Terbangun masih dalam pelukan Eric, tanpa sadar Aya mengelus-elus lengan Eric yang melingkari pinggangnya.“Selamat pagi, Aya,” sapa Eric mencium belakang leher Aya membuat gadis itu bergidik geli. Sadar apa yang ia lakukan tadi adalah sebuah kesalahan, cepat ia mendorong Eric hingga membuat pria itu mengaduh.“Maaf, Pak,” ucap Aya keluar dari dalam selimut dan duduk di tepi ranjang. Bisa-bisanya ia terbuai dalam pelukan pria itu.“Masih subuh, Aya. Tidur lagi aja,” kata Eric setelah melihat jam dinding. Pria itu dengan santainya berpindah dan meletakkan kepala di pangkuan Aya. Aya sempat mematung beberapa menit sebelum akhirnya ia meminta Eric untuk beralih dari pangkuannya. Berkali-kali Aya berusaha mengangkat kepala Eric, tap pria itu malah memeluknya.“Pak, nanti ada yang lihat. Orang nanti malah mikir yang negatif,” kata Aya tidak enak.“Oke,” ucap Eric mengangkat kepalanya tapi malah memberikan ciuman kilat di bibir Aya.Aya menggigit bibir bawahnya seraya memalingkan wajahnya.
Bukan main terkejutnya Eric saat melihat Ajeng dan Tari tiba di rumah. Hal itu membuat Eric mau tak mau menunda dulu keberangkatannya ke kantor. Tanpa basa basi Ajeng lalu mendudukan Eric dan mengomeli anak pertamanya itu. Pada saat yang sama Tari langsung menemui Farah yang berada di kamarnya, sebelum keponakannya itu keluar dan melihat papanya di omeli.“Halo cantiknya, Tante,” ucap Tari membuka lebar kedua tangannya dan memeluk gadis kecil itu.“Tante Tari sama siapa? Sama Oma ya?” tanya Farah.Tari mengangguk tapi tidak membawa Farah keluar dari kamarnya. Ia meminta Farah untuk bercerita kenapa sampai masuk rumah sakit. Dengan antusias gadis kecil itu bercerita semuanya, termasuk saat Eric dan Aya terlihat begitu manis.“Memangnya Farah mau kalau Tante Aya jadi mamanya Farah?” tanya Tari penasaran.“Ya mau dong, Tante. Tante Aya baik, perhatian, sayang sama Farah,” ucap Farah dengan wajah penuh senyum.“Karena wajah Tante Aya mirip ya sama mamanya Farah?” selidik Tari. Ia ingin ta
Aya kemudian pamit hendak kembali ke ruangannya setelah berada di ruangan Eric hampir lima belas menit. Ia sudah berusaha menahan agar Farah tidak ikut dengannya tapi gagal. Gadis kecil itu bersikeras ingin ikut ke ruangan Aya. Tidak ingin Farah menjadi tantrum, Ajeng langsung mengiyakan dan meminta Aya membawa cucunya itu.Sepeninggal Aya dan Farah, Ajeng langsung menghujani Eric dengan berbagai macam pertanyaan seputar Aya. Apalagi ditambah dengan pemandangan tadi yang ia lihat."Mama memangnya lihat apa?" tanya Eric dengan wajah polos."Ya ampun, Mas. Tari juga lihat Mas Eric tadi itu mau –““Kamu susulin Farah aja ke atas,” kata Eric cepat memotong ucapan Tari.“Tari masih mau di sini. Mau makan cemilan ini,” sahut Tari menolak sambil meraih setoples kue coklat yang ada di meja.Eric enggan menjawab setiap pertanyaan yang Ajeng lontarkan dan lebih memilih berpura-pura sibuk mengetik sambil menatap layar laptopnya.“Kamu jawab Mama dong?” Ajeng menutup paksa laptop yang sedang Eric
Aya duduk bersandar sambil memijat-mijat keningnya. Gadis itu merasa bodoh dengan apa yang ia ucapkan saat di mobil tadi. Bisa-bisanya ia terbawa emosi lantas mengiyakan ucapan Eric. Sekarang Aya jadi bingung sendiri harus bersikap bagaimana."Cara jelasin ke Mama gimana?" gumam Aya pasrah."Jelasin apa memangnya, Ay?" Reflek Mama bertanya kala ia membuka pintu kamar Aya dan mendengar jelas ucapan anak gadisnya itu. Mama sengaja datang ke kamar Aya karena sudah pagi begini Aya tidak terlihat keluar dari dalam kamar."Nggak, Ma," ucap Aya tersenyum kecil sambil cepat memikirkan alasan, "ini perut Aya sakit, jadi hari ini izin gak masuk kantor," lanjut Aya memegangi perutnya."Oh ya sudah. Kalau gitu Mama jalan dulu ya. Di dapur Mama sudah masak, jangan lupa kamu makan ya," pesan Mama tersenyum sembari mendekat.Mengantarkan Mama hingga pintu depan, Aya lantas mengunci pintu rumah. Ia bersyukur karena Mama percaya dengan alasannya tadi. Setelah mandi, gadis itu menuju dapur dan sarapan.
"Kamu mau kemana?" tanya Ajeng melihat Eric rapi berpakaian padahal ini sudah jam delapan lewat. Sementara Farah sudah masuk kamar sejak selesai makan malam tadi bersama dengan Tari."Ada yang mau Eric cari, Ma," sahut Eric kembali melangkah."Cari apa? Aya?" tanya Ajeng membuat langkah kaki Eric kembali berhenti sesaat. Ia tidak menjawab pertanyaan Ajeng tadi dan hanya mengucapkan salam sembari menutup pintu depan.Ajeng menghela nafas melihat kelakuan anak pertamanya itu. Semenjak Fania meninggal, Eric benar-benar berubah. Ia tenggelam dalam pekerjaannya dan kurang memberikan kasih sayang pada Farah. Hingga kejadian Farah dan Aya bertemu di mall waktu itu merubah segalanya. Namun, ia yakin kalau Eric sudah lebih dulu bertemu dengan Aya. Wanita paruh baya itu kemudian masuk ke dalam kamarnya, membiarkan Eric yang tidak tahu akan pulang jam berapa.Di tempat lain, tepatnya di rumah Aya, gadis itu menghampiri Mama ke kamarnya untuk minta izin pergi ke depan komplek untuk beli martabak.
Mama sempat bingung melihat Aya yang tampak tidak bersemangat pergi ke kantor hari ini. Meski sudah siap, anak gadisnya itu terlihat pucat tanpa riasan di wajahnya.“Kamu masih sakit, Ay? Kenapa? Perut kamu? Cek ke dokter ayo,” ajak Mama menyodorkan sepiring nasi lengkap dengan lauknya.“Gak sakit, Ma,” sahut Aya singkat sembari menyuapkan makanan yang ada di depannya.Mama yang duduk di depan Aya memperhatikan gerak gerik anak gadisnya itu. Aya terlihat murung dan tidak antusias makan meski makanan yang ada di depan enak. Mama jadi khawatir dan parno sendiri, tapi ia berusaha menepis pikiran negatifnya.“Kamu izin lagi aja, Ay. Nanti kamu malah ada apa-apa lagi di kantor. Kalau perlu Mama yang antar surat sakit kamu ke kantor.”Mendengar hal itu, Aya langsung terlihat semangat menghabiskan sarapan paginya. Ia juga cepat merias wajah dan memoles lipstik di bibirnya."Hari ini Mama di ajak sama beberapa guru di sekolah buat jalan ke mall," ucap Mama memberitahu yang membuat Aya reflek
Mama masih memandangi Eric dan Aya bergantian. Hampir sepuluh menit dan itu membuat mereka berdua benar-benar was-was, khususnya Aya. Gadis itu takut menunggu reaksi yang akan Mama tunjukkan.“Jadi ini apa? Tolong dijelaskan?” tanya Mama akhirnya buka suara.“Ma—“Eric langsung meraih tangan Aya membuat gadis itu tercekat tidak meneruskan ucapannya. Dengan begitu tenang Eric mengutarakan kedatangannya, tapi ia tidak lupa meminta maaf terlebih dahulu atas ketidaktahuannya bahwa oma kantin itu adalah Mama.“Saya benar-benar minta maaf, Tante,” ucap Eric terdengar begitu tulus.“Tapi selama ini, Aya gak pernah bilang kalau dia punya pacar yang mau serius, dan itu kamu.” Ekspresi wajah Mama berubah serius.“Gini, Ma. Aya ... .” Aya tidak meneruskan ucapannya. Jujur saja ia bingung harus mulai bercerita dari mana.“Maaf kalau ini terkesan mendadak, Tante. Tapi saya sama Aya sudah kenal cukup lama karena kita satu kantor.”Kening Mama berkerut dengan mata yang menatap tajam ke arah Aya. Te
Seperti dugaannya, Mama masih ada di ruang tamu duduk dan menatap ke arahnya. Mama kemudian meminta Aya untuk duduk di sampingnya dan menjelaskan apa sebenarnya yang sedang terjadi. Kenapa bisa orang tua murid di tempat Mama membuka kantin, tiba-tiba datang dan ingin serius dengan Aya. Sementara Aya tidak pernah terlihat pacaran dan mengaku tidak kenal dengan Eric."Aya bingung, Ma.""Bingung apa? Kamu beneran gak hamil kan?""Ya ampun, Mama. Aya gak hamil. Gak percaya banget sama Aya. Mama kalau gak ngerestuin Aya, gak apa-apa. Aya gak masalah," ucap Aya dengan nada sewot di awal tapi berubah santai di akhir kalimatnya."Loh gimana sih kamu ini?" Mama jadi heran dengan sikap yang Aya tunjukkan."Memangnya Mama mau Aya sama dia? Duda satu anak?"Mama terdiam mendengar ucapan Aya barusan. Sebagai seorang ibu sebenarnya ingin Aya mendapat jodoh yang terbaik dan tentunya bukan seorang duda. Tapi kalau dilihat-lihat Eric juga bukan duda sembarangan. Dia mapan dan bukan duda yang bercerai