Malam itu, mobil keluarga Sasmita berhenti di depan kediaman megah keluarga Adiwangsa. Pelataran telah dipenuhi deretan mobil mewah, masing-masing milik keluarga terpandang di kota Torin. Lampu-lampu kristal di fasad rumah besar itu berpendar indah, mencerminkan kemewahan yang tak tertandingi.
Dari kursi penumpang, Lyra menatap gedung itu dengan dada sesak.
Keluarga Adiwangsa paling berkuasa atas kota ini. Dan malam ini, dia harus melangkah masuk, berpura-pura menjadi bagian dari mereka.
Pintu mobil terbuka, dan sang ibu, Talia, turun lebih dulu. Senyumnya lebar, penuh kebanggaan. “Jangan lupa membawa kadonya turun, Lyra. Jangan membuatku malu.”
Datang ke rumah keluarga Adiwangsa dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja?
Berpura-pura bahwa dia tidak tahu bagaimana Darren mengkhianatinya?
Kebenciannya hampir tumpah, tetapi seketika Lyra teringat ultimatum ibunya.
“Kau harus mengikuti semua perintah Darren, apa pun itu! Kalau kau membuatnya tidak senang, kau tahu akibatnya!”
Lyra menutup mata, menggigit bibirnya hingga hampir berdarah. Tidak ada pilihan. Sejak awal, dia memang tidak pernah punya pilihan.
“…Baik.” Lyra menelan ludah. Seperti biasa, ibunya lebih peduli pada citranya daripada perasaan putrinya sendiri.
Lyra mengambil napas dalam sebelum akhirnya melangkah keluar. Gaun satin biru tua yang dia kenakan membalut indah tubuhnya, kontras dengan kulitnya yang pucat.
Namun, tak peduli seberapa elegan dia terlihat, dalam dirinya ada luka yang masih menganga—luka yang dia sembunyikan di balik riasan sempurna.
Di dalam rumah, barisan pelayan berdiri tegak sepanjang lorong menuju aula pesta. Langkah Talia ringan, penuh percaya diri, sementara Lyra mengekor tanpa suara.
“Aku tidak melihat Darren,” gumam Talia pelan. “Seharusnya dia menjemput kita atau setidaknya menyambut kita di sini.”
Lyra tetap diam, menahan diri untuk tidak mendengus sinis. Dia sudah bisa menebak di mana tunangannya itu berada.
— Darren pasti baru saja menghabiskan waktu dengan Livia.
Kemarahan Lyra kembali mendidih. Namun, dia tidak bisa menunjukkannya di sini, terlebih masih ada hal yang harus dia pikirkan – kenyataan bahwa sang ibu akan menuntut percepatan pernikahan dengan alasan dirinya sudah tidur dengan Darren!
Ketika mereka mencapai aula, Lyra dan sang ibu langsung menemui kakek Darren. Pria tua yang duduk di kursi roda itu menyambut dengan senyum. Orang tua Darren yang berada tidak jauh di belakangnya pun mengikuti.
“Talia, senang sekali kau datang,” sambut ibu Darren, Leona Adiwangsa, sembari memeluk Talia singkat. Lalu, matanya jatuh pada Lyra. “Kau semakin cantik malam ini, Sayang.”
“Terima kasih, Bibi.” Lyra menjawab dengan suara tenang, menyembunyikan kegelisahannya.
"Ramai sekali," komentar Talia mengamati dekorasi yang tampak tidak biasa.
"Selain peringatan ulang tahun Darren, malam ini juga pesta penyambutan untuk pamannya," jelas Leona.
“Paman Darren? Maksudmu, Dastan Adiwangsa?” Mata Talia sedikit terkejut mendengarnya.
Dastan Adiwangsa, putra bungsu Kakek Adiwangsa sekaligus paman Darren itu, merupakan pria paling ditakuti di negara ini. Bukan hanya karena kejeniusannya dalam bisnis, tetapi juga karena reputasi kelam yang menyelimutinya.
Dastan Adiwangsa bukan pria biasa. Rumor tentangnya lebih menyeramkan daripada mimpi buruk.
Mereka yang berani melawannya, tidak akan bertahan lama dalam dunia bisnis.
Perusahaan-perusahaan runtuh dalam semalam setelah membuat kesalahan kecil terhadapnya.
Orang-orang penting menghilang begitu saja, dan tak ada yang tahu ke mana mereka pergi.
Dan yang paling buruk…
Dastan Adiwangsa tidak pernah membiarkan seorang wanita bertahan lama dalam hidupnya. Tidak ada hubungan yang bisa mengikatnya. Perempuan yang pernah bersamanya hanya menjadi kenangan yang terkubur.
Beberapa menghilang, beberapa pergi dengan imbalan besar, tetapi satu hal yang pasti: tak ada yang bisa mengendalikan Dastan Adiwangsa.
Satu-satunya perempuan yang pernah bertahan lebih dari satu tahun dengannya, ditemukan tak bernyawa di sebuah hotel mewah, dengan kasus yang tak pernah terpecahkan.
Lyra menggigit bibir. Dia tidak tahu mana yang fakta dan mana yang hanya cerita liar. Intinya, dia tidak boleh menarik perhatian pria itu.
Tidak boleh membuat kesalahan apa pun.
Bukan untuk Darren.
Bukan untuk ibunya.
Tapi agar dia bisa bertahan malam ini tanpa menciptakan masalah dengan pria paling berbahaya di kota itu.
“Lyra?” Panggilan tegas yang tiba-tiba terdengar, seketika membuyarkan lamunan Lyra.
Dia menoleh, lalu pandangannya bertemu dengan sosok yang saat ini paling dia benci.
Darren. Pria itu tampak rapi dalam setelan hitamnya, tetapi ekspresinya sedikit tegang. Dia datang terlambat, dan Lyra tahu jelas kenapa.
Karena Livia tentunya.
“Darren, dari mana saja kau?” tegur Leona dengan nada tajam ketika melihat putranya muncul.
“Kau membiarkan tunanganmu datang sendirian?”
Darren melirik Lyra sekilas sebelum kembali menatap ibunya dengan senyum penuh kepura-puraan. “Aku... tadi ada urusan mendadak, Bu.”
“Urusan?” Leona menyipitkan mata. “Apa urusan itu lebih penting daripada menyambut calon istrimu?”
Darren tidak segera menjawab. Lyra yakin Darren pasti sedang mencari alasan yang masuk akal.
Melihat Darren tampak kesulitan, Talia tiba-tiba tersenyum dan berkata, “Ah, mungkin dia hanya terlalu lelah setelah acara ulang tahun pribadinya kemarin. Bukan begitu, Lyra?”
Kata-kata itu membuat tubuh Lyra menegang.
Dia merasakan pandangan Darren beralih padanya dengan tajam.
Sial.
Jantung Lyra berdebar kencang, tapi kemudian dia memaksakan senyuman. “Ya, pasti begitu.” Tidak ingin pembahasan ini berlanjut, Lyra langsung mengalihkan topik. “Eh, di mana aku harus menyimpan bingkisan ini?” tanyanya dengan suara terlalu nyaring dari yang dia harapkan.
Semua orang menoleh padanya, termasuk Talia yang meliriknya heran bercampur kesal. "Sabarlah, Lyra,” ujarnya setengah mendengus.
Jelas-jelas tadi kesempatan bagus untuk mengungkit hubungannya dengan Darren, tapi gadis bodoh itu malah mengalihkan topik!
"Simpan saja di meja itu, Sayang." Leona menunjuk ke meja yang tak jauh di dekat mereka. “Ayo duduk. Acara akan segera dimulai.”
Lyra cepat-cepat meletakkan hadiah, lalu mengikuti sang ibu duduk di kursi yang telah disiapkan untuk mereka.
Menghela napas, Lyra merasa lega. Untuk sementara, dirinya selamat.
Namun, tepat di saat itu, pintu aula utama kediaman Adiwangsa kembali terbuka lebar, dan para tamu berdiri berbisik.
“Astaga, itu dia, bukan?!”
“Tampan sekali!”
“Tidakkah kalian takut padanya?”
“Walau mengerikan, tapi ketampanannya tiada tara! Dia juga kaya! Wanita mana yang tidak suka padanya?”
Berbagai komentar terlontar, dan Lyra pun mulai ikut penasaran.
Siapakah yang baru saja datang dan membuat heboh satu kediaman Adiwangsa?
“Selamat malam semuanya, maaf aku terlambat.”
Detik kala suara itu bergema lantang penuh wibawa, mata Lyra spontan membulat.
Suara itu… terlalu familier.
Kerumunan terbelah, memberikan jalan bagi Dastan, dan juga mengizinkan Talia serta Lyra untuk melihat sosok pria legendaris itu.
“Hmm, jadi itu Dastan Adiwangsa. Memang tampan sesuai rumor,” gumam Talia takjub.
Di sampingnya, Lyra memusatkan pandangan dan akhirnya menangkap sosok Dastan. Namun, tubuhnya seketika mematung, jantungnya seolah terhenti.
Di sana, seorang pria berdiri di pusat ruang pesta dengan jas hitam sempurna dan penampilan menawan. Dialah pria dengan mata kelam, tajam, menusuk.
Pria yang melewati malam bersamanya.
Pria yang sama dengan yang semua orang panggil dengan nama… Dastan Adiwangsa.
**
Lyra berdiri kaku di antara para tamu pesta. Di saat tamu lain tersenyum sumringah menyambut kedatangan salah satu bintang dari acara malam hari ini, wajahnya justru kehilangan segala warna–pucat.Kenapa bisa seperti ini?Bagaimana bisa pria yang tadi malam menyentuh setiap inci tubuhnya, yang membisikkan kata-kata nakal di telinganya, yang mencumbu dan memilikinya dalam kegelapan……ternyata adalah Dastan Adiwangsa?!Paman Darren. Pewaris utama keluarga Adiwangsa. Pria paling berbahaya di negeri ini!?Lyra merasakan kepalanya berdenyut hebat. Seluruh tubuhnya bergetar tanpa bisa ia kendalikan. Rasanya ingin lari. Ingin menghilang.Tidak. Ini tidak nyata. Harusnya ini hanya mimpi buruk.Tapi pria itu ada di sana. Nyata.Semakin ia menatap Dastan, semakin ingatan semalam kembali menghantam kepalanya dengan keras.Tangan kekar yang membawanya ke dalam kamar hotel.Bibir penuh yang mencumbunya di bawah remang lampu.Suara rendah yang mengklaimnya tanpa ragu.—"Kalau begitu… mulai sekarang
Darah Lyra seolah menguap. Napasnya tercekat. Dingin menjalari tengkuknya. Apakah Dastan mengenali dirinya?! Bagaimana ini? Lyra panik. Dia benar-benar harus kabur dari tempat itu sekarang. Dia tidak siap mengungkap semua kebenaran. "Ah, itu mustahil." Talia memotong dengan cepat sebelum Lyra sempat bereaksi. Tertawa kecil, wanita itu menepuk tangan Lyra yang gemetar, lalu menoleh pada Dastan dengan senyum percaya diri."Tuan Dastan. Putriku ini tipe anak rumahan. Dia tidak pernah pergi ke mana pun sejauh ini. Hidupnya hanya berkisar di rumah dan lingkungan terbatas kami. Anda baru pulang dari luar negeri, bagaimana bisa bertemu dengannya?"Lyra menelan ludah, berusaha mengontrol napasnya yang tersendat.Dastan diam beberapa detik. Tatapannya masih melekat pada Lyra, tajam dan menelisik begitu teliti, seakan mempertimbangkan sesuatu. Meski akhirnya, pria itu hanya mengangguk kecil. “Begitu rupanya….”Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, Dastan memalingkan wajahnya, kembali ke perca
Beberapa saat sebelumnya...Di dalam sebuah mobil hitam yang melaju tenang di jalan utama Torin, Dastan Adiwangsa duduk bersandar dengan mata terpejam. Wajahnya tanpa ekspresi, namun ujung jari telunjuknya mengetuk-ngetuk sandaran tangan, menunjukkan pikirannya yang tengah bekerja.“Apa sebenarnya tujuan pesta malam ini?" tanya Dastan setengah menggeram rendah. “Aku memiliki banyak pekerjaan, tapi Ayah begitu keras kepala memaksaku hadir.”Charly, tangan kanan Dastan yang duduk di kursi penumpang depan, melirik sekilas sang atasan melalui kaca spion seraya menjawab, “Pesta malam ini bertujuan untuk merayakan ulang tahun Tuan Darren sekaligus penyambutan kepulangan Anda ke dalam negeri, Tuan."Dastan mendengus, nada sinis terdengar jelas. "Konyol. Apa yang perlu dirayakan dari seseorang yang bertambah tua? Tidakkah mereka tahu itu berarti waktu hidup orang tersebut semakin berkurang di dunia?” Ia menyandarkan kepala ke kursi dan menatap langit-langit mobil. "Dan lagi, siapa yang benar-
Lyra merasa seluruh tubuhnya menjadi dingin. Dia tak bisa berkata apapun sekarang. Rupanya, sejak tadi, Dastan hanya berpura-pura tidak mengenalinya. Mengapa dia begitu naif, berharap Dastan tidak akan mengingat wajahnya setelah malam panas mereka yang panjang?Darren yang kebingungan pun bertanya, "Apa maksud Paman? Bagaimana bisa Paman tahu detailnya?"Gawat!Lyra menggigit bibir. Apa Dastan akan membocorkan kejadian semalam pada Darren? Tentang bagaimana Lyra mendatangi lalu memintanya tidur bersama?Lyra menggeleng pelan tanpa sadar. Darren tidak boleh tahu jika Lyra telah menggoda pamannya. Bukan hanya ini akan menghancurkan reputasi Lyra, tapi Talia tidak akan melepaskannya dan membuat Lyra membayar kesalahannya dengan cara yang paling menyakitkan!Lyra harus–"Aku juga ada di bar yang sama semalam. Aku melihatnya." Dastan menjawab, membuat Lyra terdiam dan menatap pria itu dengan wajah kaget.Dia … tidak membocorkannya?Melihat reaksi Lyra, sudut bibir Dastan agak terangkat.
Lyra menatap Talia dengan gugup."Lyra?" Panggilan itu membuatnya melirik ke arah lantai dansa, ke arah Darren dan Livia yang tengah berangkulan dengan mesra.Talia ikut menoleh. Seketika itu pula raut wajahnya berubah gusar."Kau membiarkan tunanganmu berdansa dengan temanmu? Lyra, kau ini bodoh atau apa?" hardik Talia dengan nada tajam. "Cepat panggil Darren ke sini!"Lyra menelan ludah. Ia melangkah pelan ke arah lantai dansa, namun hatinya terasa berat. Darren dan Livia tampak begitu menikmati momen mereka, seolah tidak menyadari keberadaannya.Setiba di sana, Lyra berdiri diam sejenak sebelum akhirnya berkata dengan suara tenang, "Darren, kita harus kembali."Darren menoleh dengan tatapan tidak senang. Tak suka kebersamaan mereka diganggu."Astaga Lyra, apa kau tidak bisa menunggu sebentar saja? Aku tidak akan membawanya lari," canda Livia sambil tertawa.Tapi Lyra tidak tersenyum. Dia menoleh ke arah ibunya yang masih menunggu. "Bukan aku yang butuh kehadirannya."Darren langsu
SRAAAKKK!Beberapa bungkus alat kontrasepsi jatuh berserakan di atas meja, membuat semua orang terdiam dalam keterkejutan.Talia membelalakkan mata. "Astaga! Apa ini?"David terbatuk keras, hampir tersedak minumannya. "Darren..."Leona juga tertegun beberapa detik sebelum wajahnya memucat. Ia menoleh pada Darren dengan pandangan penuh tuntutan. "Katakan ini hanya kesalahpahaman, Darren."Darren menggeleng cepat. "Ini... ini tidak seperti yang kalian pikirkan!""Oh, ya? Lalu seperti apa, hem?" David menggeram keras. Masih menanti alasan masuk akal yang bisa cucunya berikan meski kelihatan mustahil.Dastan menatap Darren dengan tajam, menikmati bagaimana keponakannya tampak semakin gelisah."Jika kau sulit untuk bicara, biar kupanggilkan seseorang untuk membantumu menjelaskan semuanya," ujar Dastan dengan nada santai tapi mengandung ancaman.Selesai mengucapkan itu, dia mengangkat tangan dan menjentikkan jari. Dalam sekejap, dua anak buahnya muncul dari sisi ruangan, menggiring paksa se
Hening, semua orang terbelalak dan merasa malam ini menjadi semakin gila!Sementara itu, Lyra membeku di tempat, wajahnya memucat seperti mayat. Lalu, hampir bersamaan, beberapa pekikan memenuhi ruangan."Kau gila?!" suara Leona, Talia, bahkan Daniel bertumpuk jadi satu.Daniel membanting tangannya ke meja dan langsung berdiri, wajahnya memerah oleh amarah. "Kau sudah keterlaluan, Dastan!"Dastan tidak terganggu. "Keterlaluan? Bukankah tujuan kalian hanya untuk menyelamatkan nama baik keluarga? Aku bagian dari keluarga ini, dan dibanding putramu yang pengecut itu, aku lebih dari mampu menjaga kehormatan Adiwangsa, bukan begitu?"Talia menatap Lyra dengan tatapan penuh ancaman, sementara Leona tampak berusaha mengendalikan emosinya.Lyra melirik Dastan dengan campuran keterkejutan serta ketakutan.Apa yang baru saja Dastan lakukan?Apakah pria itu serius?Atau ini hanya taktik untuk semakin mempermainkan semuanya?Semua orang bergantian memandang Dastan dengan keheranan yang sama. Seol
Leona dan Talia memekik mewakili keterkejutan yang lain. Bahkan Dastan, yang walau mengharapkan itu terjadi, terkejut melihat Lyra menampar sosok Darren dengan begitu keras.Seketika tubuh Lyra menegang, matanya menyala marah. Peduli setan dengan nama baik keluarga. Tak ada lagi perasaan yang harus dia jaga. Dia sudah cukup dipermainkan oleh tunangannya ini.Seisi ruangan didera kesunyian, hanya tersisa napas terengah Darren yang terkejut dengan perlakuan Lyra."Lyra,” geram Darren. “Kau menamparku?!" Pria itu menatap sang tunangan dengan wajah syok. Tangannya masih meraba pipi yang terasa perih oleh hantaman tangan Lyra. Gadis itu menegakkan tubuh, dadanya naik turun dengan napas yang berat. "Aku sudah cukup dengan semua ini! Kau mengkhianatiku dengan mudahnya, lalu sekarang kau ingin bersikap seolah-olah kau masih berhak menyentuhku?" suara Lyra bergetar, tetapi tetap terdengar jelas dan lantang.Darren menggeram, Rasa marah dan malu membuatnya meledak. “Beraninya kau, wanita jalan
“Kau tidak terlihat buruk. Pakaian ini cocok untukmu,” jelas Dastan melihat ekspresi kebingungan Lyra. "Oooh… iya, Kau juga terlihat 'kawaii'," jawab Lyra spontan. Dastan menahan senyum.Lyra lalu pura-pura merapikan obi. Wajahnya sudah merona sempurna karena malu. “Ini... seperti sesi kedua foto prewedding. Tapi versi drama Jepang abad pertengahan,” lirihnya berusaha menetralisir perasaan gugup.Dastan terkekeh pelan. Dia pun tak menyangka Lyra mau-mau saja mengikuti semua proses itu. Melihat mereka telah siap, seorang pelayan wanita mendekat sambil tersenyum. “Jika Anda berkenan, kami bisa mengabadikan momen Anda berdua. Ini tradisi kami bagi tamu yang mengenakan pakaian tradisional.”Lyra membuka mulut, ingin menolak, tapi Dastan sudah menjawab, “Ide bagus.”Pelayan itu pun mengambil posisi dan mengarahkan mereka untuk berdiri berdampingan. Awalnya, jarak di antara mereka cukup aman. Dastan berdiri tegap menaruh tangan di belakang, Lyra pun setengah berdiri kaku.“Sedikit lebih d
“Darren, kau … membentakku?”Darren merasa serba salah, tapi dia tidak punya pilihan. Menyakiti hati Livia untuk sesaat lebih baik dibandingkan harus melawan pamannya yang berdiri di belakang Lyra.“Ayo kita keluar sebelum kau mempermalukan diri lebih jauh lagi.”“Tapi—”Kesal, Darren pun berseru, “Kalau kau tidak mau pergi, maka aku akan pergi sendiri!” Dia pun berbalik dan meninggalkan tempat itu, tidak sedikit pun melihat ke belakang untuk mengecek Livia.Melihat Darren pergi, Livia jadi serba salah. Akhirnya, dia melemparkan tatapan marah ke arah Lyra dan berkata, “Kau … jangan harap aku akan melupakan ini!” ancamnya lalu pergi mengejar Darren.Mendengar kalimat terakhir Livia, ekspresi Dastan menjadi sangat gelap—siap membunuh. “Haruskah aku menyingkirkan wanita tidak tahu malu itu selamanya?”Pertanyaan itu membuat Lyra kaget dan mengalihkan pandangan menatap Dastan.Melihat pria itu marah untuknya, Lyra tanpa sadar sedikit tersenyum. “Tidak perlu meladeni orang tidak penting.”
Lyra menoleh, begitu pula dengan semua orang. Tapi kemudian ekspresi Lyra yang sempat berubah cerah—mengira yang datang adalah Dastan—langsung berubah gelap begitu melihat sosok yang muncul."Darren …," ucap Lyra lirih, sedikit jijik harus mengucapkan nama itu lagi. Dia lalu beralih pada Livia yang masih berada di lantai. "Tanyakan pada simpananmu, dia yang menyerbu masuk dan menamparku tanpa alasan jelas. Sekarang, dia pun merusak gaun yang akan kupakai."Livia cepat-cepat bersuara—dengan suara setengah bergetar, matanya mulai berair. "Darren… itu tidak benar, aku hanya... hanya ingin bicara. Dia terus-terusan menghinamu dan tidak terima aku menegurnya, dia malah…" Livia tidak melanjutkan ucapannya dan mulai menangis.Melihat hal itu, Lyra merasa ingin tertawa, tapi hanya senyuman sinis yang terlukis di wajahnya.Ini yang selalu terjadi, Livia berpura-pura lemah dan membuat Lyra menjadi penjahatnya. Dan setelah itu … pastinya semua orang akan menegur Lyra dan memaksanya untuk memint
Lyra mengepalkan tangan. Pipinya perih, tapi hatinya lebih terbakar. “Apa maksudmu?”Livia mendengus, seakan mengejek Lyra yang menurutnya pura-pura tidak mengerti.“Masih berpura-pura? Tadi malam kau dan Darren berbicara di telepon, kan? Kau menggodanya di belakang calon suamimu, apa itu tidak menjadikanmu jalang?!”Suasana berubah tegang. Beberapa kru melangkah mundur pelan-pelan. Beberapa lainnya mengintip dari balik pintu, penasaran.Lyra menatap Livia dengan tatapan tajam yang penuh keanggunan dan wibawa, seolah-olah waktu berjalan lebih lambat. “Kau berani menyerangku dengan alasan sepicik itu?” suaranya tidak meninggi, tetap tenang dan penuh kendali.“Aku jelas-jelas mendengar kalian berbicara di telepon tadi malam. Apa yang kau katakan padanya? Menawarkan perjodohan kembali?”Lyra menyeringai tipis, masih dengan ketenangannya yang luar biasa. “Sebaiknya kau bertanya langsung pada Darren, Livia. Tanyakan dengan jelas, agar kau tahu siapa yang sebenarnya tak tahu malu.”Livia me
"Paman, aku hanya—"Tanpa menunggu Darren menyelesaikan kalimat, Dastan memutus panggilan.Sejenak, ruangan diliputi keheningan. Dastan menatap Lyra—lama. Sorot matanya tajam, tapi sulit ditebak.Tatapan itu membuat jantung Lyra berdebar tak karuan. Ia menunduk perlahan, bingung dengan perasaannya sendiri.Apa pria itu marah? Apa maksud kalimat Dastan tadi? Apa dia benar-benar mengklaim dirinya seolah barang milik pribadi?Seharusnya Lyra marah. Seharusnya ia merasa keberatan. Tapi entah kenapa... yang muncul justru rasa malu yang asing. Hangat di pipi. Ganjil di dada.Seperti… senang karena ada yang membelanya.Meremas ujung roknya, Lyra berseru dalam hati: 'Apa yang kupikirkan? Pria ini… sama bajingannya dengan keponakannya. Bahkan mungkin lebih parah.’ Dia terus memperingatkan diri sendiri. ‘Aku harus lebih waspada.’Melihat ketidaknyamanan di wajah Lyra, Dastan mendengus kecil dan menyerahkan kembali ponsel gadis itu.“Kalau dia mengganggumu lagi, katakan padaku,” titah pria itu.
Dastan tersenyum kecil lalu bangkit."Bersiaplah dan segera turun ke ruang makan, semua pelayan sudah menunggu."Mata Lyra terbuka dan mendapati sosok Dastan yang menjauh. Sebelum keluar dari kamar, Dastan berkata dengan suara lembut tapi memiliki makna mendalam, "Jangan lupa mengunci pintumu malam ini, Lyra. Aku tak selalu bisa menahan diri."Dia tersenyum sekilas dan pergi, meninggalkan Lyra dengan jantung yang masih berdebar kencang.Setelah pintu tertutup, tubuh Lyra jatuh melorot ke lantai. Pakaiannya berserakan. Dia hanya bisa mengutuk-ngutuk kesal."Gila... aku tinggal dengan pria seperti ini?! Mereka semua pasti sudah kehilangan akal sehat!"**Lyra berjalan keluar dari walk-in closet sambil mengikat rambutnya yang baru kering. Piyama satin berwarna pucat membalut tubuhnya dengan ringan, memberi rasa nyaman setelah mandi air hangat yang memanjakan.Langkahnya melambat ketika tiba-tiba teringat peringatan Dastan sebelum makan malam tadi."Jangan lupa mengunci pintumu malam ini,
Lyra ingin sekali menutup mulut Nancy andai Dastan tak ada di sana. Sementara Nancy masih menatap Lyra dan Dastan dengan ekspresi terkejut yang sulit disembunyikan. Sahabat lugunya, yang sangat sopan dan terlihat naif, sudah tinggal bersama calon suaminya sebelum menikah? Sungguh sulit ia percaya."Aku baru tinggal hari ini, itu juga karena... karena kami harus mengurus banyak hal," jelas Lyra tergagap. Nancy mengangguk-angguk panjang. Bibirnya melengkung jahil. Dia bukan orang bodoh. Dia tahu telah terjadi sesuatu di antara mereka. Dan itu menjawab semua pertanyaan Nancy termasuk mengapa Dastan tampak sangat terikat dengan Lyra."Baiklah, Ly... aku paham." Nancy mencoba menenangkan Lyra meskipun senyum jahilnya belum hilang. Bahkan, hingga dia mengantar kepergian dua pelanggannya itu dengan penuh hormat. Nancy masih merasa geli.**Mobil menepi perlahan.Lyra merasa jantungnya tak berhenti berdebar. Kini dia harus memasuki tempat asing untuk pertama kalinya. Dia bergerak ragu merai
Nancy menatap Lyra dengan ekspresi tidak percaya, lalu beralih pada Dastan dan terkekeh pelan. "Astaga, aku tak menyangka anda punya selera humor yang alami."Suasana hening. Tawa Nancy perlahan terhenti. Dia mulai merasa semakin aneh. Maka cepat-cepat dia menarik Lyra menjauh bersamanya. "Ini lelucon, kan? Ly, kau—bukan calon istri Dastan Adiwangsa, kan?" bisiknya dengan nada geli.Lyra tersenyum kaku. "Aku juga masih sulit percaya."Nancy memiringkan kepala mengintip Dastan. "Bagaimana bisa kau dekat dengan pria itu?" tanyanya meneliti pria matang yang duduk dengan santai tak jauh dari mereka. Lalu, dia menyipit curiga. "Tunggu... Adiwangsa? Jangan bilang dia masih ada hubungan dengan Darren?"Lyra meneguk ludah. "Nanti aku jelaskan. Tapi tidak di sini."Nancy kembali melirik ke arah Dastan, yang tampaknya juga tengah mengamati mereka."Sepertinya aku butuh penjelasan sekarang," gumam Nancy."Apa kalian sudah selesai berbisik-bisik?" Suara berat Dastan menyela. "Lyra, kita ke sini
“Kau... akan membiarkanku merencanakan pernikahan ini?”Suara Lyra nyaris tak terdengar. Ia menatap Dastan—yang sibuk memerintahkan sekretarisnya untuk membuat janji dengan butik ternama—dengan ekspresi tak percaya.Dastan melirik ke arahnya. “Kenapa? Kau begitu tidak menyukai pernikahan ini sampai enggan mengaturnya?”“B-bukan begitu… Aku bersedia, hanya saja…” Lyra menunduk, jarinya saling menggenggam gelisah. “Bagaimana kalau keputusanku tidak sesuai dengan keinginanmu?”Dastan tak langsung menjawab. Ia terdiam sesaat, mempelajari ekspresi Lyra, sebelum kemudian berkata dengan tegas, “Aku calon suamimu, bukan majikanmu.”Balasan pria itu membuat Lyra mendongak terkejut namun akhirnya kembali menyembunyikan wajah.Dastan melanjutkan, “Berhenti menunduk, takut, dan juga ragu saat bersamaku. Kau bukan pelayan yang harus melakukan segala sesuatu sesuai yang kumau.” Pria itu mengalihkan pandangan ke ponsel, konfirmasi dari sekretaris perihal pemesanan butik terlihat.“Ini pernikahan ki