Elsa membuka mulutnya untuk menjawab, tapi kata-kata itu tidak keluar. Ia terlalu terkejut, terlalu terguncang.
"Elsa, dengarkan aku!" suara Abizar bergetar. "Aku mencintaimu. Kau harus tahu itu. Aku tidak akan membiarkan siapa pun membawamu pergi, tidak lagi." Air mata mulai mengalir di pipi Elsa. Ia menatap Abizar dengan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Tapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, pria kedua yang tadi mundur tiba-tiba menarik Elsa ke dalam kapal. "Maaf, Tuan Abizar, tapi ini perintah!" katanya sebelum kapal mulai melaju. "Elsa!" Abizar mencoba mengejarnya, tapi sudah terlambat. Kapal itu melaju ke tengah lautan, meninggalkan Abizar berdiri di dermaga dengan tubuh basah kuyup dan hati yang hancur. Dua hari kemudian, Abizar menemukan dirinya berdiri di depan sebuah mansion tua di Lombok. Bangunan itu megah, tapi tampak sunyi dan sedikit berdebu. Ia tahu Darwin telah membawa Elsa ke tempat ini. Darwin inginPagi harinya, Elsa berjalan-jalan sendirian di taman. Udara pagi yang segar memberikan sedikit ketenangan, meski pikirannya masih dipenuhi kebingungan. Ia berhenti di dekat danau kecil, memandangi air yang tenang.“Pagi yang indah, bukan?” suara Abizar terdengar dari belakangnya.Elsa menoleh, menemukan Abizar berdiri beberapa langkah darinya. Pria itu tampak lelah, tapi matanya memancarkan tekad yang kuat.“Kau masih di sini,” gumam Elsa, suaranya datar.“Aku bilang aku akan menunggumu,” jawab Abizar pelan. Ia melangkah mendekat, tapi menjaga jarak yang cukup agar Elsa tidak merasa terancam. “Aku tidak akan pergi sampai kau percaya padaku, Elsa.”Elsa menghela napas. “Abizar, aku butuh waktu. Dan aku butuh ruang. Kau tidak bisa memaksa ini.”“Aku tahu,” balas Abizar dengan nada lembut. “Tapi aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak akan pernah menyerah.”Elsa mengangguk pelan, lalu berbalik pergi. Namun, sebelum ia terl
Keesokan harinya, Abizar mencari Elsa di taman. Gadis itu duduk di bangku yang sama seperti sebelumnya, memandangi bunga-bunga yang mulai bermekaran. Wajahnya terlihat tenang, tapi Abizar tahu ada badai di dalam dirinya."Elsa," panggil Abizar lembut.Elsa menoleh, sedikit terkejut melihat Abizar di sana. "Ada apa?"Abizar duduk di sampingnya, menjaga jarak agar Elsa tidak merasa terpojok. Ia mengeluarkan surat Irfan dari sakunya dan meletakkannya di atas meja kecil di depan mereka."Aku menemukan ini," katanya pelan.Elsa menatap surat itu dengan mata membesar. Tangannya gemetar saat meraih amplop yang begitu familiar itu. "Kenapa kau membacanya?""Karena aku ingin mengerti," jawab Abizar jujur. "Aku ingin tahu apa yang membuatmu menutup hatimu seperti ini."Elsa menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. "Itu bukan urusanmu.""Tapi aku ingin itu menjadi urusanku, Elsa," kata Abizar, su
Natasya mendekat, menyentuh lengan Abizar dengan lembut, tapi pria itu segera menarik diri. “Kau berubah, Abizar. Kau tidak seperti dulu.”“Karena aku sudah tidak mau terjebak dalam permainanmu, atau permainan keluarga kita,” balasnya.Wajah Natasya berubah serius. “Kau tahu, Ebizawa tidak akan membiarkanmu begitu saja. Dia memberiku satu kesempatan terakhir untuk membuatmu sadar. Kembalilah ke jalan yang benar, Abizar. Lupakan Elsa.”“Kalau aku menolak?” Abizar menatapnya dengan mata tajam.Natasya tersenyum miring. “Kalau kau menolak, jangan salahkan aku kalau aku harus memainkan caraku sendiri.”“Coba saja,” balas Abizar penuh tantangan. “Aku tidak takut padamu atau siapa pun.”---Sementara itu, Elsa duduk di taman mansion-nya, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Surat Irfan masih terngiang-ngiang di benaknya, membuat hatinya terus berdebar tak menentu. Ia ingin percaya pada Abizar, tetapi bayangan masa lalu t
Hiro yang simpati kepada temannya itu menepuk bahunya. “Hati-hati, Abizar. Ebizawa tidak akan senang kalau kau terus melawan.”“Aku tidak peduli,” jawabnya tegas. “Aku akan melakukan apa pun untuk Elsa.”Malam semakin larut, tetapi Abizar tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan bagaimana cara menjelaskan semuanya pada Elsa. Ia tahu, kepercayaannya telah dirusak, akan membutuhkan waktu—waktu yang mungkin tidak ia miliki.Sementara itu, di sebuah kamar hotel mewah, Natasya duduk sambil tersenyum puas. Ia memegang ponselnya, membaca pesan yang ia kirimkan dengan nama Abizar. Di pikirannya, Elsa pasti akan menyerah sekarang, dan Abizar akan kembali padanya.Namun, senyum itu menghilang ketika ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Pesan itu hanya berisi satu kalimat:“Kau akan menyesal melakukan ini, Natasya.” ***Langit pagi terlihat pucat, menggambarkan suasana hati Abizar yang kacau. Ia
Elsa menyerahkan ponselnya tanpa berkata apa-apa. Livia membaca pesan itu, lalu menghela napas panjang. “Elsa, ini mungkin jebakan. Kau tahu Natasya tidak akan berhenti sampai dia memisahkan kalian.”“Tapi bagaimana kalau ini benar? Bagaimana kalau aku hanya menjadi permainan lain untuk Abizar?”“Kau tidak bisa mengambil kesimpulan hanya dari foto,” balas Livia. “Kau harus dengar penjelasannya.”“Penjelasan apa?” Elsa menggelengkan kepala. “Semua ini sudah cukup jelas.”---Malam itu, Abizar kembali ke mansion. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Seluruh situasi terasa salah. Saat ia masuk ke ruang kerjanya, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Hiro muncul di layar: "Natasya terlibat lebih dalam dari yang kita duga. Aku menemukan bukti tambahan."Namun sebelum ia sempat membaca lebih jauh, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, Elsa menelepon. Abizar langsung menjawab, meskipun dadanya berdebar kencang.'El
"Aku tidak peduli,” Abizar memotong. “Dia sudah menghancurkan terlalu banyak. Aku tidak akan membiarkannya menang.”Abizar menutup telepon, lalu duduk di kursinya. Ia tahu ini bukan hanya tentang Natasya. Ini tentang membuktikan pada Elsa bahwa ia tidak seperti yang wanita itu pikirkan. Namun, di balik tekadnya, ada rasa takut yang tak bisa ia abaikan—bagaimana jika ia benar-benar kehilangan Elsa?---Di sisi lain kota, Natasya duduk di kamarnya dengan senyum puas. Ponselnya berbunyi, dan ia langsung menjawab panggilan dari salah satu orang suruhannya.“Semua berjalan sesuai rencana, Nona,” suara pria itu terdengar di ujung telepon. “Foto-fotonya sudah diterima Elsa, dan reaksi yang kita harapkan terjadi.”“Bagus,” jawab Natasya dengan nada puas. “Pastikan Abizar tetap dalam tekanan. Aku ingin dia melihat bahwa tidak ada cara untuk memenangkan Elsa.”“Dimengerti,” jawab pria itu sebelum telepon diputus.Natasya menatap k
Di mansion Elsa Elsa duduk di ruang tamu, membolak-balik halaman sebuah novel tanpa benar-benar membaca isinya. Kepalanya dipenuhi kenangan tentang Abizar. Bagaimana pria itu berusaha menjelaskan, bagaimana tatapannya penuh dengan rasa sakit mendalam. Tapi foto itu... terlalu jelas. Livia masuk membawa secangkir teh hangat dan duduk di sebelah Elsa. “Kau masih memikirkannya, ya?” tanyanya pelan. Elsa mendesah. “Aku ingin percaya padanya, Liv. Tapi aku tidak bisa. Selalu ada sesuatu yang membuatku ragu.” “Kalau begitu, kau harus memberi waktu pada dirimu sendiri,” kata Livia bijak. “Tapi aku juga yakin, kalau Abizar benar-benar mencintaimu, dia tidak akan menyerah begitu saja.” Elsa hanya mengangguk pelan. Ia ingin percaya bahwa Abizar adalah orang yang berbeda, tetapi rasa sakit dari masa lalu terlalu sulit untuk diabaikan. --- Di sisi lain kota
Hatinya yang sudah terlanjur hancur kini dipenuhi oleh keraguan yang tak berujung. Ia ingin percaya pada Abizar, tetapi luka itu terlalu dalam."Elsa..." Abizar memanggilnya dengan suara yang hampir bergetar. "Aku tak peduli seberapa sulitnya ini. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Dan aku akan melakukan apa pun untuk membuktikan itu."Elsa menggenggam dokumen di tangannya erat-erat. "Kau bilang mencintaiku, tapi selama ini kau selalu menutup dirimu dariku. Kau selalu menjauh, membuatku merasa aku hanya seorang asing di hidupmu. Bagaimana aku bisa percaya itu cinta?"Abizar terdiam. Kata-kata Elsa seperti tamparan keras yang membangunkannya dari semua kebodohannya. Ia ingin menjelaskan, tetapi tak tahu harus mulai dari mana.---Di sisi lain kota, di sebuah lounge mewahNatasya memutar gelas anggurnya dengan gerakan santai, menikmati setiap detik kemenangannya. Senyum puas tak pernah lepas dari wajahnya. Baginya, Abizar su
Elsa hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya terasa hancur. Ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang harus diambil, namun tak ada kata yang bisa mewakili perasaannya. Ia hanya bisa berharap, berdoa, agar Abizar bisa keluar dari situasi ini dengan selamat.Sementara itu, di tempat yang jauh, Darwin duduk di ruang kerjanya, merenung. Sudah beberapa hari sejak pertemuannya dengan Elsa, sejak ia mengetahui bahwa Abizar berada di titik yang tak bisa mundur lagi. Setiap tindakan yang ia ambil, setiap keputusan yang ia buat, kini terasa seperti beban yang semakin berat. Ia merenung, melihat kembali setiap langkah yang ia ambil untuk melindungi Elsa, langkah-langkah yang pada akhirnya membawa mereka ke sini. Keputusan-keputusan yang membuatnya merasa semakin terperangkap dalam lingkaran kebohongan dan pengkhianatan. Mungkinkah ia telah melangkah terlalu jauh? Mungkinkah ia salah memilih jalan?Darwin menyandarkan kepalanya pada kursi, merasakan kelelahan yang luar
Abizar mengangkat bahunya, menahan amarah yang mulai memuncak. “Aku tidak akan kembali. Kalau aku harus melawanmu, aku akan melakukannya.”Ebizawa menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang. “Kau tahu, Abizar... dunia ini tidak memberimu pilihan. Kamu bisa berusaha melawan, tapi akhirnya kamu harus memilih—apakah kamu akan menyelamatkan hidupmu, atau menyerahkan wanita yang kamu cintai untuk melindungi dirinya?”Abizar terdiam, otaknya berputar cepat. “Apa maksudmu?” tanya Abizar, suaranya lebih rendah dan penuh peringatan.Ebizawa memiringkan kepalanya, senyumnya dingin dan penuh manipulasi. “Kamu pikir aku tidak tahu apa yang terjadi antara kamu dan Elsa? Jika kamu benar-benar mencintainya, maka kamu harus memilih antara hidupmu atau keselamatan dia. Aku memberi waktu 24 jam, Abizar. Pilihlah dengan bijak. Kamu akan kehilangan salah satu—hidupmu atau dia.”Kata-kata itu seperti cambuk yang menyengat. Abizar menatap Ebizawa, wajahnya berubah
Abizar berhenti sejenak, memandangnya dengan mata yang penuh arti. “Aku tahu. Dia tidak akan pernah melepaskanku, tidak pernah. Tapi aku sudah tidak bisa kembali. Dunia ini, keluarga ini, itu semua bukan lagi tempatku. Aku hanya ingin hidup denganmu, Elsa. Aku hanya ingin kamu tetap aman.” Elsa menelan ludah. Ada begitu banyak perasaan yang bercampur aduk dalam dirinya—cinta, ketakutan, kebingungan. “Tapi kalau kamu pergi ke sana, kamu akan... akan berhadapan dengan Ebizawa. Apa yang akan terjadi padamu?” Abizar menghela napas panjang, berjalan mendekat, dan duduk di sampingnya. “Aku tidak tahu, Elsa. Tapi apa yang lebih buruk dari ini? Kehidupan yang terus terjebak dalam kebohongan dan pengkhianatan? Aku sudah cukup. Kali ini, aku harus memilih untuk melawan.” Elsa merasa air mata mulai menggenang di matanya. “Aku takut, Abizar. Aku takut kehilanganmu. Aku tidak ingin kamu terluka lagi, tidak seperti dulu.”
Elsa menggigit bibirnya, mencoba mencerna kata-kata Abizar. “Lalu siapa yang melakukan ini? Kenapa mereka melakukannya?” Abizar mengerutkan kening, matanya tajam. “Ebizawa. Dia yang bermain di belakang layar ini. Semua ini bagian dari permainan besar yang dia atur. Dia tahu kalau aku bisa keluar dari dunia ini dengan bantuanmu, Elsa. Dan dia tidak bisa membiarkan itu terjadi. Jadi, dia memanfaatkan Natasya untuk menjebak kita.” Elsa terdiam. Semua yang dikatakan Abizar mulai masuk akal, meskipun rasanya sulit untuk mempercayainya sepenuhnya. “Tapi... bagaimana dengan Darwin?” tanya Elsa, mengingat pertemuan mereka yang lalu. “Apakah dia juga terlibat dalam semua ini?” Abizar menatapnya dengan serius. “Darwin... dia adalah pion dalam permainan Ebizawa. Tapi kita harus berhati-hati, Elsa. Mereka berdua bekerja sama untuk menghancurkan kita. Jika kita tidak berhati-hati, kita akan terjebak dalam permainan mer
Elsa memutar video yang dikirim Natasya. Suara dari video itu mengisi ruang yang sebelumnya penuh dengan keheningan. Elsa menatap wajah Abizar yang mulai berubah, wajahnya yang biasanya tegas kini terlihat cemas. Dia menghela napas, mencoba mencari cara untuk menjelaskan, namun Elsa sudah terlalu lama tenggelam dalam pikirannya sendiri untuk bisa mendengar penjelasan apa pun. Setelah video selesai, Elsa menatapnya dengan tajam. “Kamu bilang... kamu hanya memanfaatkan aku untuk keluar dari dunia ini. Itu benar, kan?” Abizar terdiam. Matanya yang penuh rasa cemas itu beralih ke layar ponsel Elsa, lalu kembali padanya. “Elsa, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku tidak pernah...” Abizar berhenti, menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. “Aku tahu, ini terlihat buruk. Sangat buruk. Tapi... percayalah, aku tidak pernah berniat untuk melukai kamu.” Elsa bisa melihat bahwa Abizar sedang berusaha keras untuk menjelask
Di mansion yang sepi, Elsa duduk terjaga di ruang tamu. Hujan telah berhenti, tapi ketenangan malam tidak mampu mengusir kegelisahan dalam hatinya. Abizar yang tadi telah pergi untuk menyiapkan beberapa hal, meninggalkannya sendirian. Meskipun ia tahu Abizar bertujuan untuk melindunginya, Elsa merasa jauh lebih takut daripada sebelumnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Semua pilihan terasa salah. Dan ketika ia menghadap ke luar jendela, melihat cahaya kota yang redup, Elsa menyadari bahwa cinta memang sebuah permainan berbahaya—dan mungkin, kali ini, mereka tidak akan bisa keluar dari permainan ini tanpa mengorbankan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.Hujan yang tadi malam mengguyur perlahan memudar, tapi bekasnya masih terasa. Pagi itu, udara terasa berat, seolah setiap hembusan angin membawa pesan yang tidak ingin diterima oleh siapa pun yang mendengarnya. Di luar jendela, langit tampak cerah, tetapi dalam hati Elsa, ada awan kelabu yang men
Abizar mengalihkan pandangannya dari luar jendela, menatap Elsa dengan mata yang penuh perhitungan. “Aku... aku tidak ingin kamu terjebak dalam bahaya ini lebih lama. Aku tidak ingin melihat kamu terluka karena pilihan yang aku buat.” Elsa menunduk, seketika perasaan bersalah yang terus membayangi hatinya kembali muncul. “Tapi, aku yang memilih ini. Aku yang membiarkan kamu masuk dalam hidupku, Abizar. Aku yang tidak berpikir jauh ke depan. Sekarang, kita berdua terjebak.” Abizar menggenggam tangan Elsa dengan lembut, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. “Tidak, Elsa. Aku yang memutuskan untuk berada di sini. Semua yang terjadi, aku yang memilih. Jangan pernah merasa bersalah atas ini. Ini adalah jalan yang aku pilih, dan aku akan menanggung semua risikonya.” Tapi Elsa tahu—rasa takut itu ada di mata Abizar. Ia bukan hanya khawatir tentang dirinya, tetapi juga tentang orang-orang yang akan mencoba merusak hubungan mereka. Elsa bisa
Ebizawa tersenyum tipis, seolah ia sudah menduga jawaban itu. “Kamu mungkin sudah meninggalkan dunia itu, tapi dunia itu tidak akan pernah meninggalkanmu. Kami punya cara untuk menarikmu kembali, Abizar. Kamu tahu itu.”Elsa menatap Abizar dengan rasa takut yang semakin membesar. “Apa maksudmu? Apa yang akan mereka lakukan padamu?” suaranya bergetar, penuh kekhawatiran.Abizar menatap Elsa, mencoba untuk meyakinkannya meskipun hatinya sendiri dipenuhi oleh ketakutan. “Elsa, aku akan melindungimu. Aku tidak akan membiarkan mereka mendekat padamu. Aku berjanji.”Namun, ketegangan di antara mereka semakin terasa. Elsa bisa melihat ekspresi di wajah Ebizawa yang tidak biasa—sebuah senyuman yang penuh dengan rencana jahat yang tidak terlihat jelas. “Mungkin, Abizar,” katanya pelan, “tapi ada banyak hal yang belum kamu ketahui. Dunia ini tak pernah memberimu kesempatan untuk benar-benar bebas. Dan kami, keluarga Ebizawa, tidak membiarkan siapa pun keluar begitu
Elsa duduk di sofa, tangan yang gemetar memeluk lututnya. Setiap tetesan hujan yang terdengar, bagai dentingan jarum waktu yang terus mengingatkan betapa rumitnya jalan yang harus ia pilih. Abizar berdiri di dekat jendela, memandangi pemandangan yang kabur oleh hujan, wajahnya jauh dari tenang. Matanya kosong, seperti sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Elsa merasakan kehadiran Abizar yang tegang, namun tak tahu apa yang harus ia katakan. Hati Elsa dipenuhi dengan rasa bersalah, rasa takut, dan kebingungannya yang semakin dalam. "Abizar," Elsa akhirnya mengangkat suaranya, berusaha mengatasi ketegangan yang memenuhi udara. "Aku merasa seperti... aku yang menyebabkan semua ini. Kamu terjebak dalam situasi ini karena aku."Abizar menghela napas panjang dan berbalik menatap Elsa, matanya memancarkan kesungguhan yang begitu dalam. “Elsa, bukan kamu yang menyebabkan ini. Aku yang memilih untuk berada di sini, denganmu. Aku yang datang dengan segala ko