Bukan main terkejutnya Eric saat melihat Ajeng dan Tari tiba di rumah. Hal itu membuat Eric mau tak mau menunda dulu keberangkatannya ke kantor. Tanpa basa basi Ajeng lalu mendudukan Eric dan mengomeli anak pertamanya itu. Pada saat yang sama Tari langsung menemui Farah yang berada di kamarnya, sebelum keponakannya itu keluar dan melihat papanya di omeli.“Halo cantiknya, Tante,” ucap Tari membuka lebar kedua tangannya dan memeluk gadis kecil itu.“Tante Tari sama siapa? Sama Oma ya?” tanya Farah.Tari mengangguk tapi tidak membawa Farah keluar dari kamarnya. Ia meminta Farah untuk bercerita kenapa sampai masuk rumah sakit. Dengan antusias gadis kecil itu bercerita semuanya, termasuk saat Eric dan Aya terlihat begitu manis.“Memangnya Farah mau kalau Tante Aya jadi mamanya Farah?” tanya Tari penasaran.“Ya mau dong, Tante. Tante Aya baik, perhatian, sayang sama Farah,” ucap Farah dengan wajah penuh senyum.“Karena wajah Tante Aya mirip ya sama mamanya Farah?” selidik Tari. Ia ingin ta
Aya kemudian pamit hendak kembali ke ruangannya setelah berada di ruangan Eric hampir lima belas menit. Ia sudah berusaha menahan agar Farah tidak ikut dengannya tapi gagal. Gadis kecil itu bersikeras ingin ikut ke ruangan Aya. Tidak ingin Farah menjadi tantrum, Ajeng langsung mengiyakan dan meminta Aya membawa cucunya itu.Sepeninggal Aya dan Farah, Ajeng langsung menghujani Eric dengan berbagai macam pertanyaan seputar Aya. Apalagi ditambah dengan pemandangan tadi yang ia lihat."Mama memangnya lihat apa?" tanya Eric dengan wajah polos."Ya ampun, Mas. Tari juga lihat Mas Eric tadi itu mau –““Kamu susulin Farah aja ke atas,” kata Eric cepat memotong ucapan Tari.“Tari masih mau di sini. Mau makan cemilan ini,” sahut Tari menolak sambil meraih setoples kue coklat yang ada di meja.Eric enggan menjawab setiap pertanyaan yang Ajeng lontarkan dan lebih memilih berpura-pura sibuk mengetik sambil menatap layar laptopnya.“Kamu jawab Mama dong?” Ajeng menutup paksa laptop yang sedang Eric
Aya duduk bersandar sambil memijat-mijat keningnya. Gadis itu merasa bodoh dengan apa yang ia ucapkan saat di mobil tadi. Bisa-bisanya ia terbawa emosi lantas mengiyakan ucapan Eric. Sekarang Aya jadi bingung sendiri harus bersikap bagaimana."Cara jelasin ke Mama gimana?" gumam Aya pasrah."Jelasin apa memangnya, Ay?" Reflek Mama bertanya kala ia membuka pintu kamar Aya dan mendengar jelas ucapan anak gadisnya itu. Mama sengaja datang ke kamar Aya karena sudah pagi begini Aya tidak terlihat keluar dari dalam kamar."Nggak, Ma," ucap Aya tersenyum kecil sambil cepat memikirkan alasan, "ini perut Aya sakit, jadi hari ini izin gak masuk kantor," lanjut Aya memegangi perutnya."Oh ya sudah. Kalau gitu Mama jalan dulu ya. Di dapur Mama sudah masak, jangan lupa kamu makan ya," pesan Mama tersenyum sembari mendekat.Mengantarkan Mama hingga pintu depan, Aya lantas mengunci pintu rumah. Ia bersyukur karena Mama percaya dengan alasannya tadi. Setelah mandi, gadis itu menuju dapur dan sarapan.
"Kamu mau kemana?" tanya Ajeng melihat Eric rapi berpakaian padahal ini sudah jam delapan lewat. Sementara Farah sudah masuk kamar sejak selesai makan malam tadi bersama dengan Tari."Ada yang mau Eric cari, Ma," sahut Eric kembali melangkah."Cari apa? Aya?" tanya Ajeng membuat langkah kaki Eric kembali berhenti sesaat. Ia tidak menjawab pertanyaan Ajeng tadi dan hanya mengucapkan salam sembari menutup pintu depan.Ajeng menghela nafas melihat kelakuan anak pertamanya itu. Semenjak Fania meninggal, Eric benar-benar berubah. Ia tenggelam dalam pekerjaannya dan kurang memberikan kasih sayang pada Farah. Hingga kejadian Farah dan Aya bertemu di mall waktu itu merubah segalanya. Namun, ia yakin kalau Eric sudah lebih dulu bertemu dengan Aya. Wanita paruh baya itu kemudian masuk ke dalam kamarnya, membiarkan Eric yang tidak tahu akan pulang jam berapa.Di tempat lain, tepatnya di rumah Aya, gadis itu menghampiri Mama ke kamarnya untuk minta izin pergi ke depan komplek untuk beli martabak.
Mama sempat bingung melihat Aya yang tampak tidak bersemangat pergi ke kantor hari ini. Meski sudah siap, anak gadisnya itu terlihat pucat tanpa riasan di wajahnya.“Kamu masih sakit, Ay? Kenapa? Perut kamu? Cek ke dokter ayo,” ajak Mama menyodorkan sepiring nasi lengkap dengan lauknya.“Gak sakit, Ma,” sahut Aya singkat sembari menyuapkan makanan yang ada di depannya.Mama yang duduk di depan Aya memperhatikan gerak gerik anak gadisnya itu. Aya terlihat murung dan tidak antusias makan meski makanan yang ada di depan enak. Mama jadi khawatir dan parno sendiri, tapi ia berusaha menepis pikiran negatifnya.“Kamu izin lagi aja, Ay. Nanti kamu malah ada apa-apa lagi di kantor. Kalau perlu Mama yang antar surat sakit kamu ke kantor.”Mendengar hal itu, Aya langsung terlihat semangat menghabiskan sarapan paginya. Ia juga cepat merias wajah dan memoles lipstik di bibirnya."Hari ini Mama di ajak sama beberapa guru di sekolah buat jalan ke mall," ucap Mama memberitahu yang membuat Aya reflek
Mama masih memandangi Eric dan Aya bergantian. Hampir sepuluh menit dan itu membuat mereka berdua benar-benar was-was, khususnya Aya. Gadis itu takut menunggu reaksi yang akan Mama tunjukkan.“Jadi ini apa? Tolong dijelaskan?” tanya Mama akhirnya buka suara.“Ma—“Eric langsung meraih tangan Aya membuat gadis itu tercekat tidak meneruskan ucapannya. Dengan begitu tenang Eric mengutarakan kedatangannya, tapi ia tidak lupa meminta maaf terlebih dahulu atas ketidaktahuannya bahwa oma kantin itu adalah Mama.“Saya benar-benar minta maaf, Tante,” ucap Eric terdengar begitu tulus.“Tapi selama ini, Aya gak pernah bilang kalau dia punya pacar yang mau serius, dan itu kamu.” Ekspresi wajah Mama berubah serius.“Gini, Ma. Aya ... .” Aya tidak meneruskan ucapannya. Jujur saja ia bingung harus mulai bercerita dari mana.“Maaf kalau ini terkesan mendadak, Tante. Tapi saya sama Aya sudah kenal cukup lama karena kita satu kantor.”Kening Mama berkerut dengan mata yang menatap tajam ke arah Aya. Te
Seperti dugaannya, Mama masih ada di ruang tamu duduk dan menatap ke arahnya. Mama kemudian meminta Aya untuk duduk di sampingnya dan menjelaskan apa sebenarnya yang sedang terjadi. Kenapa bisa orang tua murid di tempat Mama membuka kantin, tiba-tiba datang dan ingin serius dengan Aya. Sementara Aya tidak pernah terlihat pacaran dan mengaku tidak kenal dengan Eric."Aya bingung, Ma.""Bingung apa? Kamu beneran gak hamil kan?""Ya ampun, Mama. Aya gak hamil. Gak percaya banget sama Aya. Mama kalau gak ngerestuin Aya, gak apa-apa. Aya gak masalah," ucap Aya dengan nada sewot di awal tapi berubah santai di akhir kalimatnya."Loh gimana sih kamu ini?" Mama jadi heran dengan sikap yang Aya tunjukkan."Memangnya Mama mau Aya sama dia? Duda satu anak?"Mama terdiam mendengar ucapan Aya barusan. Sebagai seorang ibu sebenarnya ingin Aya mendapat jodoh yang terbaik dan tentunya bukan seorang duda. Tapi kalau dilihat-lihat Eric juga bukan duda sembarangan. Dia mapan dan bukan duda yang bercerai
“Ay, jangan lupa minta tanda tangan Pak Eric ya. Aku jalan dulu mau ketemu vendor di luar,” pamit Wisnu meninggalkan ruangan tanpa sempat mendengar respon dari Aya.Gadis itu menghela nafas sembari meraih berkas yang ada di meja Wisnu. Ia kemudian keluar ruangan dan menuju ruangan Via berharap Via mau memintakan tanda tangan bos. Namun sayangnya Via tidak ada di mejanya saat Aya tiba. Mau tak mau ia masuk sendiri ke ruangan Eric.“Permisi, Pak,” ucap Aya setelah mengetuk pintu. Ia sangat senang saat melihat Via ada di dalam ruangan Eric. Itu artinya Eric tidak bisa macam-macam.“Via, ini tinggal aja,” perintah Eric.Mendengar itu cepat-cepat Aya meletakkan berkas di atas meja Eric lantas menggandeng tangan Via yang sudah berbalik siap untuk melangkah keluar.“Aya kamu tunggu di sini.”Spontan Via langsung melepaskan tangan Aya sembari mengedipkan mata ke arahnya. Dengan cepat ia keluar meninggalkan Eric dan Aya di ruangan.“Aku tanda tangan di mana?” tanya Eric membuat Aya mau tak ma
Perlahan membuka matanya, Eric merasa kram di salah satu bahunya karena Aya tidur sangat dekatnya tepat di atas dadanya. Wajah Aya begitu tenang hingga Eric tidak tega untuk membangunnya. Dengan sangat hati-hati Eric menggeser Aya lantas menyelimuti istrinya itu. Bergegas ia mengenakan pakaian yang keluar dari kamar untuk mengecek Farah. Beruntung Bu Sri sudah datang dan membantu Farah bersiap-siap."Mama mana, Pa?" tanya Farah kala melihat Eric masuk ke dapur."Masih tidur. Papa antar sekarang?""Mama sakit, Pa? Farah mau lihat," kata Farah bersiap turun dari kursi."Gak usah, Sayang. Kasian nanti Mama kebangun, biar Mama istirahat dulu ya," ucap Eric cepat mencegah Farah yang ingin menghampiri Aya. Pasalnya Aya tidur hanya berbalutkan selimut.Setelah menghabiskan makanannya, Eric mengantar Farah untuk sekolah. Ia sempat bertemu dengan Mama di sekolah yang membawakan makanan untuk Eric dan juga Aya. Eric sempat berbincang sebentar dengan Mama sebelum memutuskan untuk pulang.Setiban
Sampai tamu bulanan Aya selesai, baik Eric maupun Aya lupa pergi ke dokter karena kesibukan di kantor. Beberapa janji dengan klien yang sudah deal harus batal karena terjadi masalah yang tidak pernah diduga sebelumnya."Pokoknya kalian harus tuntut, saya gak mau tahu. Mereka harus ganti rugi!" seru Eric penuh amarah kepada divisi legal di ruang rapat. Via yang berada di ruang rapat sampai takut melihat emosi Eric. Baru kali ini ia melihat Eric seperti itu.Selesai meluapkan emosinya, Eric keluar dari ruangan dengan membanting pintu. Via sampai mematung dibuatnya. Ia kemudian menghampiri staff legal yang masih ada di ruangan dan mendengarkan mereka berdiskusi."Astaga, kok bisa sampai kena tipu?" gumam Via dalam hati mendengar obrolan mereka. Begitu mereka meninggalkan ruang rapat, Via langsung keluar hendak menemui Aya tapi tidak jadi karena Aya tahu-tahu sudah ada di dekat ruang rapat. Ia langsung menarik tangan Via dan menanyakan kebenaran berita yang ia dengar."Iya, Vi," ucap Aya
"Kamu kenapa?" tanya Eric khawatir."Perut aku sakit, Mas," ucap Aya meremas perutnya.Eric meraih baju kimono kemudian memberikannya pada Aya. Tanpa komando Eric menggendong Aya yang tadi mengatakan ingin ke kamar mandi."Kamu di luar aja, Mas," ucap Aya kala Eric malah ikut masuk ke dalam kamar mandi. Dengan berat hati Eric keluar dari tempat itu tapi tidak menutup pintu itu dengan rapat. Beberapa menit kemudian, Aya muncul dari balik pintu dan minta diambilkan tasnya."Mau ngambil apa? Biar aku ambilkan," kata Eric ngotot hendak mengambilkan apa yang hendak Aya minta."Aku datang bulan, Mas," ucap Aya lirih dengan wajah menahan sakit.Cepat Eric mencari apa yang Aya minta. Ia juga sampai memasangkan benda itu pada tempatnya. Jelas saja itu membuat Aya malu."Ay, kamu kenapa lama? Aku masuk ya," ucap Eric mendorong sedikit pintu kamar mandi. Tidak ada jawaban, tapi beberapa detik kemudian Aya keluar dengan wajah menunduk. Eric lantas duduk di samping Aya yang sudah membaringkan diri
Mereka baru saja mendarat di Jakarta dan langsung bergegas menuju rumah Eric. Rasa lelah setelah pesta kemarin masih sangat terasa. Menempati kamar tidur Eric, Aya segera merebahkan diri setelah selesai berganti pakaian.“Katanya tadi lapar?” tanya Eric baru saja masuk kamar setelah menidurkan Farah di kamarnya.“Kayaknya tidur aja deh, Mas. Ngantuk banget,” sahut Aja menguap lebar dan masuk ke dalam selimut.Pria itu kemudian bergegas mengganti pakaiannya dan ikut membaringkan diri di samping Aya. Sambil memandangi Aya yang sepertinya sudah terlelap tidur, senyum mengambang dari bibir pria itu. Salah satu tangan Eric mengelus perutnya yang lapar. Bayangannya tadi ia masih makan bersama dengan Aya, tapi istrinya itu malah tidur duluan. Ia kemudian memutuskan untuk mengambil beberapa bungkus roti dari luar dan membawanya masuk ke dalam kamar.Meski sudah sangat pelan membuka bungkus roti itu, ternyata Aya masih bisa mendengar dan akhirnya terbangun.“Kamu gak tidur, Mas?” tanya Aya men
Setelah menunggu beberapa bulan sesuai dengan permintaan Mama, hari ini akhirnya tiba. Pernikahan Aya dan Eric akan dilangsungkan di salah satu ballroom hotel berbintang yang ada. Aya begitu beruntung karena tak perlu repot mengurus segala persiapan pernikahannya. Semua sudah diatur oleh Eric. Tamu yang datang didominasi oleh orang-orang kantor serta keluarga dan teman-teman Aya juga Mama. Penuh senyum Aya dan Eric menerima setiap tamu yang datang dan memberikan selamat."Selamat ya, Ay," ucap Via sembari memeluk Aya yang ini resmi menjadi istri bosnya itu."Jangan lupa cerita nanti gimana ya malam pertamanya," bisik Via membuat Aya melotot.Dari atas pelaminan, Aya dapat melihat kalau beberapa sepupu serta keluarga dari mendiang papanya datang dan turut mengantri hendak naik ke atas. Aya benar-benar berterima kasih karena mereka tidak berbuat yang aneh-aneh di acaranya hari ini. Meski tak ada senyum saat mereka memberikan selamat.Hingga pesta yang di mulai pukul empat sore akhirnya
Setelah terus ditanya oleh Eric, Aya akhirnya mau menceritakan sedikit mengenai keluarga papanya. Mendengar apa yang Aya ceritakan, Eric malah minta untuk dipertemukan agar ia bisa meminta izin. Jelas saja Aya menolak. Ia sudah kenyang mendengar cacian demi cacian."Tapi tetap aja kita harus minta izin, Sayang," ucap Eric mencoba membujuk."Gak penting, Pak. Minta izin atau enggak ya sama aja. Kalau kita ke sana itu namanya cari penyakit. Saya gak mau, Pak," tolak Aya tegas menatap Eric tajam.Tak ingin membuat gadis itu tambah bete, Eric kemudian melemah dan mengajaknya untuk pergi makan siang keluar.Hubungan Aya dan Eric sudah diketahui oleh semua orang kantor, jadi Eric tidak segan untuk menunjukkan perhatiannya pada Aya di depan umum. Namun hal itu terbading terbalik dengan Aya. Gadis itu masih segan bahkan enggan menunjukkan bahwa ia memiliki hubungan dengan Eric. Beberapa kali ia mendengar omongan yang tidak enak dari beberapa karyawan kantor."Kata Mama, Farah ikut pulang ke r
Sama seperti Eric, Aya juga langsung menginterogasi Mama begitu tiba di rumah. Pertanyaan-pertanyaan yang bersarang di otaknya spontan keluar dari mulutnya. Bertubi-tubi hingga Mama tidak bisa menjawabnya."Satu-satu dong tanyanya, Ay? Kamu pikir Mama robot? Robot juga belum tentu bisa langsung jawab banyak pertanyaan," seloroh Mama melenggang menuju dapur membawa satu kardus cukup besar yang sepertinya makanan."Ya habisnya Aya heran aja, kok bisa Mama bisa akrab gitu sama Ibunya Pak Eric," ucap Aya mengekor Mama ke dapur."Namanya juga satu pesawat terus duduk sebelah-sebelah, ya kita pasti ngobrol lah," sahut Mama."Terus Mama ngomongin apa?""Urusan orang tua, Ay. Kamu banyak tanya deh," kata Mama memicingkan mata menatap anak gadisnya itu."Aya kan mau tahu, masa gak boleh?""Ini masih jam kerja, kamu gak balik kantor?"Mendengar jawaban Mama yang seperti itu, Aya memanyunkan bibirnya. Ia kemudian pamit balik ke kantor karena memang belum jam pulang kantor.Mobil Eric sudah terpa
Begitu jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit, Aya menghampiri Wisnu dan pamit hendak ke bandara mau menjemput Mama. Tapi sebelum itu ia minta tolong untuk tidak memberitahukan tujuannya pada Eric kalau pria itu bertanya. Ia cepat menuruni tangga dan masuk ke mobil. Namun perjalanannya menuju bandara harus terhambat karena di depannya ada kecelakaan truk terbalik. Mau tidak mau ia harus menunggu hingga truk itu bisa dievakuasi, karena posisinya yang tidak memungkinkan untuk putar balik."Ma, tunggu ya. Ini lagi ada macet," kata Aya menghubungi Mama."Iya, gak apa-apa," sahut Mama yang ternyata sedang menunggu di salah satu tempat makan bersama seorang wanita yang sempat duduk bersebelahan di dalam pesawat.Mama kemudian meletakkan ponselnya di atas meja dan kembali berbincang."Ada macet, jadi disuruh tunggu," ucap Mama memberitahu wanita yang tidak lain adalah Ajeng.Omanya Farah itu sengaja tidak memberitahukan kedatangannya pada Eric. Saat bertemu di pesawa
Tak berselang lama, Aya tiba di rumah Eric dengan membawakan pesanana makanan gadis kecil itu. Ada sup buah hingga ayam goreng."Papanya Farahnya mana?" tanya Aya masuk dan meletakkan bungkusan itu di meja tamu."Papa di kamar, Tante. Kayaknya baru selesai mandi," ucap Farah dengan wajah yang tidak sabar ingin makan makanan yang Aya bawa.Aya sedikit heran mendengar jawaban Farah tadi, karena kalau ia sakit ia pasti jarang mandi. Gaditu kemudian ke dapur dan membawa beberapa piring mangkuk serta sendok garpu ke ruang tamu depan. Langkahnya sempat terhenti saat melihat Eric sudah duduk di samping Farah dengan wajah yang terlihat sudah segar."Tapi badannya masih demam," gumam Aya dalam hati saat tak sengaja menyentuh tangan Eric saat memindahkan bungkusan sup buah ke mangkuk."Gak usah pakai es yang, Farah," kata Aya menyodorkan semangkuk penuh sup buah berwarna pink. Dengan wajah tersenyum dan menganggukan kepala, gadis kecil itu menerima mangkuk dari Aya lantas menyantapnya."Aku mau