra pada amarah ibunya, Dastan justru merasa waspada.Dia tahu, Talia Sasmita bukan tipe yang sekadar marah. Dia bisa saja menjadikan tragedi ini sebagai dalih untuk menarik Lyra kembali ke dalam kekuasaannya.Dan itu sesuatu yang Dastan tidak akan izinkan."Tuan? Pang
Dastan yang berdiri tak jauh dari tempat tidurnya, kini sedang melepaskan ikat pinggang dengan santai.Lyra masih di posisi yang sama, membelalak.Apalagi saat kancing kemeja Dastan satu per satu dilonggarkan, memperlihatkan sedikit kulit dada bidang pria itu. Lyra membeku.Otaknya berteriak panik.Dia sungguh mau buka baju?! Di sini?! Sekarang?!Tanpa sadar, Lyra terus menatap—Hingga Dastan, tanpa aba-aba menoleh ke arahnya.Tatapan mata mereka bertemu.Lyra spontan membuang muka, panik.Dalam situasi canggung itu, dia hanya bisa berpura-pura mengaduk bubur yang sudah tak lagi berbentuk.Dastan berdehem kecil. Suaranya terdengar tenang saat berkata, "Aku pinjam kamar mandi sebentar, aku harap kau tidak keberatan."Lyra, masih syok, mengangguk cepat sambil membalas dengan terbata,"Ke-kenapa aku harus keberatan? Ini rumahmu..."Begitu kalimat itu meluncur, Lyra langsung menutup mulutnya sendiri.Astaga. Kenapa dia malah mengingatkan diri sendiri bahwa dialah tamunya, dan Dastan beba
Lyra menoleh cepat ke sumber suara.Di sana, dia menemukan Dastan baru saja bangkit dari sofa, merapikan lengan kemeja yang tampak kusut.Rambut hitamnya sedikit berantakan, dengan bayangan kelelahan yang masih membekas di wajah tampannya. Langkahnya malas, berat, tapi tetap mendekat ke arah Lyra.Lyra menahan napas. Dada kecilnya bergemuruh tanpa kendali.Ternyata...Dastan tidak pergi.Dia ada di sini. Menjaganya.Tapi... sejak kapan? Lyra tak merasakan dia masuk. Pria itu kini berdiri tepat di sisi tempat tidur, membuat Lyra salah tingkah. Matanya yang bengkak mengerjap panik. Tangannya refleks meremas selimut.Hening sesaat. Seperti tak ada yang berniat memulai obrolan. Semua kalimat permohonan maaf beserta penjelasan panjang lebar yang Lyra susun susah payah kemarin, kini menguap di depan Dastan. "Bagaimana perasaanmu?" Akhirnya, pria itu yang memulai. Wajahnya tetap datar, seolah tak ada yang salah.Saking gugupnya, kepala Lyra mengangguk lebih dulu dari pada suaranya. "A—ak
Suara kecil dari senjata itu terdengar lebih nyaring dari petir di telinga Darren. “PAMAN! AKU BUKAN PELAKUNYA!” Darren histeris, tubuhnya menggigil hebat. “AKU TIDAK TAHU APA-APA! AKU—AKU CUMA MAU MENOLONG LYRA! AKU MAU MENCARI BANTUAN—AKU—” Teriakan memohon Darren menggema memenuhi ruangan itu tanpa henti. Dastan tetap tenang. Bahkan tidak berkedip. “Lepaskan aku, Paman! Aku keponakanmu! Kenapa kau tega berbuat begini padaku hanya karena seorang gadis?!” Darren berteriak penuh frustrasi, tubuhnya bergetar antara panik dan marah. Sebelah alis Dastan terangkat. Napasnya berat. “Seorang gadis?” desisnya dingin lalu tersenyum. Bukan senyum ramah, tapi senyum predator. “Bocah sialan! Dia calon istriku. Calon tantemu. TAPI KAU BERANI MENYAKITINYA?!” Dentuman suara Dastan membelah udara. Darren menjerit, tubuhnya refleks berusaha mundur, tapi rantai menahannya di tempat. Moncong pistol Dastan yang dingin menempel keras di keningnya. “Paman! Bukan aku! Sumpah! Pelakunya adalah
Darren melangkah keluar dari bilik toilet dengan langkah puas. Wajahnya menahan senyum licik yang nyaris menyeringai. Tangannya menyeka keringat di pelipis, lalu merapikan kemejanya. Suara Lyra yang mengumpat pelan di balik pintu bilik tadi—meski lemah dan nyaris kehabisan tenaga—terdengar seperti simfoni kemenangan baginya."Hanya masalah waktu," gumamnya sambil menyeringai. "Sekeras kepala macam apa pun, pasti akan tunduk juga kalau sudah ditinggal dunia luar."Dia merasa luar biasa brilian malam ini. Keberuntungannya mengikuti Lyra dan Livia secara diam-diam sejak dari lobi hotel benar-benar berbuah manis. Kini, dia bisa memutar balik keadaan. Lyra akan jadi miliknya lagi, dan Dastan akan kehilangan segalanya.Namun senyum kemenangan itu hanya bertahan sampai dia mendongak dan mendapati pemandangan yang menghantam jantungnya lebih cepat dari palu godam.Rombongan pria bersetelan gelap berjalan mendekat dengan keheningan mematikan. Di tengah mereka, berdiri satu sosok yang paling ta
Dengan tubuh gemetar , Lyra menajamkan pendengarannya.“Lyra? Kau di dalam sana?” Suara itu kembali dan lebih jelas. Benar.Tidak salah lagi.“Darren?” Suara Lyra pecah, antara terkejut dan penuh harap. “Ya, ini aku,” jawab Darren mendekat. “Sedang apa kau di dalam sana?” “Darren! Ya Tuhan, tolong keluarkan aku!” Suara Lyra parau, nyaris seperti bisikan. “Livia mengunciku dari luar. Aku… aku tidak kuat lagi…”Sejenak hening. Lalu Darren tertawa pelan. Tidak bahagia. Tapi, sinis.“Astaga, Lyra… kau masih orang sama, naif, rapuh, tak berdaya. Mudah dimanipulasi seperti biasanya.”“Jangan bercanda, Darren… keluarkan saja aku dari sini…” Lyra mencoba berdiri, lalu terpeleset lagi. Kepalanya terbentur ringan, ia meringis.“Tenang, Lyra. Aku bisa membuka pintu sekarang juga,” Darren menimpali pelan, lalu menunduk di depan bilik. “Tapi tentu saja… ini tidak gratis.”Lyra mematung. “Kau mau uang? Saham? Baiklah akan kuberikan setelah aku keluar.”Darren mendekatkan wajah ke celah pintu. “B
Minuman mewah menghiasi meja panjang tempat para pemilik saham dan kolega bisnis duduk berkumpul. Ramai, penuh diskusi yang bersemangat. Namun bagi Dastan, pertemuan malam ini terasa berlarut dan membosankan.Ia duduk di ujung meja dengan jas rapi membalut tubuh tinggi tegapnya. Sepanjang pertemuan, jemarinya tak henti mengusap layar ponsel. Sekilas, hanya tampak seperti pria sibuk yang terganggu pesan pekerjaan, tapi Charlie—tangan kanannya—tahu lebih dari itu. Dia telah cukup lama bekerja untuk mengenali gerak tubuh yang resah. Gelagat aneh itu pasti karena tuan besarnya sedang mengkhawatirkan calon nyonya mereka."Sudah hampir pukul sepuluh malam, Tuan, " bisik Charlie perlahan saat berdiri di sisi Tuan-nya, seolah hanya mengingatkan waktu. Tapi sorot matanya menyiratkan lebih.Dastan mengangguk kecil. Begitu pertemuan resmi dinyatakan selesai, dia berdiri lebih cepat dari biasanya, bahkan melewatkan tawaran anggur dari salah satu kolega. Saat berjalan keluar dari ruangan, Dastan s
Setelah terdiam berpikir, Lyra kembali bersuara. “Aku tidak pernah membalas kalian... aku bahkan ingin... kalian kembali jadi temanku...”“Teman?” Tiara tertawa mengejek. “Kalau teman, kenapa kau diam saja saat semua usaha kami dibekukan? Kenapa kau diam saat karir model Livia dibatasi? Kenapa kau diam saat kami mencoba mendekat, dan Dastan malah makin menjauh?”“Karena aku tidak tahu!” suara Lyra pecah. Matanya berkaca-kaca menatap semua orang. Berharap mereka percaya. “Aku... aku pikir kalian benar-benar menerimaku kembali...”“Kami hanya melakukannya demi reputasi,” Ronald mendengus. “Tapi melihatmu tidak mau mengaku, aku jadi menyesal.”Dengan kasar, dia mengambil kotak hadiah yang tadi diberikan. “Kalau tahu begini, aku tidak akan buang-buang waktu dan uang,” ucapnya lalu keluar ruangan. Yang lain mengikuti. Beberapa menarik kembali bingkisan, bahkan yang lebih kejam membuangnya ke lantai di depan Lyra. “Aku juga tidak sudi jadi bagian dari permainan kesombonganmu.”“Pakai saj