Sementara itu, Abizar berjalan perlahan ke meja di sudut apartemennya. Ia membuka laci, mengambil sebuah foto kecil yang tersembunyi di antara tumpukan kertas. Foto itu menunjukkan Elsa sedang tersenyum lebar, memegang setangkai bunga mawar putih. Ia tidak tahu kapan Elsa menyelipkan foto itu di jaketnya, tapi foto itu sudah ada di sana selama berbulan-bulan. Tatapannya melembut. Hatinya menghangat, tapi juga terluka. “Kenapa aku begitu bodoh?” gumamnya. Ia menyentuh wajah Elsa di foto itu dengan ujung jarinya, seolah ingin merasakan kehangatannya. “Kenapa aku tidak menyadari semuanya lebih cepat?” Abizar tahu dirinya telah membuat kesalahan besar. Ia telah menyia-nyiakan momen berharga bersama Elsa, dan kini gadis itu mulai menjauh darinya. Tapi yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia mungkin kehilangan Elsa untuk selamanya. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke sudut ruangan. Sebuah amplop kecil tergeletak di sana, berisi surat terakhir Elsa sebelum ia meninggalkan r
Tapi senyuman itu tidak bertahan lama. Di halaman terakhir, ada kata-kata kecil yang tertulis dengan tinta hitam._'Kenapa kau harus menyentuh hatiku, Abizar? Aku hanya ingin melupakanmu.'_ Kalimat itu menghantamnya seperti badai. Ia sadar bahwa luka Elsa jauh lebih dalam dari yang ia bayangkan. Dengan buku sketsa itu di tangannya, ia tahu ia harus menemukan Elsa—tidak hanya untuk memperbaiki segalanya, tapi juga untuk mengungkapkan perasaannya yang selama ini tersembunyi.Ia menutup buku itu dengan perlahan, matanya penuh tekad. “Aku akan menemukanmu, Elsa. Tidak peduli berapa jauh kau mencoba pergi.”Tapi ketika ia melangkah pergi dari taman itu, sebuah bayangan muncul di kejauhan. Elsa berdiri di sana, di balik pohon besar, dengan mata yang penuh air mata. Tapi sebelum Abizar menyadari keberadaannya, Elsa berbalik dan menghilang dalam kegelapan.***Abizar berdiri di tengah ruang tamu rumah keluarganya yang megah. Udara
Abizar berdiri di luar pagar rumah kecil itu, menyadari bahwa ada banyak halangan di antara mereka. Ia melihat dari kejauhan, Elsa sedang duduk di taman belakang, memegang buku sketsanya. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap memancarkan keindahan yang sama seperti yang selalu ia ingat. Abizar melangkah mendekat, tapi sebelum ia mencapai gerbang, seseorang menghentikannya. Darwin Luis berdiri di sana, dengan tangan menyilang di dadanya. “Kau tidak seharusnya ada di sini,” kata Darwin dingin. Abizar menatapnya tanpa gentar. “Aku hanya ingin berbicara dengannya.” “Tidak ada yang perlu dibicarakan,” balas Darwin. “Elsa sudah cukup terluka. Kau hanya akan membuat segalanya lebih buruk.” “Aku mencintainya,” kata Abizar tegas. “Aku akan melakukan apa saja untuk melindunginya, bahkan jika itu berarti menghadapi keluargamu atau siapa pun yang mencoba menyakitinya.” Abizar mengepalkan tangan, tapi ia menaha
Elsa membuka mulutnya untuk menjawab, tapi kata-kata itu tidak keluar. Ia terlalu terkejut, terlalu terguncang. "Elsa, dengarkan aku!" suara Abizar bergetar. "Aku mencintaimu. Kau harus tahu itu. Aku tidak akan membiarkan siapa pun membawamu pergi, tidak lagi." Air mata mulai mengalir di pipi Elsa. Ia menatap Abizar dengan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Tapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, pria kedua yang tadi mundur tiba-tiba menarik Elsa ke dalam kapal. "Maaf, Tuan Abizar, tapi ini perintah!" katanya sebelum kapal mulai melaju. "Elsa!" Abizar mencoba mengejarnya, tapi sudah terlambat. Kapal itu melaju ke tengah lautan, meninggalkan Abizar berdiri di dermaga dengan tubuh basah kuyup dan hati yang hancur. Dua hari kemudian, Abizar menemukan dirinya berdiri di depan sebuah mansion tua di Lombok. Bangunan itu megah, tapi tampak sunyi dan sedikit berdebu. Ia tahu Darwin telah membawa Elsa ke tempat ini. Darwin ingin
Pagi harinya, Elsa berjalan-jalan sendirian di taman. Udara pagi yang segar memberikan sedikit ketenangan, meski pikirannya masih dipenuhi kebingungan. Ia berhenti di dekat danau kecil, memandangi air yang tenang.“Pagi yang indah, bukan?” suara Abizar terdengar dari belakangnya.Elsa menoleh, menemukan Abizar berdiri beberapa langkah darinya. Pria itu tampak lelah, tapi matanya memancarkan tekad yang kuat.“Kau masih di sini,” gumam Elsa, suaranya datar.“Aku bilang aku akan menunggumu,” jawab Abizar pelan. Ia melangkah mendekat, tapi menjaga jarak yang cukup agar Elsa tidak merasa terancam. “Aku tidak akan pergi sampai kau percaya padaku, Elsa.”Elsa menghela napas. “Abizar, aku butuh waktu. Dan aku butuh ruang. Kau tidak bisa memaksa ini.”“Aku tahu,” balas Abizar dengan nada lembut. “Tapi aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak akan pernah menyerah.”Elsa mengangguk pelan, lalu berbalik pergi. Namun, sebelum ia terl
Keesokan harinya, Abizar mencari Elsa di taman. Gadis itu duduk di bangku yang sama seperti sebelumnya, memandangi bunga-bunga yang mulai bermekaran. Wajahnya terlihat tenang, tapi Abizar tahu ada badai di dalam dirinya."Elsa," panggil Abizar lembut.Elsa menoleh, sedikit terkejut melihat Abizar di sana. "Ada apa?"Abizar duduk di sampingnya, menjaga jarak agar Elsa tidak merasa terpojok. Ia mengeluarkan surat Irfan dari sakunya dan meletakkannya di atas meja kecil di depan mereka."Aku menemukan ini," katanya pelan.Elsa menatap surat itu dengan mata membesar. Tangannya gemetar saat meraih amplop yang begitu familiar itu. "Kenapa kau membacanya?""Karena aku ingin mengerti," jawab Abizar jujur. "Aku ingin tahu apa yang membuatmu menutup hatimu seperti ini."Elsa menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. "Itu bukan urusanmu.""Tapi aku ingin itu menjadi urusanku, Elsa," kata Abizar, su
Natasya mendekat, menyentuh lengan Abizar dengan lembut, tapi pria itu segera menarik diri. “Kau berubah, Abizar. Kau tidak seperti dulu.”“Karena aku sudah tidak mau terjebak dalam permainanmu, atau permainan keluarga kita,” balasnya.Wajah Natasya berubah serius. “Kau tahu, Ebizawa tidak akan membiarkanmu begitu saja. Dia memberiku satu kesempatan terakhir untuk membuatmu sadar. Kembalilah ke jalan yang benar, Abizar. Lupakan Elsa.”“Kalau aku menolak?” Abizar menatapnya dengan mata tajam.Natasya tersenyum miring. “Kalau kau menolak, jangan salahkan aku kalau aku harus memainkan caraku sendiri.”“Coba saja,” balas Abizar penuh tantangan. “Aku tidak takut padamu atau siapa pun.”---Sementara itu, Elsa duduk di taman mansion-nya, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Surat Irfan masih terngiang-ngiang di benaknya, membuat hatinya terus berdebar tak menentu. Ia ingin percaya pada Abizar, tetapi bayangan masa lalu t
Hiro yang simpati kepada temannya itu menepuk bahunya. “Hati-hati, Abizar. Ebizawa tidak akan senang kalau kau terus melawan.”“Aku tidak peduli,” jawabnya tegas. “Aku akan melakukan apa pun untuk Elsa.”Malam semakin larut, tetapi Abizar tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan bagaimana cara menjelaskan semuanya pada Elsa. Ia tahu, kepercayaannya telah dirusak, akan membutuhkan waktu—waktu yang mungkin tidak ia miliki.Sementara itu, di sebuah kamar hotel mewah, Natasya duduk sambil tersenyum puas. Ia memegang ponselnya, membaca pesan yang ia kirimkan dengan nama Abizar. Di pikirannya, Elsa pasti akan menyerah sekarang, dan Abizar akan kembali padanya.Namun, senyum itu menghilang ketika ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Pesan itu hanya berisi satu kalimat:“Kau akan menyesal melakukan ini, Natasya.” ***Langit pagi terlihat pucat, menggambarkan suasana hati Abizar yang kacau. Ia
Beberapa hari yang lalu, Bella berjuang dengan keras di ruang operasi. Wajahnya pucat dan penuh ketakutan saat ia bersiap melahirkan anak pertamanya. Teriakan dan suara mesin yang berisik mengisi ruangan tersebut, membuatnya semakin gelisah. Bella berusaha untuk tetap tenang meski dalam hatinya ia merasa cemas. Sementara itu, di luar ruangan operasi, Rayno tiba dengan nafas tersengal-sengal. Wajahnya penuh dengan kepanikan saat ia mendengar informasi tentang keadaan Bella. Dia tidak bisa membayangkan jika terjadi sesuatu yang buruk pada istrinya. Dengan langkah terburu-buru, Rayno membanting pintu ruang operasi dan mencari cara untuk masuk. Namun, pengawal yang berjaga di pintu ruang operasi segera menghalangi langkah Rayno. Mereka mencoba untuk menjelaskan bahwa tidak ada yang boleh masuk ke dalam kecuali tim medis yang sedang menangani Bella. Namun, Rayno tidak mendengarkan kata-kata mereka. Matanya memancarkan kepanikan dan keputusasaan yang begitu besar.
"Baik Tuan, kalau begitu Saya akan menyiapkan mobil dan menunggu Anda di lobi setelah Anda sudah siap.""Hem ... pergilah." Dengan gerakan tangan dari Tuannya Tian pergi meninggalkan Juan yang membelakanginya sambil menikmati pemandangan kota Jogjakarta yang begitu terkenal dengan kuliner tradisional dan keramah tamahan warganya.'Sudah setahun Kau pergi kemana Dokter Marsya. Begitu sulit menemukanmu. Apa Kau baik-baik saja diluar sana. Semua negara sudah Aku cari tak ada satupun tanda-tanda kehadiranmu,' monolognya dengan perasaan yang begitu hampa.***Juan pergi bersama asistennya Tian dengan pakaian santai. Menikmati perjalanan di kota Jogja untuk menghilangi rasa penat belakangan ini."Kau menikmati perjalanan ini Tian.""Sangat Tuan, bagaimana dengan Anda.""Hem ... sedikit menikmati tapi kenapa malam ini agak berbeda. Lihatlah dilangit banyak bintang-bintang bersinar dan berkilau.""Banyak masyarakat awam
Hari sudah malam Juan segera membereskan pekerjaannya. Karena hari ini semua pasien sudah dia tangani dengan baik. Dia pun melihat jam yang melingkar di tangannya ternyata waktu sudah menunjukkan jam sebelas malam. Berdiri dari kursinya lalu mengambil kunci mobil di meja dan bergegas pergi melenggangkan kakinya keluar."Huff... lelah sekali hari ini," keluh Juan. Sepanjang langkahnya di koridor rumah sakit banyak perawat menyapanya tapi hanya senyum tipis ditunjukannya.Selain tampan Juan terkenal sebagai Dokter yang dingin dan tegas meskipun begitu banyak perawat dan Dokter wanita menyukainya. Juan menuju mobil sedan mewahnya yang berada di parkiran untuk segera pulang. Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit dia pun sampai dikediamannya yang tidak jauh dari rumah sakit. Rumah modern yang dia beli hasil dari kerja kerasnya memang tidak semewah rumah orangtuanya. Tapi dia sangat bangga karena tidak bergantung pada orangtua.Ada getaran ponsel di
"Hei lihat apa Kamu?!""Apa? Aneh juga kalau dibayangkan. Seorang yang selalu merasa terlihat cantik di mata orang lain kini penampakannya seperti ini, kacau sekali.""Hph. Bwa ha ha seperti kungfu panda. Ha ha ha!" tunjuk Juan sampai tertawa terbahak-bahak."Sial! Kau juga seperti Casper selalu saja datang tak dijemput pulang nyasar!" gerutu Marsya yang keluar dari mobil sambil menutup pintu dengan kencang. Dia melewati Juan begitu saja sambil menghapus riasannya yang berantakan."Ups ... rupanya betina ini sedang patah hati ya?" ledek Juan yang sengaja mengikuti langkah Marsya dibelakangnya."Apa terjadi sesuatu dengan pangeranmu itu?""Tidak! Jangan banyak bual Kau, bisa diam nggak! Sana pergi pasienmu tuh sudah antri.""Ha ha ha masa sih? Ah ... jadi ingat sesuatu, belum lama waktu Kami berkumpul di rumah Bima. Kekasihmu itu diam-diam sibuk chat dengan seorang wanita loh. Mungkin Bima sudah bosan sama Kamu, Dok?"
Hari sudah malam Juan segera membereskan pekerjaannya. Karena hari ini semua pasien sudah dia tangani dengan baik. Dia pun melihat jam yang melingkar di tangannya ternyata waktu sudah menunjukkan jam sebelas malam. Berdiri dari kursinya lalu mengambil kunci mobil di meja dan bergegas pergi melenggangkan kakinya keluar."Huff... lelah sekali hari ini," keluh Juan. Sepanjang langkahnya di koridor rumah sakit banyak perawat menyapanya tapi hanya senyum tipis ditunjukannya.Selain tampan Juan terkenal sebagai Dokter yang dingin dan tegas meskipun begitu banyak perawat dan Dokter wanita menyukainya. Juan menuju mobil sedan mewahnya yang berada di parkiran untuk segera pulang. Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit dia pun sampai dikediamannya yang tidak jauh dari rumah sakit. Rumah modern yang dia beli hasil dari kerja kerasnya memang tidak semewah rumah orangtuanya. Tapi dia sangat bangga karena tidak bergantung pada orangtua.Ada getaran ponsel di
Di dalam rumah mewah dengan penjagaan ketat, Bella duduk di sofa menunduk dengan meremas tangannya. Di depannya, ada wanita paruh baya yang masih sangat cantik seperti gadis dan seorang pria paruh baya yang tampan berjalan mondar mandir di depannya. "Siapa namamu, sayang?" tanya Yoona lembut. "Bella, Nyonya." "Bella saja?" 'Nama belakangku Ahn Kyo Nyonya," jawab Bella pelan. "Dimana orangtuamu? Apa mereka tidak khawatir kamu hilang begitu lama?" tanya Bella lagi. "Dia yatim piatu, sayang," jawab Raydan yang kini sudah duduk di samping istrinya, Yoona. "Oh, maaf nak. Saya tidak tahu. Tapi wajahmu mengingatkanku dengan seseorang teman," ucap Yoona. "Memangnya kau punya teman?" ledek Raydan. "Ih, Raydan, temanku banyak. Bukan hanya sora saja," kesal Yoona yang merajuk. "Ya, aku hanya bercanda, sayang." Raydan pun memeluk Yoona lalu menc
Rayno semakin frustrasi karena tidak bisa menemukan Bella. Ia duduk di ruang kerjanya, sambil memikirkan kemungkinan di mana Bella berada. Anak buahnya Reza, datang mendekatinya. "Maaf Bos, kami sudah mencari kemana-mana tapi belum menemukan jejak Nona Bella. "Astaga, tidak bisa terus begini. Aku perintahkan kalian untuk memperluas pencarian ke luar negeri. Bella pasti ada di luar sana." "Siap Bos, tapi Mr Edi meminta bayaran yang cukup tinggi untuk pencarian selanjutnya." "Saya tidak perduli dengan biaya. Bella harus segera ditemukan dan saya tidak akan berhenti mencarinya sampai dia ditemukan. Saya percaya kalian pasti bisa menemukan Bella." "Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk menemukannya, Bos." Tanpa ragu lagi, Reza langsung menghubungi agen pencarian internasional yang bernama Mr Edi untuk membantu mereka menemukan Nona Bella. * *
Seketika suasana ruangan menjadi hening dan nafas mereka yang berada disana terasa sesak. "Bisa Kita mulai Pak penghulu, maaf seperti yang ku bilang calon istriku itu sangat pemalu," sarkas Juan kepada Marsya."Ah ... baik Tuan mari Kita mulai ijab kabulnya."Juan memaksa Marsya duduk bersamanya dan memaksa wanita itu menandatangani beberapa dokumen pernikahan. Tentu dengan ancaman menembak Siska. Setelah dua jam terjadi drama di dalam kamar Juan. Akhirnya Juan dan Marsya sah menjadi sepasang suami istri. Juan memasang cincin pernikahan di jari manis Marsya begitupun Marsya yang terpaksa memasangkan cincin ke jari Juan. Tanpa malu Juan mencium bibir ranum Marsya wanita itu tak melawan karena tangannya Juan menahan belakang kepalanya. Setelah puas mencium Marsya, Juan meminta semua yang berada disana keluar kecuali Tian dan Siska."Kalian tidur disini saja malam ini jangan ada yang berani kabur kalau tidak menurut, klinik kecilmu itu akan ku ratak
"Hei lihat apa Kamu?!""Apa? Aneh juga kalau dibayangkan. Seorang yang selalu merasa terlihat cantik di mata orang lain kini penampakannya seperti ini, kacau sekali.""Hph. Bwa ha ha seperti kungfu panda. Ha ha ha!" tunjuk Juan sampai tertawa terbahak-bahak."Sial! Kau juga seperti Casper selalu saja datang tak dijemput pulang nyasar!" gerutu Marsya yang keluar dari mobil sambil menutup pintu dengan kencang. Dia melewati Juan begitu saja sambil menghapus riasannya yang berantakan."Ups ... rupanya betina ini sedang patah hati ya?" ledek Juan yang sengaja mengikuti langkah Marsya dibelakangnya."Apa terjadi sesuatu dengan pangeranmu itu?""Tidak! Jangan banyak bual Kau, bisa diam nggak! Sana pergi pasienmu tuh sudah antri.""Ha ha ha masa sih? Ah ... jadi ingat sesuatu, belum lama waktu Kami berkumpul di rumah Bima. Kekasihmu itu diam-diam sibuk chat dengan seorang wanita loh. Mungkin Bima sudah bosan sama Kamu, Dok?"