Dulu, Tabitha bukanlah orang yang cengeng. Perceraiannya dengan Sakha-lah yang membuat Tabitha menjadi mudah sekali menangis. Tabitha pikir, setelah ia dan Sakha kembali bersama, ia akan menjadi kuat lagi seperti dulu. Nyatanya, tidak begitu. Tabitha nyaris tak bisa menghentikan tangisnya setelah berhadapan dengan Ibu yang begitu kecewa. Peluk yang diberikan Sakha saat mereka meninggalkan rumah Ibu pun tak bisa membuat Tabitha tenang. Wanita itu justru semakin kalut saja. "Malam ini kamu sendiri nggak papa? Atau mau tidur di rumah Mama dulu?" Keheningan yang tercipta selama perjalanan menuju rumah Tabitha itu terpecah oleh pertanyaan Sakha yang terlontar dengan lembut. Tabitha mengalihkan tatapan dari lampu merah di sisi jalan untuk menoleh, menatap Sakha yang ternyata sedang menatapnya juga. Sakha tersenyum padanya, seolah-olah mereka tidak sedang berada dalam masalah. "Nggak papa. Terlalu jauh kalau ke rumah Mama." Sakha manggut-manggut. "Besok supirnya Pram yang akan jemput ka
Obrolan tentang Ranis tak lagi berlanjut setelah mobil yang disetiri Albert memasuki pelataran lokasi pameran Sakha diadakan. Karena letak lahan parkir ada di belakang gedung, Albert menurunkan Tabitha dan Alex terlebih dulu agar Tabitha tak perlu menghabiskan banyak tenaga untuk berjalan. Turun dari mobil dibantu oleh Alex, pandangan Tabitha langsung tertuju pada standee banner berukuran cukup besar yang menginformasikan tentang pameran yang mengusung tema "Walk in Memories". Tabitha merasakan desakan aneh di dadanya hanya karena membaca tema pameran itu. "Kenapa, Tha?" tegur Alex saat langkah Tabitha terhenti. Senyum dilontarkan Tabitha seraya melanjutkan langkah dan membalas, "Nothing. Gue cuma penasaran aja kenapa tema pamerannya soal kenangan gitu." Alex mengendikkan bahu saat langkah mereka sudah sama lagi. "Lo tanya langsung aja sama yang ngadain pameran." Keduanya masuk ke dalam gedung setelah menunjukkan kartu undangan khusus kepada petugas yang berjaga di depan pintu. M
Tabitha tidak kembali ke galeri setelah makan siang dan memilih untuk menculik Albert—meski tadi sempat bersitegang, Tabitha merasa jauh lebih nyaman berada di sekitar laki-laki itu ketimbang bersama Alex—agar mau menemaninya window shopping karena sudah bosan berada di dalam galeri. "Bee, ingat ya. Jangan dipaksa buat jalan kalau udah mulai capek," peringat Sakha tadi dengan raut wajah keberatan. Namun, Tabitha akan selalu menjadi Tabitha yang keras kepala. Larangan Sakha itu malah membuat Tabitha memaksa kakinya sampai benar-benar lelah untuk diajak berjalan. Tidak ada alasan khusus mengapa Tabitha melakukannya. Ia hanya ingin mengalihkan pikirannya dari bayangan tentang Ranis. "Lo kenapa sih, Tha?" "Emangnya gue kenapa?" Tabitha balik bertanya setelah mengembalikan sebuah lipstick ke rak. Albert menghela napas. "Waktu gue sama Sakha nyinggung soal Ranis, lo langsung bad mood gitu. Ada sesuatu yang terjadi yang enggak gue tahu?" Kalau Albert sudah dalam mode 'kepo' seperti ini,
Entah berapa banyak foto yang ditayangkan dalam slide tadi, Tabitha larut dalam setiap momen. Tabitha mengingat setiap momen hingga tempat diambilnya foto-foto itu, tetapi angle dari setiap foto yang berbeda itu menyadarkan Tabitha bahwa foto-foto itu adalah foto yang belum pernah Sakha tunjukkan kepadanya. Entah dulu Sakha sengaja menyimpannya untuk ditunjukkan kepada Tabitha di hari-hari spesial, ulang tahun Tabitha misalnya, atau ada alasan lain yang tidak laki-lai itu beritahukan kepadanya. Tabitha begitu takjub hingga setelah beberapa menit tayangan slide yang diiringi lagu I Love You More yang dinyanyikan oleh John K ft. ROSIE itu berakhir dan di detik selanjutnya lampu menyala. Tabitha menghadap tepat ke arah dinding yang penuh dengan foto-fotonya bersama Sakha dalam bingkai yang berukuran beragam yang disusun secara acak, tetapi tampak sangat indah untuk dipandang. Foto-foto itu ada beberapa yang diambil di rumah beberapa hari lalu saat Sakha membersihkan kameranya. Tabitha
Akal sehat Tabitha yang perlahan kembali membuat segala hal yang terjadi selama satu bulan terakhir ini terasa salah di mata Tabitha. Bahwa pilihannya untuk kembali bersama Sakha dan memberikan kesempatan kedua atas hubungannya dengan laki-laki itu adalah kesalahan bodoh yang Tabitha buat. Sebab, seharusnya sejak awal Tabitha meminta Sakha menjelaskan masa lalu yang melibatkan Ranis dalam rumah tangga mereka agar ia mendapatkan gambaran yang jelas tentang apa yang terjadi dulu. Agar Tabitha tak perlu bertanya-tanya lagi tentang kedekatan Sakha dan Ranis dulu—hingga hari ini—sudah sejauh apa. Agara Tabitha bisa memutuskan dengan kepala dingin, melepaskan masa lalu dan melanjutkan hidup atau memperbaiki hubungannya dengan Sakha dan membangun kembali hubungan mereka secara sehat. Namun, kenapa Tabitha malah dengan bodohnya tetap menerima lamaran Sakha dan berniat menikahi mantan suaminya itu lagi tanpa menuntaskan segala hal yang pernah terjadi di masa lalu? Tabitha bahkan pura-pura but
Ranis dalam ingatan Tabitha adalah sosok wanita yang anggun. Cara bicaranya lembut tetapi mampu menarik atensi dari setiap telinga yang ada di dekatnya. Sudah nyaris sepuluh tahun lamanya sejak pertama kali Tabitha berkenalan dengan Ranis. Hari ini setelah lebih dari dua tahun tidak berjumpa, Tabitha masih menangkap kesan yang sama dari sosok yang tengah bercerita tentang hidupnya beberapa bulan terakhir ini di Jerman. Hanya saja, Tabitha tak bisa lagi memandang wanita itu dengan cara yang sama. Sejak ia memergoki Sakha sedang bersama Ranis kala itu, keberadaan Ranis berubah menjadi mimpi buruk yang tak berkesudahan. Tabitha pikir ia akan bisa menghadapi situasi itu dengan baik, tetapi ternyata berat sekali untuk bisa bersikap seolah segalanya baik-baik saja. Seolah-olah ia tidak pernah hancur karena wanita itu. "Gue kangen banget sama lo, Tabitha! Gue masih ngerasa kayak lagi mimpi deh ngelihat lo ada di sini, mau repot-repot jemput gue pula," ujar Ranis penuh haru seraya merangkul
"Bee," Sakha tampak terkejut, tetapi segera menguasai situasi dan tersenyum. Mengabaikan keberadaan Ranis dan Albert, ia maju untuk mengecup kening Tabitha.Tabitha tidak merasa senang dengan kecupan itu dan malah merasa risih karena Sakha tidak melihat situasi. Tetapi Ranis dan Albert tidak banyak berkomentar dan langsung masuk ke dalam apartemen yang beberapa saat kemudian terdengar Ranis menyerukan nama Alex. "Kalau tahu kamu mau ikut ke sini aku bisa jemput tadi, Bee. Aku pikir kamu lagi nggak pengen ke mana-mana karena tadi pagi kamu bilang kamu capek.""Kamu bahkan nggak inisiatif nanya, Kha."Keketusan dalam suara Tabitha membuat Sakha urung untuk melarikan tangan di wajah wanitanya itu."Maaf, Bee. Yuk, masuk."Tabitha bergeming di tempat. Otaknya sudah memerintahkan kakinya untuk melangkah maju, tetapi ia tetap tak bergerak. Ada sesuatu yang menahannya."Kenapa, Bee?" "I can't do this." Suara yang keluar nyaris serupa bisikian. Lirih sekali.Sakha langsung tampak khawatir.
"Let's talk." "Jangan sekarang." "Kalau nggak sekarang lalu kapan, Bee?" Sakha menghela napas panjang. Sudah sejak tadi laki-laki itu berusaha keras untuk menekan amarah yang nyaris meledak karena Tabitha tiba-tiba bersikap tidak masuk akal. "Kenapa kamu selalu begini? Kamu selalu menyembunyikan segalanya dari aku. Kamu menyimpan semua hal untuk diri kamu sendiri dan membuat aku tampak seperti orang bodoh karena nggak tahu apa-apa." Tabitha mengalihkan tatapannya yang berkaca-kaca. Dan hal itu semakin membuat Sakha bingung. Sebab, calon istrinya bersikap sangat impulsif dan meledak-ledak sejak melihat dirinya ada di apartemen Ranis, lalu sekarang tiba-tiba menunjukkan sisi rapuhnya yang menyakiti hati Sakha. "Bee, just tell me everything. Keluarkan semua yang ada di pikiran kamu biar aku bisa tahu harus berbuat apa untuk situasi ini," pinta Sakha nyaris putus asa. "Aku nggak suka melihat kamu begini sementara aku nggak tahu harus berbuat apa." "Bukan kamu yang bermasalah. Tapi aku