Abizar mendekat dengan tenang, tatapannya dingin. "Kalian pikir kalian bisa mengancamku? Kalian bahkan tidak tahu siapa yang kalian hadapi." Pria dengan samurai itu melangkah maju, senyum sinis di wajahnya. "Kalau begitu, tunjukkan apa yang bisa kau lakukan." Tanpa peringatan, pria itu menyerang, mengayunkan samurainya ke arah Abizar. Tapi Abizar sudah siap. Dengan gerakan cepat, ia menghindar dan meraih pipa besi yang tergeletak di lantai. Suara denting logam memenuhi ruangan saat samurai dan pipa saling beradu. Ryu dan anak buahnya tidak tinggal diam. Mereka melawan pria-pria lainnya, perkelahian yang penuh kekerasan. Suara tembakan bergema di udara, membuat suasana semakin mencekam. Abizar terus bertarung dengan pria bersamurai itu. Gerakannya lincah dan penuh strategi, seperti seseorang yang sudah terbiasa menghadapi bahaya. Dengan satu gerakan cepat, ia berhasil menjatuhkan samurai dari tangan pria itu dan menodongkan pistol ke kepalanya. "Kau ingin hidup?" tanya Abi
Sementara itu, Abizar berjalan perlahan ke meja di sudut apartemennya. Ia membuka laci, mengambil sebuah foto kecil yang tersembunyi di antara tumpukan kertas. Foto itu menunjukkan Elsa sedang tersenyum lebar, memegang setangkai bunga mawar putih. Ia tidak tahu kapan Elsa menyelipkan foto itu di jaketnya, tapi foto itu sudah ada di sana selama berbulan-bulan. Tatapannya melembut. Hatinya menghangat, tapi juga terluka. “Kenapa aku begitu bodoh?” gumamnya. Ia menyentuh wajah Elsa di foto itu dengan ujung jarinya, seolah ingin merasakan kehangatannya. “Kenapa aku tidak menyadari semuanya lebih cepat?” Abizar tahu dirinya telah membuat kesalahan besar. Ia telah menyia-nyiakan momen berharga bersama Elsa, dan kini gadis itu mulai menjauh darinya. Tapi yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia mungkin kehilangan Elsa untuk selamanya. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke sudut ruangan. Sebuah amplop kecil tergeletak di sana, berisi surat terakhir Elsa sebelum ia meninggalkan r
Tapi senyuman itu tidak bertahan lama. Di halaman terakhir, ada kata-kata kecil yang tertulis dengan tinta hitam._'Kenapa kau harus menyentuh hatiku, Abizar? Aku hanya ingin melupakanmu.'_ Kalimat itu menghantamnya seperti badai. Ia sadar bahwa luka Elsa jauh lebih dalam dari yang ia bayangkan. Dengan buku sketsa itu di tangannya, ia tahu ia harus menemukan Elsa—tidak hanya untuk memperbaiki segalanya, tapi juga untuk mengungkapkan perasaannya yang selama ini tersembunyi.Ia menutup buku itu dengan perlahan, matanya penuh tekad. “Aku akan menemukanmu, Elsa. Tidak peduli berapa jauh kau mencoba pergi.”Tapi ketika ia melangkah pergi dari taman itu, sebuah bayangan muncul di kejauhan. Elsa berdiri di sana, di balik pohon besar, dengan mata yang penuh air mata. Tapi sebelum Abizar menyadari keberadaannya, Elsa berbalik dan menghilang dalam kegelapan.***Abizar berdiri di tengah ruang tamu rumah keluarganya yang megah. Udara
Abizar berdiri di luar pagar rumah kecil itu, menyadari bahwa ada banyak halangan di antara mereka. Ia melihat dari kejauhan, Elsa sedang duduk di taman belakang, memegang buku sketsanya. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap memancarkan keindahan yang sama seperti yang selalu ia ingat. Abizar melangkah mendekat, tapi sebelum ia mencapai gerbang, seseorang menghentikannya. Darwin Luis berdiri di sana, dengan tangan menyilang di dadanya. “Kau tidak seharusnya ada di sini,” kata Darwin dingin. Abizar menatapnya tanpa gentar. “Aku hanya ingin berbicara dengannya.” “Tidak ada yang perlu dibicarakan,” balas Darwin. “Elsa sudah cukup terluka. Kau hanya akan membuat segalanya lebih buruk.” “Aku mencintainya,” kata Abizar tegas. “Aku akan melakukan apa saja untuk melindunginya, bahkan jika itu berarti menghadapi keluargamu atau siapa pun yang mencoba menyakitinya.” Abizar mengepalkan tangan, tapi ia menaha
Elsa membuka mulutnya untuk menjawab, tapi kata-kata itu tidak keluar. Ia terlalu terkejut, terlalu terguncang. "Elsa, dengarkan aku!" suara Abizar bergetar. "Aku mencintaimu. Kau harus tahu itu. Aku tidak akan membiarkan siapa pun membawamu pergi, tidak lagi." Air mata mulai mengalir di pipi Elsa. Ia menatap Abizar dengan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Tapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, pria kedua yang tadi mundur tiba-tiba menarik Elsa ke dalam kapal. "Maaf, Tuan Abizar, tapi ini perintah!" katanya sebelum kapal mulai melaju. "Elsa!" Abizar mencoba mengejarnya, tapi sudah terlambat. Kapal itu melaju ke tengah lautan, meninggalkan Abizar berdiri di dermaga dengan tubuh basah kuyup dan hati yang hancur. Dua hari kemudian, Abizar menemukan dirinya berdiri di depan sebuah mansion tua di Lombok. Bangunan itu megah, tapi tampak sunyi dan sedikit berdebu. Ia tahu Darwin telah membawa Elsa ke tempat ini. Darwin ingin
Pagi harinya, Elsa berjalan-jalan sendirian di taman. Udara pagi yang segar memberikan sedikit ketenangan, meski pikirannya masih dipenuhi kebingungan. Ia berhenti di dekat danau kecil, memandangi air yang tenang.“Pagi yang indah, bukan?” suara Abizar terdengar dari belakangnya.Elsa menoleh, menemukan Abizar berdiri beberapa langkah darinya. Pria itu tampak lelah, tapi matanya memancarkan tekad yang kuat.“Kau masih di sini,” gumam Elsa, suaranya datar.“Aku bilang aku akan menunggumu,” jawab Abizar pelan. Ia melangkah mendekat, tapi menjaga jarak yang cukup agar Elsa tidak merasa terancam. “Aku tidak akan pergi sampai kau percaya padaku, Elsa.”Elsa menghela napas. “Abizar, aku butuh waktu. Dan aku butuh ruang. Kau tidak bisa memaksa ini.”“Aku tahu,” balas Abizar dengan nada lembut. “Tapi aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak akan pernah menyerah.”Elsa mengangguk pelan, lalu berbalik pergi. Namun, sebelum ia terl
Keesokan harinya, Abizar mencari Elsa di taman. Gadis itu duduk di bangku yang sama seperti sebelumnya, memandangi bunga-bunga yang mulai bermekaran. Wajahnya terlihat tenang, tapi Abizar tahu ada badai di dalam dirinya."Elsa," panggil Abizar lembut.Elsa menoleh, sedikit terkejut melihat Abizar di sana. "Ada apa?"Abizar duduk di sampingnya, menjaga jarak agar Elsa tidak merasa terpojok. Ia mengeluarkan surat Irfan dari sakunya dan meletakkannya di atas meja kecil di depan mereka."Aku menemukan ini," katanya pelan.Elsa menatap surat itu dengan mata membesar. Tangannya gemetar saat meraih amplop yang begitu familiar itu. "Kenapa kau membacanya?""Karena aku ingin mengerti," jawab Abizar jujur. "Aku ingin tahu apa yang membuatmu menutup hatimu seperti ini."Elsa menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. "Itu bukan urusanmu.""Tapi aku ingin itu menjadi urusanku, Elsa," kata Abizar, su
Natasya mendekat, menyentuh lengan Abizar dengan lembut, tapi pria itu segera menarik diri. “Kau berubah, Abizar. Kau tidak seperti dulu.”“Karena aku sudah tidak mau terjebak dalam permainanmu, atau permainan keluarga kita,” balasnya.Wajah Natasya berubah serius. “Kau tahu, Ebizawa tidak akan membiarkanmu begitu saja. Dia memberiku satu kesempatan terakhir untuk membuatmu sadar. Kembalilah ke jalan yang benar, Abizar. Lupakan Elsa.”“Kalau aku menolak?” Abizar menatapnya dengan mata tajam.Natasya tersenyum miring. “Kalau kau menolak, jangan salahkan aku kalau aku harus memainkan caraku sendiri.”“Coba saja,” balas Abizar penuh tantangan. “Aku tidak takut padamu atau siapa pun.”---Sementara itu, Elsa duduk di taman mansion-nya, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Surat Irfan masih terngiang-ngiang di benaknya, membuat hatinya terus berdebar tak menentu. Ia ingin percaya pada Abizar, tetapi bayangan masa lalu t
"Baik Tuan, kalau begitu Saya akan menyiapkan mobil dan menunggu Anda di lobi setelah Anda sudah siap.""Hem ... pergilah." Dengan gerakan tangan dari Tuannya Tian pergi meninggalkan Juan yang membelakanginya sambil menikmati pemandangan kota Jogjakarta yang begitu terkenal dengan kuliner tradisional dan keramah tamahan warganya.'Sudah setahun Kau pergi kemana Dokter Marsya. Begitu sulit menemukanmu. Apa Kau baik-baik saja diluar sana. Semua negara sudah Aku cari tak ada satupun tanda-tanda kehadiranmu,' monolognya dengan perasaan yang begitu hampa.***Juan pergi bersama asistennya Tian dengan pakaian santai. Menikmati perjalanan di kota Jogja untuk menghilangi rasa penat belakangan ini."Kau menikmati perjalanan ini Tian.""Sangat Tuan, bagaimana dengan Anda.""Hem ... sedikit menikmati tapi kenapa malam ini agak berbeda. Lihatlah dilangit banyak bintang-bintang bersinar dan berkilau.""Banyak masyarakat awam
Juan memeluk erat Marsya Dia mencium lama rambut Marsya yang wangi bunga rose."Tidak, Kau sudah mengacaukan hidupku berjanjilah tak akan pergi lagi, Marsya."Deg! Detak jantung Marsya begitu cepat ketika Juan tiba-tiba mengungkapakan perasaannya."Kau ... Kau sudah memiliki kekasih Juan, jangan seperti ini. Jangan buat kekasihmu bersedih, Aku bukan perebut kekasih orang."Dekapan Juan menegang matanya terbuka mendengar ucapan Marsya. Ya dia memang mempunyai kekasih tapi wanita inilah yang belakangan ini menjadi pemilik hati sebenarnya. Wanita ini sudah membuat dia membohongi kekasihnya.Juan melepas pelukannya tangannya menangkup wajah cantik Marsya dengan sorot mata lembut. "Kau yang ku inginkan tunggulah sebentar lagi Kita akan bersama.""Apa Kau tidak mengerti, Aku nggak cinta sama Kamu Juan. Kita hanya sepasang manusia yang baru bertemu belum lama yang tak sengaja bertemu dalam hubunganku bersama Bima temanmu. Kau tahu betul
Deg! Detak jantung Marsya begitu cepat ketika Juan tiba-tiba mengungkapakan perasaannya."Kau ... Kau sudah memiliki kekasih Juan, jangan seperti ini. Jangan buat kekasihmu bersedih, Aku bukan perebut kekasih orang."Dekapan Juan menegang matanya terbuka mendengar ucapan Marsya. Ya dia memang mempunyai kekasih tapi wanita inilah yang belakangan ini menjadi pemilik hati sebenarnya. Wanita ini sudah membuat dia membohongi kekasihnya.Juan melepas pelukannya tangannya menangkup wajah cantik Marsya dengan sorot mata lembut. "Kau yang ku inginkan tunggulah sebentar lagi Kita akan bersama.""Apa Kau tidak mengerti, Aku nggak cinta sama Kamu Juan. Kita hanya sepasang manusia yang baru bertemu belum lama yang tak sengaja bertemu dalam hubunganku bersama Bima temanmu. Kau tahu betul siapa yang selalu mengisi hatiku sampai saat ini. Tolong ijinkan Aku pergi Dokter Juan.''Juan memandang sinis Marsya tatapannya berubah dingin membuat Marsya sedikit
"Baik Tuan, kalau begitu Saya akan menyiapkan mobil dan menunggu Juan pergi bersama asistennya Tian dengan pakaian santai. Menikmati perjalanan di kota Jogja untuk menghilangi rasa penat belakangan ini."Kau menikmati perjalanan ini Tian.""Sangat Tuan, bagaimana dengan Anda.""Hem ... sedikit menikmati tapi kenapa malam ini agak berbeda. Lihatlah dilangit banyak bintang-bintang bersinar dan berkilau.""Banyak masyarakat awam bilang pandanglah langit yang gelap seandainya ada bintang jatuh maka mintalah sesuatu kepada bintang itu agar menyampaikan kepada Tuhan supaya doa Kita terkabul Tuan.""Itu mitos Tian buktinya setiap malam Aku selalu memandang langit bertabur bintang tapi tak ada satu pun permintaanku didengarnya.""Anda ingin bertemu dengan seseorang pandanglah langit disana pasti akan ada bintang jatuh malam ini. Saya yakin doa Anda didengar Tuhan malam ini."Juan hanya tersenyum mendengar saran asisten
"Besok Kau ikut Aku ke markas Abizar. Apa tujuannya sampai harus bersitegang dengan Kita, pergilah!" "Baik Tuan Dominic." Ahmad membungkukkan punggungnya melangkah mundur dan keluar dari ruangan ketua mafia Clan. Seperginya Ahmad, Dominic mengetuk-ngetuk meja dengan pisau lipatnya. "Sudah ku duga wanita itu bukan keturunan orang sembarangan. Aku pernah melihat mendiang Ibunya menghajar pencuri yang mengganggu Julia sampai tumbang. Juan Kau benar-benar bodoh meninggalkan wanita istimewa itu," gumamnya. Disisi lain didalam club malam diruangan VIP ada dua sosok pria tampan sedang menikmati minumannya. " Loe nggak pulang sejak tadi ponsel loe bergetar. Gue lihat nama tunangan loe." "Berisik! Diamlah Tom ... Loe saja yang pulang anak istri nanti cari Loe," balas Juan. "Istri sama anak gue sedang berada di Jepang Kakeknya kangen cucunya. Kami barusan selesai video call. Gue sudah ijin temani Lo
Suatu malam, Juan masuk ke kamar Marsya yang mau tidur di kamarnya tanpa seizinnya. "Kenapa kamu di sini, Juan?" tanya Marsya, yang telah memasuki delapan bulan kehamilannya. "Kenapa? Ini kamar kamukan dan aku ingin berada dekat anakku," ucap Juan sambil menatap perut Marsya yang telihat sudah membesar. Marsya menatap Juan dengan heran. "Ck, jangan aneh-aneh. Aku memberikanmu kesempatan, tapi tidak sebebas ini. Keluarlah, aku mau istirahat," ujar Marsya, mencoba mengusir Juan dari kamarnya. "Besok lusa kita akan menikah, aku sudah menyiapkan semuanya," kata Juan dengan suara mantap. Marsya terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Apa katamu, menikah?" tanyanya dengan wajah terkejut. "Ya, kita akan menikah," jawab Juan dengan tegas. "Aku tidak mau, kau jangan memaksaku, Juan!" "Aku tidak perlu persetujuanmu, yang jelas besok lusa kita akan menikah atau... ," ucap Juan menggangtung sam
"Nyonya Marsya mohon maaf, Saya dan semua pengawal akan pergi meninggalkan klinik. Apa suster Siska bisa menemani Anda?" tanya salah satu seorang pengawal yang Marsya ketahui ketua dari para pengawal lainnya. Marsya kaget mendengar ucapan pengawal Juan yang berdiri menatapnya iba. "Kalau Dia sudah berkata seperti itu kalian boleh meninggalkan Aku. Tenang saja Aku biasa sendiri, Tuan pengawal," jawab Marsya tersenyum hangat. Deg! Hati Ahmad bergetar mendengar ucapan wanita yang berdiri dihadapannya. Meskipun wanita itu habis menangis tapi bibirnya masih bisa tersenyum. "Nyonya ini nomer telepon Saya, Anda bisa menghubungi Saya. Kami hanya khawatir meninggalkan Anda disini sendiri." "Tidak apa-apa Tuan pengawal sekarang masih sore nanti Siska pasti datang sebaiknya Anda pergi secepatnya nanti Juan bisa marah." "Ya sudah Saya pergi Nyonya Anda hati-hati di klinik kalau ada apa-apa hubungi Saya. Na
"Ck ...sudahlah Aku lelah hari ini ada pasienku mau melahirkan." "Sudah ku atasi tenang saja klinikmu libur hari ini. Semua pasien sudah dibawa ke rumah sakit lain." "Apa! Apa maksudmu?" kaget Marsya mendengar ucapan Juan. Badannya sampai setengah duduk membuat kesenangan Juan terganggu. Juan bangun dari kasur lalu berdiri dihadapan Marsya dengan senjata yang masih menegang. Tangannya memegang dagu Marsya kepalanya menunduk menatap istrinya yang terlihat marah tapi seksi dimatanya. "Benar, semua pasienmu sudah Aku pindahkan ke rumah sakit milikku. Penghasilan rumah sakit hari ini tetap masuk kerekening Kamu sayang. Kau tak usah khawatir mereka ditangani dengan baik. Dan Kau hanya menangani Aku saja, hem." "Tapi ... hph," Belum sampai melanjutkan ucapannya Juan mencium bibir Marsya yang membengkak tangannya terulur mengendong tubu
Kedua bola matanya terbelalak melihat Juan yang sedang melumat bibirnya dengan mata memandangnya. "Hph ... uh ... Juan hentikan." Bukannya berhenti Juan semakin melesakkan lidahnya ke dalam mulut Marsya melumat dan menghisap saling merasakan saliva masing-masing. Tangannya mencekal pergelangan tangan Marsya ke atas kepala dan mengunci kakinya dengan menindihnya. "Juan apa yang Kau lakukan?" "Kenapa, Aku meminta hak Aku sebagai suami." "Enak saja! Aku nggak mau, minggir berat nih!" "Ck ... jangan merusak suasana istriku!" "Aku belum siap Juan, Aku ... Aku lagi datang bulan. Ah ya! Benar datang bulan." "Yakin? Apa hanya alasan Kamu saja?" "Aku tidak bohong Juan, awas ih berat Kamunya!" Juan tersenyum menyeringai jahat sambil memainkan lidahnya ke bibir. "Kenapa wajahmu sepertii itu? Jangan aneh-aneh deh!" Tiba-tiba tangan kiri Juan menyentuh dua bulatan Marsya yang padat pas digenggamannya. "Kau tidak memakai bra? Sepertinya istriku ini sudah biasa tidur seperti ini, hem?"