Keesokan harinya, Gerald mencari Diana di taman. Gadis itu duduk di bangku yang sama seperti sebelumnya, memandangi bunga-bunga yang mulai bermekaran. Wajahnya terlihat tenang, tapi Gerald tahu ada badai di dalam dirinya. "Diana," panggil Gerald lembut. Diana menoleh, sedikit terkejut melihat Gerald di sana. "Ada apa?" Gerald duduk di sampingnya, menjaga jarak agar Diana tidak merasa terpojok. Ia mengeluarkan surat Irfan dari sakunya dan meletakkannya di atas meja kecil di depan mereka. "Aku menemukan ini," katanya pelan. Diana menatap surat itu dengan mata membesar. Tangannya gemetar saat meraih amplop yang begitu familiar itu. "Kenapa kau membacanya?" "Karena aku ingin mengerti," jawab Gerald jujur. "Aku ingin tahu apa yang membuatmu menutup hatimu seperti ini." Diana menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. "Itu bukan urusanmu." "Tapi aku ingin itu menjadi urusanku, Diana," kata Gerald, suaranya penuh dengan ketulusan. "Aku ingin menjadi se
Natasya mendekat, menyentuh lengan Gerald dengan lembut, tapi pria itu segera menarik diri. “Kau berubah, Gerald. Kau tidak seperti dulu.” “Karena aku sudah tidak mau terjebak dalam permainanmu, atau permainan keluarga kita,” balasnya. Wajah Natasya berubah serius. “Kau tahu, Kakek tidak akan membiarkanmu begitu saja. Dia memberimu satu kesempatan terakhir untuk membuatmu sadar. Kembalilah ke jalan yang benar, Gerald. Lupakan Diana.” “Kalau aku menolak?” Gerald menatapnya dengan mata tajam. Natasya tersenyum miring. “Kalau kau menolak, jangan salahkan aku kalau aku harus memainkan caraku sendiri.” “Coba saja,” balas Gerald penuh tantangan. “Aku tidak takut padamu atau siapa pun.” --- Sementara itu, Diana duduk di taman mansion-nya, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Surat Irfan masih terngiang-ngiang di benaknya, membuat hatinya terus berdebar tak menentu. Ia ingin percaya pada Gerald, tetapi bayangan masa lalu terlalu kuat untuk diabaikan. Sahabatnya, Livia, du
Abizar yang simpati kepada Gerald itu menepuk bahunya. “Hati-hati, Gerald. Ludwig tidak akan diam saja kalau kau terus melawan.” “Aku tidak peduli,” jawabnya tegas. “Aku akan melakukan apa pun untuk Diana.” Malam semakin larut, tetapi Gerald tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan bagaimana cara menjelaskan semuanya pada Diana. Ia tahu, kepercayaannya telah dirusak, akan membutuhkan waktu—waktu yang mungkin tidak ia miliki. Sementara itu, di sebuah kamar hotel mewah, Natasya duduk sambil tersenyum puas. Ia memegang ponselnya, membaca pesan yang ia kirimkan dengan nama Gerald. Di pikirannya, Diana pasti akan menyerah sekarang, dan Gerald akan kembali padanya. Namun, senyum itu menghilang ketika ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Pesan itu hanya berisi satu kalimat. 'Kau akan menyesal melakukan ini, Natasya.' *** Langit pagi terlihat pucat, menggambarkan suasana hati Gerald yang kacau. Ia duduk sendirian di ruang tamu mansion-nya, membiarkan kehe
Diana menyerahkan ponselnya tanpa berkata apa-apa. Livia membaca pesan itu, lalu menghela napas panjang. “Diana, ini mungkin jebakan. Kau tahu orang ini tidak akan berhenti sampai dia memisahkan kalian.” “Tapi bagaimana kalau ini benar? Bagaimana kalau aku hanya menjadi permainan lain untuk Gerald?” “Kau tidak bisa mengambil kesimpulan hanya dari foto,” balas Livia. “Kau harus dengar penjelasannya.” “Penjelasan apa?” Diana menggelengkan kepala. “Semua ini sudah cukup jelas.” *** Malam itu, Diana kembali ke mansion. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Seluruh situasi terasa salah. Saat ia masuk ke ruang kerjanya, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Abizar muncul di layar: 'Natasya terlibat lebih dalam dari yang kita duga. Aku menemukan bukti tambahan.' Namun sebelum ia sempat membaca lebih jauh, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, Diana menelepon. Gerald langsung menjawab, meskipun dadanya berdebar kencang. 'Diana?' 'Kita perlu bicara.' 'Diana, aku bisa jela
'Aku tidak peduli,' Gerald memotong. 'Dia sudah menghancurkan terlalu banyak. Aku tidak akan membiarkannya tenang.' Gerald menutup telepon, lalu duduk di kursinya. Ia tahu ini bukan hanya tentang Natasya. Ini tentang membuktikan pada Diana bahwa ia tidak seperti yang wanita itu pikirkan. Namun, di balik tekadnya, ada rasa takut yang tak bisa ia abaikan—bagaimana jika ia benar-benar kehilangan Diana? *** Di sisi lain kota, Natasya duduk di kamarnya dengan senyum puas. Ponselnya berbunyi, dan ia langsung menjawab panggilan dari salah satu orang suruhannya. 'Semua berjalan sesuai rencana, Nona,' suara pria itu terdengar di ujung telepon. 'Foto-fotonya sudah diterima Diana, dan reaksi yang kita harapkan terjadi.' 'Bagus,' jawab Natasya dengan nada puas. 'Pastikan Gerald tetap dalam tekanan. Aku ingin dia melihat bahwa tidak ada cara untuk memenangkan Diana.' 'Dimengerti,' jawab pria itu sebelum telepon diputus. Natasya menatap keluar jendela, senyum liciknya makin melebar. “I
Di mansion Diana Diana duduk di ruang tamu, membolak-balik halaman sebuah novel tanpa benar-benar membaca isinya. Kepalanya dipenuhi kenangan tentang Gerald. Bagaimana pria itu berusaha menjelaskan, bagaimana tatapannya penuh dengan rasa sakit mendalam. Tapi foto itu... terlalu jelas. Livia masuk membawa secangkir teh hangat dan duduk di sebelah Diana. “Kau masih memikirkannya, ya?” tanyanya pelan. Diana mendesah. “Aku ingin percaya padanya, Liv. Tapi aku tidak bisa. Selalu ada sesuatu yang membuatku ragu.” “Kalau begitu, kau harus memberi waktu pada dirimu sendiri,” kata Livia bijak. “Tapi aku juga yakin, kalau Gerald benar-benar mencintaimu, dia tidak akan menyerah begitu saja.” Diana hanya mengangguk pelan. Ia ingin percaya bahwa Gerald adalah orang yang berbeda, tetapi rasa sakit dari masa lalu terlalu sulit untuk diabaikan. *** Di sisi lain kota Natasya sedang duduk di sebuah lounge mewah, menikmati segelas anggur merah. Senyumnya penuh kemenangan. Ia tahu
Hatinya yang sudah terlanjur hancur kini dipenuhi oleh keraguan yang tak berujung. Ia ingin percaya pada Gerald, tetapi luka itu terlalu dalam. "Diana..." Gerald memanggilnya dengan suara yang hampir bergetar. "Aku tak peduli seberapa sulitnya ini. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Dan aku akan melakukan apa pun untuk membuktikan itu." Diana menggenggam dokumen di tangannya erat-erat. "Kau bilang mencintaiku, tapi selama ini kau selalu menutup dirimu dariku. Kau selalu menjauh, membuatku merasa aku hanya seorang asing di hidupmu. Bagaimana aku bisa percaya itu cinta?" Gerald terdiam kata-kata Diana seperti tamparan keras yang membangunkannya dari semua kebodohannya. Ia ingin menjelaskan, tetapi tak tahu harus mulai dari mana. *** Di sisi lain kota, di sebuah lounge mewah Natasya memutar gelas anggurnya dengan gerakan santai, menikmati setiap detik kemenangannya. Senyum puas tak pernah lepas dari wajahnya. Baginya, Gerald sudah kalah, dan Diana sudah membuktikan dirin
"Aku tidak memintanya membuat keputusan sekarang," jawab Gerald. "Aku hanya ingin berbicara dengannya." Livia menatap Gerald sejenak sebelum mempersilakannya masuk. Diana muncul dari ruang tengah, dan ekspresinya tak bisa ditebak. Ia terlihat ragu, tetapi tidak mengusir Gerald. "Apa yang kau inginkan, Gerald?" tanyanya pelan. Gerald menyerahkan salinan dokumen dan rekaman itu. "Ini salinan semua bukti yang kutemukan. Aku ingin kau tahu bahwa aku akan terus berjuang untuk membersihkan namaku dan memenangkan kembali kepercayaanmu." Diana memandang dokumen itu tanpa mengambilnya. "Apa kau pikir semua ini akan membuatku langsung memaafkanmu?" "Tidak," jawab Gerald, suaranya tegas. "Aku tidak berharap kau langsung memaafkanku. Aku hanya ingin kau tahu kebenarannya. Apa pun keputusanmu, aku akan menghormatinya." Diana terdiam lama, lalu akhirnya mengambil dokumen itu. "Aku akan memikirkannya," katanya singkat. Gerald mengangguk, lalu melangkah keluar tanpa mengatakan apa-apa la
Alan memerintahkan baby sister datang ke hotel untuk menjaga Anya. Sedangkan dia ingin bermesraan bersama Valeria. "Aku bukannya senang merayakan wasiatmu, tapi aku speechless kenapa Ayah Satia tidak jujur dan malah berhutang banyak denganku. Apa dia hanya pura-pura saja? Pantas saja dia meninggalkan perusahaan, pergi ke Rusia bersama wanita mudanya, hanya untuk mengujiku," ucap Alan yang kini sedang menciumi tubuh Vale dengan mesra. Valeria tertawa kecil. "Jadi, semua ini adalah ujian? Ujian yang sangat mahal!" Alan mencium leher Valeria. "Ya, ujian untuk melihat apakah kita cukup kuat untuk menghadapi semua ini bersama-sama. Dan sejauh ini, ki
"Terima kasih sudah menjadi suamiku kembali. Meskipun kau membuatku sedikit khawatir tadi malam." Alan tertawa kecil. "Maaf, sayang. Aku terlalu bersemangat." Valeria mencubit lengan Alan pelan. "Lain kali, jangan terlalu bersemangat. Tapi... aku senang." Alan memeluk Valeria. "Baiklah, sayang. Aku berjanji akan lebih lembut... kecuali jika kau menginginkan sebaliknya. Malam yang luar biasa. Aku senang kita bisa menghabiskan waktu bersama seperti ini. "Aku juga. Rasanya seperti kita kembali muda lagi." "Kita akan selalu muda di hati, sayang. Selamanya."
Reinhard dan Elsa, dua anak Alan Chester Clark yang gendut dan lucu, berlarian di sekitar taman pesta pernikahan Abizar, membuat para tamu undangan tertawa. Mereka berguling-guling di atas rumput, mengejar kupu-kupu, dan saling kejar-kejaran. 'Lihatlah mereka! Seperti dua anak kelinci yang berlarian!" ucap para tamu. "Mereka sangat menggemaskan! Aku jadi ingin punya anak juga." Di sisi lain taman, Valeria, dan Violet, duduk di sebuah bangku tamu undangan, menikmati suasana pesta sambil mengobrol. Anya duduk di pangkuan Valeria, tersenyum terus tanpa henti. "Anya, kamu kenapa senyum terus? Ada yang lucu ya?" Violet tertawa. "Dia memang selalu ceria. Lihat giginya, baru tumbuh beberapa
"Jadi, anakku sudah mulai mengikuti jejak ayahnya, ya?" ucap Alan sambil tertawa. Valeria mendelik. "Jangan tertawa! Ini serius! Aku khawatir dia akan terlalu banyak pacar nanti." Alan masih tertawa. "Tenanglah. Aku yakin dia akan baik-baik saja. Setidaknya dia punya bakat alami. Mungkin suatu hari nanti dia akan menulis buku tentang pengalaman pacarannya, judulnya." "Petualangan Cinta Seorang Playboy Cilik". Valeria memukul pelan lengan Alan. "Jangan mengada-ada! Ini serius!" Alan tertawa. "Baiklah, baiklah. Aku berjanji akan membicarakan ini dengan Reinhard. Tapi jangan berharap aku akan melarangnya pacaran. Aku sendiri kan juga pernah mengalami masa-masa itu. Tapi aku akan memastikan dia tahu batasannya. Aku tidak ingin dia terluka."
Sore hari menjelang, mentari mulai terbenam, menorehkan warna jingga dan ungu di langit. Alan dan Valeria masih berbaring di ranjang, saling berpelukan. Suasana kamar masih dipenuhi aroma intim dan sisa-sisa gairah. Valeria tersenyum. "Aku merasa sangat senang. Seperti kembali ke masa pacaran kita dulu." "Aku juga. Rasanya seperti waktu berhenti, hanya ada kita berdua." "Anak-anak akan kembali dalam seminggu. Kita harus memanfaatkan waktu ini sebaik mungkin." "Tentu. Bagaimana kalau kita memasak makan malam bersama? Sesuatu yang romantis, hanya untuk kita berdua." "Ide bagus! Bagaimana kalau kita membuat pasta? Dengan saus truffle dan anggur merah?" Alan tersenyum. "Kau selalu tahu
Jan 23.00 malam baru pulang dari kantor. Ia masuk ke kamar , melihat Valeria, matanya melebar. Ia berjalan mendekat dengan langkah pasti. Kamar gelap hanya diterangi cahaya remang dari lampu tidur di meja samping ranjang. Alan berbisik, sedikit serak. "Wow..." menatap Valeria yang tertidur pulas dengan lingerie sutra berwarna merah marun. "Pekerjaan yang melelahkan di kantor, langsung sirna begitu melihatmu..." Alan mendekati Valeria dan menyentuh pipinya dengan lembut, jari-jarinya merasakan kelembutan kulit Valeria. "Lingerie itu... sangat menggoda." Ia menarik napas dalam-dalam, aroma parfum Valeria memenuhi indranya. "Kau selalu tahu bagaimana membuatku tenang dan... tergoda sekaligus." Ia menunduk, mencium lembut leher Valeria. "Kau luar biasa, Valeria." Alan kemudian berbaring di samping Valeria, memeluknya dengan erat. Ia merasakan detak jantung Valeria yang t
"Kau menginap di sini atau pulang, Boy?" "Aku langsung pulang saja, Kak. Kan ada jet pribadi Kakak." Boy tersenyum. Alan tersenyum. "Ya sudah. Aku ke ruang kerja dulu." Alan menyerahkan Anya ke Valeria. "Anya, sayang, ikut Mommy ya." Valeria menerima Anya. "Tentu, Sayang." "Reinhard dan Elsa ke mana, Kak?" "Mereka tadi, setelah berenang, katanya mau bermain di taman bersama teman-temannya. Sepertinya mereka sudah pulang juga. melihat ke arah pintu. "Ah, lihat! Mereka sudah pulang." Reinhard dan Elsa masuk, membawa beberapa mainan kecil. "Mom! Papa!" teriak Reinhard. "Paman Boy!" seru Els
Valeria segera mempersiapkan diri untuk menyusui Anya. Alan meletakkan Anya di pangkuan Valeria, dan Anya langsung menempelkan mulutnya ke dada Valeria, menghisap dengan lahapnya. Valeria menatap Anya yang sedang menyusu. "Nah, sudah tenang sekarang, ya, Sayang. Minum yang banyak biar kuat." Alan duduk di samping Valeria. "Dia memang cepat sekali laparnya." "Iya juga ya. Besok aku harus lebih sering memberinya ASI. Jangan sampai dia kelaparan lagi." Valeria menatap Anya dengan penuh kasih sayang. "Mommy sayang Anya." Alan memeluk Valeria dari belakang. "Aku juga sayang kalian semua. Keluarga kecilku yang sempurna." Anya selesai menyusu dan tertidur pulas di pangkuan Valeria. Suasana menjadi tenang dan damai. Valeria berbisik kepada Alan. "Dia sudah tidur. Tidurnya sangat nyenyak." "Kita juga perlu istirahat sebentar, Sayang. Hari ini cukup melelahkan." Valeria dan
Alan dan Valeria tetap berpelukan, tenang dan damai. Keheningan di antara mereka dipenuhi dengan cinta yang dalam dan pengertian yang mendalam. Alan berbisik pelan. "Ingatkah kau... saat kita pertama kali bertemu?" Valeria tersenyum lembut muncul di wajahnya. "Tentu saja. Di kafe kecil itu, dengan hujan yang turun deras di luar." Kenangan itu muncul kembali di benak mereka, membawa mereka kembali ke masa-masa awal hubungan mereka. Mereka mengingat perasaan gugup, debaran jantung, dan percikan cinta pertama yang mekar di antara mereka. "Saat itu... aku tahu. Aku tahu kau adalah orang yang tepat untukku." "Aku juga, Sayang. Aku merasakannya sejak pandangan pertama." Mereka saling bertukar tatapan, tatapan yang penuh cinta, kepercayaan, dan pen