Gerald dengan latar belakangnya sebagai bagian dari keluarga bangsawan yang terlatih ilmu beladiri, tidak kesulitan menghadapi mereka. Gerakannya cepat, pukulannya keras dan terarah. Dalam hitungan menit, pria-pria itu terkapar, meringis kesakitan. Saat semua telah selesai, Diana berdiri terpaku, matanya penuh ketakutan. "Gerald… apa yang baru saja terjadi? Siapa mereka?" Gerald menatapnya dengan tatapan lembut yang bertolak belakang dengan kekerasan yang baru saja ia tunjukkan. "Mereka mencoba menyakitimu. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi." "Siapa mereka? Kenapa mereka mengincarku?" Diana mulai panik. "Aku akan menjelaskan semuanya nanti. Sekarang, kau harus ikut denganku. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian." Di apartemen Gerald, Diana duduk di sofa dengan gelisah. Gerald menuangkan teh hangat untuknya sebelum duduk di seberang meja. Ia tahu ini adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur, tapi ia juga tahu bahwa hal ini akan membuat Diana semakin sulit percaya
Gerald mendekat dengan tenang, tatapannya dingin. "Kalian pikir kalian bisa mengancamku? Kalian bahkan tidak tahu siapa yang kalian hadapi." Pria dengan samurai itu melangkah maju, senyum sinis di wajahnya. "Kalau begitu, tunjukkan apa yang bisa kau lakukan." Tanpa peringatan, pria itu menyerang, mengayunkan samurainya ke arah Gerald. Tapi Gerald sudah siap. Dengan gerakan cepat, ia menghindar dan meraih pipa besi yang tergeletak di lantai. Suara denting logam memenuhi ruangan saat samurai dan pipa saling beradu. Abizar dan anak buahnya tidak tinggal diam. Mereka melawan pria-pria lainnya, perkelahian yang penuh kekerasan. Suara tembakan bergema di udara, membuat suasana semakin mencekam. Gerald terus bertarung dengan pria bersamurai itu. Gerakannya lincah dan penuh strategi, seperti seseorang yang sudah terbiasa menghadapi bahaya. Dengan satu gerakan cepat, ia berhasil menjatuhkan samurai dari tangan pria itu dan menodongkan pistol ke kepalanya. "Kau ingin hidup?" tanya
Sementara itu, Gerald berjalan perlahan ke meja di sudut apartemennya. Ia membuka laci, mengambil sebuah foto kecil yang tersembunyi di antara tumpukan kertas. Foto itu menunjukkan Diana sedang tersenyum lebar, memegang setangkai bunga mawar putih. Ia tidak tahu kapan Diana menyelipkan foto itu di jaketnya, tapi foto itu sudah ada di sana selama berbulan-bulan. Tatapannya melembut. Hatinya menghangat, tapi juga terluka. “Kenapa aku begitu bodoh?” gumamnya. Ia menyentuh wajah Diana di foto itu dengan ujung jarinya, seolah ingin merasakan kehangatannya. “Kenapa aku tidak menyadari semuanya lebih cepat?” Gerald tahu dirinya telah membuat kesalahan besar. Ia telah menyia-nyiakan momen berharga bersama Diana, dan kini gadis itu mulai menjauh darinya. Tapi yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia mungkin kehilangan Diana untuk selamanya. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke sudut ruangan. Sebuah amplop kecil tergeletak di sana, berisi surat terakhir Diana sebelum ia menin
Tapi senyuman itu tidak bertahan lama. Di halaman terakhir, ada kata-kata kecil yang tertulis dengan tinta hitam. _'Kenapa kau harus menyentuh hatiku, Gerald? Aku hanya ingin melupakanmu.'_ Kalimat itu menghantamnya seperti badai. Ia sadar bahwa luka Diana jauh lebih dalam dari yang ia bayangkan. Dengan buku sketsa itu di tangannya, ia tahu ia harus menemukan Diana—tidak hanya untuk memperbaiki segalanya, tapi juga untuk mengungkapkan perasaannya yang selama ini tersembunyi. Ia menutup buku itu dengan perlahan, matanya penuh tekad. “Aku akan menemukanmu, Diana. Tidak peduli berapa jauh kau mencoba pergi.” Tapi ketika ia melangkah pergi dari taman itu, sebuah bayangan muncul di kejauhan. Diana berdiri di sana, di balik pohon besar, dengan mata yang penuh air mata. Tapi sebelum Gerald menyadari keberadaannya, Diana berbalik dan menghilang dalam kegelapan. *** Gerald berdiri di tengah ruang tamu rumah keluarganya yang megah. Udara di sana terasa berat, bukan karena kemewahan
Gerald berdiri di luar pagar rumah minimalis itu, menyadari bahwa ada banyak halangan di antara mereka. Ia melihat dari kejauhan, Diana sedang duduk di taman belakang, memegang buku sketsanya. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap memancarkan keindahan yang sama seperti yang selalu ia ingat. Gerald melangkah mendekat, tapi sebelum ia mencapai gerbang, seseorang menghentikannya. Arga Lacon berdiri di sana, dengan tangan menyilang di dadanya. “Kau tidak seharusnya ada di sini,” kata Arga dingin. Gerald menatapnya tanpa gentar. “Aku hanya ingin berbicara dengannya.” “Tidak ada yang perlu dibicarakan,” balas Arga. “Diana sudah cukup terluka. Kau hanya akan membuat segalanya lebih buruk.” “Aku mencintainya,” kata Gerald tegas. “Aku akan melakukan apa saja untuk melindunginya, bahkan jika itu berarti menghadapi keluargamu atau siapa pun yang mencoba menyakitinya.” Arga mengepalkan tangan, tapi ia menahan emosinya. “Aku tahu aku bukan yang terbaik adikku. Arga mendekat, menatapnya taj
Diana membuka mulutnya untuk menjawab, tapi kata-kata itu tidak keluar. Ia terlalu terkejut, terlalu terguncang. "Diana, dengarkan aku!" suara Gerald bergetar. "Aku mencintaimu. Kau harus tahu itu. Aku tidak akan membiarkan siapa pun membawamu pergi, tidak lagi." Air mata mulai mengalir di pipi Diana. Ia menatap Gerald dengan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Tapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, pria kedua yang tadi mundur tiba-tiba menarik Diana ke dalam kapal. "Maaf, Tuan Gerald, tapi ini perintah!" katanya sebelum kapal mulai melaju. "Diana!" Gerald mencoba mengejarnya, tapi sudah terlambat. Kapal itu melaju ke tengah lautan, meninggalkan Gerald berdiri di dermaga dengan tubuh basah kuyup dan hati yang hancur. *** Dua hari kemudian, Gerald menempatkan dirinya berdiri di depan sebuah mansion tua di Lombok. Bangunan itu megah, tapi tampak sunyi dan sedikit berdebu. Ia tahu Arga telah membawa Diana ke tempat ini. Arga ingin mengujinya—menguji sejauh mana ia rela berjua
Pagi harinya, Diana berjalan-jalan sendirian di taman. Udara pagi yang segar memberikan sedikit ketenangan, meski pikirannya masih dipenuhi kebingungan. Ia berhenti di dekat danau kecil, memandangi air yang tenang. “Pagi yang indah, bukan?” suara Gerald terdengar dari belakangnya. Diana menoleh, menemukan Gerald berdiri beberapa langkah darinya. Pria itu tampak lelah, tapi matanya memancarkan tekad yang kuat. “Kau masih di sini,” gumam Diana, suaranya datar. “Aku bilang aku akan menunggumu,” jawab Gerald pelan. Ia melangkah mendekat, tapi menjaga jarak yang cukup agar Diana tidak merasa terancam. “Aku tidak akan pergi sampai kau percaya padaku, Diana.” Diana menghela napas. "Gerald aku butuh waktu. Dan aku butuh ruang. Kau tidak bisa memaksa ini.” “Aku tahu,” balas Gerald dengan nada lembut. “Tapi aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak akan pernah menyerah.” Diana mengangguk pelan, lalu berbalik pergi. Namun, sebelum ia terlalu jauh, ia berhenti dan berkata, “Aku hanya
Keesokan harinya, Gerald mencari Diana di taman. Gadis itu duduk di bangku yang sama seperti sebelumnya, memandangi bunga-bunga yang mulai bermekaran. Wajahnya terlihat tenang, tapi Gerald tahu ada badai di dalam dirinya. "Diana," panggil Gerald lembut. Diana menoleh, sedikit terkejut melihat Gerald di sana. "Ada apa?" Gerald duduk di sampingnya, menjaga jarak agar Diana tidak merasa terpojok. Ia mengeluarkan surat Irfan dari sakunya dan meletakkannya di atas meja kecil di depan mereka. "Aku menemukan ini," katanya pelan. Diana menatap surat itu dengan mata membesar. Tangannya gemetar saat meraih amplop yang begitu familiar itu. "Kenapa kau membacanya?" "Karena aku ingin mengerti," jawab Gerald jujur. "Aku ingin tahu apa yang membuatmu menutup hatimu seperti ini." Diana menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. "Itu bukan urusanmu." "Tapi aku ingin itu menjadi urusanku, Diana," kata Gerald, suaranya penuh dengan ketulusan. "Aku ingin menjadi se
Alan memerintahkan baby sister datang ke hotel untuk menjaga Anya. Sedangkan dia ingin bermesraan bersama Valeria. "Aku bukannya senang merayakan wasiatmu, tapi aku speechless kenapa Ayah Satia tidak jujur dan malah berhutang banyak denganku. Apa dia hanya pura-pura saja? Pantas saja dia meninggalkan perusahaan, pergi ke Rusia bersama wanita mudanya, hanya untuk mengujiku," ucap Alan yang kini sedang menciumi tubuh Vale dengan mesra. Valeria tertawa kecil. "Jadi, semua ini adalah ujian? Ujian yang sangat mahal!" Alan mencium leher Valeria. "Ya, ujian untuk melihat apakah kita cukup kuat untuk menghadapi semua ini bersama-sama. Dan sejauh ini, ki
"Terima kasih sudah menjadi suamiku kembali. Meskipun kau membuatku sedikit khawatir tadi malam." Alan tertawa kecil. "Maaf, sayang. Aku terlalu bersemangat." Valeria mencubit lengan Alan pelan. "Lain kali, jangan terlalu bersemangat. Tapi... aku senang." Alan memeluk Valeria. "Baiklah, sayang. Aku berjanji akan lebih lembut... kecuali jika kau menginginkan sebaliknya. Malam yang luar biasa. Aku senang kita bisa menghabiskan waktu bersama seperti ini. "Aku juga. Rasanya seperti kita kembali muda lagi." "Kita akan selalu muda di hati, sayang. Selamanya."
Reinhard dan Elsa, dua anak Alan Chester Clark yang gendut dan lucu, berlarian di sekitar taman pesta pernikahan Abizar, membuat para tamu undangan tertawa. Mereka berguling-guling di atas rumput, mengejar kupu-kupu, dan saling kejar-kejaran. 'Lihatlah mereka! Seperti dua anak kelinci yang berlarian!" ucap para tamu. "Mereka sangat menggemaskan! Aku jadi ingin punya anak juga." Di sisi lain taman, Valeria, dan Violet, duduk di sebuah bangku tamu undangan, menikmati suasana pesta sambil mengobrol. Anya duduk di pangkuan Valeria, tersenyum terus tanpa henti. "Anya, kamu kenapa senyum terus? Ada yang lucu ya?" Violet tertawa. "Dia memang selalu ceria. Lihat giginya, baru tumbuh beberapa
"Jadi, anakku sudah mulai mengikuti jejak ayahnya, ya?" ucap Alan sambil tertawa. Valeria mendelik. "Jangan tertawa! Ini serius! Aku khawatir dia akan terlalu banyak pacar nanti." Alan masih tertawa. "Tenanglah. Aku yakin dia akan baik-baik saja. Setidaknya dia punya bakat alami. Mungkin suatu hari nanti dia akan menulis buku tentang pengalaman pacarannya, judulnya." "Petualangan Cinta Seorang Playboy Cilik". Valeria memukul pelan lengan Alan. "Jangan mengada-ada! Ini serius!" Alan tertawa. "Baiklah, baiklah. Aku berjanji akan membicarakan ini dengan Reinhard. Tapi jangan berharap aku akan melarangnya pacaran. Aku sendiri kan juga pernah mengalami masa-masa itu. Tapi aku akan memastikan dia tahu batasannya. Aku tidak ingin dia terluka."
Sore hari menjelang, mentari mulai terbenam, menorehkan warna jingga dan ungu di langit. Alan dan Valeria masih berbaring di ranjang, saling berpelukan. Suasana kamar masih dipenuhi aroma intim dan sisa-sisa gairah. Valeria tersenyum. "Aku merasa sangat senang. Seperti kembali ke masa pacaran kita dulu." "Aku juga. Rasanya seperti waktu berhenti, hanya ada kita berdua." "Anak-anak akan kembali dalam seminggu. Kita harus memanfaatkan waktu ini sebaik mungkin." "Tentu. Bagaimana kalau kita memasak makan malam bersama? Sesuatu yang romantis, hanya untuk kita berdua." "Ide bagus! Bagaimana kalau kita membuat pasta? Dengan saus truffle dan anggur merah?" Alan tersenyum. "Kau selalu tahu
Jan 23.00 malam baru pulang dari kantor. Ia masuk ke kamar , melihat Valeria, matanya melebar. Ia berjalan mendekat dengan langkah pasti. Kamar gelap hanya diterangi cahaya remang dari lampu tidur di meja samping ranjang. Alan berbisik, sedikit serak. "Wow..." menatap Valeria yang tertidur pulas dengan lingerie sutra berwarna merah marun. "Pekerjaan yang melelahkan di kantor, langsung sirna begitu melihatmu..." Alan mendekati Valeria dan menyentuh pipinya dengan lembut, jari-jarinya merasakan kelembutan kulit Valeria. "Lingerie itu... sangat menggoda." Ia menarik napas dalam-dalam, aroma parfum Valeria memenuhi indranya. "Kau selalu tahu bagaimana membuatku tenang dan... tergoda sekaligus." Ia menunduk, mencium lembut leher Valeria. "Kau luar biasa, Valeria." Alan kemudian berbaring di samping Valeria, memeluknya dengan erat. Ia merasakan detak jantung Valeria yang t
"Kau menginap di sini atau pulang, Boy?" "Aku langsung pulang saja, Kak. Kan ada jet pribadi Kakak." Boy tersenyum. Alan tersenyum. "Ya sudah. Aku ke ruang kerja dulu." Alan menyerahkan Anya ke Valeria. "Anya, sayang, ikut Mommy ya." Valeria menerima Anya. "Tentu, Sayang." "Reinhard dan Elsa ke mana, Kak?" "Mereka tadi, setelah berenang, katanya mau bermain di taman bersama teman-temannya. Sepertinya mereka sudah pulang juga. melihat ke arah pintu. "Ah, lihat! Mereka sudah pulang." Reinhard dan Elsa masuk, membawa beberapa mainan kecil. "Mom! Papa!" teriak Reinhard. "Paman Boy!" seru Els
Valeria segera mempersiapkan diri untuk menyusui Anya. Alan meletakkan Anya di pangkuan Valeria, dan Anya langsung menempelkan mulutnya ke dada Valeria, menghisap dengan lahapnya. Valeria menatap Anya yang sedang menyusu. "Nah, sudah tenang sekarang, ya, Sayang. Minum yang banyak biar kuat." Alan duduk di samping Valeria. "Dia memang cepat sekali laparnya." "Iya juga ya. Besok aku harus lebih sering memberinya ASI. Jangan sampai dia kelaparan lagi." Valeria menatap Anya dengan penuh kasih sayang. "Mommy sayang Anya." Alan memeluk Valeria dari belakang. "Aku juga sayang kalian semua. Keluarga kecilku yang sempurna." Anya selesai menyusu dan tertidur pulas di pangkuan Valeria. Suasana menjadi tenang dan damai. Valeria berbisik kepada Alan. "Dia sudah tidur. Tidurnya sangat nyenyak." "Kita juga perlu istirahat sebentar, Sayang. Hari ini cukup melelahkan." Valeria dan
Alan dan Valeria tetap berpelukan, tenang dan damai. Keheningan di antara mereka dipenuhi dengan cinta yang dalam dan pengertian yang mendalam. Alan berbisik pelan. "Ingatkah kau... saat kita pertama kali bertemu?" Valeria tersenyum lembut muncul di wajahnya. "Tentu saja. Di kafe kecil itu, dengan hujan yang turun deras di luar." Kenangan itu muncul kembali di benak mereka, membawa mereka kembali ke masa-masa awal hubungan mereka. Mereka mengingat perasaan gugup, debaran jantung, dan percikan cinta pertama yang mekar di antara mereka. "Saat itu... aku tahu. Aku tahu kau adalah orang yang tepat untukku." "Aku juga, Sayang. Aku merasakannya sejak pandangan pertama." Mereka saling bertukar tatapan, tatapan yang penuh cinta, kepercayaan, dan pen