Di mansion Elsa
Elsa duduk di ruang tamu, membolak-balik halaman sebuah novel tanpa benar-benar membaca isinya. Kepalanya dipenuhi kenangan tentang Abizar. Bagaimana pria itu berusaha menjelaskan, bagaimana tatapannya penuh dengan rasa sakit mendalam. Tapi foto itu... terlalu jelas. Livia masuk membawa secangkir teh hangat dan duduk di sebelah Elsa. “Kau masih memikirkannya, ya?” tanyanya pelan. Elsa mendesah. “Aku ingin percaya padanya, Liv. Tapi aku tidak bisa. Selalu ada sesuatu yang membuatku ragu.” “Kalau begitu, kau harus memberi waktu pada dirimu sendiri,” kata Livia bijak. “Tapi aku juga yakin, kalau Abizar benar-benar mencintaimu, dia tidak akan menyerah begitu saja.” Elsa hanya mengangguk pelan. Ia ingin percaya bahwa Abizar adalah orang yang berbeda, tetapi rasa sakit dari masa lalu terlalu sulit untuk diabaikan. --- Di sisi lain kotaHatinya yang sudah terlanjur hancur kini dipenuhi oleh keraguan yang tak berujung. Ia ingin percaya pada Abizar, tetapi luka itu terlalu dalam."Elsa..." Abizar memanggilnya dengan suara yang hampir bergetar. "Aku tak peduli seberapa sulitnya ini. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Dan aku akan melakukan apa pun untuk membuktikan itu."Elsa menggenggam dokumen di tangannya erat-erat. "Kau bilang mencintaiku, tapi selama ini kau selalu menutup dirimu dariku. Kau selalu menjauh, membuatku merasa aku hanya seorang asing di hidupmu. Bagaimana aku bisa percaya itu cinta?"Abizar terdiam. Kata-kata Elsa seperti tamparan keras yang membangunkannya dari semua kebodohannya. Ia ingin menjelaskan, tetapi tak tahu harus mulai dari mana.---Di sisi lain kota, di sebuah lounge mewahNatasya memutar gelas anggurnya dengan gerakan santai, menikmati setiap detik kemenangannya. Senyum puas tak pernah lepas dari wajahnya. Baginya, Abizar su
"Aku tidak memintanya membuat keputusan sekarang," jawab Abizar. "Aku hanya ingin berbicara dengannya."Livia menatap Abizar sejenak sebelum mempersilakannya masuk. Elsa muncul dari ruang tengah, dan ekspresinya tak bisa ditebak. Ia terlihat ragu, tetapi tidak mengusir Abizar."Apa yang kau inginkan, Abizar?" tanyanya pelan.Abizar menyerahkan salinan dokumen dan rekaman itu. "Ini salinan semua bukti yang kutemukan. Aku ingin kau tahu bahwa aku akan terus berjuang untuk membersihkan namaku dan memenangkan kembali kepercayaanmu."Elsa memandang dokumen itu tanpa mengambilnya. "Apa kau pikir semua ini akan membuatku langsung memaafkanmu?""Tidak," jawab Abizar, suaranya tegas. "Aku tidak berharap kau langsung memaafkanku. Aku hanya ingin kau tahu kebenarannya. Apa pun keputusanmu, aku akan menghormatinya."Elsa terdiam lama, lalu akhirnya mengambil dokumen itu. "Aku akan memikirkannya," katanya singkat.Abizar mengangguk,
Elsa bangkit dari sofa, terkejut melihat kakak iparnya berdiri di pintu. “Darwin, ada apa?” Darwin melangkah masuk, tatapannya tajam seperti biasa. “Kita perlu bicara.” Elsa ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Di ruang tamu.” Saat mereka duduk, Darwin langsung memulai pembicaraan tanpa basa-basi. “Kudengar Abizar mendekatimu lagi.” “Darwin, aku—” “Aku tidak datang untuk mendengar alasanmu,” potong Darwin. “Aku hanya ingin memperingatkanmu. Abizar bukan pria yang tepat untukmu. Dia berbahaya, Elsa.” “Berbahaya?” Elsa menatap Darwin dengan alis terangkat. “Darwin, kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia sudah membuktikan semuanya. Semua itu adalah jebakan Natasya!” “Tapi itu tidak mengubah siapa dia,” kata Darwin dengan nada yang semakin tegas. “Dia masih seseorang yang terkait dengan mafia. Kau tahu apa yang akan terjadi jik
Livia menyandarkan punggungnya di sofa, menatap sahabatnya penuh empati. “Tapi apa Darwin tahu bagaimana perasaanmu? Apa kau pernah memberitahunya?” Elsa mendesah panjang. “Percuma, Liv. Darwin tidak mendengarkan. Baginya, aku hanyalah seseorang yang harus dia lindungi, meskipun itu berarti mengabaikan apa yang aku inginkan.” “Tapi ini hidupmu, Elsa,” balas Livia dengan nada lebih tegas. “Kau tidak bisa membiarkan Darwin terus mengontrol keputusanmu.” Elsa memandang Livia, matanya dipenuhi keraguan dan rasa takut. “Dan bagaimana kalau dia benar? Bagaimana kalau Abizar benar-benar berbahaya?” Livia menggeleng perlahan. “Aku tidak percaya itu. Dari caranya memperjuangkanmu, aku bisa lihat dia tulus. Mungkin kau harus percaya padanya, Elsa.” Hening sejenak melingkupi mereka, hanya suara hujan yang terdengar. Elsa tahu Livia mungkin benar, tetapi rasa takutnya pada masa lalu Abizar dan ancaman Darwin membuatnya s
Saat tiba di ruang tamu, ia menemukan Abizar berdiri di tengah ruangan. Basah kuyup karena hujan, tetapi sorot matanya tetap tajam, penuh tekad. Elsa berhenti beberapa langkah darinya, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.“Kenapa kau di sini?” tanyanya pelan, tetapi nada suaranya sarat dengan emosi.“Aku ingin kau mendengar semuanya,” jawab Abizar. “Tentang aku, tentang Darwin, dan tentang alasan kenapa aku tidak akan pernah berhenti memperjuangkanmu.”Elsa terdiam. Kata-kata itu mengguncang hatinya, tetapi ia tidak ingin terlihat lemah. “Darwin tidak akan membiarkan kita bersama, Abizar. Dia sudah memutuskan. Dan aku … aku tidak bisa melawan keluargaku.”Abizar melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya beberapa langkah. “Kau bisa melawan, Elsa. Aku tahu kau bisa. Aku tahu kau lebih kuat dari yang kau kira.”Elsa menggeleng, air matanya mulai menggenang. “Aku tidak sekuat itu. Dan aku tidak ingin melihatmu terluka karenaku.”
Suasana semakin memanas ketika Maya Agatha, istri Darwin, tiba-tiba muncul di ruang tamu. Ia memandang situasi itu dengan cemas, lalu mendekati Elsa.“Elsa, apa yang sebenarnya terjadi di sini?” tanyanya dengan lembut.Elsa menatap Maya dengan mata yang penuh air mata. “Aku mencintai Abizar, Maya. Tapi Darwin tidak akan membiarkan aku bersamanya.”Maya memandang Darwin dengan tatapan penuh kekecewaan. “Darwin, kau tidak bisa terus-menerus mengontrol hidup Elsa. Kau harus membiarkannya membuat keputusannya sendiri.”“Dia tidak tahu apa yang terbaik untuk dirinya!” balas Darwin dengan frustrasi.Abizar menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Darwin, aku tahu kau hanya ingin melindungi Elsa. Tapi kau harus sadar bahwa dengan mencoba mengontrol hidupnya, kau justru menyakitinya. Biarkan dia memilih.”---Puncak EmosiSuasana di ruangan itu terasa semakin tegang. Elsa berdiri di tengah-tengah mereka, merasa ter
Abizar menghela napas panjang, seolah sudah menyiapkan diri untuk jawaban ini sejak lama. “Aku siap kehilangan segalanya. Selama aku tidak kehilangan dirimu.” Suaranya tegas, tanpa keraguan sedikit pun. “Aku tak peduli apa yang akan terjadi. Aku tak peduli berapa banyak musuh yang akan datang, atau betapa sulitnya hidup kita nanti. Aku hanya ingin kamu, hanya kamu, Elsa.”Kata-kata Abizar menggema di hati Elsa. Ia bisa merasakan ketulusan dalam setiap kalimat yang diucapkannya, dan seketika itu juga, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ketakutannya tak lagi bisa menahan langkahnya. Meski perasaan takut itu masih ada, ada juga sebuah keberanian yang mulai tumbuh. Keberanian untuk memilih kebahagiaannya, meskipun itu berarti harus melawan segala yang sudah ia kenal.“Abizar...” Elsa menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air matanya yang sudah hampir jatuh. “Aku memilihmu. Aku memilih kita.”Abizar terdiam sejenak, lalu sebuah senyuman yang tulus mun
Elsa hanya mengangguk, tangannya menggenggam erat ujung gaun putih yang ia kenakan. Sesuatu dalam hatinya berkata bahwa Abizar tulus. Tetapi ketakutan tetap membayang. Masa depan mereka, tantangan yang menanti, semuanya terasa begitu besar.Pintu ruang tamu terbuka dengan keras, dan masuklah Darwin, diikuti oleh Maya. Wajah Darwin terlihat gelap, lebih serius dari biasanya. Maya, yang selalu menjadi penengah, kali ini tampak hanya mengamati, duduk di salah satu kursi tanpa mengatakan apa-apa. Elsa merasakan perbedaan pada dirinya—sebuah ketegangan yang baru, yang tak pernah ada sebelumnya.Darwin menatap Abizar dengan tatapan yang sangat tajam. “Abizar, aku sudah memberi kamu kesempatan. Tapi sekarang, aku ingin mendengarnya langsung darimu. Apa yang sebenarnya terjadi antara kau dan adikku?” Suara Darwin rendah namun penuh ancaman, dan Elsa merasakan getaran di dalam dadanya. Ini bukan pertemuan biasa.Abizar menghela napas, matanya berseri-seri, namun je
Elsa memutar video yang dikirim Natasya. Suara dari video itu mengisi ruang yang sebelumnya penuh dengan keheningan. Elsa menatap wajah Abizar yang mulai berubah, wajahnya yang biasanya tegas kini terlihat cemas. Dia menghela napas, mencoba mencari cara untuk menjelaskan, namun Elsa sudah terlalu lama tenggelam dalam pikirannya sendiri untuk bisa mendengar penjelasan apa pun. Setelah video selesai, Elsa menatapnya dengan tajam. “Kamu bilang... kamu hanya memanfaatkan aku untuk keluar dari dunia ini. Itu benar, kan?” Abizar terdiam. Matanya yang penuh rasa cemas itu beralih ke layar ponsel Elsa, lalu kembali padanya. “Elsa, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku tidak pernah...” Abizar berhenti, menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. “Aku tahu, ini terlihat buruk. Sangat buruk. Tapi... percayalah, aku tidak pernah berniat untuk melukai kamu.” Elsa bisa melihat bahwa Abizar sedang berusaha keras untuk menjelask
Di mansion yang sepi, Elsa duduk terjaga di ruang tamu. Hujan telah berhenti, tapi ketenangan malam tidak mampu mengusir kegelisahan dalam hatinya. Abizar yang tadi telah pergi untuk menyiapkan beberapa hal, meninggalkannya sendirian. Meskipun ia tahu Abizar bertujuan untuk melindunginya, Elsa merasa jauh lebih takut daripada sebelumnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Semua pilihan terasa salah. Dan ketika ia menghadap ke luar jendela, melihat cahaya kota yang redup, Elsa menyadari bahwa cinta memang sebuah permainan berbahaya—dan mungkin, kali ini, mereka tidak akan bisa keluar dari permainan ini tanpa mengorbankan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.Hujan yang tadi malam mengguyur perlahan memudar, tapi bekasnya masih terasa. Pagi itu, udara terasa berat, seolah setiap hembusan angin membawa pesan yang tidak ingin diterima oleh siapa pun yang mendengarnya. Di luar jendela, langit tampak cerah, tetapi dalam hati Elsa, ada awan kelabu yang men
Abizar mengalihkan pandangannya dari luar jendela, menatap Elsa dengan mata yang penuh perhitungan. “Aku... aku tidak ingin kamu terjebak dalam bahaya ini lebih lama. Aku tidak ingin melihat kamu terluka karena pilihan yang aku buat.” Elsa menunduk, seketika perasaan bersalah yang terus membayangi hatinya kembali muncul. “Tapi, aku yang memilih ini. Aku yang membiarkan kamu masuk dalam hidupku, Abizar. Aku yang tidak berpikir jauh ke depan. Sekarang, kita berdua terjebak.” Abizar menggenggam tangan Elsa dengan lembut, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. “Tidak, Elsa. Aku yang memutuskan untuk berada di sini. Semua yang terjadi, aku yang memilih. Jangan pernah merasa bersalah atas ini. Ini adalah jalan yang aku pilih, dan aku akan menanggung semua risikonya.” Tapi Elsa tahu—rasa takut itu ada di mata Abizar. Ia bukan hanya khawatir tentang dirinya, tetapi juga tentang orang-orang yang akan mencoba merusak hubungan mereka. Elsa bisa
Ebizawa tersenyum tipis, seolah ia sudah menduga jawaban itu. “Kamu mungkin sudah meninggalkan dunia itu, tapi dunia itu tidak akan pernah meninggalkanmu. Kami punya cara untuk menarikmu kembali, Abizar. Kamu tahu itu.”Elsa menatap Abizar dengan rasa takut yang semakin membesar. “Apa maksudmu? Apa yang akan mereka lakukan padamu?” suaranya bergetar, penuh kekhawatiran.Abizar menatap Elsa, mencoba untuk meyakinkannya meskipun hatinya sendiri dipenuhi oleh ketakutan. “Elsa, aku akan melindungimu. Aku tidak akan membiarkan mereka mendekat padamu. Aku berjanji.”Namun, ketegangan di antara mereka semakin terasa. Elsa bisa melihat ekspresi di wajah Ebizawa yang tidak biasa—sebuah senyuman yang penuh dengan rencana jahat yang tidak terlihat jelas. “Mungkin, Abizar,” katanya pelan, “tapi ada banyak hal yang belum kamu ketahui. Dunia ini tak pernah memberimu kesempatan untuk benar-benar bebas. Dan kami, keluarga Ebizawa, tidak membiarkan siapa pun keluar begitu
Elsa duduk di sofa, tangan yang gemetar memeluk lututnya. Setiap tetesan hujan yang terdengar, bagai dentingan jarum waktu yang terus mengingatkan betapa rumitnya jalan yang harus ia pilih. Abizar berdiri di dekat jendela, memandangi pemandangan yang kabur oleh hujan, wajahnya jauh dari tenang. Matanya kosong, seperti sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Elsa merasakan kehadiran Abizar yang tegang, namun tak tahu apa yang harus ia katakan. Hati Elsa dipenuhi dengan rasa bersalah, rasa takut, dan kebingungannya yang semakin dalam. "Abizar," Elsa akhirnya mengangkat suaranya, berusaha mengatasi ketegangan yang memenuhi udara. "Aku merasa seperti... aku yang menyebabkan semua ini. Kamu terjebak dalam situasi ini karena aku."Abizar menghela napas panjang dan berbalik menatap Elsa, matanya memancarkan kesungguhan yang begitu dalam. “Elsa, bukan kamu yang menyebabkan ini. Aku yang memilih untuk berada di sini, denganmu. Aku yang datang dengan segala ko
Sekarang aku sadar, aku sudah membuatmu merasa seperti tidak ada artinya. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku ingin kamu tahu, apa pun yang terjadi, aku akan berjuang untukmu.”Elsa terdiam, wajahnya terlihat semakin pudar oleh keraguan. Hujan yang terus mengguyur hanya menambah ketegangan di antara mereka. Ada begitu banyak pertanyaan yang mengganggu pikiran Elsa, dan semuanya terasa begitu kacau. “Kamu bilang kamu akan berjuang, tapi untuk apa? Untuk aku? Atau untuk keluargamu yang penuh dengan kekerasan itu?”Abizar menarik napas panjang, matanya penuh dengan keteguhan. "Aku tak bisa mengubah masa laluku, Elsa. Aku tak bisa menghapus apa yang telah terjadi, tapi aku bisa memilih untuk meninggalkan semua itu demi kamu. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mengganggu hidupmu lagi. Aku akan melindungimu, apa pun yang terjadi."Elsa terdiam, pikirannya berputar cepat. Rasa takutnya mulai bercampur dengan sedikit rasa percaya. Ada sesuatu dalam diri Abi
Darwin menghela napas panjang, melihat adiknya yang semakin terpuruk dalam kebingungannya. Ia tidak ingin Elsa merasa tertekan, tetapi ia juga tidak bisa begitu saja menerima hubungan ini tanpa memahami lebih dalam siapa Abizar sebenarnya.“Elsa, aku hanya ingin melindungimu,” kata Darwin dengan suara yang lebih lembut, meskipun masih penuh kekhawatiran. “Aku tidak ingin kau terjebak dalam bahaya. Tapi jika kau memilihnya, aku tidak bisa melarangmu. Aku hanya berharap kau tidak menyesal nantinya.”Elsa menunduk, matanya mulai berembun. “Aku... aku perlu waktu untuk memikirkannya,” ujarnya pelan.Abizar merasakan keputusasaannya, namun ia tetap berusaha tegar. “Elsa, aku akan menunggu. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Keputusan ada padamu.”Darwin menatap keduanya, wajahnya kaku, seolah menahan perasaan yang bergejolak di dalam dada. “Aku berharap kau tahu apa yang kau lakukan, Abizar. Karena jika kau menyakiti Elsa, aku tidak akan segan-segan un
Elsa hanya mengangguk, tangannya menggenggam erat ujung gaun putih yang ia kenakan. Sesuatu dalam hatinya berkata bahwa Abizar tulus. Tetapi ketakutan tetap membayang. Masa depan mereka, tantangan yang menanti, semuanya terasa begitu besar.Pintu ruang tamu terbuka dengan keras, dan masuklah Darwin, diikuti oleh Maya. Wajah Darwin terlihat gelap, lebih serius dari biasanya. Maya, yang selalu menjadi penengah, kali ini tampak hanya mengamati, duduk di salah satu kursi tanpa mengatakan apa-apa. Elsa merasakan perbedaan pada dirinya—sebuah ketegangan yang baru, yang tak pernah ada sebelumnya.Darwin menatap Abizar dengan tatapan yang sangat tajam. “Abizar, aku sudah memberi kamu kesempatan. Tapi sekarang, aku ingin mendengarnya langsung darimu. Apa yang sebenarnya terjadi antara kau dan adikku?” Suara Darwin rendah namun penuh ancaman, dan Elsa merasakan getaran di dalam dadanya. Ini bukan pertemuan biasa.Abizar menghela napas, matanya berseri-seri, namun je
Abizar menghela napas panjang, seolah sudah menyiapkan diri untuk jawaban ini sejak lama. “Aku siap kehilangan segalanya. Selama aku tidak kehilangan dirimu.” Suaranya tegas, tanpa keraguan sedikit pun. “Aku tak peduli apa yang akan terjadi. Aku tak peduli berapa banyak musuh yang akan datang, atau betapa sulitnya hidup kita nanti. Aku hanya ingin kamu, hanya kamu, Elsa.”Kata-kata Abizar menggema di hati Elsa. Ia bisa merasakan ketulusan dalam setiap kalimat yang diucapkannya, dan seketika itu juga, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ketakutannya tak lagi bisa menahan langkahnya. Meski perasaan takut itu masih ada, ada juga sebuah keberanian yang mulai tumbuh. Keberanian untuk memilih kebahagiaannya, meskipun itu berarti harus melawan segala yang sudah ia kenal.“Abizar...” Elsa menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air matanya yang sudah hampir jatuh. “Aku memilihmu. Aku memilih kita.”Abizar terdiam sejenak, lalu sebuah senyuman yang tulus mun