Double update hari ini yaaa mumpung otak lagi encer hehehehe Kira-kira badai apa yang udah menanti kehidupan rumah tangga Sakha sama Tabitha yaaaa.. Deg-degan nih Masih lanjut????? See you next chapter :D
Minggu-minggu pertama kembali tinggal bersama rasanya seperti bermain-main di Disneyland. Segalanya terasa menyenangkan dan membahagiakan. Di minggu pertama menjadi pasangan suami istri, Sakha dan Tabitha tak ada habisnya bercinta sampai kelelahan. Ribuan kata cinta tidak pernah lupa diucapkan. Membayar secara tuntas segala rindu yang masih tersimpan. Namun, pada minggu keempat—belum genap satu bulan menikah—Tabitha dipaksa untuk kembali menjejak bumi dan menghadapi kehidupan rumah tangga yang tidak selamanya indah. Pagi tadi, Sakha pamit untuk berangkat ke Bandung karena ada beberapa pekerjaan di sana yang harus diselesaikan. Tabitha juga bekerja seperti biasa tanpa banyak kepikiran Sakha. Sore harinya, setelah pulang dari kantor, Tabitha berniat mampir ke kafe untuk membeli kopi dan beef truffle mayo yang belakangan menjadi favoritnya. Dan... betapa terkejutnya Tabitha saat tak sengaja melihat mobil Sakha terparkir di halaman kafe. Bukan. Bukan mobilnya yang membuat Tabitha terke
"Lo yakin nggak mau gue antar pulang ke rumah, Tha?" tanya Haga sekali lagi saat Tabitha turun dari boncengan motor ninjanya. Haga membawa Tabitha ke kantornya yang tak jauh dari kafe tempat mereka tak sengaja bertemu tadi. Tabitha menggeleng dan memaksakan senyum. "Nanti, Ga. Gue butuh pergi ke tempat yang nggak mengingatkan gue sama rumah sebelum gue balik ke sana." Haga melepaskan helm dari kepalanya dan menentengnya di dengan tangan kiri. Ia mengajak Tabitha masuk ke sebuah gedung tiga lantai yang tampak sepi. Di beberapa ruangan di lantai satu yang partisinya terbuat dari kaca tampak gelap karena lampu-lampu yang sudah dimatikan. "Sorry ya gue bawa lo ke kantor gue. Gue masih ada kerjaan yang harus segera gue selesaiin," sesal Haga seraya menekan tombol di samping pintu lift. "Gue yang harusnya minta maaf, Ga. Gue nggak enak ganggu waktu lo." "Tadi gue emang mau ngopi bentar di sana, Tha." Tabitha melotot. Ia baru menyadari kalau Haga hanya menenteng helm. Tidak ada bawaan
Sakha tiba di rumah saat sudah hampir tengah malam membawa mobilnya. Sendirian. Tidak dengan Ranis atau dengan siapa pun. Tabitha menolak dipeluk saat laki-laki itu masuk ke dalam rumah dan mengucap rindu kepada sang istri. "Aku bau, ya? Kenapa nggak mau dipeluk?" "Langsung mandi aja, Kha." Tabitha bergeser dari hadapan sang suami untuk menutup dan mengunci pintu. "Kamu udah makan?" tanyanya kemudian saat Sakha menatapnya dengan intens. "Belum. Tadi cuma nyemil aja di jalan. Kamu masak apa?" Tabitha menjauh dari pintu ruang tamu dan masuk lebih dalam ke rumah. "Aku beli sop buntut tadi." "Wah, enak. Kamu tahu aja aku lagi pengen makan sop buntut." Sakha langsung semangat. Tanpa melihat langsung pun Tabitha bisa membayangkan ekspresi laki-laki itu. "Tapi udah dingin sekarang. Kamu sih, katanya pulang sore, tapi jam sebelas baru nyampe rumah," balas Tabitha tak bisa menahan kesal. "Maaf, Sayang." Sakha melepas jaket dan mengikuti langkah Tabitha masuk ke kamar. Laki-laki itu menya
Malam yang penuh drama itu berakhir dengan kepergian Sakha dari kamar utama karena terlalu marah dan sakit hati atas keputusan sang istri di masa lalu. Ia sama sekali tidak pernah menyangka jika ia diceraikan dengan begitu kejam hanya karena Tabitha salah paham akan satu hal yang sesungguhnya bisa diselesaikan dengan baik-baik, tak perlu sampai bercerai dan saling menanggung rasa sakit dalam kesendirian. Sakha berusaha keras untuk mengerti bahwa saat itu Tabitha terluka dan yang diinginkannya adalah bebas dari rasa sakit. Namun, hingga menjelang pagi, Sakha masih tidak bisa paham apa yang mendasari Tabitha memendam masalah itu sendirian. Bagaimana bisa tabitha tidak membagi gelisahnya pada suaminya hingga memilih jalan ekstrem dengan melayangkan gugatan cerai? "Kamu mau ke mana?" "Bukan urusan kamu," sahut Tabitha dingin seraya menyeret koper. Sakha menahan koper Tabitha. Menghentikan langkah wanita itu. "Jangan kekanakan, Tabitha. Kamu ini sudah dewasa. Kalau ada masalah ya disele
Rencana yang sudah Tabitha susun sejak minggu lalu hancur berantakan. Ia sudah membayangkan akan melakukan banyak hal di Bali bersama sang suami tercinta dan membayar lunas utang honeymoon yang tertunda karena Tabitha tak dapat jatah cuti yang cukup panjang saat menikah bulan lalu. Jatah cutinya sudah habis saat ia absen karena kecelakaan beberapa bulan lalu. Tabitha menghapus itenerary liburan selama beberapa hari yang sudah ia buat di ponsel begitu kakinya menginjak tanah pasir di Pantai Sanur yang sangat ramai sore menjelang malam itu. Di antara riuhnya orang-orang yang datang ke sana bersama keluarga, pasangan, dan juga teman, Tabitha di sana sendirian. Matahari berwarna oranye yang sebentar lagi kembali ke peraduan itu tampak sangat indah, membuat Tabitha ingin menggapainya dan ikut menghilang bersama cahaya itu. 'Aku harus bagaimana, Sakha? Aku ternyata nggak sepercaya diri itu untuk tetap bersanding bersamamu di saat ada Ranis di antara kita,' adu Tabitha dalam hati. Keindah
"Tabitha nggak nanya apa-apa waktu lo berangkat ke sini? Atau lo bohong sama dia dan ngarang alasan entah apa itu?" Sakha menghindari tatapan tajam yang Alex tujukan padanya sejak tadi. Laki-laki itu menatap lorong masuk menuju kamar inap yang ditempati Ranis dengan kekhawatiran yang masih tersisa. Saat mendapat telepon dari Ranis satu jam yang lalu, Sakha sudah berniat mengabaikannya karena memikirkan masalah rumah tangganya dengan Tabitha yang masih menggantung. Ia sudah menghindari Ranis sejak keberangkatan Tabitha ke Bali dua hari lalu, tetapi telepon berulang dari wanita itu membuat Sakha tak punya pilihan selain menjawabnya. Betapa kagetnya saat ia mendengar suara tangis pilu dari Ranis. Tidak perlu diminta dua kali, Sakha langsung mendatangi apartemen wanita itu karena nada putus asa Ranis yang memintanya untuk datang. Tiba di sana dua puluh menit kemudian, Sakha menemukan Ranis terbaring di atas lantai dengan darah yang menggenang di bagian bawah tubuh wanita itu. Dengan geme
Sakha hanya mengepak dua pasang baju--tiga jika baju yang ia kenakan juga dihitung--untuk dibawa ke Bali menyusul sang istri. Keberangkatannya ke Pulau Dewata itu tidak diketahui oleh Tabitha. Sakha hanya berbekal informasi tentang nama hotel tempat Tabitha menginap dan tempat diadakannya seminar yang diberitahu oleh Jona. Rekan kerja Tabitha itu yang paling semangat saat Sakha memberitahukan niatnya untuk memberikan kejutan kepada sang istri dengan datang ke Bali. Pesawat Sakha tiba pukul setengah tiga sore. Laki-laki itu langsung menyambangi hotel tempat Tabitha seminar hari ini. Sakha melihat standee banner di luar aula hotel dan begitu yakin bahwa ia datang ke tempat yang benar, langkahnya ia belokkan ke resto hotel yang dibuka untuk umum. Sakha menyantap makan siang yang sudah telat di resto itu dengan lahap. Ia tadi melewatkan makan siangnya di pesawat karena tidur lelap setelah meminum antimo. Turun dari pesawat, badannya sudah lebih segar dibanding sebelumnya. Energinya yang
"Nggak ada yang perlu kamu cemburuin dari Haga," ucap Tabitha setelah menyusul Sakha yang langsung masuk kamar tanpa mau repot berbasa-basi. "Oke," gumam Sakha seraya memasukkan pakaian kotornya ke dalam tas dengan asal. "Kamu mau ke mana—" "Pulang," tukas Sakha. "Aku nggak seharusnya mengganggu kamu di sini." Tabitha menahan Sakha. Menghentikan gerakan tangan suaminya yang sudah akan mencangklong tas ranselnya. "Sekarang gantian kamu yang mau kabur gitu aja?" Sakha menoleh dan hanya memberikan tatapan datar. Kecemburuan yang tadi tersorot jelas dari matanya sudah hilang. "Seharusnya kamu berterima kasih karena aku berbaik hati kasih kamu waktu untuk bersenang-senang dengan laki-laki itu." Mulut Tabitha ternganga. Apakah Sakha baru saja menuduhnya selingkuh dengan Haga? Benar-benar tak bisa dipercaya. Jika ia memang tertarik dengan Haga, sejak awal ia tidak akan menerima ajakan Sakha untuk menikah lagi. Baginya, Haga itu seperti Albert. Selain berbeda keyakinan, Haga hanya cocok