Jeng jeng jeng... Drama macam apa lagi ini HAHAHAHA Mari kita sambit Sakha bareng-bareng biar kapok diaššš
"Bee," Sakha tampak terkejut, tetapi segera menguasai situasi dan tersenyum. Mengabaikan keberadaan Ranis dan Albert, ia maju untuk mengecup kening Tabitha.Tabitha tidak merasa senang dengan kecupan itu dan malah merasa risih karena Sakha tidak melihat situasi. Tetapi Ranis dan Albert tidak banyak berkomentar dan langsung masuk ke dalam apartemen yang beberapa saat kemudian terdengar Ranis menyerukan nama Alex. "Kalau tahu kamu mau ikut ke sini aku bisa jemput tadi, Bee. Aku pikir kamu lagi nggak pengen ke mana-mana karena tadi pagi kamu bilang kamu capek.""Kamu bahkan nggak inisiatif nanya, Kha."Keketusan dalam suara Tabitha membuat Sakha urung untuk melarikan tangan di wajah wanitanya itu."Maaf, Bee. Yuk, masuk."Tabitha bergeming di tempat. Otaknya sudah memerintahkan kakinya untuk melangkah maju, tetapi ia tetap tak bergerak. Ada sesuatu yang menahannya."Kenapa, Bee?" "I can't do this." Suara yang keluar nyaris serupa bisikian. Lirih sekali.Sakha langsung tampak khawatir.
"Let's talk." "Jangan sekarang." "Kalau nggak sekarang lalu kapan, Bee?" Sakha menghela napas panjang. Sudah sejak tadi laki-laki itu berusaha keras untuk menekan amarah yang nyaris meledak karena Tabitha tiba-tiba bersikap tidak masuk akal. "Kenapa kamu selalu begini? Kamu selalu menyembunyikan segalanya dari aku. Kamu menyimpan semua hal untuk diri kamu sendiri dan membuat aku tampak seperti orang bodoh karena nggak tahu apa-apa." Tabitha mengalihkan tatapannya yang berkaca-kaca. Dan hal itu semakin membuat Sakha bingung. Sebab, calon istrinya bersikap sangat impulsif dan meledak-ledak sejak melihat dirinya ada di apartemen Ranis, lalu sekarang tiba-tiba menunjukkan sisi rapuhnya yang menyakiti hati Sakha. "Bee, just tell me everything. Keluarkan semua yang ada di pikiran kamu biar aku bisa tahu harus berbuat apa untuk situasi ini," pinta Sakha nyaris putus asa. "Aku nggak suka melihat kamu begini sementara aku nggak tahu harus berbuat apa." "Bukan kamu yang bermasalah. Tapi aku
Tabitha selalu kagum terhadap Sakha yang bisa mengelola emosinya dengan baik. Memang betul bahwa tadi Sakha sempat marah karena Tabitha berbicara tidak jelas, tetapi Sakha tetap bisa bersikap bijaksana setelah Tabitha meminta maaf. Entah, Tabitha harus menyebut Sakha bodoh karena terlalu dibutakan oleh cinta sehingga memaklumi sikap plin-plan Tabitha atau laki-laki itu memang tidak terlalu memusingkan sikap Tabitha. Tabitha sendiri pun sadar betul bahwa dirinya saat ini bersikap bodoh. Ia punya kesempatan untuk menuntaskan apa yang terjadi di masa lalu dan setelahnya bisa memutuskan untuk tetap bertahan atau memilih melepaskan Sakha. Namun, Tabitha melewatkan kesempatan itu dan memilih memendam rapat-rapat apa yang terjadi dulu. Seperti kata pepatah, yang lalu biarlah berlalu. Bagi Tabitha, yang terpenting sekarang adalah Sakha ada di sampingnya dan selalu bersamanya. Dan Tabitha akan memastikan bahwa hanya ia, satu-satunya wanita, yang berhak memiliki Sakha. "Aku tetap mau pulang,"
Menjelang hari H, Tabitha dan Sakha semakin disibukkan dengan berbagai hal yang berkaitan dengan persiapan pernikahan. Acara pernikahan mereka digelar secara private, hanya mengundang keluarga dan kerabat dekat saja, tetapi rasanya jauh lebih melelahkan saat mempersiapkannya. Namun, Tabitha menikmati setiap prosesnya. Banyak momen menyenangkan yang semakin mendekatkannya dengan Sakha. Saat menyebar undangan, banyak yang kaget karena mereka menikah lagi hanya selang dua tahun setelah bercerai. Tabitha menyikapi pertanyaan-pertanyaan yang datang dengan tenang seperti yang Sakha sarankan. Ia sebisa mungkin tersenyum saat membalas, "Doakan yang terbaik untuk kami, ya," walau seringkali Tabitha tidak nyaman karena rasa penasaran orang-orang yang terlalu tinggi saat menanyakan hal-hal yang terlalu pribadi. Tabitha bahkan tetap bisa tersenyum saat beberapa orang terang-terangan untuk tidak menikahi mantan suaminya karena hanya akan kembali berujung pada kegagalan. "Bee, nggak ada yang pasti
Titik air mata haru mewarnai halaman belakang rumah Tabitha yang disulap menjadi taman kecil bertema "Secret Garden" saat Sakha berhasil mengucapkan ijab qobul dalam satu tarikan napas. Tak terkecuali Tabitha yang langsung dipeluk oleh Sakha karena tak bisa menyembunyikan tangis. Hari ini semua orang yang datang ikut berbahagia atas pernikahan kedua Tabitha dan Sakha yang berlangsung dengan khidmat. Setelah akad, dilanjutkan dengan makan bersama sembari bercengkerama dengan keluarga dan kerabat yang telah lama tak bersua. Di salah satu pojokan, Tabitha melihat Mama dan ibu mertuanya duduk di meja yang sama. Mereka larut dalam obrolan yang seru, sesekali melemparkan pandangan ke sekitar lalu tertawa. Tabitha nyaris menangis lagi karena sebelumnya tidak membayangkan akan pernah melihat Mama dan ibu mertuanya akur kembali. Bukan berarti perceraiannya dengan Sakha menyebabkan mereka tidak akur. Namun, hubungan keduanya merenggang. Mereka memilih saling menghindar karena gagalnya rumah ta
Minggu-minggu pertama kembali tinggal bersama rasanya seperti bermain-main di Disneyland. Segalanya terasa menyenangkan dan membahagiakan. Di minggu pertama menjadi pasangan suami istri, Sakha dan Tabitha tak ada habisnya bercinta sampai kelelahan. Ribuan kata cinta tidak pernah lupa diucapkan. Membayar secara tuntas segala rindu yang masih tersimpan. Namun, pada minggu keempatābelum genap satu bulan menikahāTabitha dipaksa untuk kembali menjejak bumi dan menghadapi kehidupan rumah tangga yang tidak selamanya indah. Pagi tadi, Sakha pamit untuk berangkat ke Bandung karena ada beberapa pekerjaan di sana yang harus diselesaikan. Tabitha juga bekerja seperti biasa tanpa banyak kepikiran Sakha. Sore harinya, setelah pulang dari kantor, Tabitha berniat mampir ke kafe untuk membeli kopi dan beef truffle mayo yang belakangan menjadi favoritnya. Dan... betapa terkejutnya Tabitha saat tak sengaja melihat mobil Sakha terparkir di halaman kafe. Bukan. Bukan mobilnya yang membuat Tabitha terke
"Lo yakin nggak mau gue antar pulang ke rumah, Tha?" tanya Haga sekali lagi saat Tabitha turun dari boncengan motor ninjanya. Haga membawa Tabitha ke kantornya yang tak jauh dari kafe tempat mereka tak sengaja bertemu tadi. Tabitha menggeleng dan memaksakan senyum. "Nanti, Ga. Gue butuh pergi ke tempat yang nggak mengingatkan gue sama rumah sebelum gue balik ke sana." Haga melepaskan helm dari kepalanya dan menentengnya di dengan tangan kiri. Ia mengajak Tabitha masuk ke sebuah gedung tiga lantai yang tampak sepi. Di beberapa ruangan di lantai satu yang partisinya terbuat dari kaca tampak gelap karena lampu-lampu yang sudah dimatikan. "Sorry ya gue bawa lo ke kantor gue. Gue masih ada kerjaan yang harus segera gue selesaiin," sesal Haga seraya menekan tombol di samping pintu lift. "Gue yang harusnya minta maaf, Ga. Gue nggak enak ganggu waktu lo." "Tadi gue emang mau ngopi bentar di sana, Tha." Tabitha melotot. Ia baru menyadari kalau Haga hanya menenteng helm. Tidak ada bawaan
Sakha tiba di rumah saat sudah hampir tengah malam membawa mobilnya. Sendirian. Tidak dengan Ranis atau dengan siapa pun. Tabitha menolak dipeluk saat laki-laki itu masuk ke dalam rumah dan mengucap rindu kepada sang istri. "Aku bau, ya? Kenapa nggak mau dipeluk?" "Langsung mandi aja, Kha." Tabitha bergeser dari hadapan sang suami untuk menutup dan mengunci pintu. "Kamu udah makan?" tanyanya kemudian saat Sakha menatapnya dengan intens. "Belum. Tadi cuma nyemil aja di jalan. Kamu masak apa?" Tabitha menjauh dari pintu ruang tamu dan masuk lebih dalam ke rumah. "Aku beli sop buntut tadi." "Wah, enak. Kamu tahu aja aku lagi pengen makan sop buntut." Sakha langsung semangat. Tanpa melihat langsung pun Tabitha bisa membayangkan ekspresi laki-laki itu. "Tapi udah dingin sekarang. Kamu sih, katanya pulang sore, tapi jam sebelas baru nyampe rumah," balas Tabitha tak bisa menahan kesal. "Maaf, Sayang." Sakha melepas jaket dan mengikuti langkah Tabitha masuk ke kamar. Laki-laki itu menya